Home Blog Page 166

Doa untuk Kemurnian Hati

1

oleh St. Thomas Aquinas

Tuhan Yesus yang terkasih,

aku menyadari bahwa setiap karunia yang sempurna,
dan di atas semua itu, karunia kemurnian, tergantung dari pertolongan yang sangat berkuasa dari Penyelenggaraan-Mu,
dan bahwa tanpa Engkau, seorang mahluk ciptaan tak akan dapat berbuat apapun.
Oleh karena itu, aku berdoa kepada-Mu, dengan rahmat-Mu,
agar dapat mempertahankan kemurnian dan kesucian jiwaku dan juga tubuhku.
Dan jika aku pernah menerima, melalui inderaku apapun kesan yang dapat menodai kemurnian dan kesucianku,
semoga Engkau, yang adalah Tuhan yang mengatasi semua kekuatanku, mengambil itu daripadaku,
sehingga aku dapat dengan hati yang tak bernoda bergegas memperhatikan kasih-Mu dan pelayanan-Mu,
mempersembahkan diriku dengan kemurnian sepanjang hari dalam hidupku di altar keilahian-Mu yang termurni.

Amin

Tahukah Yesus akan hari kiamat?

21

Pernyataan Yesus tentang akhir jaman dalam ayat Mrk 13: 32, memang mengundang bermacam interpretasi, namun sebaiknya kita berpegang pada apa yang menjadi pengertian Bapa Gereja, karena demikianlah yang dipegang oleh Gereja Katolik. Ayatnya berbunyi demikian, “Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa saja.”

Jika kita hanya membaca sepintas, atau mengambil arti harafiah pernyataan ini, maka kita dapat mengambil kesimpulan yang tidak sesuai dengan arti yang semestinya.
Hal ini yang terjadi, setidaknya yang dimengerti oleh 2 kelompok ini:

1. Themistius dan para pengikutnya, di abad ke 6, mengartikan ayat tersebut bahwa Yesus benar-benar tidak tahu akan hal saat akhir jaman ini. Heresi ini dikenal dengan nama Agnoetae: Penyangkalan akan kemahatahuan Allah atau Kristus.

2. Para penganut Protestant Kenotic Christology (Kristologi Kenotik menurut Protestan) yang berpendapat bahwa melalui Inkarnasi maka Tuhan Yesus melepaskan kepenuhan sifat-sifat keilahian-Nya, sehingga Sang Sabda menjadi terbatas dalam hal omniscience, omnipresence dan omnipotence. Martin Luther mendasari pendapatnya ini dengan teks dari Flp 2:6-11. Teori ini dikembangkan secara ekstrim oleh teolog Protestan, Wolfgang Friedrich Gess (1819-91) yang menyatakan bahwa melalui Inkarnasi terjadi perubahan besar dalam Trinitas, karena Allah Bapa ‘berhenti’ menghasilkan Sabda, sehingga Roh Kudus hanya bersumber pada Allah Bapa, dan tidak melibatkan Kristus. Secara objektif dapat kita lihat bahwa teori ini dapat mengarah kepada penyangkalan akan kesamaan substantial antara Allah Bapa dan Yesus (Allah Putera), yang hampir sama dengan heresi Arianisme pada awal abad ke 4.

Gereja Katolik TIDAK mengartikan ayat tersebut seperti kedua pendapat di atas. Sebab Gereja Katolik berpegang pada apa yang tertera di banyak ayat di dalam Alkitab yang menyatakan kesetaraan Yesus dengan Allah Bapa, sebagai Firman yang adalah Allah sendiri yang menjelma menjadi manusia (Yoh 1:1, 14), sebagai Pribadi kedua dari Trinitas (lihat kembali artikel ini (silakan klik) dan ini (silakan klik) tentang banyaknya bukti Alkitabiah tentang ke-Allahan Yesus dan kesetaran-Nya dengan Allah Bapa). Kesetaraan ini mencakup segala hal, termasuk dalam hal pengetahuan akan hari dan saat Penghakiman Terakhir.
Pengajaran Gereja Katolik tentang hal ini berdasarkan dari pengajaran Magisterium Gereja yang ditegaskan di dalam:

1. Konsili Nicea (325), yang menegaskan doktrin Ke-Allah-an Yesus: bahwa Kristus adalah Tuhan, “consubstantial”/ sehakekat dengan Allah Bapa. Konsili ini diadakan untuk menegakkan pengajaran Gereja yang pada waktu itu diserang oleh faham sesat Arianisme.

2. Konsili Chalcedon (451), yang membacakan “The Tome of Leo”, bunyinya, “Jadi di dalam keutuhan dan kesempurnaan Yesus sebagai manusia, Allah telah menjelma, lengkap di dalam segala sesuatunya sebagai Allah, lengkap di dalam segala sesuatunya sebagai manusia, ….. menaikkan derajat manusia, tanpa mengurangi derajat-Nya sebagai Allah: sebab dengan mengosongkan Diri-Nya, Ia yang tidak kelihatan membuat Diri-Nya menjadi kelihatan;Pencipta segala sesuatumenginginkan DiriNya menjadi mahluk yang mortal, bukan karena kegagalan kekuasaan-Nya, namun karena pernyataan belas kasihan-Nya. Oleh karena itu, Ia yang tetap Allah, mengambil rupa manusia, bahkan menjadi seorang hamba. Sebab, kedua sifat itu [ke-Allahan dan kemanusiaan-Nya] tetap mempertahankan karakterkeduanya tanpa menghilangkan satu sama lain: dan ke-AllahanNya tidak menghapuskan karakter hamba, ke-hamba-anNya tidak mengurangi karakter ke-Allahan-Nya.”

Patriarkh Alexandria, bernama Eulogius, bersama dengan uskup-uskup Yerusalem, Stephanus dan Sophronius mengecam heresi Agnoetae (abad ke-6) tersebut. Eulogius mengirimkan surat kepada Paus Gregorius Agung  tentang hal ini, dan Paus menanggapinya dengan meneguhkan keputusan Eulogius. Paus menyatakan:
“Allah Putera yang Mahatahu mengatakan bahwa Ia tidak tahu harinya [akhir zaman], yang menyebabkan Ia tidak menyatakannya, bukan disebabkan oleh sebab Ia sendiri tidak tahu, tetapi karena Ia tidak mengizinkan hal tersebut diketahui sama sekali…. Putera Tunggal Allah yang menjelma menjadi manusia yang sempurna untuk kita, sungguh mengetahui hari dan saatnya Penghakiman Terakhir di dalam diriNya sebagai manusia, namun demikian Ia tidak mengetahui hal itu dari kapasitasnya sebagai manusia…. Sebab untuk maksud apa bahwa Ia yang menyatakan DiriNya sebagai Kebijaksanaan Allah yang menjelma, jika ada sesuatu yang tidak diketahui olehNya sebagai Kebijaksanaan Allah? … Juga tertulis bahwa, …. Allah Bapa menyerahkan segala sesuatu ke dalam tanganNya [Yesus Kristus di dalam Yoh 13:3]. Jika disebutkan segala sesuatu, tentu termasuk hari dan saat Penghakiman Terakhir. Siapa yang begitu naif untuk mengatakan bahwa Allah Putera menerima di dalam tangan-Nya sesuatu yang tidak diketahui olehNya?” ((Denz 248; Ep Sicut aqua frigida to the Patriarch of Alexandria Eulogius. PL 77: 1096-1099.))

St. Maximus (580-662): Jika para nabi saja dapat mengetahui hal- hal di masa depan yang akan terjadi, betapa lebih lagi Kristus dapat mengetahui semua itu melalui kesatuan-Nya dengan Sang Sabda ((Lihat Quaestiones et dubia 66 (I, 67), PG 90: 840)).

Sedangkan untuk menanggapi Kristologi Kenotik menurut Protestant, Paus Pius XII dalam memperingati Konsili Chalcedon yang ke 1500, menulis surat ensiklik Sempiternus Rex pada tahun 1951, yang mengecam penyalah-artian ayat Filipi 2:7 pada mereka yang berpikir bahwa tidak ada keilahian di dalam Sabda yang menjadi manusia dalam diri Kristus. Menurut Bapa Paus, ini adalah maksud yang keliru, seperti halnya heresi Docetism yang mengklaim sebaliknya. Selanjutnya Bapa Paus menegaskan kembali apa yang telah ditetapkan di dalam The Tome of Leo, “Ia yang sungguh-sungguh Allah telah lahir, lengkap di dalam ke-Allahan-Nya, dan lengkap di dalam kemanusiaan-Nya.”

Demikian yang dapat kami tuliskan mengenai Mrk 13:32. Di atas semua ini kita perlu dengan rendah hati menerima, bahwa pihak Magisterium Gereja adalah yang paling dapat menginterpretasikan ayat-ayat Alkitab dengan benar, dalam kesatuan dengan ayat-ayat yang lain di dalam Alkitab, dan Tradisi Suci Gereja.

Penjelasan Perikop tentang Orang Kaya dan Lazarus

0

Demikianlah penjelasan perikop Luk 16:19-31 menurut penjelasan The Navarre Bible on Luke, p. 188-191:

ay. 19-31 Perikop ini menampilkan dua jenis kesalahan- 1) paham yang dimiliki orang-orang yang menyangkal bahwa jiwa tetap ada setelah kematian dan oleh karena itu terdapat penghargaan ataupun hukuman di dalam kehidupan yang akan datang; 2) dan paham orang-orang yang menginterpretasikan kemakmuran material di dalam kehidupan di dunia ini sebagai sebuah penghargaan terhadap kebenaran moral dan kesulitan/ ketidakberuntungan sebagai hukuman. Perumpamaan ini menunjukkan bahwa segera setelah kematian, jiwa dihakimi oleh Tuhan untuk segala perbuatannya – ini disebut sebagai “Pengadilan Khusus” (selanjutnya tentang hal ini klik di sini)- dan diberi penghargaan ataupun hukuman; dan wahyu ilahi sendiri sudah cukup bagi manusia untuk dapat mengimani kehidupan yang akan datang.

Di samping itu, perikop juga mengajarkan martabat yang tertanam di setiap pribadi manusia, terlepas dari keadaan sosialnya, keuangan, budaya maupun agamanya. Dan penghormatan akan martabat ini maksudnya adalah bahwa kita harus menolong mereka yang mengalami kebutuhan materi dan rohani: “Beranjak kepada konsekuensi-konsekuensi praktis yang cukup mendesak, Konsili menekankan sikap hormat terhadap manusia, sehingga setiap orang wajib memandang sesamanya, tak seorang pun terkecualikan, sebagai “dirinya yang lain”, terutama mengindahkan perihidup mereka beserta upaya-upaya yang mereka butuhkan untuk hidup secara layak, supaya jangan meniru orang kaya, yang sama sekali tidak mempedulikan Lazarus yang miskin itu.” (Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 27) ….

ay. 22-26.  Harta duniawi, seperti juga penderitaan, adalah sementara; kematian akan menandai akhir dari semua itu, dan juga akhir dari masa ujian kita, kemampuan kita untuk melakukan dosa ataupun mencapai penghargaan karena melakukan perbuatan-perbuatan baik; dan segera setelah kematian, kita akan mulai menikmati penghargaan kita atau menderita hukuman yang sesuai. Magisterium Gereja telah menentukan bahwa jiwa-jiwa yang meninggal dunia dalam keadaan rahmat Tuhan langsung masuk surga, atau setelah mengalami masa pemurnian, jika diperlukan. “Kita percaya akan kehidupan kekal. Kita percaya bahwa jiwa-jiwa dari semua orang yang meninggal dunia dalam rahmat Kristus -apakah mereka masih harus menjalani masa pemurnian di Api Penyucian, atau pada saat meninggalkan tubuh mereka [langsung] diterima oleh Kristus…- pergi untuk membentuk suatu umat Tuhan yang mengatasi kematian, kematian yang akan seluruhnya dihancurkan pada hari kebangkitan ketika jiwa-jiwa ini disatukan kembali dengan tubuh-tubuh mereka” (Paus Paulus VI, Creed of the People of God, 28).

Istilah “pangkuan Abraham” mengacu kepada suatu tempat atau keadaan “yang ke dalamnya jiwa-jiwa orang benar diterima, sebelum kedatangan Kristus Tuhan, dan di mana tanpa mengalami kesakitan, tetapi ditopang oleh pengharapan akan penebusan, mereka menikmati istirahat yang damai. Untuk membebaskan jiwa-jiwa orang benar inilah, yang di pangkuan Abraham mengharapkan kedatangan Sang Penyelamat, Kristus Tuhan turun ke tempat penantian” (St. Pius V, Catechism I, 6,3).

ay. 22. “Baik orang kaya maupun sang pengemis wafat dan dibawa ke hadapan Abraham, dan di sana pengadilan diadakan sesuai dengan perbuatan mereka. Dan Kitab Suci mengatakan kepada kita bahwa Lazarus memperoleh penghiburan, tetapi orang kaya tersebut memperoleh penyiksaan. Apakah orang kaya itu dihukum karena ia mempunyai harta, sebab ia berlimpah dalam kekayaan duniawi, sebab ia, “berpakaian jubah ungu  dan kain halus dan setiap hari bersuka ria dalam kemewahan?” Tidak,  saya katakan bukan karena alasan itu. Orang kaya itu dihukum sebab ia tidak memberikan perhatian kepada orang yang lain itu, sebab ia gagal untuk memperhatikan Lazarus, seorang yang duduk di depan pintunya, yang ingin memakan remah-remah dari mejanya. Tidak di manapun Kristus mengecam kepemilikan barang-barang duniawi. Sebaliknya, Ia mengucapkan kata-kata yang keras menentang mereka yang menggunakan harta miliknya dengan cara mementingkan diri sendiri, tanpa memperhatikan kebutuhan-kebutuhan sesama [….]

“Perikop orang kaya dan Lazarus harus hadir di ingatan kita, harus membentuk hati nurani kita. Kristus menuntut keterbukaan kepada saudara-saudari kita yang membutuhkan pertolongan – keterbukaan dari para orang kaya, yang berkelimpahan, yang secara ekonomi beruntung; keterbukaan kepada yang miskin, kepada mereka yang tidak berkembang dan mereka yang tidak beruntung. Kristus menuntut keterbukaan yang lebih dari sekadar perhatian yang lemah lembut, lebih dari pemberian tanda hadiah atau usaha-usaha setengah hati yang menjadikan kaum miskin sebagai kaum yang tertinggal/ terbuang sebagaimana sebelumnya atau bahkan lebih parah lagi [….]

“Kita tidak dapat berdiam diri, menikmati kekayaan dan kebebasan kita, jika di suatu tempat yang lain, ada Lazarus di abad ke duapuluh ini yang berdiri di depan pintu kita. Di dalam terang perumpamaan Kristus, kekayaan dan kebebasan maksudnya adalah tanggung jawab istimewa. Kekayaan dan kebebasan menciptakan kewajiban yang istimewa. Dan di dalam nama solidaritas yang mengikat kita semua bersama dalam kemanusiaan yang sama, saya kembali mewartakan martabat setiap orang: baik orang kaya maupun Lazarus adalah manusia, keduanya sama-sama ditebus oleh Kristus dengan harga yang mahal, harga “darah Kristus yang berharga” (1 Pet 1:19)” (Paus Yohanes Paulus II, Homily in Yankee Stadium, 2 October, 1979)

ay. 24-31. Dialog antara orang kaya dan Abraham adalah dramatisasi yang bertujuan untuk membantu orang mengingat pesan dari perumpamaan itu: jelaslah, di neraka tidak ada tempat untuk perasaan belas kasihan kepada sesama: di neraka, kebencian terus ada. “Ketika Abraham mengatakan bahwa ‘di antara kita terdapat jurang yang tak terseberangi…’ia memperlihatkan bahwa setelah kematian dan kebangkitan, tidak ada ruang buat segala bentuk pertobatan/ penyesalan. Orang-orang yang jahat tidak akan menyesal dan masuk Kerajaan, demikian juga tidak akan ada orang benar yang berdosa dan turun ke neraka. Terdapat jurang yang tak terseberangi” (Aphraates, Demonstratio, 20; De sustentatione egenorum, 12). Ini membantu kita memahami apa yang dikatakan oleh St. Yohanes Krisostomus: “Saya meminta kepadamu, dan memohon kepadamu dan berlutut di kakimu, saya mohon: sepanjang kita menikmati masa hidup yang singkat ini, biarlah kita bertobat, biarlah kita berbalik, biarlah kita menjadi lebih baik, sehingga kita tidak perlu meratap yang tidak berguna seperti si orang kaya ketika kita meninggal dunia dan di mana air mata kita tak berguna sedikitpun. Sebab bahkan jika kamu mempunyai seorang ayah dan seorang anak atau seorang teman atau siapapun juga yang mungkin berpengaruh/ dekat dengan Tuhan, tak akan ada seorangpun yang dapat membebaskan kamu, sebab perbuatan-perbuatan kamu sendiri menghukum kamu.” (St. John Chrysostom, Homily on 1 Cor)

Hare gene Masih Ragu?

-1

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”  (Mark 28 : 19-20)

Walau telah tiga tahun bersama Yesus, mengalami sendiri karya-karya-Nya yang penuh kuasa, mendengarkan pengajaran-pengajaran-Nya yang demikian dalam menyentuh nurani, menyaksikan deritaNya yang amat berat yang dijalani dengan penuh kerelaan dan kerendahan hati sampai wafat, sampai  kemudian berpuncak pada melihat kubur-Nya yang kosong karena Ia bangkit dari mati dan kembali hadir di tengah-tengah mereka, ternyata tingkat kesadaran para pengikut-Nya masih belum seluruhnya sama, belum seluruhnya mampu memahami hingga merasuk dalam sukma, siapakah Yesus itu dan apa yang sebenarnya sedang Ia kerjakan di dalam dunia.  Injil Matius mencatat dalam Mat 28:17, ketika melihat Dia mereka menyembahNya, tetapi beberapa orang ragu-ragu.  Demikian juga Markus mencatat  dalam Mark 16:14, sesaat sebelum Yesus naik ke surga, Yesus mencela  ketidakpercayaan dan kedegilan hati mereka,  karena mereka tidak percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia  sesudah kebangkitanNya.  Ya, wafatNya di kayu salib di depan mata mereka dan kebangkitanNya dari alam maut seakan merupakan peristiwa yang terlalu berat bagi akal budi mereka untuk dapat dicerna dan dipahami.  Semua yang pernah Dia nyatakan kepada mereka sebelum sengsara dan wafatNya, sesungguhnya seluruhnya telah menjadi kenyataan. Puncaknya adalah kebangkitanNya, yang juga telah Dia ramalkan dengan tepat sebelumnya kepada mereka, bahkan hingga beberapa kali, baik secara kiasan maupun secara eksplisit. Namun demikian cepatnya rangkaian peristiwa ajaib itu terjadi di depan mata mereka,  membingungkan pemahaman manusiawi mereka, yang membuat mereka lambat untuk mengerti.

Berbagai kondisi perasaan dan tingkat pemahaman spiritual para murid di saat Yesus mengucapkan kata-kata perpisahan dan pengutusan sebelum terangkat ke surga itu mengingatkan saya pada keadaan umat manusia yang menjadi murid-murid Kristus di jaman ini, termasuk saya.  Segala bentuk keraguan akan karya penyelenggaraan Tuhan masih menghantui manusia, terutama dalam berbagai penderitaan hidup. Keraguan akan kasih dan kuasa Kristus yang nyata, membuat kadang kita lebih sibuk mempertanyakan Tuhan, berdebat tanpa ujung pangkal mengenai kebenaran Tuhan yang telah dinyatakan dengan jelas dan luar biasa kuatnya di dalam Kitab Suci. Apakah Tuhan masih kurang mencurahkan rahmat dan kuasa-Nya? Waktu kita habis untuk mempertanyakan di mana Tuhan. Tenaga, perhatian, serta cinta yang selayaknya dipersembahkan kepada Tuhan melalui penyembahan dan puji-pujian serta upaya nyata untuk meringankan penderitaan sesama, tersita untuk mencari jawaban yang kadang bahkan melalui media-media lain yang bukan dari Tuhan, untuk memuaskan rasa penasaran kita.

Tetapi, apakah waktu kita cukup? Jam-jam kehidupan kita terus melaju tanpa bisa direm dengan kekuatan apa pun juga. Tidakkah kita melihat bahwa panggilan Tuhan untuk berbuat nyata dan mewartakan kasih-Nya ke segala penjuru itu sudah sedemikian mendesak di tengah dunia yang penuh dengan kegelapan, ketidakpastian, dan penyesatan ini.  Ancaman dari si jahat meraung-raung dari segala penjuru, datang dari televisi, musik, gaya hidup, tawaran konsumerisme dan hedonisme, kehausan yang berlebihan akan uang dan materi, kekuasaan, nama besar, dan segala yang serba enak-enak tetapi tidak mempunyai esensi apa-apa untuk kehidupan kekal. Siapa yang akan menjadi penahan lajunya kekuatan kegelapan itu di dalam dunia kalau bukan kita, anak-anak terang yang sudah dipilih dan diperlengkapiNya lewat rahmat pembaptisan dan kuasa Roh Kudus dan dicurahiNya kekuatan surgawi melalui sakramen-sakramen GerejaNya yang memberi hidup? Sudah selalu sadarkah kita bahwa kita adalah anak-anak yang diserahi tanggungjawab untuk melanjutkan pewartaan keselamatan yang telah diawaliNya dua ribu tahun yang lalu di dalam dunia ini dan di tengah-tengah manusia? Apakah kita akan terus merasa ragu-ragu dan bertanya tak henti-henti, berdebat mencari pemuasan ego pribadi dan pengakuan semu, sementara Tuhan sudah senantiasa mencurahkan berkat-Nya dalam hidup sehari hari dan menunggu kita untuk pergi ke seluruh dunia untuk mewartakan kasih-Nya? Keraguan kita yang tak henti dan pendewaan ego yang selalu merasa diri paling benar juga membahayakan persatuan anak-anak Tuhan, yang seharusnya justru saling bergandengan tangan dan bahu membahu untuk membangun Kerajaan Allah di dunia. Musuh kita yang sebenarnya adalah si jahat, yang ingin merebut kita dan dunia ini dari tangan kasih Allah, musuh kita bukanlah sesama kita, bukanlah sekedar  orang-orang yang berseberangan dengan kita. Mungkin jika himbauan Tuhan ini dibahasakan dalam gaya gaul anak muda jaman sekarang, himbauan ini akan melahirkan komentar yang berbunyi seperti ini, “Hare gene masih ragu-ragu juga? Masih debat kusir juga? Apa kata surga? “, (dan bukan hanya “apa kata dunia”…!)

Kini Yesus telah kembali ke Surga, supaya Roh Kudus yang dijanjikanNya dapat datang dan menyertai setiap tugas perutusan yang Tuhan ingin kita lanjutkan sebagai anak-anakNya dalam satu baptisan kudus. Tuhan memerlukan kita, Tuhan mempercayai kita, dan ia masih terus menantikan kita bergabung dalam tugas perutusan mulia itu untuk melanjutkan dan menuntaskan karya-karya keselamatan yang dirancangNya, untuk pergi dan menjadi saksi atas kasih dan keselamatan yang menjadi harapan umat manusia bagi kehidupan yang kekal. Melalui seluruh karya kasih dan pekerjaan Kristus selama hidupNya di dunia, Ia telah mengaruniakan banyak hikmat dan pengajaran yang menjadi kekuatan dan perlengkapan kita dalam memikul tugas mewartakan kabar gembira, melayani sesama di dalam kasih tanpa pamrih, sehingga melalui seluruh cara hidup kita, kita boleh turut mewartakan kabar kebebasan yang dibawa Tuhan kepada para tawanan, baik itu tawanan oleh karena kemiskinan rohani, tawanan oleh perbudakan dosa dan kebiasaan buruk, tawanan oleh rasa kecil hati karena perlakuan sesama yang sewenang-wenang. Pendeknya, kabar sukacita Kristus menjadi amanat kita, anak-anak yang telah diselamatkan oleh iman dan kasih kita kepada Dia, untuk digemakan ke seluruh pelosok kehidupan, dalam setiap langkah kita di mana pun berada.

Kita memang masih terus berjuang dengan pergumulan kita sendiri melawan dosa, kita juga masih bergumul dengan kepahitan-kepahitan hidup kita sendiri, kepedihan-kepedihan kita, dan harapan-harapan kita yang belum terpenuhi. Tetapi semua itu bukan halangan untuk terus maju membaktikan diri bagi karya nyata demi Kerajaan Allah yang kita cintai. Mengapa? Karena justru iman dan kasih kita dapat ikut bertumbuh dan dimurnikan melalui tugas-tugas perutusan kita itu. Marilah kita melihat kembali apa yang dinyatakan Rasul Paulus dalam Efesus 4 : 11-16, “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari padaNyalah seluruh tubuh, yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota – menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.

Tuhan sudah memanggil kita, menugaskan kita, memperlengkapi kita, apakah kita masih membiarkan Dia menunggu? Tidak ada yang lebih indah daripada sebuah kesadaran bahwa Tuhan Raja Semesta Alam membutuhkan komitmen kita, menunggu keterlibatan kita. Berarti Dia mempercayai kita, untuk turut memikul tugas mulia yang tidak diberikan kepada sembarang ciptaan, dan pasti Ia sudah selalu mempersiapkan kita untuk melakukan tugas kepercayaan itu (dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya, Mark 16 : 20b). Betapa bahagianya kita karena Tuhan mempercayakan tugas mulia kepada kita, inilah kesempatan emas yang selayaknya kita manfaatkan sebaik-baiknya dan sehabis-habisnya untuk membalas cinta-Nya kepada kita, dan berdoa kepadaNya dengan penuh sukacita sebagaimana para murid, “Tuhan, aku siap, inilah aku, pakailah aku seturut kemampuan dan keunikan yang Kau berikan padaku, untuk mewartakan kasih-Mu dalam segala bentuk ketaatan dan pelayananku bagi sesama dan bagi Engkau. Betapa bahagianya aku menjadi mitra-Mu untuk menyatakan keselamatan-Mu kepada dunia ini, bantulah aku untuk setia dengan komitmen ini, dan menantikan dengan rindu setiap pagi, karuniaMu yang selalu mencukupkan dan memampukan, agar aku boleh membawa sebanyak mungkin jiwa untuk juga turut mengalami betapa indahnya cinta-Mu dan betapa indahnya rencana-Mu bagi setiap manusia, supaya boleh selalu berada bersama dengan Engkau, dan bersatu dengan Engkau, di dalam dunia saat ini, dan selamanya di dalam Rumah-Mu yang kekal. Aku mencintaimu, Tuhan. Aku mau bekerja bagi-Mu, hari ini dan seterusnya, sampai akhir, saat kelak Engkau memanggilku pulang. Terpujilah nama-Mu selama-lamanya, amin. (Triastuti)

“Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Ef 2 : 10).

Kehidupan Kristus Sebelum Penderitaan-Nya

3

1. Kita dipanggil untuk menjadi serupa dengan Kristus

Dalam misteri iman dibahas tentang Kristus yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria dan misteri Paskah-Nya- yaitu: penderitaan, wafat, kebangkitan dan kenaikan Kristus. Bukan berarti bahwa kehidupan Yesus di masa pertengahan dari dua kejadian besar (saat dikandung sampai dengan misteri Paskah) tidaklah penting. Namun, dua kejadian tersebut menjadi simpul dari karya keselamatan Allah, yang mengungkapkan pentingnya seluruh sendi kehidupan Kristus, karena setiap hal yang dilakukan Kristus – termasuk masa kehidupan-Nya yang tersembunyi di Nasaret – adalah sungguh sangat berarti dan mempunyai makna yang begitu mendalam. Katekismus Gereja Katolik menjelaskan sebagai berikut: “Seluruh kehidupan Yesus – kata-kata-Nya dan perbuatan-Nya, kebungkaman-Nya dan kesengsaraan-Nya, caranya Ia hidup dan berbicara – adalah wahyu tentang Bapa. Yesus dapat mengatakan: “Yang melihat Aku melihat Bapa” (Yoh 14:9) dan Bapa: “Inilah Putera-Ku yang terkasih, dengarkanlah Dia” (Mrk 9:7). Karena Kristus menjadi manusia untuk memenuhi kehendak Bapa-Nya (Bdk. Ibr 10:5-7), maka setiap hal kecil dari hidup-Nya menyatakan bagi kita “kasih Allah… di tengah-tengah kita” (1 Yoh 4:9).” (KGK, 516) Dengan demikian, seluruh hidup Kristus menjadi contoh bagi seluruh umat manusia (Gaudium et Spes, 38). Seluruh kehidupan Kristus adalah kehidupan Allah yang adalah kasih, sehingga apapun yang dilakukan-Nya merupakan kasih dalam arti yang sebenarnya, yaitu kasih yang memberi. Kelahiran-Nya merupakan bentuk kasih yang terbesar kepada umat manusia; masa kanak-kanak-Nya menjadi manifestasi kasih dan ketaatan kepada orang tua-Nya di dunia ini dan kepada Bapa-Nya; kehidupan-Nya yang tersembunyi mengungkapkan kasih dalam bentuk yang sederhana namun konsisten; kehidupan-Nya di muka umum memperlihatkan misi-Nya untuk menyelamatkan umat manusia; dan akhirnya Misteri Paskah menjadi puncak dari kasih-Nya yang tak terhingga kepada Allah Bapa dan manusia. Sebagai pengikut Kristus, sudah seharusnya kita merenungkan, menghayati dan melakukan segala sesuatu yang dilakukan oleh Kristus, sehingga kita akan menjadi semakin dapat meniru teladan-Nya.

2. Misteri kedatangan-Nya dan kelahiran-Nya

Dalam artikel sebelumnya, telah dibahas bahwa kedatangan Sang Mesias sudah dinubuatkan sebelumnya melalui perantaraan para nabi hingga nabi yang terakhir, yaitu Yohanes Pembaptis, nabi Allah yang maha tinggi (Luk 1:76), dan sahabat Mempelai (lih. Yoh 3:29). Setiap tahun pada masa Adven, seluruh umat beriman juga diajak oleh Gereja, bersama-sama dengan para nabi dan seluruh umat di dalam Perjanjian Lama, mempersiapkan diri menyambut kedatangan Sang Mesias. Santo Thomas Aquinas juga menjelaskan bahwa peristiwa “Kristus dikandung” merupakan manifestasi dari Tritunggal Maha Kudus. ((Summa Theology, III, q.32, a.1)) Allah Putera diutus ke dunia oleh Allah Bapa, di mana Allah Putera mengambil kodrat manusia dan dikuduskan oleh Roh Kudus. Dimensi Trinitas terus ada di sepanjang karya Kristus di dunia ini, sebab di setiap saat relasi-Nya dengan Allah Bapa yang mengutus-Nya tak pernah putus; Roh Kudus dan karunia-Nya secara tak terhingga ada di dalam diri Kristus. setelah wafat dan kebangkitan-Nya, pada hari Pentakosta Kristus sendiri mengutus Roh Kudus-Nya kepada para Rasul, sampai akhirnya menjangkau seluruh dunia.

Sehubungan dengan kelahiran Kristus, St. Thomas mengajukan pertanyaan apakah kelahiran Kristus adalah merupakan mukjizat atau merupakan hal yang normal? ((St. Thomas Aquinas, Summa Theology, III, q.33, a.4)) Mengutip St. Ambrosius, St. Thomas menuliskan bahwa pada saat pembentukan janin, sebenarnya terjadi sesuatu yang bersifat baik adi-kodrati maupun kodrati. Bersifat adi kodrati, karena Kristus dilahirkan dari seorang perawan dan karena Pribadi ke-dua dari Trinitas mengambil kodrat manusia. Dan bersifat kodrati karena pembentukan janin ini menjadi sesuatu yang biasa terjadi: karena seluruh materi – tubuh – sebagaimana layaknya manusia, didapatkan oleh Kristus dari ibu-Nya, yaitu Bunda Maria, karena Kristus lahir tanpa campur tangan laki-laki.

Satu hal yang perlu ditekankan adalah karena kesatuan kodrat kemanusiaan-Nya dengan kodrat keAllah-anNya, maka pada saat Kristus dikandung (pembentukan), Kristus senantiasa bersama-sama dengan Allah, melihat Allah muka dengan muka atau beatific vision. ((ibid)) Sebagai konsekuensinya, Gereja Katolik mengajarkan bahwa sejak masa pembentukan janin, telah terbentuk manusia dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, Gereja Katolik selalu menjunjung tinggi kehidupan mulai dari masa awal kandungan. Walaupun Kristus dilahirkan oleh Perawan Maria di dalam dimensi waktu – karena konsekuensi dari Pribadi kedua dari Trinitas (Allah Putera) mengambil kodrat manusia – namun jangan lupa, bahwa sebelum Kristus berinkarnasi, Ia telah ada, karena Ia dilahirkan oleh Allah Bapa di dalam kekekalan. Dengan demikian, ada dua jenis kelahiran Kristus, yaitu di dalam kekekalan (eternity) dan di dalam waktu (temporal).

Pertanyaan lain, yang juga diajukan oleh St. Thomas adalah, mengapa Kristus lahir di Betlehem. ((Summa Theology, q.35, a.7)) Kristus lahir di Betlehem karena merupakan pemenuhan dari nubuat Mikha, yang menuliskan, “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala.” (Mik 5:2) Kristus juga dinubuatkan lahir dari keturunan Daud (lih. 2 Sam 7:12-16; Yer 23:5; Mzm 89:35-37; Yes 11:1-2; bdk. Rom 1:3). Karena Daud lahir di Betlehem, maka sebagai pemenuhan nubuat ini, maka Yesus juga lahir di Betlehem. Sama seperti Daud mendirikan kerajaannya dan akhirnya mati di Yerusalem, maka Kristus yang mendirikan kerajaan untuk selamanya dengan kematian-Nya di kayu salib, maka Kristus wafat di kayu salib. Alasan yang lain adalah dari nama Betlehem itu sendiri – yang berarti rumah roti – sungguh sesuai dengan Kristus sendiri yang adalah Sang “Roti hidup yang turun dari Surga” (Yoh 6:51).

3. Penyunatan

Menjadi suatu pertanyaan mengapa Kristus, yang adalah Allah, mau tunduk di bawah Hukum Taurat, yaitu dengan disunat? St. Thomas dalam ST, III, q.37, a. 1 menjabarkan bahwa dengan disunat, Kristus ingin membuktikan bahwa Dia sungguh-sungguh mempunyai kodrat manusia. Alasan kedua adalah untuk memberikan persetujuan bahwa tanda perjanjian yang diberikan oleh Allah dalam Perjanjian Lama adalah sah. Kristus sebagai keturunan Abraham – yang telah menerima perintah Tuhan bahwa sunat adalah tanda perjanjian dan ungkapan iman (lih. Kej 17:10) – juga disunat. karena Kristus disunat, maka bangsa Yahudi tidak mempunyai alasan untuk tidak menerima Kristus. Kristus juga menunjukkan bahwa ketaatan untuk menjalankan perintah Tuhan sesungguhnya sangatlah penting, sehingga Dia disunat pada hari ke-delapan (lih. Luk 2:21; bdk. Im 12:3) Dengan mengambil dan menjalankan sunat, maka Kristus dapat membebaskan manusia dari hukum ini dan memberikan hukum yang lebih sempurna (lih. Gal 4:4-5) – yaitu sunat secara rohani. St. Athanasius dalam komentarnya tentang Luk 2:23, menuliskan hal ini dengan begitu indahnya, “Karena Anak Allah menjadi manusia, dan disunat di dalam daging, bukan untuk kepentingan diri-Nya sendiri, namun agar Dia dapat menjadikan kita [anak-anak] Allah melalui rahmat, dan agar kita dapat disunat secara rohani; dengan demikian, sekali lagi, untuk kepentingan kita Dia dipersembahkan kepada Allah, sehingga kita dapat belajar untuk mempersembahkan diri kita kepada Tuhan.” ((Athanasius, on Lk. 2:23; dikutip oleh St. Thomas dalam Summa Theology, III, q. 37, a. 3, ad 2.))

4. Yesus diketemukan di Bait Allah (Luk 2:41-52)

Di masa itu para wanita dan anak-anak tidak harus memenuhi ketentuan untuk hadir di bait Allah selama tiga kali setahun (lih. Kel 23:14-17; Ul 16:16). Anak-anak laki-laki wajib memenuhi ketentuan ini ketika mereka menjadi “anak-anak hukum Taurat” di usia 13 tahun, tetapi sudah menjadi kebiasaan bahwa usia ini diantisipasi setahun atau dua tahun sebelumnya. Maka nampaknya Lukas bermaksud menunjukkan kejadian ini sebagai kemunculan Yesus yang pertama di bait Allah setelah Ia dipersembahkan di bait Allah di masa Ia masih bayi. Keseluruhan kejadian memang mengandung rahasia tersendiri. Bagaimana Yesus dapat tertinggal di Yerusalem, menurut kehendak-Nya sendiri; padahal umumnya tidak ada anak laki-laki yang berumur 12 tahun dapat dengan mudah hilang. Namun karena ziarah tersebut dilakukan secara berkelompok -yang umumnya terpisah antara kelompok pria dan wanita, dan anak-anak laki-laki yang berusia 12 tahun dapat termasuk dalam kedua kelompok itu- entah bersama ayahnya atau ibunya (lih. ay.44), maka dapat dimengerti, bahwa insiden ini terjadi. [Bunda Maria menyangka Yesus ada bersama Yusuf; dan sebaliknya Yusuf menyangka Yesus ada bersama Maria.]

5. Kehidupan Yesus yang tersembunyi (hidden life)

Karya Kristus kepada orang-orang adalah hanya sekitar 3 tahun, namun mengapa  Kristus sendiri seolah-olah berdiam diri di dalam keluarga kudus di Nasaret selama 30 tahun? Tidak ada yang dilakukan oleh Kristus yang tidak berguna, maka masa hidup-Nya yang tersembunyi selama 30 tahun sesungguhnya mengajarkan begitu banyak hal kepada manusia. Katekismus Gereja Katolik menjelaskannya demikian:

KGK 531: Selama sebagian besar kehidupan-Nya Yesus mengambil bagian dalam nasib kebanyakan manusia: kehidupan biasa tanpa kebesaran lahiriah, kehidupan seorang pengrajin, kehidupan religius Yahudi yang takluk kepada hukum Allah (Bdk. Gal 4:4), kehidupan dalam persekutuan desa. Dari seluruh periode ini, hanya inilah yang diwahyukan kepada kita bahwa Yesus “taat” kepada orang-tua-Nya dan bertambah “hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia”. (Luk 2:51-52).

KGK 532: Dalam kepatuhan kepada bunda-Nya dan bapa piara-Nya Yesus memenuhi perintah keempat dengan amat sempurna. Itulah gambaran duniawi mengenai kepatuhan-Nya sebagai Anak terhadap Bapa surgawi-Nya. Kepatuhan Yesus sehari-hari terhadap Yosef dan Maria menyatakan dan mengantisipasi kepatuhan-Nya pada hari Kamis Putih: “Bukan kehendak-Ku…” (Luk 22:42). Dengan kepatuhan Kristus dalam keseharian kehidupan yang tersembunyi itu, mulailah sudah pemulihan kembali apa yang telah dihancurkan oleh ketidakpatuhan Adam (Bdk. Rm 5:19).

KGK 533: Kehidupan yang tersembunyi di Nasaret memungkinkan setiap orang, supaya berada bersama Yesus dalam kegiatan sehari-hari:

“Rumah di Nasaret adalah sebuah sekolah, di mana orang mulai mengerti kehidupan Kristus. Itulah sekolah Injil… Pertama-tama Ia mengajarkan keheningan. Semoga hiduplah di dalam kita penghargaan yang besar terhadap keheningan… sikap roh yang mengagumkan dan yang perlu ini… Di sini kita belajar, betapa pentingnya kehidupan di rumah. Nasaret memperingatkan kita akan apa sebenarnya keluarga, akan kebersamaannya dalam cinta, akan martabatnya, akan keindahannya yang gemilang, akan kekudusannya, dan haknya yang tidak dapat diganggu gugat… Akhirnya kita belajar di sini aturan bekerja dengan penuh ketertiban. O mimbar Nasaret, rumah putera pengrajin. Di sini ingin saya kenal dan rayakan hukum pekerjaan manusiawi yang keras, tetapi membebaskan… Akhirnya saya ingin menyampaikan berkat kepada para pekerja di seluruh dunia dan menunjukkan kepada mereka contoh luhur saudara ilahinya” (Paus Paulus VI, pidato 5 Januari 1964 di Nasaret).

6. Baptisan

Injil Matius menceritakan bahwa ketika Kristus datang untuk dibaptis, maka Santo Yohanes Pembaptis “mencegah Dia, katanya: “Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang kepadaku?” Lalu Yesus menjawab, kata-Nya kepadanya: “Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.” Dan Yohanespun menuruti-Nya.” (Mat 3:14-15) Di dalam Summa Theology, St. Thomas Aquinas memberikan empat alasan mengapa Kristus dibaptis ((lihat. Summa Theology, III, q.38, a.1)), yaitu: (1) Agar Kristus dapat menguduskan baptisan, karena Kristus telah menguduskan air sebagai materi baptisan; (2) Menjadi cara Kristus untuk menyatakan Diri-Nya. Rasul Yohanes menuliskan perkataan Yohanes Pembaptis, “Dan aku sendiripun mula-mula tidak mengenal Dia, tetapi untuk itulah aku datang dan membaptis dengan air, supaya Ia dinyatakan kepada Israel.” (Yoh 1:31); (3) Dengan baptisan ini, maka orang-orang akan tahu bahwa ini adalah cara yang digunakan oleh Kristus untuk mengkuduskan umat Allah; (4) Menunjukkan bahwa pertobatan seperti yang ditunjukkan oleh Yohanes Pembaptis adalah penting sebelum seseorang nantinya secara layak menerima baptisan Kristus. Dengan membiarkan diri-Nya dibaptis, maka Kristus menunjukkan kepada semua orang untuk mengikuti langkah-Nya, yaitu memberikan diri dibaptis – bukan menurut baptisan Yohanes Pembaptis namun baptisan Kristus – sehingga manusia dapat diselamatkan (lih. Mrk 16:16). Juga ditunjukkan bahwa dengan dibaptis, maka kita menjadi anak-anak Allah, seperti yang terjadi dalam baptisan Kristus, saat Allah Bapa bersabda, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” (Mat 3:17)

7. Pencobaan di padang gurun

Setelah Pembaptisan, Yesus “dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai iblis” (Mat 4:1). St. Thomas menjelaskan bahwa ada empat alasan mengapa Yesus membiarkan diri-Nya dicobai oleh iblis, ((lih. Summa Theology, III, q.41, a.1)) yaitu: (1) Mengutip St. Gregorius, St. Thomas mengatakan bahwa dengan dicobai maka Kristus dapat menguatkan kita dalam pencobaan, sama seperti dengan kematian-Nya, Kristus membebaskan kita dari kematian; (2) Kristus ingin menunjukkan bahwa bagaimanapun kudusnya kita, maka tidak akan terlepas dari pencobaan. Sirakh 2:1 menuliskan “Anakku, jikalau engkau bersiap untuk mengabdi kepada Tuhan, maka bersedialah untuk pencobaan.”; (3) Memberikan pelajaran kepada umat manusia bagaimana untuk mengatasi pencobaan; (4) Agar membuat kita percaya akan belas kasih-Nya, seperti yang dituliskan dalam Ibr 4:15 “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.”

8. Karya publik Kristus

a. Mengapa selama hidupnya, Yesus diutus ke bangsa Israel?

Ketika perempuan dari Kanaan meminta pertolongan Yesus untuk menyembuhkan anaknya yang kerasukan setan, maka Yesus menjawab, “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” (Mat 15:24) Mengapa Yesus menjawab demikian? St. Thomas mengatakan ada beberapa alasan: (1) berdasarkan prinsip keadilan, bahwa Kristus yang telah dijanjikan kepada Abraham dan juga para bapa di Perjanjian Lama terpenuhi di dalam bangsa Israel; (2)  berdasarkan prinsip mediasi, di mana Kristus mewartakan Kerajaan Allah kepada bangsa Israel terlebih dahulu dan kemudian bangsa Israel kepada seluruh bangsa, atau dari para rasul kepada para murid, dan selanjutnya kepada semua bangsa; (3) untuk menggugurkan semua alasan dari bangsa Yahudi untuk tidak percaya; (4) karena kemenangan Kristus di salib memberikan kuasa untuk mengatasi seluruh bangsa; maka sebelum peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya, Kristus mewartakan hanya kepada bangsa Yahudi. Namun, setelah wafat dan kebangkitan-Nya, Kristus sendiri yang memerintahkan para rasul untuk pergi dan menjadikan seluruh bangsa murid Kristus, membaptis dan mengajarkan kepada seluruh bangsa melakukan segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Kristus (lih. Mat 28:19-20).

b. Mengapa Yesus mengajar dengan perumpamaan?

Kalau kita mengamati bagaimana Yesus mengajar, maka kita melihat bahwa adakalanya Yesus mengajar secara langsung, seperti dalam khotbah di bukit tentang delapan sabda bahagia (lih. Mat 5:3-10), namun adakalanya Ia juga mengajar dengan menggunakan perumpamaan, seperti pengajaran tentang Kerajaan Sorga. Pertanyaannya adalah, mengapa Yesus menggunakan perumpamaan? Kitab Suci mengatakan bahwa memang kepada para murid-Nya yang telah diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah, Yesus berbicara secara langsung tanpa menggunakan perumpamaan (lih. Mat 13:10-11), namun tidak demikian kepada orang banyak. Apakah dengan demikian Kristus menyembunyikan sesuatu kepada orang banyak? St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa Kristus berbicara kepada orang banyak dengan perumpamaan karena: (1) orang-orang tersebut tidak akan mengerti atau tidak layak mendengarkan pengajaran yang disampaikan secara langsung, (2) prinsip mediasi, yaitu rahasia Kerajaan Allah disampaikan kepada Gereja melalui para Rasul, sebab kepada mereka maknanya dibukakan. ((Summa Theology, III, q.42, a.3))

Apa yang dapat diterima oleh seseorang adalah tergantung dari disposisi hati dari orang yang menerima (the mode of the receiver). Sebagai contoh, bagi orang yang mempunyai disposisi hati yang terbentuk oleh iman Katolik, maka orang tersebut akan menghormati dan mendengarkan pengajaran tentang Ekaristi. Namun bagi orang yang tidak percaya, maka pengajaran tentang Ekaristi mungkin tidak terlalu diperhatikannya. Bagi orang yang telah dibentuk sebagai seseorang yang anti Katolik, maka pengajaran apapun tentang iman Katolik dianggap salah. Penjelasan apapun yang diberikan seolah-olah tidak masuk akal. Dengan menggunakan perumpamaan, Yesus dapat membuat orang tertarik untuk menjadi pengikut-Nya, yang membuat orang tersebut dapat mengikuti pengajaran-Nya secara lebih mendalam. Yesus menjelaskan perumpamaan tersebut bukan hanya kepada para rasul namun juga kepada para murid (lih. Mar 4:10). Ini berarti, orang-orang yang ingin benar-benar mencari kebenaran dapat bertanya dan menemukannya.

Alasan kedua mengapa Yesus memberikan pengajaran dengan perumpamaan adalah untuk menyatakan pentingnya prinsip mediasi. Yesus menghendaki agar apa yang diajarkannya kepada para rasul dan para murid, dapat diteruskan oleh mereka kepada orang banyak, baik secara lisan maupun tertulis. Dengan prinsip ini, maka adalah sungguh penting untuk menjadi bagian dari bilangan umat Allah. Kalau Kristus sendiri telah mendirikan Gereja Katolik (lih. Mat 16:16-19) dan menjadi Kepala Gereja (lih. Ef 5:23), maka untuk menjadi bilangan murid Kristus, kita harus masuk ke dalam bilangan Gereja-Nya yang satu, kudus, katolik dan apostolik tersebut. Dengan demikian, kita dapat mengalami kepenuhan kebenaran dan kepenuhan pengajaran Kristus, seperti pengajaran tentang sakramen, liturgi, dan doktrin-doktrin yang lain, termasuk pengajaran tentang Kerajaan Allah.

c. Mengapa Yesus tidak menuliskan pengajaran-Nya?

Secara prinsip, St. Thomas Aquinas dalam Summa Theology, III, q.42, a.4 menerangkan bahwa Kristus tidak menuliskan apapun karena:

1. Berdasarkan martabat: Semakin sempurna seorang guru, maka semakin sempurna cara yang dilakukan dalam mengajar. Kristus, sebagai Pengajar yang paling sempurna, memberikan pengajaran-Nya dengan menorehkannya pada hati para pendengar-Nya. Tulisan pada dasarnya adalah cara yang dipakai guru untuk mencapai tujuan akhir, yaitu menorehkan pesan tersebut di dalam hati para muridnya. Kristus sebagai Pengajar yang sempurna tidak memerlukan cara ini, namun langsung mencapai tujuan akhir. Matius menegaskan hal ini dengan mengatakan, “sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.” (Mt 7:29).

2. Berdasarkan kesempuranaan pengajaran: Semakin sempurna pengajaran, maka semakin sulit untuk dituangkan dalam tulisan. Tulisan akan membatasi kedalaman pengajaran. Dan rasul Yohanes menegaskan, “Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.” (Yoh 21:25). Kita melihat, bahwa setelah St. Thomas diberikan suatu vision pada saat dia mempersembahkan misa, maka dia tidak mau melanjutkan tulisannya, karena merasa bahwa apa yang ditulisnya tidaklah berarti apa-apa dibandingkan dengan apa yang dilihat dan dialaminya pada saat mengalami vision. Bandingkan dengan Kristus yang mempunyai vision (beatific vision = melihat Allah muka dengan muka) sepanjang kehidupannya di dunia. Dan kalau Kristus menuliskan sesuatu, maka orang-orang hanya akan mempelajari apa yang tertulis tanpa menggali lebih dalam lagi pengajaran yang ingin disampaikan-Nya.

3. Berdasarkan keteraturan urutan: Dengan tidak ada tulisan dari Kristus, maka pengajaran Kristus dapat mencapai semua orang dengan keteraturan, yaitu dimulai dari Kristus mengajarkan para muridnya, dan lalu para muridnya mengajarkan orang banyak dengan tulisan dan khotbah. Kalau Kristus menuliskan pengajaran-Nya, maka pengajaran-Nya dapat langsung diterima oleh semua orang tanpa adanya peran para murid. Di sinilah kita melihat adanya prinsip partisipasi.

Namun, di satu sisi, Kristus menuliskan pengajaran-Nya lewat para murid. Para murid dengan inspirasi Roh Kudus menuliskan apa-apa yang dikatakan dan diajarkan oleh Kristus.

d. Mengapa Yesus membuat mukjizat?

Tujuan utama mukjizat adalah untuk menunjukkan kemuliaan Tuhan. Di Perjanjian Lama mukjizat- mukjizat yang terjadi menyatakan penyelenggaraan Tuhan yang Maha Besar (lih. Kel 10:2, Ul 5:25, Kel 7-10, 1 Raj 18:21-38, 2 Raj 5). Demikian pula, di kitab-kitab Injil dan Perjanjian Baru, kebesaran dan kemuliaan Tuhan dinyatakan melalui mukjizat-mukjizat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus.  Hal ini kita lihat sejak Tuhan Yesus melakukan mukjizat-Nya yang pertama di Kana, (lih. Yoh 2), pada saat Yesus menyembuhkan banyak orang sakit (Mat 9:8, Luk 18:43, Mat 15:31, Luk 19:37, Kis 4:21), pada saat Ia membangkitkan Lazarus (lih. Yoh 11) dan saat Ia melakukan mukjizat-mukjizat lainnya. Yesus melakukan mukjizat- mukjizat tersebut bukan agar dikagumi orang, melainkan karena dorongan belas kasih-Nya terhadap manusia yang berdosa dan menderita. Dalam hal misi penyelamatan-Nya, dengan melakukan mukjizat- mukjizat, Kristus membuktikan bahwa Ia adalah Tuhan dan Penguasa alam semesta. Mukjizat-Nya yang terbesar adalah kebangkitan-Nya dari kematian, agar kita yang percaya kepada-Nya memperoleh hidup yang kekal (lih 1 Pet 1:3).

Tujuan mukjizat berikutnya merupakan tujuan sekunder, seperti untuk mengkonfirmasi kebenaran dari pesan Ilahi yang disampaikan, atau sebuah kebenaran akan ajaran iman dan moral, seperti dalam kisah Musa (Kel 4), Elia (1 Raja 17:24); dan bagaimana orang Yahudi mengenali Yesus sebagai utusan Tuhan (lih. Yoh 6:14, Luk 7:16; Yoh 2:11, Yoh 3:2, Yoh 9:38, Yoh 11:45); dan bagaimana Yesus mengacu kepada perbuatan-Nya (termasuk mukjizat- mukjizat-Nya) untuk menunjukkan bahwa Ia adalah Putera Allah (lih. Mat 11:4; Yoh 10:37, Yoh 5:36, Mrk 16:17). Para Rasul juga mengajarkan bahwa mukjizat merupakan konfirmasi atas ke-Tuhanan Yesus (lih. Yoh 20:31, Kis 10:38, 2Kor 12:12).

e. Transfigurasi

Melalui peristiwa Yesus dimuliakan di atas gunung, atau yang sering disebut sebagai Transfigurasi (lih. Mat 17:1-8), Kristus memperkuat iman para rasul. Kalau sebelumnya, para rasul bersedih mendengar bahwa Kristus harus menderita dan wafat (lih. Mat 16:21-28), maka melalui peristiwa Yesus dimuliakan di atas gunung, mereka memperoleh peneguhan iman. Ketiga rasul itu- yaitu Petrus, Yohanes, dan Yakobus- melihat bahwa di akhir dari semua penderitaan-Nya, Kristus akan menyatakan kemuliaan-Nya. Dengan demikian, Transfigurasi juga memberikan kekuatan kepada seluruh umat Kristiani untuk dapat memanggul salib bersama Kristus, karena pada akhirnya kita juga akan memperoleh kemuliaan bersama-Nya.

f. Mengapa Yesus berdoa?

Orang-orang yang tidak percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, kerap bertanya demikian: kalau Yesus Tuhan, mengapa Dia berdoa? Memang, Injil mencatat bahwa di berbagai kesempatan, Yesus berdoa (lih. Mt 16:23; Mt 26:36; Mk 14:32; Lk 3:21; 6:12;Lk 9:18, 28; Lk 11:1-2; Lk 18:1). St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa doa adalah “membuka keinginan kita kepada Tuhan, sehingga Dia dapat memenuhinya.” ((Summa Theology  II-II, q. 83, a.1-2)) Karena di dalam satu Pribadi Kristus terdapat dua kehendak, yaitu kehendak manusia dan kehendak Tuhan, maka menjadi hal yang wajar, kalau Yesus berdoa; karena selain  mempunyai kodrat Allah, Yesus juga mempunyai kodrat manusia.  Maka, Yesus berdoa dalam kodrat manusia-Nya, namun tidak dalam kodrat ilahi-Nya. Sebagai manusia, Yesus berdoa, dan Ia mengarahkan doa-Nya kepada Pribadi Allah Bapa-Nya, sebagaimana dicatat di dalam Injil. Doa adalah percakapan yang intim dan antar pribadi dengan Allah. Maka Kristus berdoa kepada Pribadi Allah Bapa. Doa Kristus adalah pernyataan kebenaran akan kodrat Yesus sebagai manusia, akan kehendak-Nya sebagai manusia, dan akan adanya perbedaan Pribadi di dalam Allah Trinitas. Dengan kata lain, doa Kristus menyatakan bahwa: 1) Yesus adalah sungguh manusia; 2) ada perbedaan Pribadi dalam kesatuan Allah Trinitas; 3) hubungan kasih antara anak dan Bapa adalah pola contoh hubungan kasih antara seluruh Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus, kepada Allah Bapa. Selain itu, Yesus berdoa, untuk mengajar kita berdoa, maka Ia berdoa untuk kepentingan manusia. Yesus dapat saja berdoa dalam hati, namun Dia ingin menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya sebagai manusia kita berdoa, yaitu bahwa kita harus senantiasa tunduk kepada kehendak Allah Bapa, meskipun di dalam situasi yang paling sulit sekalipun.

Yesus berdoa tanpa henti, untuk mengajar manusia senantiasa berdoa di dalam segala kesempatan tanpa henti (lih. Mt 16:23; Mt 26:36; Mk 14:32; Lk 3:21; 6:12;Lk 9:18, 28; Lk 11:1-2; Lk 18:1). Yesus mengajarkan kepada manusia bahwa di dalam doa yang terpenting adalah untuk mengikuti kehendak Tuhan, seperti yang dikatakan-Nya dalam doa-Nya di Taman Getsemani, saat Dia berkata, “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” (lih. Mt 26:36; Mk 14:32-36).

Yesus mengajarkan doa yang sempurna, yaitu doa Bapa Kami, yang terdiri dari tujuh petisi (lih. Mt 6:9-13).

Yesus mengajarkan bahwa Tuhanlah yang menjadi kekuatan dalam doa, bahkan dalam keadaan yang paling sulit sekalipun, seperti yang ditunjukkan oleh Yesus sendiri di dalam drama penyaliban-Nya (Mt 27:46; Mk 15:34; Lk 23:46).

Yesus juga mengajarkan pentingnya untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita, seperti yang dilakukan-Nya sendiri dengan berdoa bagi mereka yang menyalibkan Dia, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (lih. Lk 23:34).

9. Kesimpulan

Walaupun tidak disebutkan di dalam syahadat tentang kehidupan Yesus yang tersembunyi di Nasaret (selama tiga puluh tahun) dan karya publiknya (selama tiga tahun), kita mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh Tuhan Yesus di waktu-waktu itu tetap merupakan sesuatu yang penting. Seluruh kehidupan Kristus adalah kehidupan Allah yang penuh kasih, yang memberi tanpa pamrih. Kasih Allah ini dinyatakan melalui kelahiran Kristus ke dunia; dan masa kanak-kanak Yesus menjadi perwujudan kasih dan ketaatan-Nya kepada orang tua-Nya di dunia ini dan kepada Bapa-Nya yang menghendaki demikian; kehidupan-Nya yang tersembunyi mengungkapkan kasih dalam bentuk yang sederhana namun terus menerus; kehidupan-Nya di muka umum memperlihatkan misi-Nya untuk menyelamatkan umat manusia; dan semuanya ini memuncak pada Misteri Paskah yang menjadi pernyataan kasih-Nya yang tak terhingga kepada Allah Bapa dan manusia. Dengan mempelajari apa yang dilakukan Yesus selama hidup-Nya, kita akan semakin memahami betapa besar dan dalamnya kasih-Nya dan mendorong kita untuk sedapat mungkin membalas kasih-Nya dan meneladani-Nya dalam mengasihi sesama.

Apakah Bible Inerrancy hanya terbatas kepada Kebenaran yang menyangkut Keselamatan?

0

Konsili Vatikan II dalam Konstitusi tentang Wahyu Ilahi menyatakan:

“Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang ilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita“. (Dei Verbum 11)

Banyak ahli menginterpretasikan bahwa Konsili melalui Dei Verbum 11, menyatakan bahwa ‘inerrancy’  hanya terbatas kepada kebenaran-kebenaran yang menyangkut keselamatan saja, sedangkan pada hal-hal lainnya -tentang sejarah, geografi dan hal-hal non-religius lainnya bisa salah- dengan demikian membatasi bahwa Kitab Suci tidak mungkin salah hanya dalam hal iman dan moral saja. Namun sebenarnya, jika kita melihat kepada perumusan kata-kata Konsili Vatikan II tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa bukan maksud Konsili untuk mengubah ajaran dengan meninggalkan kontinuitas ajaran para Paus sebelumnya tentang ‘unlimited inerrancy‘ artinya dalam hal-hal lainnya-pun Kitab Suci tidak mengandung kesalahan. Artinya, walaupun dapat terjadi perbedaan-perbedaan teks dalam Codex, maupun antara suatu ayat tertentu dalam kitab yang satu dengan kitab lainnya, namun secara keseluruhan semuanya tetap menyampaikan kebenaran, karena Kitab Suci ditulis atas inspirasi Roh Kudus. Pertimbangannya adalah demikian (lih. Scott Hahn, Catholic Bible Dictionary, (New York: Double Day, 2009), p. 388-391):

1. Istilah “demi keselamatan kita” (dalam bahasa Latin, nostrae salutis causa) adalah frasa preposisi yang menjelaskan kata ‘dicantumkan’ (Latin: consignari). Artinya, frasa itu menunjukkan alasannya mengapa Tuhan menghendaki agar kebenaran dicantumkan dalam Kitab Suci. Jadi frasa itu bukan merupakan adjective (kata sifat) yang membatasi kata ‘kebenaran’ (veritatem). Maka perkataan Konsili tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan maksud kebenaran itu dituliskan, dan bukan untuk membatasi lingkup kebenaran yang dinyatakan.

2. Di belakang pernyataan Dei Verbum 11 tersebut dinyatakan kutipan yang cukup panjang, bahkan terpanjang dari semua kutipan dalam Konstitusi Dei Verbum tersebut, yaitu pernyataan-pernyataan dari St. Agustinus, St. Thomas Aquinas, Konsili Trente, Paus Leo XIII, Pius XII, dan semua kutipan itu meneguhkan tentang inspirasi ilahi dari Kitab Suci dan bahwa Kitab Suci seluruhnya bebas dari kesalahan. Karena semua catatan kaki yang ada di dokumen tersebut menekankan kesinambungan dengan ajaran Gereja sebelumnya, maka besar kemungkinan pernyataan “demi keselamatan kita” tidak dimaksudkan untuk meninggalkan ajaran-ajaran Gereja sebelumnya yang mengajarkan ‘unlimited inerrancy‘ (tidak ada kesalahan dalam keseluruhan Kitab Suci).

3. Paus Leo XIII menyebutkan tentang ajaran ‘unlimited inerrancy‘ sebagai “the ancient and unchanging faith of the Church/ iman yang sudah lama dan tidak berubah dari Gereja” (Providentissimus Deus, 41). Ini adalah pandangan para Bapa Gereja, teolog zaman Abad Pertengahan, dan diajarkan oleh Paus Leo XIII, Benediktus XV, dan Pius XII. Maka terdapat garis kesinambungan garis pengajaran dari jemaat awal, sampai Abad Pertengahan, bahwa Kitab Suci bebas dari kesalahan. Tentulah para Bapa Konsili Vatikan II mempunyai tanggungjawab yang besar untuk menjelaskan kepada semua umat beriman, jika maksud mereka adalah untuk memberikan pengertian baru terhadap istilah ‘bible inerrancy‘ ini. Bahwa mereka tidak melakukannya, merupakan suatu indikasi bahwa yang mereka maksudkan bukanlah untuk mengubah posisi klasik ajaran Gereja Katolik tentang hal ini.

Maka dapat disimpulkan bahwa ada penekanan baru tentang rumusan ‘bible inerrancy’ ini- yaitu bahwa maksudnya adalah demi keselamatan kita, namun bukan untuk memberikan pengajaran baru yang meninggalkan keyakinan yang terdahulu, bahwa Kitab Suci seluruhnya bebas dari kesalahan.

Akhirnya, ajaran bahwa Kitab Suci seluruhnya bebas dari kesalahan bukan merupakan penyangkalan akan adanya kesulitan-kesulitan yang tetap ada dalam menginterpretasikan Kitab Suci. Ada banyak perikop yang nampaknya bertentangan satu dengan yang lainnya, banyak yang nampaknya berbeda dengan sumber-sumber yang non-biblis,….namun masalah-masalah ini bukanlah kekeliruan pengungkapan, yang menjadikannya tidak benar. Adanya perbedaan-perbedaan itu adalah undangan yang mengajak kita untuk semakin rendah hati [termasuk untuk terus mencari kemungkinan interpretasi yang mungkin untuk memahami perbedaan-perbedaan tersebut]. St. Agustinus mengungkapkan prinsip ini, ketika ia mengalami kesulitan saat menemukan adanya perbedaan-perbedaan di dalam Kitab Suci. Ia menganggap bahwa entah terjadi kesalahan manuskrip (kekeliruan penyalinan), atau bahasa aslinya keliru diterjemahkan (sang penerjemah gagal memahami artinya) atau ia sendiri yang tidak mengerti (lih. Letter 82, 3). Tetapi dalam segala keadaan, tidaklah benar mengklaim bahwa Kitab Suci itu salah karena pengarangnya salah menyampaikan kebenaran yang ingin disampaikan.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab