Home Blog Page 172

Injil pertama: Matius atau Markus?

18

Harus diakui terdapat dua pandangan dalam hal Injil apakah yang pertama dituliskan. Yang pertama adalah perkiraan  bahwa Injil Matius adalah yang pertama kali dituliskan dan yang kedua adalah Injil Markus.  Tinjauan yang lebih mendetail tentang kedua pandangan ini mungkin dapat kami tuliskan di artikel terpisah di waktu yang akan datang. Namun sekilas saja perbedaannya kami tuliskan berikut ini; dan mengapa kami di Katolisitas lebih cenderung berpegang kepada Tradisi Gereja awal, yaitu Injil yang pertama dituliskan adalah Injil Matius. Menurut kesaksian para Bapa Gereja di abad- abad awal (terutama St. Papias, Irenaeus dan St. Klemens dari Aleksandria), Injil yang pertama dituliskan adalah Injil Matius. Dalam Against the Heresies, buku III, bab 1, 1, St. Irenaeus (+202) menuliskan bahwa yang menuliskan Injil pertama kali adalah Matius, lalu kemudian diikuti oleh Markus yang adalah murid Petrus dan Lukas yang adalah pembantu Paulus. Baru terakhir Yohanes Rasul menuliskan Injilnya di Efesus. Pandangan ini kemudian juga dikenal dengan sebutan Augustinian Hypothesis.

Namun ada juga Bapa Gereja yang menuliskan bahwa kemungkinan dua Injil pertama adalah Injil Matius dan Lukas, dan Injil Markus ada di urutan ketiga. Sedangkan teantang teori bahwa Injil Markus sebagai Injil pertama itu baru muncul di abad ke-19. Berikut ini adalah ulasan yang antara lain disarikan dari buku The Gospel of Jesus, oleh William Farmer, (Kentucky:Westminster/ John Knox Press), p. 3-38, 146-160:

1. Two Gospel Hypothesis

St.Klemens menuliskan seperti dikutip oleh Eusebius dari Caesarea:
“….. di dalam buku yang sama [Hypotyposeis 6], Klemens telah menyisipkan sebuah tradisi dari para pemuka jemaat di abad- abad awal tentang urutan Injil- injil sebagai berikut: ia mengatakan bahwa Injil- injil yang pertama- tama dituliskan adalah Injil- injil yang menuliskan silsilah Yesus dan bahwa Injil menurut Markus terbentuk dengan cara sebagai berikut:….” (Eusebius, Ecclesiastical History 6.14.5-7)

Maka menurut St. Klemens, kedua Injil yang ditulis pertama kali adalah Injil Matius dan Lukas. Pandangan ini dikenal dengan Two Gospel Hypothesis. Selanjutnya, menurut St. Klemens, Injil Markus dan Yohanes secara kronologis ditulis sesudah Injil Matius dan Lukas. Dengan demikian diperkirakan bahwa Injil Matius itu ditulis sebelum tahun 50-an AD: Eusebius, Theophlact, Euthymius Zigabenus dan Nicephorus Callistus, memperkirakan Injil ini ditulis sekitar tahun 38-45. Sedangkan Lukas dan Markus sekitar 62-68 AD (dituliskan hampir bersamaan), dan Yohanes tahun 90-100 AD.

2. Two Source Hypothesis

Sedangkan menurut beberapa ahli Kitab Suci di abad ke-19 dan 20 (seperti C.G Wilke, C.H Weisse, Heinrich Holtzmann, Helmut Koester- James Robinson), Injil yang pertama ditulis adalah Injil Markus. Pandangan ini tidak terlepas dari gerakan Kulturkampf di Jerman pada tahun 1871-1878 yang dipelopori oleh Penasehat Kekaisaran Jerman, Otto von Bismarck. Bismarck saat itu menentang otoritas Paus, dan memimpin negara Jerman untuk melepaskan diri dari pengaruh ajaran/ otoritas Paus di Roma. Hal ini juga mempengaruhi cara pandang dalam hal Teologi, sehingga para ahli Kitab Suci di Jerman kemudian menyusun sendiri hipotesa mereka, terlepas dari tradisi Gereja yang telah berabad- abad dikenal. Termasuk di sini adalah mereka menentang bahwa Injil Matius dan Lukas dituliskan lebih dahulu daripada Injil Markus dan Yohanes. Memang terdapat studi yang cukup detail tentang hal ini, yang membuat para ahli Jerman ini sampai pada kesimpulan, bahwa sumber pertama kitab Injil adalah Injil Markus dan apa yang disebut “Q” (atau dikenal sebagai the Synoptic Sayings Source). Harap diketahui bahwa, “Q” itu bukanlah Injil, namun yang konon hanya berupa kumpulan perkataan Yesus, semacam injil Thomas, yang juga tidak diakui Gereja sebagai kitab Injil kanonik. [Catatan: Q ini sebenarnya adalah teks Injil Matius yang dikutip oleh Lukas, namun tidak dikutip oleh Markus. Namun karena para ahli alkitab Jerman ini tidak mengakui keutamaan Injil Matius, maka mereka berasumsi bahwa Lukas mengutip suatu sumber lain yang kemudian dikenal sebagai “Q”]. Karena keterbatasan waktu, tidak dapat kami jabarkan di sini studi banding ayat- ayat antara ketiga Injil Sinoptik dan hipotesa Q pada saat ini, kemungkinan di waktu yang akan datang, dapat kami bahas dengan lebih mendetail.

3. Apakah bedanya?

Sebenarnya Injil Matius dan Lukas yang pertama dituliskan, menuliskan beberapa pokok ajaran Kristus, yang tidak tertulis dalam Injil Markus, dan ajaran- ajaran ini adalah ajaran yang sungguh sangat penting, yaitu: Doa Bapa kami, Perjamuan Kudus, Pembenaran karena iman, kesaksian penting dari para wanita, komitmen/ perhatian Tuhan yang istimewa ditujukan kepada mereka yang miskin, dan kunci- kunci Kerajaan Surga yang dipercayakan kepada Petrus.

Pandangan bahwa Injil Matius yang pertama ditulis, akan memperjelas posisi ajaran ini sebagai ajaran- ajaran Kristus yang penting dan utama, sehingga melahirkan para orang kudus dan para martir yang rela mengobankan diri mereka demi iman, demi memperkenalkan iman mereka kepada orang lain, dan demi membela hak orang- orang miskin. Demikian pula, ajaran ini menumbuhkan penghormatan kepada otoritas Gereja yaitu Rasul Petrus dan para penerus mereka, karena kepada merekalah Kristus mempercayakan kuasa kepimpinan Gereja di dunia.

4. Apa pandangan umum yang ada sekarang, dan apakah yang dikatakan Vatikan?

Professor Helmut Koester pernah mengatakan:

“Yang paling mencengangkan dari injil Thomas adalah kebungkamannya dalam hal kematian Yesus dan kebangkitan-Nya- kunci dari pewartaan Rasul Paulus. Tetapi injil Thomas tidak sendirian dalam hal ini, Q (the Synoptic Sayings Source)… juga tidak menganggap kematian Yesus dan kebangkitan-Nya sebagai bagian dari pesan Kristiani. Injil Thomas dan Q menentang pandangan jemaat awal bahwa kematian dan kebangkitan Yesus merupakan titik pusat iman Kristen. Kedua dokumen itu hanya menganggap yang terpenting adalah perkataan Yesus, dan hanya perkataan Yesus saja.” (Helmut Koester, seperti dikutip oleh William Farmer, The Gospel of Jesus, oleh William Farmer, (Kentucky:Westminster/ John Knox Press), p. 3)

Membaca pernyataan ini saja seseorang dapat bertanya, “Bagaimana mungkin, injil apokrif Thomas (dokumen di akhir abad 2-abad 4) dan hipotesa Q yang baru lahir di abad ke 19, dapat lebih dipercaya daripada kanon Injil Perjanjian Baru atas kesaksian para saksi yang diajar oleh para rasul sendiri?” Namun adalah fakta dewasa ini, bahwa aliran Koester- Robinson (yang mengajarkan hipotesa bahwa Injil Markus ditulis lebih dulu dari Injil Matius dan Lukas) terus aktif dalam menyebarkan pengaruhnya, dan banyak pula mempengaruhi para ahli Kitab Suci, baik di kalangan Protestan maupun Katolik.

Di atas semua itu, perlulah kita ketahui jawaban yang dikeluarkan oleh Biblical Commission, (Komisi Kitab Suci di Vatikan), pada tanggal 19 Juni 1911, point 50 a-g (seperti dikutip dalam A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed, Dom Orchard, p. 852):

1. Rasul Matius adalah sungguh pengarang Injil yang memakai namanya [Injil Matius].
2. Tradisi cukup banyak yang menunjukkan bahwa Matius menulis sebelum para pengarang Injil yang lain dan dituliskan dalam bahasa Palestina- Yahudi.
3. Tanggal penulisan Injil Matius tidak melampaui tahun kejatuhan Yerusalem (tahun 70 AD) dan tradisi dipenuhi dengan terbaik jika kita menempatkan hal itu sebelum kedatangan Paulus ke Roma (60 AD).
4. Matius tidak hanya menyusun sebuah koleksi perkataan- perkataan Yesus, tetapi sebuah Injil dalam arti yang sesungguhnya.
5. Injil Matius versi Yunani yang ada, adalah sama secara substantial dengan yang original [yang asli dalam bahasa Palestina- Yahudi]. Ini adalah kesimpulan sah dari kenyataan bahwa teks Yunani [Injil Matius] telah dinyatakan sebagai teks kanonik oleh para Bapa Gereja dan para penulis gerejawi, dan oleh Gereja awal itu sendiri.

Pandangan Vatikan ini kemudian mendapat peneguhan setelah beberapa ahli Kitab Suci Jerman di abad ke 20, seperti Hans Herbert Stoldt, dan Eta Linnemann, yang kemudian mempertanyakan keabsahan Two Source Hypothesis, karena kurangnya bukti yang dapat menyatakan bahwa Injil Markus merupakan Injil yang pertama dituliskan.

5. Kesimpulan

Melihat kenyataan di atas, kami di Katolisitas memilih untuk berpegang kepada tulisan para Bapa Gereja dan apa yang dinyatakan oleh pihak Vatikan [daripada berpegang kepada hipotesa para ahli Kitab suci di abad 19]: bahwa Injil yang pertama ditulis adalah Injil Matius.

Konsili Vatikan II juga menyatakan urutan Injil demikian:
“Selalu dan di mana-mana Gereja mempertahankan dan tetap berpandangan, bahwa keempat Injil berasal dari para rasul. Sebab apa yang atas perintah Kristus diwartakan oleh para rasul, kemudian dengan ilham Roh ilahi diteruskan secara tertulis kepada kita oleh mereka dan orang-orang kerasulan, sebagai dasar iman, yakni Injil dalam keempat bentuknya menurut Matius, Markus, Lukas dan Yohanes”  (Dei Verbum, 18)

Menjawab keberatan tentang Septuaginta dan Deuterokanonika

6

1. Tentang Kanon PL

Kanon PL memang sudah ada jauh sebelum kanon PB ditentukan. Bahkan fakta menunjukkan bahwa kanon PL sudah ada pada zaman Yesus dan para rasul, terbukti dengan sudah adanya Kitab Suci yang digunakan oleh umat Yahudi pada masa itu (jadi bukan baru pada awal tahun 125). Dalam Kitab Septuagint yang dituliskan antara abad ketiga dan kedua sebelum Masehi sudah memuat sejumlah kitab-kitab PL yang menunjukkan bahwa sudah ada kanon kitab-kitab PL pada masa itu (jika belum ada maka belum bisa dituliskan dalam satu buku).

Menurut Flavius Josephus (37-107)-seorang sejarahwan Yahudi (Ant Jud XII, ii), Kitab Septuaginta disebut di dalam surat Aristeas kepada saudaranya Philocrates. Tanpa menyebut nama Aristeas, Philo dari Aleksandria juga mencatat kisah berikut ini dalam bukunya (De vita Moysis, II, vi). Dikatakan di sana bahwa Raja Mesir yang bernama Ptolemeus II Philadelphus (287-247 BC) membangun perpustakaan yang besar di Aleksandria; dan kepala perpustakaannya yang bernama Demetrius Phalarus mengusulkan agar perpustakaan itu diperkaya dengan kitab-kitab suci dari bangsa Yahudi. Raja kemudian memerintahkan Eleazar, Imam besar Yahudi, untuk memberikan kepadanya salinan kitab-kitab suci mereka dalam bahasa Yunani. Salinan itu kemudian dibuat oleh tujuh puluh dua orang Yahudi (enam orang dari masing-masing suku), yang menerjemahkan kitab- kitab itu dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani; dan kemudian salinan ini ditempatkan di perpustakaan tersebut. Surat Aristeas dan kisah ini diterima sebagai otentik oleh banyak Bapa Gereja dari abad-abad awal (seperti St. Irenaeus, Tertullian, St. Klemens dari Aleksandria, St. Agustinus, dst.) dan penulis gerejawi sampai pada abad ke-16. Para Bapa Gereja itu bahkan meyakini bahwa dalam menerjemahkannya, ketujuhpuluh dua orang itu tidak berkonsultasi satu sama lain dan mengerjakannya di tempat terpisah, namun hasil terjemahan dan ekspresi yang digunakan di antara mereka sama dan sesuai dengan teks aslinya.

Namun demikian,  St. Jerome (Hieronimus) memang menolak pandangan ini (lih. Praef. in Pentateuchum”; “Adv. Rufinum”, II, xxv), demikian pula banyak kritikus Kitab Suci sejak abad ke-16. Mereka tidak menanggap bahwa surat Ariesteas adalah asli; mereka tidak menganggapnya mungkin bahwa ke 72 orang dapat menghasilkan terjemahan teks yang sama, tanpa komunikasi di antara mereka; demikian untuk menerima bahwa terjemahan kitab Yahudi dibuat atas permintaan seorang Raja yang bukan Yahudi. Namun sebaliknya, adalah juga tidak dapat dipastikan bahwa semua kisah itu adalah suatu legenda. Sebab dari karakter khusus bahasa yang digunakan, sebagaimana dari asal usul dan versinya, menunjukkan bahwa kitab- kitab tersebut memang diterjemahkan di Aleksandria, pada masa pemerintahan Ptolemeus Philadelphus yaitu sekitar abad ke-3 sampai ke-2 BC. Jika surat Aristeas itu palsu, dan baru ditulis sekitar 130 BC seperti yang mereka klaim, maka tidak mungkin pandangan tentang asal usul Septuaginta begitu luas diterima pada masa itu, dan para Bapa Gereja mengutipnya. Perlu kita ingat bahwa para Bapa Gereja dan sejarahwan Yahudi (misal Josephus di abad ke-1) yang mengutip kisah asal usul Septuaginta itu, hidup pada zaman yang lebih dekat dengan zaman penulisan Septuaginta. Artinya, mereka masih dapat mendapatkan bukti ataupun keterangan yang dapat dipercaya dari para penerus saksi mata yang hidup pada masa itu. Maka walaupun bisa saja terjadi bahwa penerjemahan dilakukan bukan atas permintaan Raja Mesir Ptolemeus, namun juga tidak dapat dibuktikan sebaliknya, yaitu bahwa tidak ada peran Raja Ptolemeus dalam pengadaan penerjemahan itu.

2. Teks Septuaginta baru diketahui pada abad ke-4?

Teks Septuaginta tidak saja baru diketahui pada abad ke-4 M. Sebab sebagaimana telah disebut di point 1, gaya bahasa yang digunakan mengacu kepada gaya penulisan kaum Yahudi Palestina di abad 3-2 sebelum Masehi. Entah penerjemahan itu dilakukan dengan atau tanpa campur tangan Raja Ptolemeus, diketahui bahwa penerjemahan ke dalam bahasa Yunani itu sudah ada sebelum tahun 130 BC, sebagaimana tercatat pada pendahuluan/prolog kitab Sirakh yang ditulis sekitar tahun 130 BC (sebelum Masehi, bukan sesudah Masehi).

Maka walaupun manuskrip Septuaginta yang kita ketahui sekarang berasal dari salinan perkamen abad ke-4 dan 5, (yaitu Codex Vaticanus- abad ke-4, Codex Alexandrinus- abad ke-5, dan Codex Sinaiticus- abad ke-4) namun tidak berarti bahwa teks Septuaginta itu baru ada/ dituliskan pada abad ke-4 atau ke-5. Demikian juga anggapan bahwa terdapat korupsi dalam penulisan teks Kitab Suci, sebab sejak dari awal mula terdapat persyaratan yang sangat ketat untuk membuat salinan Kitab Suci, sebagaimana pernah dituliskan di sini, lihat point 1).d), silakan klik.

3. Josephus dan Philo mengakui hanya ke-39 kitab PL?

Baik Philo maupun Josephus adalah seorang Yahudi, mereka bukanlah seorang Kristen. Josephus menulis kisah sejarah ini di tahun 93-95, artinya sekitar 60 tahun setelah Kristus wafat. Argumen yang mengatakan lebih baik mengacu kepada tulisan Josephus ataupun kanon Ibrani sebenarnya sangat ‘absurd‘/ tidak masuk akal. Kanon Ibrani ini ditetapkan oleh para rabi Yahudi dalam konsili Javneh/ Jamnia sekitar tahun 100, memang hanya memuat 39 kitab PL. Sedangkan Gereja Katolik berpegang pada Septuaginta yang memuat 46 kitab (termasuk Deuterokanonika). Para rabi Yahudi itu adalah orang -orang yang menolak Kristus, mereka tidak percaya kepada Kristus bahkan sampai saat ini. Bagaimanakah mereka dapat menentukan bagi Gereja, mana kitab yang diinspirasikan oleh Roh Kudus, dan mana yang tidak? Mereka (para rabi itu) menolak Kristus (kalau tidak menolak, mereka sudah jadi umat Kristiani), lalu bagaimana sekarang kita dapat mengatakan bahwa para rabi itu dipenuhi Roh Kudus untuk menentukan kanon Kitab Suci bagi Gereja?

Lagipula, jika kita mau secara obyektif melihat, selayaknya kita melihat pada penjelasan para pengarang Protestan yang bernama Gleason Archer dan G.C. Chirichigno membuat daftar yang menyatakan bahwa Perjanjian Baru mengutip Septuagint sebanyak 340 kali, dan hanya mengutip kanon Ibrani sebanyak 33 kali. ((Gleason Archer dan G. C. Chirichigno, Old Testament Quotations in the New Testament: A Complete Survey (Chicago, IL: Moody Press, 1983), xxv-xxxii.)) Dengan demikian, kita ketahui bahwa dalam Perjanjian Baru, terjemahan Septuagint dikutip sebanyak lebih dari 90%. Jangan lupa, seluruh kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani. Dan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Yunani inilah yang ditolak oleh para Rabi Yahudi. Tetapi apakah kitab-kitab PL yang tertulis dalam bahasa Yunani ini berarti tidak diinspirasikan oleh Roh Kudus? Tentu tidak bukan. Meskipun ditulis bukan dalam bahasa Ibrani, kitab-kitab tersebut tetap orisinil dan asli, sebab memang pada saat itu bahasa yang umum digunakan adalah bahasa Yunani.

4. Walaupun penulis PB memakai Septuaginta, tidak satu kalipun ada kutipan langsung kitab- kitab Deuterokanonika dari Kristus dan para penulis PB?

Kita ketahui bahwa ada banyak ayat di Perjanjian Baru (PB) yang mengacu kepada Perjanjian Lama (PL), termasuk kitab-kitab Deuterokanonika. Memang ayat- ayat itu dapat dikutip secara hampir persis, namun kalau kita perhatikan, tidak selamanya ayat yang diacu oleh PB itu ditulis sama persis dengan apa yang tertulis dalam PL. Malah dapat dikatakan, sebagian besar acuan ayat dalam PB tidak menyampaikan kutipan persis dari PL, namun hanya menyerupai/ mirip dengan apa yang tertulis dalam PL, dan kemudian di PB diberi tambahan penjabaran/ penjelasan maksudnya, atau disampaikan lebih ringkas sesuai dengan maksudnya.

Mari kita lihat contoh-contohnya:

Ayat-ayat dalam Perjanjian Baru  Ayat- ayat acuannya dalam Deuterokanonika
1. “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” (Yoh 1:1,3) “Allah nenek moyang dan Tuhan belas kasihan, dengan firman-Mu telah Kaujadikan segala sesuatu….” (Keb 9:1)
2. Yesus berkata, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” (Mat 7:12) “Apa yang tidak kausukai sendiri, janganlah kauperbuat kepada siapapun.” (Tob 4:15)
3. Yesus berkata, “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.” (Mat 7:16,20) “Nilai ladang ditampakkan oleh buah pohon yang tumbuh di situ” (Sir 27:6)
4. “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya.” (Mat 6:19-20) “Gunakanlah harta milikmu menurut perintah dari Yang Mahatinggi, niscaya lebih berfaedahlah itu bagimu dari pada emas.” (Sir 29:11)
5. “Ibu-ibu telah menerima kembali orang-orangnya yang telah mati, sebab dibangkitkan…. orang-orang lain membiarkan dirinya disiksa dan tidak mau menerima pembebasan, supaya mereka beroleh kebangkitan yang lebih baik.” (Ibr 11:35) Dalam kisah seorang ibu dengan ketujuh anaknya yang dihukum mati dalam Kitab Makabe, ibu itu berkata kepada anak bungsunya,”…Pencipta alam semestalah yang membentuk kelahiran manusia …Tuhan akan memberikan kembali roh dan hidup kepada kamu…..hendaklah [kamu] menyatakan diri sepantas kakak-kakakmu dan terimalah maut itu, supaya aku mendapat kembali engkau serta kakak-kakakmu di masa belas kasihan kelak.” (2Mak 7:23, 29)
6. “Ia [Yesus] menaruh harapan-Nya pada Allah: baiklah Allah menyelamatkan Dia, jikalau Allah berkenan kepada-Nya! Karena Ia telah berkata: Aku adalah Anak Allah.” (Mat 27:43) “Ia … menyebut dirinya anak Tuhan. Jika orang yang benar itu sungguh anak Allah, niscaya Ia [Allah] akan menolong dia serta melepaskannya dari tangan para lawannya.” (Keb 2 :13,18)
7. “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah.” (Luk 1:52) “Tuhan menggulingkan takhta orang kuasa, dan menempatkan orang rendah hati ganti mereka” (Sir 10:14)
8. “Sebab murka Allah nyata… atas segala kefasikan dan kelaliman manusia … Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.” (Rom 1:18,20) “Sungguh tolol karena kodratnya semua orang yang tidak mengenal Allah sama sekali; dan mereka tidak mampu mengenal Dia yang ada dari barang-barang yang kelihatan, dan walaupun berhadapan dengan pekerjaan-Nya mereka tidak mengenal Senimannya.” (Keb 13:1)
9. “Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?” (Rom 9:21) “Demikianpun seorang tukang periuk meramas tanah lembab dengan susah payahnya, lalu dibentuknya menjadi apa saja untuk keperluan kita. Tetapi dari tanah liat yang sama dibentuknya baik bejana untuk keperluan yang tahir maupun untuk keperluan yang keji. Sedangkan untuk apakah akan digunakan tiap-tiap bejana, itu ditentukan oleh tukang periuk belanga.” (Keb 15:7)
10. “Sebab: “Siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan, sehingga ia dapat menasihati Dia?” (1Kor 2:16) “Manusia manakah dapat mengenal rencana Allah, atau siapakah dapat memikirkan apa yang dikehendaki Tuhan? (Keb 9:13)
11. “… setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah (Yak 1:19) “Hendaklah cepat mendengarkan, tetapi laun mengucapkan jawabannya.” (Sir 5:11)
12. “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” (1 Pet 1:6-7) “Setelah disiksa sebentar mereka menerima anugerah yang besar, sebab Allah hanya menguji mereka, lalu mendapati mereka layak bagi diri-Nya. Laksana emas dalam dapur api diperiksalah mereka oleh-Nya, lalu diterima bagaikan korban bakaran.” (Keb 3:5-6)

Sekarang, marilah kita melihat contoh-contoh ayat PB yang mengacu kepada ayat-ayat PL yang bukan kitab Deuterokanonika. Di sini juga terlihat bahwa sering kali ayat yang diacu itu memang mirip, tetapi juga tidak sama persis. Namun hal ini tentu tidak menjadi bukti, bahwa kitab- kitab PL yang dikutip itu menjadi tidak otentik:

 Teks dalam Perjanjian Baru  Teks dalam Perjanjian Lama yang menjadi acuan
 1. “Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan.” (1 Kor 1:31) “tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN.” (Yer 9:24).
 2. “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” (1 Kor 2:9) “Tidak ada telinga yang mendengar, dan tidak ada mata yang melihat seorang allah yang bertindak bagi orang yang menanti-nantikan dia; hanya Engkau yang berbuat demikian.” (Yer 64:4)
 3. “Aku akan membinasakan hikmat orang-orang berhikmat dan kearifan orang-orang bijak akan Kulenyapkan.” (1 Kor 1:19)  “…. Aku akan melakukan pula hal-hal yang ajaib kepada bangsa ini, keajaiban yang menakjubkan; hikmat orang-orangnya yang berhikmat akan hilang, dan kearifan orang-orangnya yang arif akan bersembunyi.” (Yes 29:14)
 4. “Manusia pertama, Adam menjadi makhluk yang hidup”, tetapi Adam yang akhir menjadi roh yang menghidupkan. (1 Kor 15:45) “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” (Kej 2:7)
 5. Dan sesudah yang dapat binasa ini mengenakan yang tidak dapat binasa dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat mati, maka akan genaplah firman Tuhan… : “Maut telah ditelan dalam kemenangan.” (1 Kor 15:54) “Ia akan meniadakan maut untuk seterusnya; dan Tuhan ALLAH akan menghapuskan air mata dari pada segala muka; dan aib umat-Nya akan dijauhkan-Nya dari seluruh bumi, sebab TUHAN telah mengatakannya.” (Yes 25:8)
 6. “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” (1 Ptr 1:16) “Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus, ….; jadilah kudus, sebab Aku ini kudus.” (Im 11:44-45)
 7. Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!” (Gal 3:13) “…maka janganlah mayatnya dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, tetapi haruslah engkau menguburkan dia pada hari itu juga, sebab seorang yang digantung terkutuk oleh Allah; janganlah engkau menajiskan tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu.” (Ul 21:23)
 8. “Sungguh, Aku datang; dalam gulungan kitab ada tertulis tentang Aku untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku.” (Ibr 10:7) Lalu aku berkata: “Sungguh, aku datang; dalam gulungan kitab ada tertulis tentang aku; aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku.” (Mzm 40:8-9)
 9. “Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah” (Luk 2:23) Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Kuduskanlah bagi-Ku semua anak sulung, semua yang lahir terdahulu dari kandungan pada orang Israel, baik pada manusia maupun pada hewan; Akulah yang empunya mereka.” (Kel 13:1-2)
10. “Ada suara yang berseru-seru di padang gurun: “Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya.” (Luk 3:4) Ada suara yang berseru-seru: “Persiapkanlah di padang gurun jalan untuk TUHAN, luruskanlah di padang belantara jalan raya bagi Allah kita! Setiap lembah harus ditutup, dan setiap gunung dan bukit diratakan; tanah yang berbukit-bukit harus menjadi tanah yang rata, dan tanah yang berlekuk-lekuk menjadi dataran…” (Yes 40:3-4)
11. Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Luk 4:8) “Engkau harus takut akan TUHAN, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah.” (Ul 6:13)
12. “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.” (Luk 19:46) “sebab rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa.” (Yes 56:7) “Sudahkah menjadi sarang penyamun di matamu rumah yang atasnya nama-Ku diserukan ini?” (Yer 7:11)

Contoh di atas itu hanya sebagian saja dari ayat- ayat Perjanjian Baru (dari sebagian surat- surat Rasul dan Injil Lukas saja) yang menyatakan ayat acuan di Perjanjian Lama, (yang bukan dari kitab-kitab Deuterokanonika) namun tidak sama persis bunyinya. Jika referensi ayat- ayat kitab PL yang diacu dengan tidak sama persis ini diakui sebagai otentik, maka seharusnya dapat diterima bahwa  kitab-kitab Deuterokanonika yang juga mengandung ayat-ayat acuan juga adalah otentik; sebab yang terpenting adalah kitab- kitab tersebut mengandung ajaran yang tidak terlepas dari penjelasan dan penggenapannya di dalam Kitab Perjanjian Baru.

5. Apokrifa (kitab-kitab Deuterokanonika) ditolak karena dalam perpustakaan Qumran ke 39 kitab PL ditaruh di rak khusus, berbeda dengan tulisan-tulisan apokrifa?

Mayoritas para ahli Kitab Suci memperkirakan bahwa naskah Qumran itu ditulis oleh sebuah (atau beberapa) sekte agama Yahudi, banyak yang memperkirakan dari kaum Essenes. Kaum Essenes ini bukan umat Kristen. Maka tak mengherankan jika mereka tidak menempatkan kitab-kitab Deuterokanonika (kadang disebut apokrifa) sejajar dengan Kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya, mengingat beberapa nubuatan dalam kitab-kitab Deuterokanonika jelas mengacu kepada Kristus, sedangkan mereka ini tidak percaya kepada Kristus. Dengan demikian pembedaan yang terjadi di perpustakaan Qumran tidak berpengaruh apa- apa terhadap fakta bahwa sesungguhnya kitab- kitab Deuterokanonika itu ada dan menjadi kesatuan dengan kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya. Hanya karena tulisan-tulisan kitab Deuterokanonika banyak yang secara langsung mengacu kepada Kristus, maka mereka tidak menerimanya.

6. St. Athanasius, St. Sirilius dari Yerusalem, Origen dan St. Hieronimus tidak menerima Deuterokanonika?

Ada sebagian umat Kristen non-Katolik yang memberikan argumentasi bahwa St. Athanasius, St. Sirilius dari Yerusalem, Origen, dan St. Hieronimus menolak kitab-kitab deuterokanonika – yang terdiri dari: Tobit, Yudit, Tambahan Ester, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Baruk, Tambahan Daniel, 1 dan 2 Makabe. Sebenarnya, kalau yang mengajukan keberatan akan keberadaan kitab Deuterokanonika berdasarkan keberatan para Bapa Gereja, maka mereka juga harus menerima bahwa apa yang dikatakan oleh para Bapa Gereja juga ada yang menerima sebagian dari kitab Deuterokanonika. Berikut ini adalah tanggapan kami yang kami sarikan dari link ini, silakan klik.

a. St. Athanasius

St. Athanasius memberikan daftar dari kitab Perjanjian Lama di Letters, 39. Daftar yang diberikan oleh St. Athanasius dalam bukunya tersebut adalah:

There are, then, of the Old Testament, twenty-two books in number; for, as I have heard, it is handed down that this is the number of the letters among the Hebrews; their respective order and names being as follows. The first is Genesis, then Exodus, next Leviticus, after that Numbers, and then Deuteronomy. Following these there is Joshua, the son of Nun, then Judges, then Ruth. And again, after these four books of Kings, the first and second being reckoned as one book, and so likewise the third and fourth as one book. And again, the first and second of the Chronicles are reckoned as one book. Again Ezra, the first and second are similarly one book. After these there is the book of Psalms, then the Proverbs, next Ecclesiastes, and the Song of Songs. Job follows, then the Prophets, the twelve being reckoned as one book. Then Isaiah, one book, then Jeremiah with Baruch, Lamentations, and the epistle, one book; afterwards, Ezekiel and Daniel, each one book. Thus far constitutes the Old Testament.

Kalau seseorang berargumentasi bahwa St. Athanasius tidak menyertakan kitab Deuterokanonika, maka ia juga selayaknya menerima bahwa St. Athanasius menerima kitab Barukh (Baruch) sebagai bagian dari Kitab Suci Perjanjian Lama. Jangan lupa, bahwa St. Athanasius juga tidak menyertakan Kitab Ester yang dipandang sebagai kanonikal oleh Kristen non-Katolik. St. Athanasius juga tidak menuliskan apa-apa tentang 1 dan 2 Makabe. Dengan demikian, argumentasi bahwa PL seharusnya tidak menyertakan kitab-kitab deuterokanonical karena St. Athanasius tidak menyertakannya dalam tulisannya tidaklah mempunyai dasar yang kuat.

b. St. Sirilius dari Yerusalem

Dalam pengajaran katekese, dia menuliskan demikian:

“35. Of these read the two and twenty books, but have nothing to do with the apocryphal writings. Study earnestly these only which we read openly in the Church. Far wiser and more pious than thyself were the Apostles, and the bishops of old time, the presidents of the Church who handed down these books. Being therefore a child of the Church, trench[6] thou not upon its statutes. And of the Old Testament, as we have said, study the two and twenty books, which, if thou art desirous of learning, strive to remember by name, as I recite them. For of the Law the books of Moses are the first five, Genesis, Exodus, Leviticus, Numbers, Deuteronomy. And next, Joshua the son of Nave[7], and the book of Judges, including Ruth, counted as seventh. And of the other historical books, the first and second books of the Kings[8] are among the Hebrews one book; also the third and fourth one book. And in like manner, the first and second of Chronicles are with them one book; and the first and second of Esdras are counted one. Esther is the twelfth book; and these are the Historical writings. But those which are written in verses are five, Job, and the book of Psalms, and Proverbs, and Ecclesiastes, and the Song of Songs, which is the seventeenth book. And after these come the five Prophetic books: of the Twelve Prophets one book, of Isaiah one, of Jeremiah one, including Baruch and Lamentations and the Epistle[9]; then Ezekiel, and the Book of Daniel, the twenty-second of the Old Testament.” (Cyril of Jerusalem, Catechetical Lectures, Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series, Volume 7, Lecture 4:35, p. 25.)

Dari tulisan tersebut, kita juga melihat bahwa Kitab Barukh yang menjadi bagian dari kitab- kitab Deuterokanonika dimasukkan di dalam daftar PL oleh St. Sirilius. Bahkan dalam beberapa tulisannya untuk menjelaskan tentang Roh Kudus dan kebangkitan dan kenaikan Tuhan Yesus, St. Sirilius mengutip dari kitab-kitab Deuterokanonika, yaitu dari Kitab Daniel 13,14 (yaitu kisah Bel dan naga, dan Susana).

c. Origen:

Origen menuliskan demikian:

It should be stated that the canonical books, as the Hebrews have handed them down, are twenty-two; corresponding with the number of their letters.’ Farther on he says: ‘The twenty-two books of the Hebrews are the following: That which is called by us Genesis, but by the Hebrews, from the beginning of the book, Bresith, which means, ‘In the beginning’; Exodus, Welesmoth, that is, ‘These are the names’; Leviticus, Wikra, ‘And he called’; Numbers, Ammesphekodeim; Deuteronomy, Eleaddebareim, ‘ These are the words’; Jesus, the son of Nave, Josoue ben Noun; Judges and Ruth, among them in one book, Saphateim; the First and Second of Kings, among them one, Samouel, that is, ‘The called of God’; the Third and Fourth of Kings in one, Wammelch David, that is, ‘The kingdom of David’; of the Chronicles, the First and Second in one, Dabreiamein, that is, ‘Records of days’; Esdras, First and Second in one, Ezra, that is, ‘An assistant’; the book of Psalms, Spharthelleim; the Proverbs of Solomon, Me-loth; Ecclesiastes, Koelth; the Song of Songs (not, as some suppose, Songs of Songs), Sir Hassirim; Isaiah, Jessia; Jeremiah, with Lamentations and the epistle in one, Jeremia [Baruch 6]; Daniel, Daniel; Ezekiel, Jezekiel; Job, Job; Esther, Esther. And besides these there are the Maccabees, which are entitled Sarbeth Sabanaiel.” (Origen, Canon of the Hebrews, Fragment in Eusebius’ Church History,6:25[A.D. 244],in NPNF2,I:272)

Dalam tulisan Origen yang dikutip oleh Eusebius, maka kita dapat melihat bahwa Origen juga memasukkan Barukh dan 1 dan 2 Makabe ke dalam daftar Kitab Suci PL. Dalam tulisannya kepada Afrikanus, dia mempertahankan keotentikan dari kisah Susana dan juga nyanyian tiga  anak dalam kitab Daniel yang termasuk dalam kitab-kitab Deuterokanonika (lih. Origen,To Africanus, 5 (ante A.D. 254), in ANF,IV:386)

d. St. Hieronimus:

Memang dari antara semua Bapa Gereja, nampaknya St. Hieronimus-lah yang paling menentang kanonisitas kitab- kitab Deuterokanonika:

“These instances have been just touched upon by me (the limits of a letter forbid a more discursive treatment of them) to convince you that in the holy scriptures you can make no progress unless you have a guide to shew you the way…Genesis … Exodus … Leviticus … Numbers … Deuteronomy … Job … Jesus the son of Nave … Judges … Ruth … Samuel … The third and fourth books of Kings … The twelve prophets whose writings are compressed within the narrow limits of a single volume: Hosea … Joel … Amos … Obadiah … Jonah … Micah … Nahum … Habakkuk … Zephaniah … Haggai … Zechariah … Malachi … Isaiah, Jeremiah, Ezekiel, and Daniel … Jeremiah also goes four times through the alphabet in different metres (Lamentations)… David…sings of Christ to his lyre; and on a psaltry with ten strings (Psalms) … Solomon, a lover of peace and of the Lord, corrects morals, teaches nature (Proverbs and Ecclesiastes), unites Christ and the church, and sings a sweet marriage song to celebrate that holy bridal (Song of Songs) … Esther … Ezra and Nehemiah. (Philip Schaff and Henry Wace, Nicene and Post Nicene Fathers (Grand Rapids: Eerdmans, 1953, Volume VI, 6-8, pp. 98-101).

As, then, the Church reads Judith, Tobit, and the books of Maccabees, but does not admit them among the canonical Scriptures, so let it also read these two volumes (Wisdom of Solomon and Ecclesiasticus) for the edification of the people, not to give authority to doctrines of the Church…I say this to show you how hard it is to master the book of Daniel, which in Hebrew contains neither the history of Susanna, nor the hymn of the three youths, nor the fables of Bel and the Dragon… (Ibid., Volume VI, Jerome, Prefaces to Jerome’s Works, Proverbs, Ecclesiastes and the Song of Songs; Daniel, pp. 492-493).

Namun demikian, faktanya, St. Hieronimus tetap mengutip kitab-kitab Deuterokanonika dalam tulisan- tulisannya (sedikitnya 55 kali) dan menyebutnya tetap sebagai Kitab Suci sehingga ia sesungguhnya tetap menanggapnya sejajar dengan kitab- kitab lainnya, hanya saja ia tidak membacakan kitab-kitab Deuterokanonika itu di dalam Liturgi, sebagaimana yang dilakukan oleh Bapa Gereja lainnya:

Contohnya, St. Hieronimus menulis demikian:

Does not the Scripture say: ‘Burden not thyself above thy power’/ Bukankah Kitab Suci berkata, “Jangan mengangkat beban yang terlalu berat…” (Sir 13:2) (St. Jerome, To Eustochium, Epistle 108 (A.D. 404), in NPNF2, VI:207)

Do not, my dearest brother, estimate my worth by the number of my years. Gray hairs are not wisdom; it is wisdom which is as good as gray hairs At least that is what Solomon says: “wisdom is the gray hair unto men. [Wisdom 4:9]” Moses too in choosing the seventy elders is told to take those whom he knows to be elders indeed, and to select them not for their years but for their discretion (Num. 11:16)? And, as a boy, Daniel judges old men and in the flower of youth condemns the incontinence of age (Daniel 13:55-59, or Story of Susannah 55-59, only found in the Catholic Bibles) Jerome, To Paulinus, Epistle 58 (A.D. 395), in NPNF2, VI:119)

Di sini St. Hieronimus mensejajarkan ajaran dari kitab Kebijaksanaan dengan ajaran Nabi Musa; dan mengacu kepada kitab Daniel, yaitu kisah Susana yang dianggap sebagai kitab Deuterokanonika.

Referensi kepada kitab- kitab Deuterokanonika juga kita ketahui dalam contoh beberapa pengajarannya ini:

1. St. Hieronimus memberikan tujuh bukti tentang apa artinya sebagai ‘gambaran Allah’, ia mengambil satu dari tujuh bukti itu dari Kitab Kebijaksanaan (lih. Keb 2:23). (St.Jerome, Letter 51, 6, 7, NPNF2, VI:87-8).

2. Menjawab ajaran sesat Pelagianisme, St. Hieronimus mengacu kepada wejangan dalam Kitab Sirakh (Sir 3:21) (St. Jerome, “Against the Pelagians, NPNF2, VI:464-5)

3. Ia megajarkan teladan iman dan belas kasih Tuhan, dengan mengacu kepada iman ketiga anak (Sadrakh, Mesakh dan Abednego) sambil mengacu kepada ayat- ayatnya di bagian kitab Daniel yang termasuk kitab Deuterokanonika; dan juga kepada iman Susana (Dan 13:45) (St. Jerome, Letter 1:9, NPNF2, VI:2)

4. Dalam mengajarkan tentang bagaimana Roh Kudus dapat bekerja atas orang yang masih muda, St. Hieronimus mengacu juga kepada kitab Daniel (Dan 13:55-63) (St. Jerome, to Heliodorus, Letter 14:9, 374 AD, NPNF2, VI:17).

5. Dalam menceritakan gambaran Gereja yang menumpas kepala Iblis, St. Hieronimus mengutip kisah dalam Kitab Yudit (lih. Yud 13:8 ) (St.Jerome, to Salvina, Letter 79:10, 400 AD, NPNF2, VI:168.)

Namun yang juga perlu diperhatikan perkataan dari St. Hieronimus berikut ini, yang menunjukkan bahwa pada akhirnya ia mengikuti keputusan Gereja, yang melalui Paus Damasus I menetapkan kanon Kitab Suci di tahun 382:

“What sin have I committed if I followed the judgment of the churches? But he who brings charges against me for relating the objections the Hebrews are wont to raise against the story of Susanna [Dan 13], the Son of the three Children [Dan 3:29-90], and the story of Bel and the Dragon [Dan 14], which are not found in the Hebrew volume, proves that he is just a foolish sycophant. For I wasn’t relating my own personal views, but rather the remarks that they are wont to make against us.” (St. Jerome, Against Rufinus 11, 33 (402 AD)

Nyatanya, St. Jerome memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika ini ke dalam terjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa Latin yang dibuatnya, yang terkenal dengan nama Vulgate/ Vulgata. Di sini terlihat bahwa ia adalah seorang yang rendah hati dan tidak berkeras kepada penilaiannya sendiri tentang kanon Kitab Suci.

Pada akhirnya mungkin baik kita membaca pernyataan seorang ahli patristik terkemuka dari gereja non- Katolik yang bernama J.N.D Kelly, yang mengakui bahwa sejak abad ke-1 dan 2, kitab- kitab Deuterokanonika sudah diterima Gereja sebagai bagian dari Kitab Suci:

It should be observed that the Old Testament thus admitted as authoritative in the Church was somewhat bulkier and more comprehensive than the [Protestant Old Testament] . . . It always included, though with varying degrees of recognition, the so-called Apocrypha or deuterocanonical books. The reason for this is that the Old Testament which passed in the first instance into the hands of Christians was . . . the Greek translation known as the Septuagint. . . . most of the Scriptural quotations found in the New Testament are based upon it rather than the Hebrew.. . . In the first two centuries . . . the Church seems to have accept all, or most of, these additional books as inspired and to have treated them without question as Scripture.” (Early Christian Doctrines, pp. 53-54)

Dengan demikian, orang yang dengan tulus dan secara obyektif mempelajari tulisan para Bapa Gereja sesungguhnya dapat mengetahui, bahwa keberadaan kitab-kitab Deuterokanonika itu tidak terpisahkan dari kitab-kitab Perjanjian Lama, dan sudah diterima Gereja sejak awal, dan bukan baru saja ditambahkan kemudian di abad- abad berikutnya.

7. Penyusun Kitab-kitab Deuterokanonika

Tidak semua penulis kitab-kitab dalam Kitab Suci diketahui secara jelas nama pengarangnya. Namun, dalam kitab-kitab Perjanjian Lama itu sendiri ada banyak kitab yang tidak diketahui siapa nama penyusunnya (seperti kitab Hakim-hakim, Ruth, 1&2 Raja-raja, 1&2 Samuel, 1&2 Tawarikh, Esther). Namun demikian, apa yang tertulis di Kitab-kitab Deuterokanonika telah menjadi bagian dari ajaran iman bangsa Yahudi, yang kemudian dilestarikan sampai ke zaman Tuhan Yesus dan para Rasul, dan kemudian dalam kesatuan dengan penggenapannya dalam kitab-kitab Perjanjian Baru, diturunkan seluruhnya kepada Gereja dan oleh Gereja.

Demikian sekilas tentang penulis ataupun masa penulisan kitab-kitab dalam kitab Deuterokanonika (Disarikan dari sumber: A Catholic Commentary on Holy Scripture, Dom Orchard, OSB)

a. Kitab Tobit:

Kitab Tobit adalah kitab historis antara Nehemia dan sebelum Yudit. Kitab ini ditulis sekitar abad ke-2 sebelum Masehi (sekitar 170-250 BC) setelah zaman Assyrian. Kemungkinan ditulis dalam bahasa Aram.
Jika kita berpegang kepada Tob 12:20, maka penyusun kitab ini adalah Tobit dan Tobias, yang arti namanya mempunyai kemiripan; yaitu “Yahweh adalah kebaikanku”, atau “Kebaikanku adalah Yahweh.” Dari kedua orang inilah kisah di kitab Tobit dituliskan, kemudian diturunkan secara lisan dan dituliskan atas inspirasi Roh Kudus oleh penulis aktual Kitab tersebut. Namun kita tidak mengetahui nama dari penulis aktual kitab Tobit ini.

b. Kitab Yudit:

Kitab Yudit ditulis dalam bahasa Ibrani, oleh seorang Yahudi Palestina. Kitab Yudit mengisahkan keadaan bangsa Israel di zaman kejayaan Assyrian di kawasan Timur. Namun dari gaya bahasa yang dipergunakan, diketahui bahwa kitab Yudit ini ditulis dalam era yang kemudian dari masa kejadian-kejadian yang tertulis di Kitab tersebut, sebab disebutkan tentang kematian Yudit dan keturunan Akhior (Yud 14:6; 16:30).

c. Kitab Kebijaksanaan Salomo:

Menurut St. Hieronimus dan St. Agustinus ini (lih. City of God, XVII. 20,1), kitab ini aslinya ditulis dalam bahasa Yunani, sehingga walaupun ditulis dengan mengambil nama Salomo sebagai judulnya dan mengacu kepada kisah Salomo (lih. Keb 9:7-8,12), namun kitab ini tidak ditulis sendiri oleh Raja Salomo. Dari gaya bahasanya, dapat disimpulkan kitab ini ditulis oleh seorang Yahudi Aleksandria. Masa penulisan kitab ini adalah di awal abad 2 sebelum Masehi.

d. Kitab Sirakh:

Kitab ini terletak antara kitab Kebijaksanaan Salomo dan Kitab Yesaya. Menurut bukti dari teks Ibrani, awal kitab tersebut berjudul kitab Kebijaksanaan- Bin Sirakh. Dari teks Sir 50:27, diketahui bahwa penulisnya adalah Yesus bin Sirakh bin Eleazar. Ia hidup di awal abad ke-2 sebelum Masehi; kemungkinan sekitar tahun 180. Ia menulis sebelum masa Raja Antiokhus IV Epifanes dan revolusi Makabe.

e. Kitab Barukh:

Kitab ini berhubungan erat dengan kitab Yeremia. Di banyak Kitab Suci, kitab ini ditempatkan setelah Kitab Yeremia, sebelum kitab Yehezkiel. Kitab ini disusun oleh Barukh (artinya: “terberkati”), bin Neria bin Mahseya (Yer 32:12), dari keluarga terhormat. Saudaranya, Seraya bin Neria bin Mahseya, bekerja sebagai pejabat raja Zedekia (Yer 51:59). Barukh adalah sekretaris Nabi Yeremia (604 BC) (lih. Yer 36:4). Ia membantu Nabi Yeremia membeli sebidang ladang di Anathoth (Yer 32:12-). Barukh adalah seorang yang berkarakter kuat (lih.Yer 43:3) tetapi nampaknya tidak sekuat gurunya Nabi Yeremia, terhadap penderitaan akibat kejatuhan Yerusalem (Yer 45:3).

f & g. Kitab 1 dan 2 Makabe:

Menurut sejarah, Kitab Yudas Makabe mulai ditulis setelah kematian Simon Makabe (saudara kandung Yudas Makabe) pada tahun 134 BC, atau setelah kematian pengganti Simon Makabe, yaitu Yohanes Hyrkanus pada tahun 104 BC. Hal ini didasari bahwa kitab Makabe menceriterakan hal-hal yang baik tentang bangsa Romawi (lihat 1 Mak 8:1-32 yang membicarakan persahabatan Yudas Makabe dengan orang-orang Roma), sehingga diperkirakan kitab Makabe selesai ditulis sebelum tahun 63 BC, yaitu sebelum Pompey the Great, seorang pemimpin militer Romawi menimbulkan kemarahan bangsa Yahudi karena ia  menaklukkan Yerusalem dengan mengobrak-abrik Bait Allah dan memasuki ruangan Maha Kudus yang sesungguhnya hanya dapat dimasuki oleh imam agung. Dengan demikian, kitab Makabe diperkirakan selesai di pertengahan abad ke-2 sebelum Masehi, mengingat bahwa Kitab ini sudah termasuk dalam Septuaginta (terjemahan kitab-kitab PL dalam bahasa Yunani) yang disusun antara abad 3 sampai 2 sebelum Masehi. Para ahli sejarah memandang tidak masuk akal jika kitab ini ditulis sesudahnya, karena jika demikian, bangsa Roma pasti akan digambarkan sebagai musuh bangsa Yahudi dan bukannya sahabat, seperti yang tertulis dalam 1 Mak 8:1-16. Kitab 2 Makabe diperkirakan ditulis antara 124 BC sampai sekitar 25 tahun sebelum kitab 1 Makabe.

Baik kitab 1 Makabe maupun 2 Makabe ditulis oleh  kedua pengarang yang berbeda, yang tak dikenal namanya, namun dari tulisan tersebut diketahui bahwa pengarangnya adalah seorang Yahudi Palestina, yang sangat paham dengan keadaan geografi dan budaya Yahudi di abad ke-2/ 3 sebelum Masehi. Kitab ini yang sampai kepada kita ditulis dalam bahasa Yunani, namun aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani, dan teks Ibrani kitab ini masih dikenal oleh Origen (abad 2) dan St. Jerome (abad 4), namun hanya terjemahan Yunani-nya saja yang ’survive’. Hal ini tidak mengherankan, karena di abad-abad pertama terjadi banyak pergolakan yang menekan bangsa Yahudi, sehingga mereka terpencar ke negara tetangga dan seluruh dunia. Oleh karena itu, kitab suci mereka juga kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa asing tempat di mana orang-orang Yahudi bermukim.

h. Tambahan Kitab Esther

Teks Ibrani dari Kitab Esther ditulis sekitar tahun 400 BC. Tambahan dalam bahasa Yunani dalam bentuk finalnya berasal dari zaman setelah kitab Makabe sekitar tahun 125 BC. Nama penulisnya tidak diketahui.

Banyak Bapa Gereja yang mengakui keseluruhan kitab Esther sebagai Kitab Suci, seperti yang kita ketahui dari tulisan St. Klemens dari Roma (abad ke- 1, 1 ad Cor, ch. 55, PG I, 32), St. Klemens dari Aleksandria, (abad ke- 2, Strom. 4, 19, PG 8, 1328 f.) dan Origen (abad ke-3, De Oratione, 14, PG 11, 452; Hom. 27 in Num., PG 12, 780), yang memasukkan perikop versi Yunani (yang tidak termasuk dalam kanon Ibrani).

i. Tambahan Kitab Daniel

Kitab ini ditulis mengisahkan pembuangan bangsa Israel di Babilon, 587-537 BC.  Tradisi Katolik mengakui bahwa Daniel adalah pengarang asli kitab ini. Namun sejumlah ahli Kitab Suci beranggapan akan adanya kemungkinan dua tahap penyusunan kitab ini. Sebagian besar kitab ditulis di sekitar abad ke-6 BC dalam bahasa Ibrani, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Aram di zaman Palestina, namun redaksi akhir diselesaikan di sekitar abad ke-3 sebelum Masehi di zaman Makabe. Versi Yunani dari kitab Daniel dan kitab suci Vulgata memiliki bagian yang tidak terdapat dalam teks Ibrani-Aram. Bagian ini adalah: doa Azaria (3:24-45); lagu ketiga anak-anak (3:46-90); kisah Susana (bab 13); kisah Bel dan Naga (bab 14). Secara umum, para ahli Kitab Suci Katolik beranggapan bahwa bagian-bagian ini aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani-Aram, pada zaman Daniel. Kemudian semua kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Sementara pada suatu saat, ketika redaksi kitab itu dibuat, bagian-bagian asli ini hilang, atau karena alasan lain, tidak sampai kepada pihak redaksi. Karena itu, diperoleh versi kitab Daniel yang lebih ringkas. Namun para penerjemah Yunani memperoleh teks yang lebih lengkap sehingga  dalam versi Yunani diperoleh keseluruhan isi kitab Daniel, yang tidak perlu diragukan lagi kanonisitasnya.

Tulisan St. Yustinus Martir tentang Ekaristi

6

St. Yustinus Martir adalah seorang Bapa Gereja di abad awal yang menulis tentang pengajaran iman Kristiani. Ia adalah seorang filsuf Kristen dan seorang apologist, kelahiran Flavia Neapolis yang wafat 165 AD sebagai martir di Roma. Tidak dikatakan siapakah gurunya, namun karena dikatakan bahwa setelah pertobatannya menjadi Kristen ia mengajar di Efesus sampai tahun 135, maka diperkirakan ia mempelajari tentang iman Kristen di sana, kemungkinan dari para murid Rasul Yohanes yang hidup di Efesus. Buku St. Yustinus yang terkenal antara lain adalah First Apology, yang di dalamnya memuat ajaran tentang Ekaristi dan liturgi. Dalam bab 61-67 St. Yustinus menuliskan secara ringkas tentang tata cara penyembahan Kristiani. Ia memulai dengan liturgi Baptisan yang disebutnya dengan “Penerangan” (illumination). Pada bab 65-66, ia menuliskan tentang Ekaristi demikian:

Tetapi kami, setelah kami membaptisnya, yaitu ia yang telah menjadi percaya dan taat kepada ajaran kami, kami membawanya ke tempat dimana mereka yang disebut jemaat dikumpulkan, supaya kami bersama dapat mempersembahkan doa- doa khusuk untuk kami maupun untuk mereka yang dibaptis, dan semua orang di mana- mana, supaya kami dianggap layak; sekarang bahwa kami telah belajar tentang kebenaran, dengan perbuatan- perbuatan kami menjadi para warga yang baik dan pelaksana perintah- perintah Tuhan, supaya kami dapat diselamatkan dengan keselamatan kekal. Setelah doa- doa tersebut selesai, kami menghormati satu dengan yang lainnya… Lalu, dibawalah kepada pemimpin jemaat, roti dan piala anggur yang dicampur dengan air; dan ia mengambil itu, memberi pujian dan kemuliaan kepada Bapa alam semesta, melalui nama Allah Putera dan Roh Kudus, dan mempersembahkan ucapan syukur yang cukup panjang karena kami dianggap layak untuk menerima semua ini dari tangan-Nya. Dan ketika ia [pemimpin jemaat] telah selesai dengan doa dan ucapan syukur, semua orang yang hadir mengucapkan persetujuan mereka dengan mengatakan, Amin. Perkataan Amin adalah jawaban di dalam bahasa Ibrani yang artinya, “terjadilah demikian”. Dan ketika pemimpin telah mengucapkan terima kasih, dan semua orang telah menyatakan persetujuan mereka, mereka yang kami panggil “diakon” memberikan kepada semua yang hadir untuk dapat mengambil bagian roti dan anggur yang dicampur dengan air….

Dan makanan ini kami kenal dengan sebutan Ekaristi, dan tak seorangpun boleh mengambil bagian di dalamnya, selain ia yang percaya bahwa hal- hal yang kami ajarkan adalah benar dan ia yang telah dibaptis untuk penghapusan dosa- dosa, dan untuk kelahiran kembali, dan ia yang hidup sesuai dengan ajaran Kristus. Sebab bukanlah seperti roti dan minuman biasalah yang kami terima, tetapi, seperti Yesus Kristus Penyelamat kita, yang telah menjelma menjadi daging oleh Sabda Allah, mempunyai daging dan darah untuk penyelamatan kita, demikianlah juga, kami diajarkan bahwa makanan yang telah diberkati oleh doa dari Sabda-Nya dan daripada perubahannya (transmutation) tubuh dan darah kita dikuatkan, adalah daging/tubuh dan darah Yesus yang telah menjelma menjadi daging. Sebab para rasul, dalam ajaran-ajaran Yesus yang mereka susun yang disebut Injil, telah menurunkan kepada kita apa yang telah diajarkan kepada mereka; yaitu bahwa Yesus mengambil roti, dan ketika Ia telah mengucap syukur, berkata, “Lakukanlah ini sebagai peringatan akan Daku, inilah Tubuh-Ku: Dan lalu dengan cara yang sama, setelah mengambil piala dan mengucap syukur, Ia berkata, “Inilah Darah-Ku”, dan memberikannya kepada mereka….

Lalu St. Yustinus menyimpulkan tentang tata cara penyembahan Kristiani dengan menyebutkan secara khusus tentang pengudusan hari Minggu sebagai Hari Tuhan dengan Misa Kudus (bab 67):

Dan pada hari yang disebut Minggu, semua yang hidup di kota maupun di desa berkumpul bersama di satu tempat, dan ajaran-ajaran para rasul atau tulisan- tulisan dari para nabi dibacakan, sepanjang waktu mengijinkan; lalu ketika pembaca telah berhenti, pemimpin ibadah mengucapkan kata- kata pengajaran dan mendorong agar dilakukannya hal- hal yang baik tersebut. Lalu kami semua berdiri dan berdoa, dan seperti dikatakan sebelumnya, ketika doa selesai, roti dan anggur dan air dibawa, dan pemimpin selanjutnya mempersembahkan doa- doa dan ucapan syukur… dan umat menyetujuinya, dengan mengatakan Amin, dan lalu diadakan pembagian kepada masing- masing umat, dan partisipasi atas apa yang tadi telah diberkati, dan kepada mereka yang tidak hadir, bagiannya akan diberikan oleh diakon. Dan mereka yang mampu dan berkehendak, memberikan (persembahan) yang dianggap layak menurut kemampuan mereka, dan apa yang dikumpulkan oleh pemimpin, ditujukan untuk menolong para yatim piatu dan para janda dan mereka yang, karena sakit maupun sebab lainnya, hidup berkekurangan, dan mereka yang ada dalam penjara dan orang asing di antara kami, pendeknya, ia (pemimpin) mengatur [pertolongan bagi] semua yang berkekurangan. Tetapi hari Minggu adalah hari di mana kami mengadakan ibadah bersama, sebab hari itu adalah hari yang pertama, yaitu pada saat Tuhan, setelah mengadakan pengubahan dalam kegelapan dan matter, telah menciptakan dunia; dan Yesus Kristus Penyelamat kita pada hari yang sama telah bangkit dari mati. Sebab Ia telah disalibkan pada hari sebelum hari Saturnus (Sabtu); dan pada hari setelah hari Saturnus, yaitu hari Minggu, setelah menampakkan diri kepada para rasul dan murid-Nya, Ia mengajarkan kepada mereka hal- hal ini…..”

Maka kita mengetahui St. Yustinus di awal abad ke- 2 sudah mengajarkan tata perayaan Ekaristi seperti yang diadakan oleh Gereja Katolik sekarang ini, walaupun memang dalam tulisannya tidak disebutkan teks ibadahnya ataupun lagu- lagunya secara rinci. Namun dalam tulisannya ini sudah tertulis adanya pembagian liturgi Sabda, dimana dibacakan ajaran para nabi dan para rasul dan liturgi Ekaristi. Sedangkan teks liturginya sendiri mengalami masa perkembangan sampai terjadi teks yang baku seperti sekarang ini, namun teks ini tidak menyalahi apa yang sudah diajarkan oleh para Bapa Gereja sejak abad- abad awal. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa cara ibadah yang dilakukan oleh Gereja Katolik sekarang ini memang berasal dari jaman para rasul dan jemaat perdana. Berbahagialah kita yang tetap dengan teguh berpegang kepada cara ibadah ini seperti yang dikehendaki oleh Yesus sendiri, dan yang telah diturunkan dengan setia oleh para rasul dan para penerus mereka.

Tentang Kitab Kidung Agung

1

Ada banyak umat Katolik sering bingung dalam menafsirkan kitab Kidung Agung. Komentar dalam buku A Catholic Commentary on Holy Scripture, gen ed. Dom B. Orchard, O.S.B. p. 496- 498 tentang kitab Kidung Agung dapat membantu kita untuk lebih mengerti kitab yang begitu puitis dan penuh makna.

Kitab Kidung Agung selalu dikenali sebagai kitab yang diinspirasikan oleh Roh Kudus, sehingga termasuk dalam kanon Kitab Suci. Kitab ini termasuk dalam Kitab-kitab puitis.

Kitab ini berisi kidung kasih antara dua orang gembala muda, yang saling memuja keelokan satu sama lain dan keinginan mereka untuk kesatuan yang tidak terceraikan.

Kitab ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian, sebagai berikut:

1. 1:1- 2:7; Mempelai perempuan merindukan kekasihnya. Kedua mempelai saling memuja, saling bertemu.

2. 2:8-3:5; Mempelai perempuan diundang ke padang rumput, di sore hari mereka kembali ke rumah; mempelai perempuan gelisah sampai ia bertemu lagi dengan mempelai laki-laki.

3. 3:6-5:1; Kemegahan pawai kerajaan; mempelai laki-laki terpesona akan ke-elokan mempelai perempuan-nya dan ia bersuka cita karenanya.

4. 5:2- 6:2; Ketika mempelai perempuan itu berada di tempat tidur, mempelai laki-laki datang tanpa diduga; namun kemudian sang mempelai laki-laki menghilang; mempelai perempuan itu keluar untuk mencarinya; penjabaran tentang mempelai laki-laki; suka cita atas persatuan mereka.

5. 6:3- 8:4; Kekaguman mempelai laki-laki atas kecantikan mempelai perempuannya; keduanya saling memuji; mempelai perempuan menyatakan keterikatannya yang tak tergoyahkan terhadap mempelai laki-laki.

6. 8:5-7; Kedua kekasih itu bersatu tak terpisahkan

7. 8:8-14; Penutup.

Interpretasi Kitab Kidung Agung:
Pandangan dari para penafsir Alkitab non-Katolik adalah menafsirkan kitab ini sebagai puisi erotik, untuk meninggikan keutamaan monogami dan kesetiaan perkawinan. Namun para Bapa Gereja begitu yakin akan makna spiritual dari kitab ini sehingga mereka tidak mementingkan arti literalnya. Bukti yang mereka gunakan adalah adanya banyak ayat-ayat dalam PL yang menggambarkan hubungan Allah dan bangsa Israel sebagai hubungan suami dengan istri. Allah telah memilih Israel sebagai Pasangan-Nya, mendandaninya dengan emas dan perak, pakaian yang indah dan membuatnya terkenal di antara bangsa-bangsa (Yeh 16:3-14; lih. Yes 54:6 dst; 62:4-dst; Yer 2:2, Hos 2:19).

Terdapat beberapa jenis cara menginterpretasikan ayat- ayat Alkitab, dan jika dikaitkan dengan kitab Kidung Agung ini, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Typical Interpretation: jika ingin menginterpretasikan secara literal; namun kelihatannya ini tidak ada basisnya.  Karena tipe ini menghubungkan teks dengan fakta sejarah/ orang tertentu. Kebanyakan kejadian ini dikaitkan dengan perkawinan Raja Salomo dengan anak Pharaoh (1 Raj 3:1). Namun ini tidak berdasar, sebab tidak mungkin perkawinan Salomo, raja yang poligami dapat menjadi gambaran akan ikatan persatuan Allah dengan bangsa Israel yang sifatnya monogami.

Maka para ahli Alkitab menyimpulkan bahwa yang dimaksudkan oleh pengarang kitab ini adalah untuk mengajarkan kasih dan kekudusan perkawinan seperti yang di-institusikan oleh Tuhan. Oleh Tuhan, persatuan perkawinan ini dijadikan lambang persatuan Kristus dengan Gereja-Nya dan akan besarnya kasih-Nya kepada Gereja.

2. Parabolic interpretation: Kitab ini menjabarkan dengan literal kasih di antara kedua gembala dengan pandangan untuk menggambarkan kasih Tuhan kepada manusia. Maka artinya harus dilihat dalam keseluruhan kitab, dan bukannya pada detail- detail tertentu; sebab detail itu hanya bertujuan untuk membuat gambaran menjadi lebih aktual.

3. Allegorical interpretation: Para Bapa Gereja menggunakan cara interpretasi allegoris untuk menjelaskan tentang ‘perkawinan’/ persatuan antara Kristus dan Gereja-Nya. Beberapa elemen allegoris dapat dilihat di sini misalnya dengan menggambarkan Allah sebagai gembala. Gambaran Allah sebagai gembala adalah metafor yang umum di Perjanjian Lama (lih. 23:1; 80:1; Yer 31:10; Yeh 34:11, 19; Zak 11:17).

4. Parabolic-allegorical interpretation: Campuran antara cara no 2 dan 3. Interpretasi ini menganggap kitab Kidung Agung sebagai kitab perumpamaan yang menempatkan kejadian imajiner dan kejadian nyata secara berdampingan. Maka detail-detail yang ada dapat dianggap sebagai hiasan literal yang tidak mempunyai nilai/fakta sejarah.

Walaupun cara interpretasi parabolik-allegoris (no.4) ini kelihatan lebih sesuai daripada tipologi (no.1) namun tak bisa dipungkiri bahwa kitab ini mengajarkan pelajaran moral tentang kesucian perkawinan yang kemudian diangkat oleh Yesus ke tingkat sakramen.

Maka para ahli Alkitab (Nichloas de Lyra, Jouon dan Ricciotti) cenderung menggunakan cara allegoris untuk menginterpretasikan kitab ini, yaitu untuk menggambarkan hubungan antara Tuhan (Yahwe) dengan umat-Nya Israel. Sedangkan para penafsir yang lain seperti pada jaman Hyppolytus sampai sekarang, menafsirkan bahwa kitab ini merupakan allegori dari persatuan antara Kristus dengan Gereja-Nya. Dasar dari interpretasi ini adalah banyaknya pengajaran di Perjanjian Baru yang menyebabkan dasar pondasi Gereja sebagai  sebuah perjamuan kawin (Mat 22:1-4), di mana Kristus adalah Mempelai laki-laki dan Gereja adalah mempelai perempuan (Mat 9:15; juga Yoh 3:29; 2 Kor 11:2; Ef 5:23-32; Why 21:9).

Interpretasi tersebut merupakan perkembangan dari pengertian Yahudi [tentang hubungan Allah dan bangsa Israel sebagai bangsa pilihan]. Sebab dalam rencana keselamatan Allah, pemilihan Israel sebagai bangsa pilihan merupakan persiapan bagi pendirian Gereja oleh Kristus. Maka pemilihan bangsa Israel dan pendirian Gereja selayaknya tidak dilihat sebagai dua realitas yang terpisah, tetapi sebagai dua tahapan yang saling berkaitan dalam karya keselamatan Allah. Kasil Allah kepada bangsa Israel menjadi gambaran akan kasih Kristus kepada Gereja-Nya.

Mengenai interpretasi Yahudi memang kita melihat bahwa dalam kitab-kitab nubuatan dimana hubungan Allah dan bangsa Israel digambarkan sebagai hubungan suami dan istri, walaupun ada kitab yang menggambarkan Allah sebagai Bapa dan Israel sebagai anak-Nya yang sulung (Kel 4:22- dst). Dalam penggambaran suami dan istri ini, Allah digambarkan sebagai suami yang setia dan Israel sebagai istri yang tidak setia (lih. Yes 50:1; Yer 3:8; Yeh 16:1-58, Hos 2).  Israel  tidak setia, bahkan sejak hari pertama perkawinan (Yeh 16:15; Hos 9:10). Ketidaksetiaan bangsa Israel ini terlihat dari sejak hari perjanjian antara Allah dan Israel di gunung Sinai sampai Israel kembali dari masa pembuangan. Namun hal ketidaksetiaan dan masa pembuangan ini tidak berlangsung selamanya. Allah kemudian memulihkan bangsa Israel dan kembali bersatu dengannya. Pernyataan kembali bangsa Israel oleh Allah ini telah dinubuatkan oleh para nabi (Yes 49:14; 54:6 dst; Yeh 16:59-63; Hos 2:19). Ini adalah rekonsiliasi antara Allah dan bangsa Israel, yang menjadi topik dalam kitab Kidung Agung.

Selanjutnya dari interpretasi allegoris, kita dapat menginterpretasikan persatuan ini sebagai persatuan antara Kristus (Mempelai laki-laki) dengan jiwa orang beriman (mempelai perempuan). Interpretasi ini diajarkan oleh Origen, dan diteruskan oleh St. Bernardus di abad pertengahan, yang menghubungkannya dengan interpretasi Mariologis. Bunda Maria tidak saja adalah anggota Gereja yang tersuci namun ia juga yang memungkinkan tercapainya persatuan mistik antara Putera Allah dengan manusia.

Kitab Kidung Agung diperkirakan dituliskan sekitar abad 8 sebelum Masehi (sesudah abad ke-8 BC). Jika topik yang dibicarakan dalam kitab ini adalah rekonsiliasi antara Allah dengan bangsa Israel, maka diperkirakan kitab ini disusun pada akhir masa pembuangan (Exile) atau sesudahnya, yaitu sekitar masa kerajaan Persia. Ini juga terlihat dari karakter anthologis dari puisi yang digunakan.

Pandangan ajaran iman Katolik mengenai pendidikan

1

Ajaran Gereja Katolik menyangkut soal iman, termasuk pendidikan iman dan moral; namun bukan pendidikan ilmu pengetahuan/ sains.  Iman Katolik tidak mengajarkan secara langsung tentang hal ilmu pendidikan sains seperti matematika, fisika, biologi, dst; walaupun logika dan common sense  yang berkaitan dengan keadilan, secara prinsip diajarkan dalam iman Katolik; dan bahwa iman dan akal budi (yang dibentuk oleh pendidikan) keduanya sama- sama menghantar seseorang kepada kebenaran.

Prinsip berikutnya adalah, pendidikan iman berdasarkan Sabda Tuhan itu derajatnya lebih tinggi, mengingat iman adalah sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan kekal; sedangkan sains lebih menyangkut kepada kehidupan di dunia ini. Sebagaimana tercantum dalam 2Tim 3:16, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Tentang pendidikan iman anak inilah tugas utama dari para orang tua, “Barangsiapa mendidik anaknya dengan tertib akan beruntung karenanya, dan di kalangan para kenalan boleh membanggakannya.” (Sir 30:2)

Tentang pendidikan iman, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

KGK 1653  Kesuburan cinta kasih suami isteri terlihat juga di dalam buah-buah kehidupan moral, rohani, dan adikodrati, yang orang-tua lanjutkan kepada anak-anaknya melalui pendidikan. Orang-tua adalah pendidik yang pertama dan terpenting. (Bdk Gravissimum Educationis, 3) Dalam arti ini, maka tugas mendasar dari perkawinan dan keluarga terletak dalam pengabdian kehidupan. (Bdk. Familiaris Consortio, 28)

KGK 1784 Pembentukan hati nurani adalah suatu tugas seumur hidup. Sudah sejak tahun-tahun pertama ia membimbing seorang anak untuk mengerti dan menghayati hukum batin yang ditangkap oleh hati nurani. Satu pendidikan yang bijaksana mendorong menuju sikap yang berorientasi pada kebajikan. Ia memberi perlindungan terhadap dan membebaskan dari perasaan takut, dari ingat diri dan kesombongan, dari perasaan bersalah yang palsu, dan rasa puas dengan diri sendiri, yang semuanya dapat timbul oleh kelemahan dan kesalahan manusia. Pembentukan hati nurani menjamin kebebasan dan mengantar menuju kedamaian hati.

KGK 2206 Hubungan keluarga menghasilkan satu kedekatan timbal balik menyangkut perasaan, kecenderungan, dan minat, terutama kalau anggota-anggotanya saling menghormati. Keluarga adalah satu persekutuan dengan kelebihan-kelebihan khusus: ia dipanggil untuk mewujudkan “komunikasi hati penuh kebaikan, kesepakatan suami isteri, dan kerja sama orang-tua yang tekun dalam pendidikan anak-anak” (Gaudium et Spes  52,1).

KGK 2526 Yang dinamakan permisivitas moral adalah pandangan yang berdasar atas anggapan keliru mengenai kebebasan manusia. Perkembangan kebebasan membutuhkan pendidikan melalui hukum kesusilaan. Dari para pendidik, dituntut bahwa mereka menyampaikan kepada kaum muda satu pelajaran yang menghormati kebenaran, sifat-sifat hati, dan martabat manusia yang bersifat susila dan rohani.

Sedangkan pengajaran dari Kitab Hukum Kanonik dalam Gereja Katolik mengenai pendidikan adalah sebagai berikut:

KHK 795      Karena pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya, yang memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat, maka anak-anak dan kaum muda hendaknya dibina sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh rasa tanggungjawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan benar, dan terbina pula untuk berperan-serta secara aktif dalam kehidupan sosial.

KHK 796 § 1     Di antara sarana-sarana penyelenggaraan pendidikan, hendaknya umat beriman kristiani menjunjung tinggi sekolah-sekolah yang sangat membantu para orangtua dalam memenuhi tugas mendidik.

KHK 1136      Orangtua mempunyai kewajiban sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan religius.

KHK 1154     Bila terjadi perpisahan suami-istri, haruslah selalu diperhatikan dengan baik sustentasi dan pendidikan yang semestinya bagi anak-anak.

Dalam surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Fides et Ratio, di bagian pembukaannya beliau menulis: “Faith and reason are like two wings on which the human spirit rises to the contemplation of truth….”  (Iman dan akal budi adalah seperti dua sayap yang atasnya roh manusia naik kepada kontemplasi kebenaran….)

(oleh: Caecilia Triastuti dan Ingrid Listiati – katolisitas.org)

Catatan :

GE : Gravissimum Educationis  (dokumen Konsili Vatikan II tentang “Pernyataan Pendidikan Kristen”)
FC: Familiaris Consortio (anjuran Apostolik tentang Peranan keluarga Kristiani dalam dunia modern)
GE : Gaudium et Spes (dokumen Konsili Vatikan II tentang “Konstitusi Pastoral Gereja di dunia dewasa ini”)

Komentar tentang film Maria Magdalena

19

Sudah seharusnya, kita bersikap kritis untuk menyikapi segala sesuatu yang di-film-kan, karena belum tentu semua yang di-film-kan itu benar/ obyektif. Apalagi jika itu merupakan kejadian di abad-abad awal, yang tentunya masih perlu dibuktikan apakah itu bersumber dari naskah/ karya tulis yang bisa dipertanggungjawabkan ke-otentikannya. Apakah itu naskah itu benar-benar ditulis oleh Maria Magdalena, misalnya, (mengingat pada jaman itu banyak Injil lain yang dituliskan oleh kaum Gnostics). Apakah ada naskah lain dari para rasul maupun bapa Gereja yang mendukung kebenaran tulisan tersebut. Bagi umat Katolik, tentu kita tidak berpegang kepada Injil karangan Maria Magdalena ini, karena memang tidak pernah termasuk dalam Kanon Kitab Suci (dan karenanya, merupakan karya tulis manusia biasa yang tidak terilhami oleh Roh Kudus). Jadi jika kita melihat secara obyektif, rasanya kita perlu melihat, bahwa segala yang disampaikan pada film itu adalah semacam ‘hipotesa’/ perkiraan sehingga tidak bersifat mengikat, yang membuat kita harus mempercayainya.

Magisterium Gereja Katolik memang tidak pernah mendefinisikan secara tertulis siapa sebenarnya Maria Magdalena ini. Yang ada adalah tulisan para bapa Gereja yang memang menyamakan antara Maria Magdalena, Maria dari Betania, dan perempuan yang berdosa, yang daripadanya Yesus mengusir 7 roh jahat.

Memang terdapat beberapa pendapat bahwa ketiga identitas itu mengacu kepada tiga orang yang berbeda atau jika tidak dua orang, atau yang mengatakan bahwa Maria yang duduk di kaki Yesus tidak mungkin sama dengan wanita pendosa. Namun, menurut tradisi Gereja Katolik, justru karena kuasa pengampunan dari Tuhan Yesus itulah, maka Maria Magdalena, yang tadinya hidup sebagai pendosa, dan yang darinya diusir tujuh roh jahat(Luk 8:2) , maka setelah bertobat, ia dapat sungguh menjadi murid Yesus yang setia, yang memilih untuk duduk mendengarkan Yesus daripada melakukan sesuatu yang lain ketika Yesus datang ke rumahnya (lih. Luk 10:38-42).
Maka urutannya adalah sebagai berikut:

1. Pertama-tama Maria Magdalena datang kepada Yesus sebagai pendosa. Ia mengurapi Yesus, memohon pengampunan dan memperoleh pengampunan dari pada-Nya (Luk 7:36-50).
2. Ia adalah seorang yang daripadanya diusir tujuh roh jahat, yang setelah disembuhkan oleh Yesus mengikuti Yesus (Luk 8:2).
3. Setelah bertobat, yang menjadi keinginannya adalah duduk dekat kaki Tuhan dan mendengarkan perkataan-Nya (Luk 10:38-42)
4. Maria, bersama Martha berpasrah kepada Yesus saat saudaranya Lazarus meninggal dunia (Yoh 11:1-44)
5. Tak lama sesudahnya, Maria dan Martha menjamu Yesus, dan Maria Magdalena mengurapi Yesus kembali sebagai lambang pertobatannya (Yoh 12:1-8; Mat 26: 6-13, Mrk 14:3-9).
6. Pada saat Yesus disalibkan, ia berdiri di dekat salib Yesus (Yoh 19:25), bersama dengan Bunda Maria dan Maria istri Klopas.
7. Pada saat kebangkitan Yesus, ia datang ke kubur dengan maksud mengurapi Yesus dengan minyak, namun ternyata melihat Yesus yang bangkit (Yoh 20:11-18).

Mungkin yang cukup berpengaruh dalam hal ini adalah khotbah/ homili dari Paus Gregorius I tahun 591 yang mengatakan, “Ia yang dikatakan sebagai perempuan pendosa, yang dipanggil Maria dari Betani oleh Rasul Yohanes, kita percayai sebagai Maria yang daripadanya Yesus mengusir tujuh setan menurut Rasul Markus.” Namun Paus Gregorius  menyebutnya sebagai “pendosa”/ peccatrix dan bukannya “pelacur”/ meretrix.

Tradisi Gereja Orthodox memang membedakan Maria Magdalena dengan Maria dari Betania dan perempuan yang berdosa. Pendapat ini juga kelihatannya dipegang oleh beberapa komentator Protestan. Kebanyakan mereka tidak dapat menerima bahwa Maria dari Betani ini diidentifikasikan sebagai ‘pendosa’; karena pada ayat Luk 10:38-42 dikatakan Maria dapat duduk di kaki Yesus untuk mendengarkan Yesus. Sedangkan menurut pengajaran para Bapa Gereja, justru karena belas kasihan Yesus yang telah mengusir ketujuh roh jahat daripadanya, dan pengampunan Yesus atas segala dosanya, maka ia dapat duduk di dekat kaki Yesus dan mendengarkanNya. Jika diperhatikan, ini malah sesuai dengan prinsip mereka yang diampuni lebih banyak akan mengasihi lebih banyak (lih. Luk 7:47)

Bahwa kemudian jika kita berpegang pada tradisi pengajaran Bapa Gereja yaitu bahwa Maria Magdalena, perempuan yang berdosa yang telah diampuni menjadi saksi pertama kebangkitan Yesus, ini juga sesuai dengan perkataan Injil hari ini bahwa ‘mereka yang terakhir menjadi yang terdahulu’ (Mat 19:30; 20:16; Mrk 10:31; Luk 13:30), sebab memang demikianlah orang memandang wanita yang berdosa sebagai yang terakhir, sedangkan oleh pertobatannya dan pengampunan Tuhan, maka wanita itu menjadi yang terdahulu menjadi saksi kebangkitan Yesus.

Namun untuk menjawab apakah Maria Magdalena menjadi ‘The Apostle of Apostles‘ (istilah ini dibuat oleh Karen King dari Harvard Divinity School, 1998),  kita perlu berhati- hati. Karena menjadi saksi kebangkitan yang pertama, tidak menjadikannya otomatis sebagai rasul. Sebab pada saat menampakkan diri kepada Maria Magdalena, yang dikatakan oleh Yesus juga adalah “Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudara-Ku, supaya mereka pergi ke Galilea dan di sanalah mereka akan menlihat Aku.” (Mat 28:10). Maka kita melihat bahwa Yesus tetap menempatkan para rasul sebagai pengikut-Nya yang utama, yang kemudian diutus-Nya untuk pergi ke seluruh dunia, untuk membaptis dan memberitakan Injil (lih. Mat 28:19-20).

Injil Maria Magdalena sendiri sesungguhnya berbau Gnosticism, yang muncul dalam teks Nag Hammadi yang memuat pertentangan antara Maria Magdalena dan Rasul Petrus. Teks ini menunjukkan adanya kemiripan dengan Injil Thomas, Pistis Sophia dan Injil Yunani dari orang-orang Mesir, yang kesemuanya tidak termasuk dalam Kanon Kitab Suci. Sekali lagi, kita mengetahui bahwa tulisan-tulisan di atas tidak termasuk dalam Wahyu Ilahi, dan dengan demikian, tidak dapat kita terima sebagai kebenaran. Apalagi Rasul Paulus sendiri sudah berkali-kali menyebutkan bahwa meskipun pada jamannya, sudah ada banyak orang yang menuliskan injil-injil yang berbeda dengan Injil yang diberitakan oleh para rasul (lih. Gal 1:6-7).

“Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain, yang sebenarnya bukan Injil. Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus.”

Maka kita tidak pernah tahu sesungguhnya, siapa pengarang asli dari Injil-injil tersebut dan apakah motivasinya. Sebab Injil Gnostics, umpamanya mengajarkan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Kristiani, seperti penolakan mereka akan “matter“, sehingga mereka melihat tubuh sebagai sesuatu yang buruk dan merendahkan makna perkawinan. Dalam injil Maria Magdalena ini, Maria Magdalena dikisahkan percaya bahwa ia akan dijadikan oleh Tuhan menjadi laki-laki,  “Let us rather praise his (God’s) greatness, for He prepared us and made us into men.” … Sebab tubuh dipandang buruk, apalagi tubuh wanita.

Belum lagi injil-injil yang malah menuliskan seolah-olah ada hubungan khusus antara Yesus dengan Maria Magdalena ini, sehingga ada banyak orang disesatkan oleh pikiran bahwa Yesus adalah manusia biasa yang menikah dengan Maria Magdalena! Mempelai Yesus adalah Gereja (Ef 5:25-33), dan Yesus datang ke dunia justru karena ingin memberikan nyawa-Nya kepada Gereja-Nya. Maka ajaran yang menyebutkan bahwa Yesus mempunyai mempelai lahiriah yang lain adalah sangat keliru dan bertentangan dengan Alkitab. Jadi, peringatan Rasul Paulus  di atas (Gal 1:6-7) harus ada dalam pemikiran kita, bahwa pada saat itu memang ditemui teks- teks injil yang ‘mengacaukan’. Di sinilah peran Magisterium Gereja Katolik yang pada abad ke -4 menentukan Kanon kitab-kitab dalam Kitab Suci, berdasarkan tulisan para Bapa Gereja, dan kesatuan ajaran-nya dengan Injil yang diberitakan para Rasul.

Memang ada yang berpendapat bahwa pemilihan para rasul dikaitkan dengan kultur maskulin, yang seolah menentang peran perempuan. Namun jika kita melihat dengan obyektif, yang dibatasi dalam hal ini adalah peran mengajar (menjadi Magisterium) dan bukannya dalam hal- hal yang lain. Yesus sudah memilih ke-12 rasulNya, dan Maria Madgalena tidak termasuk di dalamnya, dan bahkan Ibu Maria, tidak juga termasuk dalam bilangan para rasul (Namun tidak berarti peran Bunda Maria ada di-bawah para Rasul). Maka, menurut saya, tidak perlu resah, mangapa Maria Magdalena tidak termasuk dalam bilangan para rasul. Ada banyak peran lain yang dapat dilakukan oleh para wanita dalam hal kerasulan awam, namun yang tertahbis memang hanya pria, sebab memang oleh kebijaksanaan-Nya, Yesus hanya memilih para pria untuk menjadi para rasul-Nya.

Perihal apakah sebenarnya Maria Magdalena, wanita pendosa, dan Maria dari Betania adalah seorang pribadi yang sama, memang merupakan misteri. Ini memang tak bisa sepenuhnya dibuktikan secara pasti, sebab sumbernya ‘hanya’ tulisan para Bapa Gereja; namun juga tanggapan bahwa ketiga identitas itu bukan merupakan orang yang sama, juga tidak dapat dibuktikan secara pasti, sebab tanda bukti yang diambil malah tak bisa kita percayai ke-otentikannya. Bagi saya, lebih baik mempercayai tulisan para Bapa Gereja yang setidak-tidaknya mempunyai hubungan dengan para penerus rasul yang hidup pada masa Maria Magdalena, daripada mempercayai teori orang-orang modern yang tidak mempunyai hubungan dengan masa lalu, kecuali dari fragmen-fragmen tulisan yang tidak dapat diketahui ke-otentikan-nya.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab