“Diberkatilah Dia yang datang sebagai raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi” Lukas 19:38
Hosanna! Hosanna!
Marilah kita kidungkan Hosanna bagi Kristus yang akan datang sebagai Raja mengunjungi kita pada Minggu Palma tahun 2010 yang jatuh pada tanggal 28 Maret.
Mari kita lambai-lambaikan daun Palma yang kita bawa untuk menyambutNya sebagai Raja!
Persis seperti masyarakat Yerusalem saat itu, pada perayaan Ekaristi Minggu Palma kita juga memuja Kristus sebagai Raja kehidupan kita.
Minggu Palma merupakan awal dari pekan suci , mendahului hari-hari sebelum kisah sengsara Tuhan: dikhianati, disangkal, dicaci, disiksa hingga disalibkan.
Sejenak perlu kita maknai perayaan ini sebagai sebuah perayaan yang mengingatkan kita kembali sebagai pengikut [pemuja] Kristus. Kita dapat memeriksa batin kita apakah di dalam keseharian kita, apakah kita telah sungguh menjadi pemuja Kristus?
Mendengar bacaan pada hari Minggu Palma, kita akan menemui suatu peristiwa yang kontras, yaitu pada Ibadat Palma kita akan mendengar bacaan yang mengisahkan Yesus dielu-elukan, sementara bacaan pada Liturgi Sabda, kita akan mendengar bacaan yang mengisahkan permulaan kisah sengsara Tuhan Yesus.
Ketika dielu-elukan di Yerusalem, Yesus menyatakan diriNya sebaga Raja dengan penuh kesederhanaan. Ia sungguh seorang Raja Kebenaran, sehingga jika saja tak seorangpun mengelukanNya, maka batu-batu di jalanan yang akan berteriak memuji Kristus! (Lukas 19:40). Namun tidak seperti raja pada umumnya yang datang dengan menunggang kuda, Kristus datang menyatakan diriNya sebagai Raja dalam kesederhanaan, Ia ‘hanya’ menunggang keledai. Tidak seperti kuda yang gagah dan kuat, keledai merupakan hewan yang dungu dan lambat. Jadi, dapat dibayangkan betapa sederhananya Dia!
“yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama menjadi manusia.” Filipi 2:6-7
Sungguh ironi memang, setelah dielu-elukan, Yesus harus melewati semua peristiwa sengsara, di mana Ia harus disangkal oleh Petrus, dikhianati oleh Yudas Iskariot, ditinggalkan murid-muridNya, diadili oleh Ponsius Pilatus, dicambuk hingga disalib sampai wafat.
Melalui perayaan Minggu Palma, kita dapat menilik batin kita, apakah persiapan kita semenjak Rabu Abu dimana kita menyadari dengan sungguh bahwa kita adalah makhluk pendosa sampai perayaan pekan suci yang dimulai Minggu Palma nanti, adakah kita memujaNya dalam nyanyian, doa, dan syukur; namun juga menyangkal Kristus, menyiksa, dan mencaciNya dengan perbuatan kita kepada sesama? Apakah sungguh kita ini pemujaNya? Bukankah dengan perbuatan kita, seringkali kita menjadi penyangkal Kristus?
Tetapi, Tuhan memang datang untuk para pendosa. Maka, mari kita memeriksa batin kita, sejauh mana kita telah terjatuh dalam dosa, dan sudahkah kita bangkit kembali, sudahkah kita sadari bahwa kita membutuhkan Tuhan untuk menyelamatkan kita? Kita perlu mengikuti teladan Kristus, sebab Iapun jatuh sebanyak tiga kali selama perjalananNya memikul salib ke bukit Golgota. Namun Ia bangkit kembali untuk menyelesaikan rencana kasih Allah dengan wafat-Nya di kayu salib. Kita seringkali jatuh dalam dosa dan dengan demikian menjadi penghujat Kristus; tetapi kita harus terus gigih berdiri lagi ketika kita jatuh. Kita harus bangkit sambil menujukan pandangan kita kepada rencana kasih Allah: bahwa Kristus yang telah berkorban bagi kita akan membantu kita bangkit dari segala dosa kita; dan bahwa kitapun dipanggil Allah untuk memberikan diri kita kepada Tuhan dan sesama, seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus di kayu salib yang mulia.
Marilah kita belajar dari kesederhanaanNya. Melalui kesederhanaan, hati kita menjadi lembut untuk mengakui bahwa kita adalah para pendosa yang membutuhkan Raja.
Mari kita persiapkan hati, pikiran, dan perbuatan kita untuk memasuki pekan suci!
Sambut dan elukan Sang Raja!
Tuhan layakkan kami memujiMu…
Soli Deo Gloriam!
Sajak Sang Raja Penunggang Keledai
Yerusalem, Yerusalem! Lihat!
Mata, lihatlah kemuliaan Raja
Jika tak ada derap kuda yang gagah…
Biarlah keledai yang ditunggangiNya!
–Sang Raja menunggang keledai?Hosanna..Hosanna..!
Mulut, kidungkan kata manis ini bagi Raja
Jika tak ada sepatah kata Hosanna untukNya,
biarlah bebatuan yang akan berteriak memujaNya!
–Sang Raja dipuja bebatuan?Lambaikan ! Lambaikan!
Tangan, lambaikan daunan Palma untuk mengelukanNya!
Biarlah palma melambai,
mengarak Raja!
–Perarakan Raja dengan daunan Palma?beribu memuja…
selaksa menghujat…
dunia membunuhNya…
Sang Raja Penunggang Keledai,
menebus jiwa pada misteri salib
hujatan menanti dibalik pujian
kemuliaan ada dibalik kesederhanaan
Oleh: Era Yustika
Tangerang, 19 Maret 2010
Jumat, Prapaskah Minggu VI
*sebuah persiapan batin menuju Minggu Palma
Shalom Katolisitas,
Mengenai Minggu Palma, ada beberapa pertanyaan berikut ini.
1. Kebiasaan menyimpan daun palma yang sudah diberkati pada salib di rumah. Dari manakah asal usul kebiasaan tersebut?
2. Daun Palma yang sudah diberkati akan dibakar dan digunakan untuk penandaan abu pada Rabu Abu tahun berikutnya. Bagaimana dengan daun palma yang tidak dijadikan abu untuk Rabu Abu? Karena pada Minggu Palma tahun selanjutnya kita pasti membawa daun palma baru yang sudah diberkati? Daun palma yang sudah kering ini sebaiknya dibagaimanakan?
Apakah seperti prinsip mencuci piala yang digunakan sesudah Misa, air cuciannya harus langsung ke tanah.
Terima Kasih
Salam Arief Prilyandi, Pada abad VII terbit Dokumen “Sacramentarium Gelasianum Vetus” yang mengatur perlakuan terhadap daun palma yang dipakai pada Minggu Palma. Di situ, disebut ritus pembakaran daun dan cabang palma serta cabang ranting lain (misalnya ranting zaitun) untuk Rabu Abu tahun selanjutnya. Hal ini sudah kita praktekkan. Namun dokumen tetap menekankan kebijakan pribadi yang berkehendak baik, di mana jika ada kelebihan daun palma, atau abu daun palma, maka mereka diperlakukan secara wajar. Perlakuan wajar dan bijak itu misalnya ditimbun atau ditanam. Namun sebelum tertulis dalam buku upacara itu, pemakaian daun palma dan daun lain (misalnya zaitun) untuk Minggu awal… Read more »
Menambahkan jawaban Rm Santo di atas, daun palma yang sudah diberkati, dan tidak dibakar, diletakkan di sakrarium.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
[dari Katolisitas: definisi Sakrarium (sumber: Ernest Mariyanto, Kamus Liturgi Sederhana, (Yogyakarta, Kanisius, 2004), hl. 198):
“Tempat di sakristi, di mana dibuang barang-barang suci yang tidak digunakan lagi, misalnya hosti kudus yang jatuh dan menjadi kotor, minyak kudus yang sudah kedaluwarsa. Barang-barang yang dibuang itu dimasukkan ke dalam sakrarium lalu diguyur dengan air. Air dari sakrarium harus langsung meresap ke dalam tanah, tidak masuk ke saluran pembuangan air (limbah).”]
Salam damai tim katolisitas,
Saya ingin bertanya mengapa pada umumnya umat Katolik meletakkan daun palem yang sudah diberkati pada perayaan Minggu Palma pada salib yang ada di rumah masing-masing. Apakah ini hanya tradisi yang turun temurun atau ada makna khusus? Terimakasih
Salam Arvita,
Pada hari Minggu Palem, pemberkatan dan pemakaian daun palma sebagai tanda suka cita menyambut kedatangan Sang Raja yang rendah hati dan penuh sekaligus pembawa damai, langsung disusul dengan pemakluman Kisah Sengsara ketika masuk ke dalam gereja. Betapa erat hubungan antara daun palma dengan salib, tempat penyaliban Raja yang rendah hati dan rela menderita untuk memberi damai sejati dan pengampunan kepada orang yang percaya. Palma dan salib jadi satu tanda kemenangan.
Salam, doa dan berkat Tuhan selalu.
Rm Boli.
Selamat mempersiapkan Minggu Palma.
Menyambut Sang Raja Kehidupan dengan mata, mulut dan tangan.
Hosana bagi Allah yang maha tinggi… bagi-Nya pujian dan kemuliaan untuk selama-lamanya…
yang slalu berdosa,
yohanes yp