Home Blog Page 167

Tuhan, inilah aku, utuslah aku

11

Pengantar dari Editor:

Bila Tuhan memanggil anak-Nya untuk menjadi pekerja-Nya, Ia dapat menggunakan berbagai sarana dari yang sederhana hingga yang besar, untuk menggerakkan hati anak-anak pilihan-Nya hingga mereka membulatkan tekad menjalani hidup untuk berkarya di kebun anggur-Nya. Bagi Diakon Budi, benih-benih panggilan Tuhan itu muncul secara unik namun nyata sejak masa kecilnya, yang tak pernah lepas dari pembinaan iman yang setia oleh kedua orangtuanya, hingga turut menumbuhkan kecintaannya kepada Tuhan dan Gereja-Nya. Cinta itu berbuahkan ketetapan hati untuk mengikuti panggilan Tuhan. Berbagai peristiwa dalam keseharian dipakai Tuhan untuk menyatakan penyertaanNya yang setia sepanjang perjalanan studi panggilannya sejak dari awal masuk seminari menengah. Dan sebagaimana Tuhan akan senantiasa menuntaskan apa yang telah Ia awali, sentuhan-sentuhan kecil itu terus memberinya kekuatan, hingga karyanya saat ini dalam masa diakonat di Gereja Regina Caeli, Jakarta. Terima kasih Diakon Budi atas sharing refleksi panggilan ini. Semoga turut menjadi kekuatan bagi kaum muda untuk menetapkan langkah-langkah pasti dalam menanggapi panggilan Tuhan, yang selalu menyertai dan memimpin hingga akhir. Mari kita juga turut berdoa kepada Bapa agar Diakon Budi dapat menyelesaikan masa diakonatnya dalam penyertaan Tuhan hingga hari pentahbisannya nanti sebagai imam, dan kiranya hidupnya boleh terus memberikan kesaksian akan karya kasih Tuhan yang nyata di dalam dunia, seperti yang ia rindukan dalam perutusannya kelak sebagai seorang imam.

Aku ingin berkisah tentang perjalanan panggilanku. Sebelumnya, perkenankanlah aku memperkenalkan diriku. Namaku Yohanes Budiyanto. Asalku dari desa Watuagung, Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Gunung Sugih, Lampung Tengah. Di desa itu, aku dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1979, dari pasangan: Agustinus Kasimin dan Anselma Marsinah, sebagai anak ke-enam dari sepuluh bersaudara. Masa kanak-kanak, sebagai anak desa, aku sudah diajari oleh orangtua untuk bekerja keras: menanam padi di sawah, menanam kakao di ladang, memberi makan babi-babi dan ikan-ikan. Selain diajari bekerja, aku juga diajari oleh orangtua untuk tekun berdoa. Orangtua selalu mengajakku menghadiri perayaan Ekaristi, doa lingkungan, dan kegiatan-kegiatan gerejani. Inilah benih iman yang ditaburkan oleh orangtuaku.

Bukan pengalaman luar biasa tetapi…

Keinginanku menjadi romo bukan melalui pengalaman luar biasa, seperti pengalaman Saulus (Kis 9 : 1-9), tetapi melalui pengalaman biasa. Dalam kisah ini, aku akan mengisahkan beberapa pengalaman biasa yang membuat aku ingin menjadi romo. Pada saat perarakan Misa kudus, aku melihat pakaian romo (kasula) yang berbeda dengan pakaian petugas liturgi lainnya. Bagiku pakaian romo itu menarik sekali. Dan bila dipakai menampakkan kemegahan dan keagungan yang luar biasa. Pengalaman biasa lainnya, selesai Misa kudus, romo langsung berdiri di pintu depan gereja. Ia menyapa, menyalami, dan memberkati umat sambil berkata: “Berkah Dalem”. Sebagai anak-anak kecil, tindakan romo ini mengesankanku, sehingga terlintas dalam pikiranku: “Aku mau menjadi saluran berkat bagi banyak orang”.

Pengalaman biasa lainnya, ketika aku mengikuti doa di lingkungan. Aku selalu mendengar anak seminari senantiasa disebut namanya dalam doa di lingkungan. Hal ini membuat aku juga ingin disebut namaku dalam doa di lingkungan. Agar namaku selalu disebut dalam doa, maka aku mesti masuk seminari. Dan ternyata benar, ketika aku akan mengikuti ujian saringan masuk seminari menegah, namaku disebut dalam doa, wah senangnya bukan main. Harapanku akhirnya terpenuhi.

Meniti panggilan di Palembang

Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama di Fransiskus Xaverius Kalirejo, Lampung Tengah, aku mulai meniti panggilanku di Seminari Menengah St. Paulus, Palembang, pada tahun 1996-2000. Di seminari ini pula, aku merefleksikan secara serius arah panggilan hidupku. Aku terus melakukan discernment dan bertanya: “Apakah Tuhan sungguh memanggilku? Ataukah aku yang memanggilkan diri?” Di dalam refleksiku, aku menemukan sebuah jawaban bahwa Tuhan sungguh memanggilku. Kesungguhan bahwa Tuhan yang memanggilku membuat aku semakin yakin bahwa Tuhan akan senantiasa menyertai dan membimbing perjalanan panggilanku. Karena itu, aku tidak perlu takut, tidak perlu cemas dan khawatir akan perjalanan panggilan dan tujuan hidupku. Sebaliknya sikap yang mesti aku tumbuhkembangkan adalah sikap terbuka, pasrah, dan percaya kepada penyelenggaraan ilahi.

Terpikat karya pelayanan Pater Damian, SS.CC

Tahun 2000, aku menyelesaikan sekolah di Seminari Menengah St. Paulus Palembang. Aku melamar ke Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Maria (SS.CC) dan diterima sebagai postulant SSCC. Aku menjalani masa pendidikan sebagai postulant SSCC selama kurang lebih satu setengah tahun di kota Bandung. Pada masa tersebut, aku mempelajari dan mendalami banyak hal, di antaranya: hidup doa, hidup komunitas, sejarah kongregasi, live-in di pabrik selama sepuluh hari dan di panti asuhan selama satu bulan dan lain sebagainya. Semua yang aku pelajari tersebut memperkaya hidup dan menjadi bekal bagi perjalanan panggilanku.

Aku memilih Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Maria (SS.CC). Karena aku tertarik dengan karya pelayanan Pater Damian De Veuster, SS.CC, pahlawan orang kusta. Ia menjadi pahlawan orang kusta, bukan karena ia memerangi penyakit kusta, melainkan karena ia mengangkat martabat orang-orang kusta, orang-orang yang dianggap “sampah masyarakat” dan melayani mereka secara total sampai akhirnya iapun meninggal dunia sebagai seorang penderita kusta. Pengorbanannya ini, merupakan bukti dari kasihnya yang tulus kepada orang-orang kusta yang dilayaninya; sebab memang Pater Damian mengidentikkan dirinya dengan orang-orang kusta, katanya: “We are lepers”. Pater Damian bisa melakukan semua itu bukan karena kekuatannya semata, melainkan karena kekuatan Kristus yang tinggal di dalam dirinya. Semua itu dilakukan Pater Damian bukan demi popularitas dan kemuliaan dirinya, melainkan demi kemuliaan Allah. Inilah api yang menyulutkan dan mengobarkan semangat dalam diriku untuk meneruskan perjalanan panggilan ke tahap selanjutnya.

Tahun 2002-2003, aku menjalani masa novisiat di Manila selama satu tahun. Di novisiat, aku mendalami spiritualitas kongregasi dan kehidupan rohani yang menjadi dasar bangunan hidup religiusku. Tepatnya pada tanggal 10 Mei 2003, aku mengucapkan kaul pertama untuk tiga tahun. Dan setiap tiga tahun, aku harus memperbaharuinya. Setelah pengucapan kaul pertama, aku kembali ke Bandung.

Tahun-tahun untuk belajar…

Tahun 2003-2007, aku belajar di Universitas Parahyangan, Bandung. Di universitas ini, aku belajar filsafat dan teologi. Pembelajaran mata kuliah tersebut tidaklah menggoncangkan imanku dan tidak pula membuat aku menjadi ateis, sebaliknya pembelajaran itu semakin meneguhkan imanku kepada Kristus. Aku semakin mencintai Kristus dan menempatkan Kristus sebagai pusat dari hidup panggilanku.

Tahun 2007-2008, aku menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Damian, Batam. Di paroki tersebut, aku belajar mengenal situasi umat, belajar mengenal karya-karya parokial, dan belajar menjadi seorang gembala yang baik, sebagaimana Yesus, yang adalah gembala yang baik (lih. Yoh 10). Pengalaman selama TOP sungguh memperkaya dan meneguhkan perjalanan panggilanku. Hal ini aku yakini sebagai bekal bagi karya pelayanan yang kelak akan dipercayakan kepadaku.

Tahun 2008-2011, aku melanjutkan pembelajaranku di kota pelajar, Yogyakarta. Di Yogyakarta, aku harus menyelesaikan program BA dan program imamat. Di antara kedua program itu, pada tanggal 9 Agustus 2011, aku mengucapkan kaul kekal, yaitu: janji setia seumur hidup di Paroki St. Mikael, Bandung. Adapun isi janjiku itu: “Aku mau hidup dan mati dalam Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Maria”. Dengan mengucapkan janji tersebut, aku menjadi anggota resmi Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Maria. Dan beberapa bulan kemudian, pada tanggal 28 Januari 2012, aku ditahbiskan menjadi diakon oleh Bapak Uskup Yohanes Pujasumarta, Pr di Kapel St Paulus, Kentungan, Yogyakarta. Rahmat tahbisan diakon yang baru saja aku terima semakin menyadarkan dan menegaskan identitasku bahwa aku ini hanyalah seorang pelayan. Pelayan yang datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani (Bdk. Mat 20 : 28). Spiritualitas pelayanan inilah yang ingin aku kembangkan dari hari ke hari.

Perutusan yang baru…

Pada hari setelah pentahbisan diakon, Pater provinsial mengumumkan secara resmi tugas perutusanku yang baru. Aku ditugaskan di Paroki Regina Caeli, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Di Paroki inilah, aku menjalani masa diakonat, masa persiapan tahbisan imam. Pada masa diakonat ini, aku memberanikan diri masuk ke aneka pelayanan yang ada di paroki. Banyak rahmat yang kuperoleh dari pengalaman perjumpaan dengan umat Allah. Pengalaman tersebut meneguhkan panggilan dan pelayananku. Aku bersyukur boleh mengalami semua itu. Dan semua itu, aku yakini sebagai tanda kemurahan hati Allah. Kemurahan hati Allah inilah yang menggerakkan dan menjiwai aku untuk berbuat yang sama: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk 6 : 36). Karena itu, harapanku setelah aku ditahbiskan imam, aku ingin menjadi pelayan yang murah hati bagi seluruh umat Allah. Aku yakin dan percaya bahwa harapanku itu akan menjadi kenyataan, jika aku membuka diri kepada Tuhan. Sebab Tuhan pernah berjanji bahwa Ia menyertai senantiasa sampai akhir zaman (Mat 28 : 20).

Secuil pengalaman di perutusan baru

Pengalaman mengesankan kualami ketika aku mengadakan kunjungan ke Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk bersama ibu-ibu Legio Maria Ratu Surgawi, Pantai Indah Kapuk. Ketika aku mengunjungi pasien dari satu bangsal ke bangsal lain, kebiasaan yang aku lakukan adalah menyapa mereka: “Apakah bisa tidur semalam? Apakah sudah makan pagi hari ini? Bagaimana kabar hari ini? Apakah mau menerima Komuni? Dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu, aku melihat mereka merasa senang dan bahagia sekali. Dan kadang saking senangnya, mereka ada yang mau bercerita dan bersharing. Namun ada pula, yang hanya menjawab seperlunya saja.

Pengalamanku yang takkan pernah kulupakan adalah pengalaman mengunjungi seorang pasien anak yang baru berumur 9 tahun dan menderita kanker darah (leukemia). Ia menderita sakit kanker darah selama delapan bulan. Ia tampak menderita sekali. Kepalanya besar tanpa rambut, namun tubuh dan kakinya makin hari makin mengecil. Ia kelihatan kurus sekali, tinggal kulit pembalut tulang. Melihat dia pertama kali, aku merasa sedih dan kasihan. Aku bertanya dalam batin: “Apakah yang dapat aku perbuat untuk membantu anak ini? Aku bingung menjawab pertanyaanku sendiri. Di dalam kebingunganku, aku sadar bahwa aku tak memiliki materi untuknya, tetapi aku memiliki waktu untuk ada bersama dan berdoa bersama dia pula. Itulah yang aku miliki dan bisa aku berikan kepadanya.

Aku mendatangi dan menyapa dengan namanya: “Chelsi, bagaimana kabarnya?” Sembari tersenyum, ia menjawab: “Aku baik-baik aja”. Apakah bisa tidur? Ia mengatakan bahwa ia bisa tidur nyenyak semalam, sehingga pagi kelihatan segar. Setelah bercakap-cakap dengannya, aku bertanya kepada Chelsi: “Apakah Chelsi mau terima Komuni?” Ia langsung mengatakan: mau terima Komuni. Ia bahkan mengatakan: “Yesuslah yang menguatkanku dan mendampingiku selama ini”. Aku kaget sekaligus kagum dengan perkataan Chelsi itu, karena jawaban itu keluar dari mulut seorang anak kecil yang sesungguhnya sangat menderita. Chelsi, di tengah-tengah penderitaannya yang sangat karena mengalami penyakit yang terminal, bisa mengatakan bahwa Yesuslah kekuatannya. Ini sungguh luar biasa! Perkataannya ini mengungkapkan kepasrahan dan penyerahan dirinya secara total kepada Allah, Sang pemilik kehidupan. Pengalaman itu mengajakku untuk melihat kembali kepasrahan dan penyerahan diriku kepada Tuhan selama ini. Pengalaman ini pula yang mengobarkan semangat dalam diriku untuk terus berpasrah dan berserah kepada penyelenggaraan ilahi.

Harapan keluargaku….

Di bagian akhir dari kisah perjalanan panggilanku, aku ingin merumuskan beberapa harapan keluarga, setelah aku menerima rahmat tahbisan imam. Pertama, aku menjadi imam yang saleh, agar dapat menghantar dan membawa umat untuk semakin dekat, semakin terarah dan semakin mencintai Allah sang sumber kehidupan. Kedua, aku menjadi imam yang setia, yang peka terhadap kebutuhan umat, serta dekat dengan umatnya, sehingga umat dapat merasakan kehadiran Allah dalam diri imam-Nya. Ketiga, aku menjadi imam yang meneladan semangat hidup Sang Gembala yang baik di dalam setiap pelayanan: “Bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani”. Keempat, aku menjadi yang murah hati dan rendah hati dalam pelayanan kepada umat Allah. Tuhan memberkati…Berkah Dalem

Allah yang telah memulai karya baik ini,
maka Allah pula yang akan menyelesaikannya…..

 

Oleh Diakon Budi, SS.CC
Jakarta

Epilog

Mengenal SSCC

Nama lengkap”Congregatio Sacrorum Cordium Jesu et Mariae, necnon Adorationis Perpetuae Sanctissimi Sacramenti Altaris “disingkat SS.CC, atau dalam bahasa Indonesia “Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria dan Sembah Sujud Kekal kepada Sakramen Maha Kudus” Pada masa awal dikenal dengan nama PICPUS yang merupakan nama jalan di kota Paris di mana biara pertama didirikan.

Sejarah berdirinya SSCC

Secara resmi kongregasi in berdiri tanggal 24 Desember 1800, bertepatan dengan saat di mana kedua pendiri, yakni Pater Pierre Coudrin dan Sr. Henriette Aymer mengucapkan kaul kekal di sebuah kapel kecil di rue des Hautes Treilles, kota Poitiers, Perancis.

Awal berdirinya Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Tersuci Maria ini bermula dari perkumpulan Hati Kudus Yesus dikepalai oleh Susana Geoffroy. Perkumpulan ini beranggotakan empat orang yang dibentuk pada tahun 1792. Sejumlah aturan harian dan program kerja di luar rumah pun ditetapkan antara lain berdoa di hadapan Tabernakel, mengajar agama bagi remaja yang terlantar, menolong orang sakit, membantu para imam atau rohaniwan lain yang dikejar-kejar, mempersiapkan orang yang menghadapi kematian dan sebagainya. Konteks umum yang dialami pada waktu itu adalah revolusi Prancis yang berdampak langsung bagi kehidupan iman umat dan Gereja. Dalam situasi yang demikian, seakan kehadiran perkumpulan Hati Kudus ini menjadi sangat penting dalam menghidupi iman umat dan Gereja.

Perkumpulan itu berganti nama menjadi Serikat Hati Yesus Yang Mahakudus. Anggotanya semakin bertambah sehingga kemudian terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu anggota ‘dalam’ dan ada pula anggota ‘luar’. Anggota kelompok ‘dalam’ hidup sebagai biarawati dalam sebuah komunitas dengan aturan tertentu namun tanpa kaul-kaul. Para anggota luar tetap tinggal bersama anggota keluarganya namun setia mengikuti aturan Serikat, yakni Sembah Sujud di depan Sakramen Mahakudus dan mengikuti kegiatan pendalaman iman lainnya. Dalam perkembangan lebih lanjut, ditetapkan enam orang imam yang disebut Dewan Imam, yang diserahi tugas untuk memelihara kehidupan rohani para anggota Serikat tersebut. Pater Coudrin termasuk dalam anggota Dewan Imam dan berpengaruh besar dalam perkembangan serikat tersebut di kemudian hari.

Pada sebuah kesempatan, ketika Pater Coudrin sedang memberikan kotbah di Gereja, ada seorang gadis bangsawan Perancis yang begitu tersentuh dengan kotbah Pater Coudrin. Lantas gadis yang bernama Henriette Aymer de la Chevalerie ini mendekati Pater Coudrin untuk bergabung dalam Serikat yang dipimpinnya itu. Henriette muda pernah dipenjara karena terbukti menyembunyikan seorang imam di rumahnya dari pengejaran tentara revolusi. Ternyata kehidupan di penjara telah mengubah hidup Henriette. Setelah bebas dari penjara, ia menarik diri dari keramaian dunia dan bergabung dengan Serikat di bawah bimbingan Pater Coudrin. Dalam suatu kesempatan Adorasi, Pater Coudrin mengalami suatu pengalaman rohani yang mendalam. Dalam pengalaman khusyuk tersebut, ia melihat sekelompok pemuda dan pemudi yang berjubah putih sedang berbaris. Di saat bersamaan ia bercita-cita untuk membuka komunitas baru dari Serikat yang dibimbingnya tersebut. Lantas tahun 1797, Pater Coudrin mendirikan komunitas baru. Sejumlah anggota ikut bergabung dalam komunitas baru tersebut dengan menamakan diri sebagai “Rubiah”. Pada tahun yang sama, kelompok Rubiah yang diasuh oleh Pater Coudrin dan Sr. Henriette memisahkan diri dari paguyuban (komunitas Serikat) terdahulu dan tinggal di Rue des Hautes Trelles, Poitiers. Nama rumah itu Grand Maison, yang selanjutnya menjadi tempat lahirnya Kongregasi SS.CC.

Pada saat-saat awal ini, Pater Coudrin juga mencari calon-calon pria yang cocok untuk menjadi anggota SS.CC. Pada mulanya ia mendapatkan dua calon muda, kemudian menyusul banyak calon lain. Demikianlah kongregasi baru ini mulai berjalan, sampai tiba 24 Desember 1800, Pater Pierre Coudrin dan Sr. Henriette Aymer Chevaleri mengikrarkan diri dalam Kaul Kekal di sebuah kapela kecil di Hautes Treilles, kota Poitiers, Perancis dan Uskup Poitiers merestuinya. Pater Coudrin kemudian memulai dengan komunitas para pater dan bruder SS.CC dan Sr Henriette memulai komunitas para suster SS.CC. Kongregasi SS.CC terwujud dalam tiga cabang yaitu, cabang putra (imam dan bruder SS.CC), cabang putri (suster SS.CC), dan cabang awam. Meskipun berada dalam tiga cabang tetapi tetap berlandaskan spiritualitas dan semangat hidup yang sama. Kongregasi SS.CC terus berkembang dan Paus Pius VII meresmikannya dalam bula “Pastor Aeternus” tertanggal 17 November 1817.

Spiritualitas dan karya

Spiritualitas yang mendasari hidup dan karya Kongregasi SS.CC secara ringkas dapat dirumuskan sebagai berikut: Cinta dan Bakti kepada Hati Yesus yang Maha Kudus dan Hati Maria yang tersuci. Maka yang menjadi bentuk pembawaan diri sebagai anggota adalah “Merenungkan, Menghayati dan Mewartakan kasih Allah kepada sesama sebagaimana nampak dalam Hati Yesus dan tersuci Maria”. Perutusan anggota adalah mencintai dan membaktikan seluruh hidupnya kepada Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Maria dengan melayani sesama, manusia masa kini untuk membangun bersama suatu dunia yang bernafaskan kasih Allah.
Untuk mewujudkan spiritualitas ini, para anggota menjalankan hidup dan karya pelayanan yang diatur berdasarkan empat masa hidup Yesus, sebagai berikut:

1. Mengikuti Masa Kanak-kanak Yesus diwujudkan terutama dalam dunia pendidikan, yaitu mendidik anak-anak terlantar, membina para calon biarawan (imam) dan biarawati, membina kaum muda/pelajar dan sebagainya.
2. Mengikuti Masa Tersembunyi Yesus di Nasaret, setiap anggota selalu melakukan kontemplasi dan sembah sujud di hadapan Sakramen Maha Kudus. Panggilan setiap anggota adalah untuk selalu melakukan Adorasi Silih setiap hari.
3. Mengikuti Masa Karya Yesus di muka umum, para anggota menjalankan kerasulan aktif di mana saja mereka diutus.
4. Mengikuti Masa Sengsara Yesus, setiap anggota kongregasi untuk selalu menjalankan mati raga dan pengorbanan diri sukarela setiap hari. Ini terungkap dalam doa khusus harian “Hati Kudus Yesus dengan perantaraan Hati Tersuci Maria, kami mempersembahkan kepadaMu doa, karya, mati raga dan seluruh korban hari ini untuk memulihkan dosa kami dan untuk segala ujud yang untukNya Engkau mengurbankan DiriMu senantiasa atas altar kami”.

Saat ini Kongregasi SS.CC berkarya di 40 negara dan hadir di Indonesia sejak tahun 1924. Saat ini sedang berkarya di Keuskupan Pangkalpinang (Batam dan Pangkalpinang), Keuskupan Bandung, dan Keuskupan Agung Jakarta. Kami berkarya di bidang pastoral parokial dan pastoral kategorial: pendidikan kaum muda, keluarga, pelayanan sosial, panggilan hidup membiara dan kaum pekerja (buruh). Untuk cabang imam, anggota SS.CC Indonesia sudah mengutus beberapa misionarisnya di beberapa negara, yaitu: Jepang, French-Polynesia, Hawaii, Singapura, Filipina dan Belgia.

Diakon Budi, SS.CC
Jakarta

Tuhan tidak ada karena banyak kejahatan?

4

Umumnya orang yang tidak percaya pada Tuhan berargumen, “Jika memang ada Tuhan yang Maha Baik, Maha Tahu, Maha Kuasa, maka tidak mungkin ada kejahatan dan penderitaan di dunia ini.”
Pertama-tama, sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu berhenti sejenak, sebab jika kejahatan dan penderitaan dianggap sebagai bukti bahwa Tuhan tidak ada, bagaimana jika kita melihat sebaliknya, bahwa di samping segala kejahatan, kita juga melihat banyak kebaikan, keindahan alam, keteraturan alam (pergantian musim pada waktunya, gravitasi yang konsisten, pergantian siang dan malam, ketersediaan O2, keteraturan, keindahan dan proporsi tubuh manusia, dst); bukankah ini malah membuktikan adanya ‘Tuhan’ yang mengatur segala sesuatunya ini? Sebab hal keteraturan dan keindahan alam itu sudah ada tanpa campur tangan manusia.

Memang, problem kejahatan dan penderitaan bukan hal yang mudah. Namun, kita tidak dapat dengan gegabah mengatakan bahwa dengan adanya kejahatan dan penderitaan maka artinya Tuhan tidak ada. Sebab:
1. Kesimpulan tersebut diambil tidak atas fakta yang menyeluruh, karena terdapat fakta yang jauh lebih besar dari alam di sekitar kita sendiri yang menyatakan keberadaan Tuhan sebagai Pencipta. Maka adanya penderitaan dan kejahatan tidak dapat dijadikan alasan yang meyakinkan untuk membuktikan bahwa Tuhan tidak ada.
2. Kenyataan bahwa ada orang yang tadinya tidak percaya kepada Tuhan namun bertobat menjadi percaya, membuktikan adanya kehendak bebas dalam diri manusia, sebab dalam prosesnya, tidak ada yang memaksa. Bayangkan juga bahwa kehendak bebas dapat pula digunakan untuk perbuatan yang jahat, dan inilah sesungguhnya yang mengakibatkan adanya kejahatan dan penderitaan di dunia.
3. Tidak semua penderitaan mengakibatkan hal yang buruk. Ada pula penderitaan yang bahkan menghasilkan karakter positif tertentu pada orang yang menderitanya, yang dapat menjadikannya hidup lebih baik dan bijaksana.
4. Melalui Kitab Suci umat beriman, kita mempunyai penjelasan, mengapa sampai terjadi penderitaan dan kejahatan di dunia ini. Hal ini akan menjadi semakin jelas nanti pada hari Penghakiman Terakhir.
5. Baik orang yang tidak percaya kepada Tuhan maupun orang beriman, keduanya menghadapi masalah penderitaan dan kejahatan di dunia ini. Bedanya adalah, orang yang tidak percaya kepada Tuhan, tidak mempunyai penjelasan dan tidak mempunyai pengharapan dalam menghadapi problem ini. Sedangkan orang beriman mempunyai jawabannya yang kita temukan di dalam Yesus Kristus.

Beberapa butir pengajaran Gereja Katolik mengenai hal ini:
1.Dari Kitab Suci:

Penderitaan merupakan akibat dari kejatuhan manusia pertama (Adam dan Hawa) ke dalam dosa. Setelah mereka berdosa, Allah berfirman kepada Hawa, “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak dan dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu…” (Kej 3: 16); dan kepada Adam, “…Dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu…seumur hidupmu…” (Kej 3:18).

Penderitaan dan pencobaan tak terpisahkan dari kehidupan manusia, dan Tuhan menjanjikan  bahwa mereka yang bertahan dan tahan uji, akan menerima penghargaan di kehidupan yang akan datang. “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yak 1:12).

Penderitaan dan kesengsaraan adalah jalan yang menghantar kita pada pengharapan dan dicurahkannya kasih Allah ke dalam hati kita. “Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Rom 5:3-5).

Penderitaan seharusnya menghantar kita lebih dekat kepada Kristus, karena dengan mengambil bagian dalam penderitaan Kristus, maka kitapun akan mengambil bagian dalam kebangkitan-Nya. “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat 16:24). “Janganlah kamu heran akan nyala api siksaan yang datang kepadamu sebagai ujian, seolah-olah ada sesuatu yang luar biasa terjadi atas kamu. Sebaliknya bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya” (1Ptr 4: 12-13). Maka kita sebagai orang yang percaya, adalah “orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.” (Rom 8: 17).

2. Dari Katekismus Gereja Katolik:

KGK 54Allah, yang menciptakan segala sesuatu melalui Sabda-Nya (lih. Yoh 1:3) serta melestarikannya dalam makhluk-makhluk, senantiasa memberikan kesaksian tentang diri-Nya kepada manusia (lih. Rm 1:19-20).
Di sini kita melihat bahwa segala sesuatu yang tak nampak dari Allah, yaitu kekuatan-Nya, keindahan-Nya, dst., dapat kita tangkap oleh pikiran kita melalui karya ciptaan Allah, sehingga manusia sesungguhnya tidak dapat berdalih (lihat Rm 1:20). Dengan menggunakan prinsip logika, bahwa “Sebab selalu lebih besar/sempurna dari akibat, dan seseorang tidak dapat memberi sesuatu yang dia tidak punya” maka kita mengetahui bahwa ada ‘Sesuatu’ atau tepatnya ‘Seseorang’ yang menjadi Sebab dari segala sesuatu, yang sifatnya lebih kuat daripada segala kekuatan alam, lebih pandai dan mengagumkan daripada manusia, dst; dan itulah yang kita sebut Tuhan. Karena tidak mungkin manusia diciptakan atau berasal dari sesuatu yang lebih rendah dari manusia, seperti pada teori evolusi Darwin. Lebih lanjut tentang jawaban kami tentang Teori Evolusi, silakan baca di sini (silakan klik).

KGK 412 Tetapi mengapa Allah tidak menghalangi manusia pertama berdosa? Santo Leo Agung menjawab: “Lebih bernilailah apa yang kita terima melalui rahmat Tuhan yang tidak terlukiskan, daripada kehilangan yang kita alami karena iri hati setan” (serm. 73, 4). Dan Santo Thomas Aquinas: “Juga sesudah dosa masih terdapat kemungkinan pengangkatan kodrat. Allah hanya membiarkan yang jahat itu terjadi, untuk menghasilkan darinya sesuatu yang lebih baik: ‘Di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah’ (Rm 5:20). Karena itu waktu pemberkatan lilin Paskah dinyanyikan: ‘O kesalahan [Adam] yang membahagiakan… yang mendatangkan bagi kita seorang Penebus yang sekian besar”’ (Summa Theologiae III,1,3 ad 3).
Jadi di sini penderitaan diizinkan Tuhan terjadi di dunia ini untuk mendatangkan kebaikan yang lebih besar. Kejatuhan manusia pertama (Adam) dalam dosa membuka jalan untuk kedatangan Adam yang baru yaitu Kristus.

3. Dari Pengajaran Bapa Paus

Salvifici Doloris (Surat Apostolik Bapa Paus Yohanes Paulus II, tentang Arti Penderitaan Manusia menurut pandangan Kristiani), 7, “Manusia menderita karena adanya kejahatan/ keburukan, yang artinya kekurangan atau keterbatasan atau distorsi dari suatu kebaikan … Manusia menderita karena ia tidak mengalami sesuatu hal yang baik, sehingga dalam hal ini ia sepertinya tersingkirkan…. Ia menderita ketika ia seharusnya mengalami sesuatu yang baik menurut keadaan normal, tetapi kenyataannya ia tidak mengalami atau mengambil bagian dalam keadaan yang baik tersebut.  Jadi menurut pandangan Kristiani, kenyataan penderitaan dapat dijelaskan melalui keadaan keburukan, yang selalu, berkaitan dengan keadaan kebaikan.”
Jadi definisi kejahatan (evil)  adalah ‘privation of good‘, sehingga adanya ‘evil‘/ keburukan selalu ada kaitannya dengan ‘good‘/ kebaikan. Sesuatu disebut ‘jahat’/ buruk karena hal itu tidak ‘baik’.

Salvifici Doloris 12, “Maka di dalam penderitaan yang diizinkan Allah terjadi pada Umat Pilihan, di situ terkandung undangan tentang belas kasihan Tuhan, yang memimpin kepada pertobatan…’ hukuman-hukuman ini direncanakan untuk mengantar pada pertobatan. Penderitaan harus mendukung pertobatan, yaitu untuk membangun kembali kebaikan yang ada di dalam orang tersebut, yang dapat mengenali belas kasihan ilahi yang memimpin kepada penyesalan.”
Hal ini begitu nyata dalam kehidupan kita karena seringkali manusia bertobat setelah mengalami penderitaan, sakit penyakit, pengalaman yang kurang baik, dst.
Salvifici Doloris 13, “Kasih adalah adalah sumber yang terkaya tentang arti penderitaan, yang memang tetap merupakan suatu misteri… Kristus menyebabkan kita memasuki misteri ini untuk menemukan alasan mengapa kita menderita… saat kita menangkap keagungan kasih ilahi…. Kasih adalah sumber yang terlengkap akan jawaban arti penderitaan. Jawaban ini telah diberikan oleh Tuhan yang menjelma menjadi manusia Yesus Kristus, yang disalibkan [demi kasih-Nya pada kita].”
Dengan mengalami penderitaan kita mempertanyakan arti hidup ini, dan kita hanya dapat menemukan artinya di dalam Kristus yang telah terlebih dahulu menderita, demi membebaskan kita dari kuasa dosa, agar kita dapat diselamatkan.
Salvifici Doloris 15, “Penderitaan tak dapat diceraikan dengan dosa asal… [Namun] dengan karya keselamatan-Nya, [Yesus] Putera Allah membebaskan manusia dari dosa dan kematian…. Sebagai hasil karya keselamatan Kristus, manusia yang hidup di dunia memiliki pengharapan akan hidup kekal dan kekudusan… Kemenangan Kristus [atas dosa dan maut] memberikan terang keselamatan kepada setiap penderitaan.”
Salvifici Doloris 18, “Kristus memberi jawaban terhadap pertanyaan tentang arti penderitaan tidak hanya dengan pengajaranNya, yaitu Injil, tetapi pertama-tama dengan penderitaan-Nya sendiri… Penderitaan manusia mencapai puncaknya pada penderitaan Yesus di kayu salib…. hal itu telah dikaitkan-Nya dengan kasih, [sebab] kebaikan utama dari Penyelamatan dunia diperoleh dari salib Kristus… Salib Kristus menjadi sumber air kehidupan.”
Di sini kita melihat bahwa keselamatan manusia diperoleh dari penderitaan Yesus.
Lihat Salvifici Doloris 20, 21, 24 Melihat bahwa manusia hidup tak lepas dari penderitaan, maka Alkitab mengajak manusia untuk mengambil bagian dalam penderitaan Kristus, agar kita memperoleh penghiburan yang melimpah di dalam-Nya. Partisipasi dalam penderitaan Kristus mempunyai 2 arti: Dengan penderitaan-Nya di salib, Kristus telah mengambil bagian dalam penderitaan manusia, namun manusia yang telah menemukan arti penderitaan Kristus akan menemukan arti penderitaannya sendiri. Penderitaannya memiliki arti yang baru, sebab siapa yang mengambil bagian dalam penderitaan Kristus,  menderita untuk Kerajaan Allah. Pada saat kita mempersatukan penderitaan kita dengan Kristus, maka kita “menggenapkan apa yang kurang di dalam penderitaan Kristus untuk TubuhNya, yaitu Gereja” (Kol 1:24).
Memang, ‘apa yang kurang’ dalam penderitaan Kristus adalah yang berhubungan dengan anggota Tubuh-Nya yaitu kita semua yang masih hidup di dunia ini. Maka penerapannya dalam hal ini adalah, saat mengalami penderitaan kita dapat berdoa memohon pengampunan atas dosa-dosa kita dan mendoakan untuk keselamatan orang lain. Karena pada saat itu Tuhan Yesus mengajak kita mengambil bagian dalam karya Keselamatan.  Ia yang mengetahui segala sesuatu dan menginginkan yang terbaik terjadi pada kita, mengizinkan penderitaan itu terjadi pada kita, karena Ia mengetahui bahwa Ia dapat memakai cara demikian untuk mendatangkan kebaikan bagi kita, terutama secara rohani. Betapa kita semua harus jujur melihat, bahwa di banyak kesempatan, orang akan datang lebih dekat kepada Tuhan setelah mengalami penderitaan/ kesusahan. Melalui penderitaan kita diarahkan oleh Tuhan untuk mengatur prioritas hidup kita, mengubah jalan pikiran kita yang salah, bertobat dan akhirnya menggantungkan perngharapan kita kepada-Nya.
Kesimpulannya, Salvifici Doloris, 26, 27, 30 “Penderitaan adalah suatu pengalaman akan kejahatan/ keburukan. Tetapi Kristus telah mengubah penderitaan menjadi dasar yang kuat untuk memperoleh kebaikan yang pasti, yaitu keselamatan abadi. ” Penderitaan yang terjadi di dunia adalah sarana untuk menyalurkan kasih, untuk melahirkan perbuatan-perbuatan baik kepada sesama manusia, yang dapat mengubah budaya manusia menjadi budaya kasih. Contoh yang diberikan adalah kisah Orang Samaria yang baik hati Luk 10: 25-36. Penderitaan sesamanya, mengakibatkan orang Samaria itu melakukan perbuatan kasih. Setiap anggota Gereja dipanggil untuk mengikuti teladan ini, dengan berbuat kasih kepada sesama yang menderita.
Salvifici Doloris, 31, “Maka penderitaan sudah pasti adalah bagian dari misteri manusia. Misteri ini dijelaskan melalui misteri Kristus menjelma menjadi manusia.” Di dalam diri Yesus, kita melihat pernyataan kasih Allah yang tak terbatas, dan pernyataan bagaimana manusia harus hidup, dan memenuhi panggilan hidupnya, yaitu dengan memberikan diri kita kepada orang lain. Misteri Keselamatan berakar di dalam kenyataan penderitaan, dan penderitaan ini menemukan jawaban yang mengagumkan dalam misteri Keselamatan.

Akhirnya, harus kita akui bahwa makna penderitaan adalah suatu misteri, dan tak dapat sepenuhnya dijelaskan secara tuntas dengan akal, namun kita memperoleh pengertian secara lebih mendalam dalam terang iman di dalam Kristus Yesus. Dia yang telah mencapai kebangkitan dengan penderitaan, akan memampukan kita yang berlindung kepada-Nya, mencapai hal yang sama, bersama dan di dalam Dia. Maka bagi orang Katolik, penderitaan tidak pernah sia-sia, karena jika dilalui bersama Kristus dan di dalam iman kepada-Nya, akan menghantar kita kepada keselamatan kekal.

Apakah Tuhan Terdiri dari Bagian-bagian?

31

Ada sebagian orang yang menyangka bahwa Tuhan terdiri dari bagian-bagian yang kompleks seperti yang ada pada kita manusia dan bagian-bagian itu dapat dibeda-bedakan antara satu dan lainnya, dan itu bagiannya itu tidak sama dengan Tuhan.

Namun St.Thomas Aquinas, mengutip pengajaran St. Agustinus, mengatakan sebaliknya, yaitu Allah itu sederhana, sehingga tidak terdiri dari bagian-bagian. Demikian katanya (selengkapnya, silakan klik  untuk membaca di link ini):

“St. Agustinus mengatakan bahwa : “Tuhan itu sungguh dan secara mutlak, sederhana” (De Trin. IV, 6,7)

Saya menjawab bahwa Kesederhanaan Tuhan yang mutlak dapat dilihat dari:

Pertama, …. Sebab tidak ada komposisi bagian-bagian yang kuantitatif pada Allah, sebab Ia bukan sebuah tubuh, tidak terdiri dari komposisi materia dan forma; kodrat-Nya tidak berbeda dengan hakekat-Nya; esensinya tidak berbeda dari keberadaan-Nya,…. juga tidak ada perbedaan pada-Nya sebagai subyek dan accident (atribut/ ciri-cirinya). Maka, jelaslah bahwa Tuhan bukan merupakan komposit [campuran dari beberapa hal], tetapi seluruhnya sederhana.

Kedua, sebab setiap komposit (campuran) ada di bawah pengaruh bagian-bagian yang menyusunnya, dan tergantung kepadanya; tetapi Tuhan adalah Yang Pertama dari segalanya [sehingga tidak tergantung dari apapun, lihat penjelasan ST I, q.2, a.3]

Ketiga, sebab setiap komposit (campuran) mempunyai sebab, karena komponen-komponennya dari diri mereka sendiri yang berbeda-beda tidak dapat bersatu tanpa sesuatu yang menyebabkan mereka dapat bersatu. Tetapi Tuhan tidak disebabkan oleh apapun, sebagaimana dijelaskan dalam ST I, q.2, a.3- sebab Ia adalah Sang Penyebab yang pertama.

Keempat, sebab di dalam komposit, terdapat apa yang potensial dapat terjadi dan hal yang secara aktual sudah terjadi; tetapi hal ini tidak dapat terjadi pada Tuhan….

Kelima, sebab tak ada suatu komposit-pun yang dapat dinyatakan sama dengan salah satu bagiannya. Dan ini nyata di dalam keseluruhan benda yang terdiri dari bagian-bagian yang berbeda-beda; sebab bagian dari seorang manusia bukan merupakan manusia, atau bagian dari kaki adalah bukan kaki itu sendiri. Tetapi di dalam keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang serupa, meskipun sesuatu yang dinyatakan oleh keseluruhan dapat dinyatakan oleh bagiannya (seperti bagian dari udara adalah udara, dan bagian dari air adalah air), namun demikian, hal-hal tertentu yang dinyatakan oleh keseluruhan tidak dapat dinyatakan oleh bagian-bagiannya. Contohnya, jika keseluruhan volume air adalah dua kubik, tak ada bagiannya yang dapat berjumlah dua kubik juga. Maka, di dalam setiap komposit terdapat sesuatu yang bukan dirinya sendiri. Tetapi bahkan jika ini dapat dikatakan terhadap apa-pun yang mempunyai bentuk (forma) yaitu bahwa sesuatu mempunyai sesuatu yang bukan dirinya sendiri, sebagaimana di dalam obyek yang berwarna putih terdapat sesuatu yang tidak mempunyai hakekat warna putih; namun demikian, di dalam bentuk itu sendiri, tidak ada yang lain selain dirinya sendiri. Oleh karena itu, karena Tuhan adalah bentuk yang sempurna, atau lebih tepat disebut sebagai sosok yang sempurna, maka Ia tidak mungkin berupa komposit. St. Hilarius menyimpulkan demikian ketika ia mengatakan (De Trin. VII): “Tuhan, yang adalah Kekuatan, tidak terdiri dari hal-hal yang lemah; juga Ia, yang adalah Terang, tidak tersusun oleh hal-hal yang redup.”

….. “Bagi kita, benda-benda yang merupakan komposit (campuran) lebih baik daripada benda-benda yang sederhana, sebab kesempurnaan dari kebaikan [dari sesuatu benda] yang diciptakan tidak terdapat di dalam satu hal yang sederhana, tetapi di dalam banyak hal. Tetapi kesempurnaan kebaikan ilahi [yang tidak diciptakan] terdapat di dalam satu hal yang sederhana.”(St. Thomas Aquinas, Summa Theology, I, q.3, a.7; lih. q.4,a.1, q.6,a,2).

Dengan demikian, berdasarkan pengajaran para Bapa Gereja, dikatakan bahwa Allah itu sederhana, dan tidak ada bagian-bagian di dalam Allah, namun semuanya adalah keseluruhan dalam tingkatan yang sempurna. Atas dasar ini Tuhan dapat dikatakan sebagai Kasih, Kebenaran, Kebijaksanaan, Sang Sabda, dst; tanpa mengartikan bahwa Kasih, Kebenaran, Kebijaksanaan, Sang Sabda itu adalah bagian-bagian yang ‘menyusun’ Tuhan.

Mrk 7:1-23: Tradisi Manusia

5

Dalam perikop Mrk 7:1-23; Tuhan Yesus menegur sikap orang- orang Yahudi, yang menyamakan ajaran tradisi manusia dengan ajaran Tuhan; dan dengan demikian malah tidak menangkap prinsip ajaran Tuhan dan mengkorupsi ajaran Tuhan tersebut dengan interpretasi-interpretasi mereka sendiri yang keliru. (Maka ‘tradisi’ yang dibicarakan di sini bukanlah Tradisi Suci para rasul, yang justru bersumber dari ajaran Kristus dan para rasul, melainkan tradisi manusia yang berasal dari ajaran adat istiadat nenek moyang bangsa Yahudi (tradisi rabinis) yang mengambil kebiasaan kuno pada zaman itu).

Demikianlah keterangan tentang perikop Mrk 7:1-13, menurut A Catholic Commentary on Holy Scripture, Dom Orchard, ed.:

Perikop Mrk 7:1-23 (lih Mat 15:1-20) adalah tentang kontroversi dengan tradisi rabinis. Orang-orang Farisi (Mrk 3:6) dan Saduki (Mrk 3:22) telah merasa tidak nyaman karena ajaran Yesus dan mereka berpikir dapat ‘membalas’ Yesus dengan kesalahan para murid Kristus yang tidak mencuci tangan sebelum makan, yang mereka anggap menyalahi aturan pembasuhan ritual.

ay. 2 Kaum Farisi menganggap para murid itu sebagai ‘najis’/ secara ritual tidak bersih;

ay. 3-4 menjelaskan mengapa kaum Farisi menganggap para murid tersebut patut dipersalahkan karena tidak mencuci tangan sebelum makan. Orang-orang Farisi tidak hanya memperhatikan pelaksanaan peraturan tertulis tentang hukum Musa berkenaan dengan keadaan najis menurut hukum Musa, namun juga tradisi-tradisi nenek moyang, interpretasi-interpretasi dari hukum yang tertulis dan ketentuan-ketentuan lanjutan yang diturunkan oleh para rabbi zaman kuno. Mencuci tangan sebelum makan adalah salah satu dari tradisi rabbinis ini yang dianggap oleh kaum Farisi telah dilanggar oleh para murid Kristus.

ay. 5 Dengan mengatakan demikian, walaupun tidak menuduh Yesus melanggar tradisi tersebut, namun kaum Farisi dan Saduki, secara tidak langsung menuduh Yesus bertanggungjawab atas kesalahan para murid-Nya yang tidak mencuci tangan mereka sebelum makan.

ay. 6-8 Yesus malah menantang prinsip tradisi-tradisi ini dan mengecam ketidaktulusan dan kemunafikan kaum Farisi. Perkataan dalam kitab nabi Yesaya Yes 19:13, perkataan Nabi Yesaya yang mengecam ketidaktulusan orang-orang sejamannya di dalam menyembah Tuhan, menjadi relevan untuk dihubungkan dengan sikap kaum Farisi yang menentang Yesus ini. Dalam semangat mereka untuk mempertahankan tradisi-tradisi yang berasal dari pendangan- pandangan para guru/rabbi mereka di zaman dahulu, mereka malah mengabaikan kewajiban-kewajiban yang lebih mendasar dari hukum Tuhan [sebagaimana dijabarkan di ayat-ayat sesudahnya dalam perikop Mrk 7 tersebut].

ay. 16-13. Kristus memberikan contoh yang nyata di mana pelaksanaan tradisi rabbinis melawan hukum Tuhan. Perintah keempat dari sepuluh perintah Allah adalah menghormati orang tua (ayah dan ibu), termasuk di sini adalah membantu mereka di saat mereka membutuhkan bantuan. Namun aturan rabbinis membuatnya menjadi mungkin bahwa sang anak mengabaikan kewajiban ini dengan alasan untuk memenuhi tuntutan tradisi adat istiadat tersebut dengan alasan memberikan persembahan korban. Memang memberikan korban adalah mempersembahkan kepada Allah, namun ini tidak untuk dipertentangkan dengan ketentuan lain di dalam kesepuluh perintah Allah. Artinya, alasan memberikan korban tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan perintah Tuhan yang lain yang bahkan sudah menjadi kewajiban/ keharusan bagi anak, yaitu untuk menghormati dan merawat orang tua. Adalah suatu yang keliru, jika mereka melakukan pelanggaran perintah ini yang sudah jelas tertulis dalam kesepuluh perintah Allah, namun kemudian mengkritik para murid Yesus yang tidak melakukan ketentuan mencuci tangan, yang merupakan peraturan manusia tentang pembasuhan.

ay. 14-23 Prinsip yang benar tentang apa yang najis. Yesus mengajarkan prinsip dasar tentang apa yang menajiskan seseorang, yaitu bukan karena sebab eksternal seperti makanan, tetapi karena segala yang timbul di hati manusia, yang membuat ia kotor/ najis secara moral (lih. ay.15, 20-23).

 

Tentang Pembantaian Kaum Huguenot di Abad ke-16

5

Hal pembunuhan massal kaum Huguenot (kaum Calvinis di Perancis) yang terjadi di Paris tanggal 24 Agustus 1572 (pada hari raya St. Bartolomeus) dan minggu-minggu berikutnya memang menjadi perdebatan dalam topik sejarah Gereja. Perdebatan itu menyangkut praduga bahwa pembunuhan massal itu sudah direncanakan sebelumnya oleh pihak Kerajaan Perancis, dan kedua, bahwa ada keterlibatan Tahta Suci Roma dalam hal ini [sebagaimana dituduhkan oleh sebagian umat Protestan]. Kunci untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya, adalah mengetahui adanya hubungan antara gagalnya rencana pembunuhan Admiral Coligny, pemimpin kaum Calvinis, pada tanggal 22 Agustus -dan baru akhirnya terlaksana malam hari antara tanggal 23-24 Agustus- dengan kejadian pembunuhan massal kaum Huguenot. Selengkapnya tentang kisah ini, silakan klik di link ini.

Dewasa ini pandangan umum di Perancis adalah bahwa pihak Kerajaan terpaksa membunuh Coligny dan para pengikutnya, karena alasan untuk membela diri. Jumlah korban di Paris diperkirakan sekitar 2000 orang, sedangkan di propinsi-propinsi lainnya jumlah bervariasi antara 2000 sampai 100,000 orang. Namun di buku “Martyrologe des Huguenots” yang diterbitkan di tahun 1581, disebut bahwa korban berjumlah 15,138 orang, namun hanya 786 orang yang meninggal dunia.

Jika kita membaca kisah sejarah seputar peristiwa ini, memang terdapat banyak teori, tetapi sesungguhnya masuk akal jika disimpulkan demikian:

1) Keputusan Kerajaan Perancis tentang pembunuhan massal ini adalah bukan hasil konflik religius, bahkan sesungguhnya tidak dipicu oleh motif religius sama sekali. Kejadian itu adalah murni peristiwa politik yang menentang suatu fraksi yang mengganggu kerajaan.

2) Peristiwa pembunuhan massal itu sendiri tidak direncanakan; bahwa sampai tanggal 22 Agustus, Ratu Catherine hanya telah mempertimbangkan kemungkinan untuk menyingkirkan Coligny. Namun serangan terhadap Coligny diartikan oleh pihak Protestan sebagai pernyataan perang, dan karena ada ancaman balas dendam, maka Ratu Catherine memaksa puteranya Raja Charles IX yang dalam keadaan terombang-ambing, untuk memutuskan menyetujui rencana pembunuhan massal itu.

Maka dapat dilihat di sini bahwa kejadian itu tidak ada hubungannya dengan Tahta Suci. Paus tidak turut campur dalam rencana pembunuhan massal tersebut. Paus Pius V yang memperoleh laporan tentang adanya perang/ kekacauan di Perancis, menganggap bahwa Huguenot merupakan partai di Perancis yang memecah belah kerajaan Perancis justru dalam keadaan yang mensyaratkan kekuatan persatuan untuk mengalahkan serangan bangsa Turki. Maka yang diinginkan Paus adalah diakhirinya kekacauan masyarakat di Perancis, dan tercapainya keadaan politik dan religius. Namun demikian, Paus tidak menghendaki dihalalkannya segala cara untuk mencapai hal tersebut. Itulah sebabnya sejak lima tahun sebelum kejadian pembunuhan massal di hari raya St. Bartolomeus itu, Paus menentang cara yang tidak jujur dalam rencana Ratu Catherine untuk menyingkirkan Coligny.

Bukti lain ketidaktahuan pihak kepausan akan rencana pembunuhan massal tersebut adalah tulisan Salviati, kerabat Ratu Catherine yang menjabat sebagai nuncio/ perwakilan Paus di Paris pada saat itu. Walaupun Salviati adalah kerabat Ratu Catherine dan bahwa ia sungguh mengamati keadaan di negeri itu dari dekat, namun semua dokumen membuktikan, sebagaimana dikatakan oleh Soldan, ahli sejarah Protestan, bahwa kejadian di tanggal 24 Agustus terjadi tanpa pengaruh Paus (Roma). Bahkan kejadian pembunuhan massal sama sekali tidak diramalkan oleh Salviati. Ia menulis demikian kepada Paus tentang kejadian ini sehari setelah kejadian: “Saya tidak percaya bahwa begitu banyak orang akan mati kalau Admiral Coligny telah wafat ketika serdadu menembaknya …. Saya tidak percaya sepersepuluhpun dari apa yang sekarang saya lihat di hadapan mataku.”

Tanggal 2 September 1572, berita tentang kejadian di Perancis itu sampai kepada Paus Gregorius XIII di Roma. Paus menerima laporan dari Kardinal de Bourbon bahwa Admiral (Coligny) dan pengikutnya dibunuh, karena mereka merencanakan persekongkolan untuk membunuh Raja Perancis (Charles IX). Surat Raja Charles IX kepada Ratu Elizabeth di Inggris mengatakan tentang bahaya persekongkolan terselubung yang direncanakan atas dirinya, “Coligny dan pengikutnya sudah siap untuk memperlakukan kami dengan cara yang sama dengan cara yang telah kami lakukan terhadap mereka.” Itulah sebabnya diadakan doa dan prosesi ucapan syukur kepada Tuhan yang dirayakan setiap tanggal 24 Agustus di Perancis, bahwa akhirnya rencana persekongkolan untuk membunuh Raja berhasil terungkap, dan kaum pemberontak berhasil ditumpas. Mendengar hal itu, Paus mengutus Kardinal Orsini untuk menemui Raja Charles IX untuk memberi selamat bahwa ia terluput dari bencana tersebut. Namun kegembiraan Paus tak berlangsung lama, sebab beberapa waktu kemudian ia diberitahu tentang banyaknya kekejaman yang terjadi berkaitan dengan peristiwa pembunuhan massal di Perancis tersebut, dan Paus menjadi sangat marah. Di bulan Oktober 1572 saat Kardinal Lorraine ingin menghadapkan Maurevel, yang telah menembak Coligny, kepada Paus, Paus menolak untuk menerima dia, dengan mengatakan, “Ia sorang pembunuh.”

Kecaman Paus V tentang intrik-intrik melawan Coligny dan penolakan Paus Gregorius XIII untuk menemui Maurevel sang pembunuh, menunjukkan ketidakterlibatan kepausan dalam peristiwa yang mengenaskan tersebut. Yang diinginkan Paus adalah keadaan damai dan kesatuan religius, dan dalam keadaan apapun juga, tujuan akhir tidak menghalalkan segala cara. Mengenai ucapan selamat yang disampaikan Paus Gregorius XIII berkenaan dengan kejadian pembunuhan massal tersebut;  hanya dapat dipahami dengan benar dengan mengasumsikan bahwa pihak Tahta Suci, seperti halnya para pemimpin negara-negara Eropa lainnya dan juga banyak orang Perancis sendiri, percaya akan adanya persekongkolan kaum Huguenot yang ingin menumbangkan Kerajaan Perancis, dan bahwa kemudian hukuman yang setimpal telah selesai diberikan.

Agaknya dalam mempelajari sejarah kita harus mempunyai sikap yang lebih obyektif. Sebab kita sering mendengar tuduhan-tuduhan bahwa seolah Tahta Suci (Paus) berperan dalam pembunuhan umat Protestan, padahal fakta sejarah menuliskan keadaan yang sebaliknya, yaitu umat Katoliklah yang banyak dibunuh oleh kaum Protestan. Fr Alphonsus Maria Duran dalam bukunya, “Why Apologize for the Spanish Inquisition?” menulis:

Menurut Raphael Molisend, seorang sejarahwan Protestan, Raja Henry VIII membunuh 72,000 umat Katolik. Anak perempuannya Elizabeth I, dalam beberapa tahun saja, juga atas nama Kristianitas yang sudah direformasi, dan karena itu telah dimurnikan, menyebabkan jatuhnya lebih banyak korban, jauh melebihi apa yang terjadi pada inkuisisi di Spanyol dan Roma selama 3 abad (331 tahun). Dari Geneva, Calvin mengirimkan utusan kepada England (Inggris) dengan pesan untuk membunuh orang-orang Katolik: “Siapa yang tidak mau membunuh para pengikut Paus, adalah pengkhianat.” Kebijakan ini dikenal tidak hanya oleh orang-orang Inggris yang setia kepada Roma, tetapi juga orang- orang Irlandia, yang hidup dan hak asasinya diambil (sampai 1913), demikian juga tanah mereka. Tahun  1585 parlemen Inggris mengeluarkan dekrit “hukuman mati bagi para warga Inggris yang kembali ke Inggris setelah ditahbiskan menjadi imam Katolik, dan semua orang yang menghubungi mereka.” (Black Legends of the Church by Vittorio Messori, ch. 6, nr. 36)

Jadi nampaknya, sudah saatnya kita melihat fakta sejarah dengan lebih obyektif. Sebab dengan sikap terbuka dalam membaca sejarah, kita dapat melihat bahwa kelemahan faktor manusialah yang membuat adanya pertentangan sesama saudara pengikut Kristus di masa yang lalu, dan sungguh kelemahan ini ada di kedua belah pihak. Karena itu baiklah sikap yang diambil oleh Paus Yohanes Paulus II ketika di tahun 1980-1996 beliau atas nama Gereja Katolik meminta maaf atas adanya kesalahan yang diperbuat oleh putera puteri Gereja di masa yang lampau. Walaupun kalau kita melihat kepada faktanya, seharusnya selayaknya pula, mereka yang telah menganiaya putera- puteri Gereja Katolik juga meminta maaf atas perbuatannya. Namun tidaklah mungkin untuk mensyaratkan hal itu sekarang, sebab yang menganiaya Gereja Katolik saat itu juga sudah meninggal dunia, dan tidak ada pihak otoritas gereja Protestan yang dapat mewakili gerejanya untuk berbicara meminta maaf atas nama mereka itu. Jadi biarlah kita biarkan fakta sejarah berlalu untuk mengajar kita, agar jangan sampai terjadi lagi pertentangan seperti pada masa lalu; dan sudah saatnya sebagai sesama pengikut Kristus kita lebih mengusahakan persatuan dan bukannya saling menyalahkan. Mari kita mengikuti teladan Paus Yohanes Paulus II, yang tidak menunggu/ mensyaratkan orang yang bersalah kepada kita untuk meminta maaf terlebih dulu, baru kita meminta maaf, namun kita mau dengan kerendahan hati meminta maaf, mengakui kesalahan di pihak kita, demi tercapainya hubungan yang lebih baik dengan sesama.

“Inilah ibumu”

0

Saya termasuk orang yang takut terbang. Saya rasa cukup banyak juga orang yang mempunyai rasa takut yang sama dengan saya. Sudah menjadi kebiasaan saya, begitu masuk kabin, setelah menaruh bawaan di tempat yang tersedia, duduk di kursi pesawat, dan memasang sabuk pengaman, saya lalu segera tenggelam dalam keheningan batin, telapak tangan menggenggam rosario dengan erat, menutupinya dari pandangan pramugari yang lalu lalang di lorong kabin menyiapkan para penumpang untuk berangkat. Walaupun mata saya terbuka, melihat ke luar jendela, atau pura-pura menyimak pramugari di tengah lorong kabin yang sedang sibuk memperagakan petunjuk keselamatan (yang saya memang sudah hampir hafal), tapi hati saya tertuju kepada Bapa dan kepada Bunda Maria. Saya berdoa memohon perlindungan dan keselamatan selama penerbangan yang akan saya lalui. Saya berpikir, kalau sampai ada apa-apa, setidak-tidaknya saya dalam keadaan berdoa. Butir-butir rosario yang mengalir di antara jemari membantu doa saya tetap fokus di antara kesibukan dan keramaian di sekitar saya. Dan sepanjang penerbangan, bersama doa Bunda Maria yang saya kasihi, rasa takut saya menjadi sangat terkendali dan terkuasai dengan baik. Begitulah, bisa dibilang, perasaan saya di atas pesawat yang sedang terbang di udara dan perasaan pada saat terbaring tanpa daya di atas brankar yang sedang didorong ke meja operasi adalah perasaan yang hampir mirip, yaitu perasaan pasrah penuh kepada pemeliharaan kasih Bapa. Pada saat-saat  semacam itu, saya diajak menyadari kembali bahwa manusia yang sering merasa dirinya serba hebat ternyata sebetulnya tidak mempunyai kuasa atas hidupnya sendiri.

Sebagai orang dewasa, tentu saya tidak bisa lagi berlindung di balik punggung ibu saya jika ketakutan dan kekhawatiran melanda, seperti layaknya seorang anak kecil yang mendapat ketenangan dan kekuatan dengan berlindung di balik badan sang ibu ketika dirinya merasa tidak nyaman. Namun di dalam medan kehidupan, masih ada banyak ketakutan dan kekhawatiran yang seringkali muncul dan sukar dibendung. Ketakutan akan masa depan, kekhawatiran akan sakit penyakit, kesedihan karena berbagai kesukaran hidup, kepahitan karena perbuatan sesama yang menyakitkan, dan masih banyak lagi. Pada saat-saat yang genting dalam hidup, cobaan yang dirasakan berat kadang membuat manusia bertanya di manakah Tuhan. Ada gelitik tanya yang menggoda sanubari,  seolah-olah Tuhan menutup telingaNya terhadap jeritan permohonan manusia dan meninggalkan kita sendirian. Tetapi salah satu benda yang membuat saya kembali sadar bahwa Tuhan begitu mencintai saya dan tidak akan pernah meninggalkan saya adalah rosario saya, dan kenangan saya kepada Bunda Maria, kepada siapa Tuhan Yesus berkata dari atas kayu salib, “Inilah anakmu” dan kepada Yohanes, “Inilah Ibumu”. Dan saat itulah saya menemukan ibu Tuhan saya yaitu Bunda Maria, menjadi kekuatan dan perlindungan saya dalam keadaan sedih, genting, kesepian, dan ketakutan.

Semua yang Yesus katakan selama hidup-Nya di dunia mempunyai makna mendalam bagi kehidupan dan keselamatan umat manusia. Dan salah satu kata-kata terakhirNya di atas palang kesengsaraan yang tiada taranya itu sebelum Dia meninggal dunia adalah bukti otentik bahwa penyertaanNya kepada manusia, tidak akan pernah berhenti. Penyertaan yang dirancangNya bagi manusia yang dipercayakanNya kepada ibu-Nya adalah sungguh mengagumkan, karena figur ibu adalah figur pertama yang dikenal oleh manusia dalam hidupnya, figur yang melindungi, figur yang akan berbuat apa saja bagi keselamatan anak-anaknya.  Bagi Yesus, menyerahkan ibuNya tentu merupakan suatu bentuk kasih yang amat dalam. Ia ingin agar kasih sayang seorang ibu yang sudah dialamiNya sendiri dari Bunda Maria sepanjang hidup-Nya sebagai manusia, juga dapat kita alami dan rasakan sepenuhnya, terutama di saat-saat paling genting dalam kehidupan manusia, sampai maut menjemput. Maka, doa Salam Maria di bagian akhir berbunyi, “…doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati”. Manusia lahir melalui seorang ibu, dan di dalam Yesus melalui bunda-Nya, saat manusia mati, ia berada dalam penjagaan doa ibu-Nya sendiri, yaitu Ibu Maria. Betapa dalamnya cinta Tuhan Yesus kepada manusia !

Seberapa dalamnya kita menghayati sepotong kalimat lirih yang Tuhan Yesus bisikkan di atas palang penderitaan itu, sebelum nafas terakhir-Nya? Kata-kataNya yang lembut penuh kedalaman cinta yang tak terbatas itu berbunyi, “Inilah ibumu”. Untuk selama-lamanya, kata-kata Yesus itu menjadi  bukti hidup dan otentik bahwa Tuhan selalu memikirkan kita, selalu ingin hadir bagi kita, dan selalu ingin melindungi kita terutama di saat-saat genting dan sulit dalam hidup, saat-saat yang penuh ketidakpastian, saat manusia merasa Tuhan seperti tidak ada, saking gelapnya jalan yang sedang dilalui. Tetapi Tuhan selalu ingin kita sadar dan mengerti bahwa Ia selalu ada, dan menyertai kita dengan kasih yang tak terpahami.  Di dalam perlindungan kasih dan doa seorang ibu, yaitu Ibu-Nya sendiri, yang mengandungNya selama sembilan bulan di dalam rahimnya, dan yang mengandung sabda dan kehendak Bapa dengan penuh ketaatan selama seumur hidupnya, Yesus ingin kita senantiasa merasakan ketenangan, kekuatan, dan ketegaran. Yesus ingin kita selalu merasa dicintai, dan jangan pernah takut lagi. “Inilah ibumu”, bisikNya dengan lembut, dan sejak saat itu, saya tahu bahwa sesungguhnya saya tidak perlu takut apa-apa lagi. (Triastuti).

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab