Menikah atau hidup selibat untuk Kerajaan Allah?
Mungkin pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang harusnya direnungkan oleh para muda- mudi Katolik. Jaman sekarang, kita melihat dalam keadaan masyarakat, di mana terdapat kebebasan mass media dan gaya hidup yang bahkan seolah menganggap perkawinan yang tak terceraikan adalah sesuatu yang sukar, apalagi kehidupan selibat, yang dipandang lebih lagi sangat mustahil. Namun sebenarnya, tidaklah demikian jika kita berpegang pada pengajaran Rasul Paulus. Jaman dahulu situasi di Korintus mirip dengan kondisi kita sekarang, maka kitapun bisa belajar banyak dari pengajaran Rasul Paulus ini.
Dalam 1 Kor 7:1-40, Rasul Paulus mengajarkan tentang perkawinan dan kehidupan selibat. Pengajaran ini penting, terutama jika kita memahami kondisi jemaat di Korintus saat itu. Kota Korintus merupakan kota transit dan kota pelabuhan. Dengan kondisi ini maka kota tersebut mempunyai tingkat ke-asusilaan/ immorality yang tinggi. Di tengah lingkungan pagan yang sedemikian, maka kemungkinan ada beberapa jemaat di Korintus yang menanyakan kepada rasul Paulus, tentang bagaimana menyikapinya, apakah jadi sebaiknya semua orang Kristen harus hidup selibat, atau apakah perkawinan itu merupakan hal yang buruk. Maka bab tujuh ini menandai dimulainya bagian kedua dari surat pertama Rasul Paulus kepada umat di Korintus . Konteksnya adalah surat ini kemungkinan merupakan jawaban dari Rasul Paulus akan pertanyaan tersebut.
Dalam jawabannya ini Rasul Paulus mengajarkan tentang:
1. ay. 1-16 Perkawinan dan sifatnya yang tak terceraikan
2. ay. 17-24 Rasul Paulus menjelaskan bahwa menjadi murid Kristus tidak mutlak harus mengubah status hidup (misal: dari menikah menjadi selibat) ataupun mengubah keadaan eksternal. Maka perikop ini tidak mengajarkan secara keseluruhan konsep perkawinan Kristiani, sebab untuk melihat pengajaran yang lebih lengkap tentang perkawinan, kita harus membaca juga Ef 5: 22-33, di mana persatuan dan kasih suami istri dilambangkan dengan persatuan dan kasih Kristus kepada jemaat/ Gereja-Nya.
3. ay. 25-38 Kehidupan selibat yang dipandang sebagai sesuatu yang lebih tinggi karena menjadi tanda pengabdian dan kasih tanpa syarat kepada Tuhan dan sesama.
4. ay. 39- 40 Kehidupan menjanda yang dapat dijadikan kesempatan untuk melayani Tuhan dengan lebih penuh.
Berikut ini saya sampaikan uraian yang mengambil sumber utama dari Commentary yang ada di The Navarre Bible, The Letters of St. Paul:
7:1-9 Rasul Paulus mengajarkan bahwa Perkawinan adalah sesuatu yang baik. Di sini dan di ayat 25-35, Raul Paulus ingin mengatakan bahwa bukan hanya kehidupan selibat yang dapat dilakukan oleh umat Kristiani. Maka ia menyatakan dua hal yang mendasar yaitu memang kehidupan selibat berada di tingkat yang lebih tinggi dari perkawinan, tetapi perkawinan adalah sesuatu yang baik dan kudus bagi mereka yang terpanggil untuk itu.
Dalam hal ini, Rasul Paulus melihat bahwa kehidupan perkawinan dan selibat itu harus dilihat berdampingan. Pengajaran ini dilanjutkan oleh St. Yohanes Krisostomus dengan indahnya, “Barangsiapa yang mengecam perkawinan, ia juga membuang kemuliaan yang ada pada kehidupan selibat; sedangkan barangsiapa yang memuliakan perkawinan, maka ia juga membuat kehidupan selibat menjadi menarik dan bersinar. Sesuatu yang kelihatannya baik hanya ketika dibandingkan dengan sesuatu yang buruk, tidaklah sungguh-sungguh berharga; tetapi ketika hal itu lebih besar daripada hal-hal yang dihargai oleh semua orang, maka memang hal itu baik di tingkat yang sangat tinggi.” (St. Yohanes Krisostomus, De virginitate, 10, 1)
Jadi Rasul Paulus menjawab di sini bahwa adalah baik untuk hidup selibat, namun untuk itu seseorang memerlukan rahmat yang istimewa dari Tuhan (ay.7). Mengingat keadaan moral di Korintus yang sangat aktif dipengaruhi oleh ketidakmurnian sehingga dapat meningkatkan banyak godaan (ay. 2, 5, 9), maka lebih baik bagi mereka yang tidak mempunyai karunia untuk hidup selibat untuk menikah. Namun demikian tentu ia tidak bermaksud mengajarkan bahwa tujuan utama perkawinan adalah untuk membebaskan diri dari godaan. Sebab makna Perkawinan malah sangat luhur karena kasih suami istri menjadi gambaran akan kasih Yesus kepada Gereja-Nya (lih. Ef 5:22-33). Di sini Rasul Paulus hanya menganjurkan agar bagi yang terpanggil untuk hidup selibat, namun bagi yang tidak terpanggil/ yang tidak mempunyai karunia untuk hidup selibat, agar tidak hidup selibat dan karenanya menanggung resiko tidak dapat mengatasi godaan tersebut.
7:3-6 Rasul Paulus mengajarkan bahwa kehidupan selibat bukan untuk semua orang. Jika untuk kondisi khusus suami dan istri hendak bertarak/ tidak berhubungan suami istri (perfect continence), mereka harus melakukannya atas kesepakatan bersama, dan hanya untuk sementara waktu, agar tidak memasukkan diri sendiri ke dalam godaan setan yang tidak perlu. Juga Rasul Paulus mengajarkan agar suami dan istri bukanlah pemilik dari tubuhnya sendiri, suami memiliki hak atas tubuh istri dan demikian pula sebaliknya.
7:7 Rasul Paulus sendiri hidup selibat. Ia menginginkan orang lainpun seperti dia, sehingga dapat mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah. Namun ia juga mengakui bahwa hidup selibat merupakan karunia istimewa dari Allah, seperti yang diajarkan Kristus (lih. Mat 19:11-12). Ini adalah tanggapan terhadap kasih yang telah dinyatakan oleh Yesus secara tak terbatas. Dan Rasul Paulus secara pribadi telah mengalaminya [dalam perjalanan ke Damsyik]. Rahmat dengan kekuatan ilahi meningkatkan kerinduan bagi orang-orang tertentu untuk mengasihi Allah dengan total, eksklusif, tetap dan selama-lamanya. Maka keinginan bebas untuk mengabdi sepenuhnya kepada Allah dengan hidup selibat selalu dianggap Gereja sebagai sesuatu yang menandai dan mendorong kasih (lih. Lumen Gentium / LG 42). Kehidupan selibat adalah bukti kasih tanpa syarat, dan mendorong kepada kasih yang terbuka kepada semua orang (Paus Paulus VI, Sacerdotalis caelibatus).
Maka ketika Rasul Paulus mengatakan “setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas”, artinya bahwa perkawinan juga merupakan karunia dari Tuhan (lih. LG 11). “Perkawinan adalah jalan ilahi di dunia…. Maksud perkawinan adalah untuk membantu pasangan menguduskan mereka sendiri dan orang lain. Untuk alasan ini mereka menerima rahmat istimewa di dalam sakramen Perkawinan. Mereka yang terpanggil untuk menikah akan, dengan rahmat Tuhan, menemukan di dalam kondisi mereka setiap hal yang mereka perlukan untuk hidup kudus dan untuk lebih mengikuti jejak Kristus setiap hari dan untuk menuntun semua yang hidup bersama mereka kepada Tuhan.” ((St. Josemaria Escriva, Conversations, 91))
7:10-11 Maka kehidupan selibat bagi Rasul Paulus bukan merupakan perintah, tetapi berupa anjuran. Sedangkan tentang perkawinan yang tak terceraikan itu merupakan perintah Tuhan, seperti yang telah diajarkan oleh Yesus (lih. Mat 19:6); dan suami ataupun istri tak dapat menceraikannya (Mat 5: 31-32; 19:3-23; Mk 10:12). Perkawinan yang tak terceraikan ini berakar dari kasih yang memberikan diri secara total dari pasangan suami istri, demi kebaikan anak-anak mereka. Maka perkawinan yang tak terceraikan ini menemukan kebenaran puncaknya di dalam rencana Allah yang menghendaki agar perkawinan yang tak terceraikan ini merupakan sebuah buah, tanda dan syarat dari kasih setia absolut yang Allah tujukan kepada manusia dan yang Yesus tujukan kepada Gereja…. ((lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 20))
7:12-16 Setelah mengajarkan tentang perkawinan yang tak terceraikan, Rasul Paulus menjelaskan tentang kasus yang umum ditemukan saat itu, yaitu perkawinan antar dua orang pagan, yang kemudian salah satunya menjadi Kristen. Dalam dunia pagan memang hukum memperbolehkan perceraian. Menurut tradisi Yahudi, jika seseorang pagan menjadi Yahudi, maka ia disunat dan harus mengikuti hukum Taurat Musa, termasuk menghindari hubungan sosial dengan orang non-Yahudi (karena akan menjadi najis), sehingga ikatan perkawinan sebelumnya dengan orang non-Yahudi itu harus diceraikan.
Namun demikian, Rasul Paulus tidak memberikan solusi ini. Menurut Rasul Paulus, ikatan perkawinan tetap berlaku, sebab hukum kenajisan tidak berlaku/ telah diperbaharui oleh Kristus. Hanya saja jika pihak yang pagan tidak mau hidup dalam perdamaian, maka pihak yang sudah dibaptis dapat berpisah dengannya dan menikah kembali.
Maka dalam hal ini ada tiga hal penting yang harus diketahui:
1) Yesus Kristus tidak pernah bicara tentang hal ini; sehingga ini memang pengajaran dari Rasul Paulus. Maka ia bukan hendak membatalkan pengajaran Yesus tentang perkawinan yang tak terceraikan. Yang dilakukannya adalah, dengan inspirasi Roh Kudus, ia mengajarkan secara umum untuk menyikapi suatu kasus khusus.
2) Jika seorang pagan dibaptis, maka ia menguduskan anggota keluarga lainnya (suami/ istrinya dan anak-anak) (ay. 13-14). Maka pertobatannya bukan malah ‘merusak’ keutuhan keluarga, tetapi malah sesuatu yang membawa kebaikan bagi seluruh keluarga. Pembaptisan bukan sesuatu yang mengakibatkan perceraian, tetapi malah memperkuat dan menguduskan keluarga.
3) Hanya jika pasangan yang tetap tidak percaya (tetap pagan) mengganggu kehidupan keluarga atau tidak memperbolehkan pasangan yang Kristen tersebut untuk hidup sesuai dengan imannya, maka mereka boleh berpisah dan ia yang Kristen tersebut boleh menikah kembali.
Maka Gereja Katolik mengikuti solusi yang diajarkan oleh Rasul Paulus dan umum disebut sebagai “Pauline privilege” (lihat KHK kann. 1143-1147)
Namun ada catatan yang sangat penting di sini, bahwa, kondisi yang disebutkan oleh Rasul Paulus ini bukan kondisi pernikahan di mana salah satu pihaknya sudah Katolik, -yang menikah dengan pihak non- Katolik (kawin campur atau kawin beda agama). Pada kasus- kasus ini, Gereja Katolik mensyaratkan adanya komitmen dari pihak non- Katolik dan jika ini dilakukan maka pernikahan tetap sah dan tak terceraikan (lihat KHK kann. 1124- 1128).
7:17-24 Rasul Paulus mengajarkan bahwa pertobatan tidak perlu diikuti dengan perubahan total status hidup, “hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya” (lih. ay. 17, 20,24). Contoh yang diberikan misalnya soal sunat lahiriah dan hamba/ pekerja. (ay. 18-22). Jadi yang dipentingkan di sini adalah pertobatan rohaniah, dan bahwa kondisi sehari-hari, entah pekerjaan, keluarga, hubungan sosial, dst sekarang membantu kita untuk menuju kekudusan. Kehidupan kita harus mempunyai dimensi baru, sebab kita menyadari bahwa Tuhan membimbing kita untuk melakukan tugas-tugas yang dipercayakan oleh Tuhan kepada kita.
7:19 Penekanan bahwa yang lebih penting adalah menaati perintah Tuhan, maka dengan demikian, sunat atau tidak bersunat tidak lagi menjadi penting, hanya “iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6; lih. Gal 6:15).
7:21-23 Pada jaman Rasul Paulus, memang perbudakan masih ada, tetapi Rasul Paulus berkali-kali mengajarkan bahwa sebenarnya setiap manusia mempunyai martabat yang sama di hadapan Allah (lih. Gal 3:28-29 dan Filemon). Sesudahnya ketika ajaran Kristiani masuk ke dalam sendi-sendi kemasyarakatan, maka perbudakan dihapuskan.
Bagaimana seseorang dapat hidup merdeka, pada saat ia masih hidup sebagai pelayan? Maka jawabannya, menurut St. Yohanes Krisostomus adalah ketika ia dapat hidup merdeka/ bebas dari nafsu dan pikiran yang tidak sehat. ((lihat St. Yohanes Krisostomus, Hom., on 1 Cor, 19, ad loc.))
Sedangkan yang benar adalah kita semua hidup sebagai pelayan Tuhan, dengan melihat kepada teladan Yesus sendiri (lih. 1 Kor 20:28) Maka jika kita melayani sesama demi kasih kita kepada Tuhan, itu adalah sesuatu yang sangat mulia. “Kita hidup memang harus melayani, suka atau tidak suka, sebab itulah yang dilakukan oleh kita manusia. Maka tiada yang lebih baik dari pada menyadari akan Kasih yang menjadikan kita pelayan Tuhan…. Dengan demikian kita mengerjakan segala sesuatu di dunia dengan sungguh-sungguh seperti orang-orang yang lain, namun dengan kedamaian di dalam hati kita. Kita bersuka cita dan selalu tenang di dalam menghadapi sesuatu, sebab kita tidak menaruh kepercayaan kepada hal yang sementara, tetapi pada hal yang tetap selamanya.” ((St. Josemaria Escriva, Friends of God, p.35))
7:25-35 Rasul Paulus menjelaskan keistimewaan kehidupan selibat dibandingkan dengan perkawinan. Magisterium Gereja Katolik juga mengajarkan demikian (lih. Trent, De Sacrum matrimonio, ca. 10; Pius XII, Sacra virginitas,11)). Rasul Paulus memang mengatakan bahwa untuk ajaran berikut ia tidak menerima perintah Allah namun hanya menganjurkan kehidupan selibat, dengan motivasi utama, yaitu kasih kepada Allah. “Ini adalah tujuan utama dan alasan utama bagi selibat Kristiani- untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada hal-hal surgawi, memberikan kepada hal-hal itu segenap perhatian dan kasih, memikirkan Dia senantiasa, dan mengkonsekrasikan diri kepada Tuhan sepenuhnya, tubuh dan jiwa. ((Pius XII, Sacra virginitas, 5))
Kehidupan selibat ini akan menuju kepada kehidupan yang penuh dan produktif sebab akan membuat seseorang dapat mengasihi sesama dengan lebih penuh dan mengabdikan diri kepada mereka dengan lebih total. Juga kehidupan selibat mengacu pada dimensi kehidupan di akhir jaman: tanda kebahagiaan surgawi (lih. Vatikan II, Perfectae caritatis, 12) dan mengacu pada kehidupan para kudus di surga.
Namun, meskipun selibat adalah tingkat yang lebih tinggi, perkawinan bukanlah sesuatu yang buruk. Mereka yang menikah tidak melakukan sesuatu yang salah (ay. 28), dan tidak perlu seseorang yang sudah menikah untuk hidup selibat (ay. 3-5) atau bercerai (ay. 27). “Kehidupan selibat demi Kerajaan Allah tidak hanya tidak berlawanan dengan martabat perkawinan, namun mensyaratkan dan meneguhkannya. Perkawinan dan kehidupan selibat adalah dua hal yang melambangkan dan mempraktekkan satu misteri perjanjian Allah dengan umat-Nya. Ketika perkawinan tidak dijunjung tinggi, maka kehidupan selibat tidak dapat eksis; ketika seksualitas manusia tidak dinilai sebagai sesuatu yang berharga yang diberikan oleh Sang Pencipta, maka pengorbanannya demi Kerajaan Allah menjadi kehilangan artinya.” ((Yohanes Paulus II, Familiaris Cansortio, 16))
7:28 “kesusahan badani” Ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan perkawinan. Hubungan suami istri dalam perkawinan di mana terjadi persatuan yang intim dan murni adalah suatu yang agung dan terhormat:….ini merupakan tindakan pemberian diri yang memperkaya pasangan dengan suka cita dan ucapan syukur. ((Lihat Vatican II, Gaudium et Spes, 49)).
7:33 “perkara duniawi”: menunjukkan bahwa mereka yang menikah tidak dapat mengabaikan kebutuhan- kebutuhan material dalam keluarga. Bahkan suami (kepala keluarga) tidak dapat menyenangkan Tuhan jika ia tidak memenuhi kebutuhan keluarganya. “Adalah suatu kesalahan jika mereka [suami dan istri] tidak memasukkan kehidupan keluarga bagi perkembangan rohani mereka. Kesatuan perkawinan, pendidikan anak dan usaha memenuhi kebutuhan keluaraga…. dan hubungan- hubungan dengan orang lain dalam komunitas- semua ini adalah keadaan umum manusiawi yang harus dikuduskan oleh pasangan suami istri. ((St. Josemaria Escriva, Christ is Pasiing by, 23)) Maka tidak benarlah jika seseorang terlalu aktif mengikuti kegiatan kerasulan awam, sampai menelantarkan keluarga dan kebutuhan keluarganya sendiri.
7:29-31 St. Paul mengingatkan pada kita bahwa hidup ini singkat (lih. Rom 13:11-14; 2 Pet 3:8; 1 Yoh 2:15-17) agar kita dapat menggunakan sebaik-baiknya dari waktu yang ada untuk melayani Tuhan. Maka kita harus tidak terikat pada hal-hal duniawi, supaya kita tidak diperbudak oleh apapun dan siapapun (lih. 1 Kor 7:23; Lumen Gentium 42), tetapi selalu mempunyai pandangan ke arah kehidupan kekal.
7:35 Ayat ini dimaksudkan oleh Rasul Paulus untuk menunjukka bahwa orang-orang yang tdiak menikah mempunyai kesiap-sediaan yang lebih untuk melayani Tuhan.
7:36-38 Terdapat dua teori untuk menjelaskan ayat-ayat ini: 1) Rasul Paulus mengacu kepada kebiasaan saat itu di mana seorang Kristen dapat menerima seorang perawan Kristen di rumahnya untuk mencegah keluarga perempuan itu yang masih pagan untuk memaksanya menikah. 2) Rasul Paulus menujukan ajaran ini kepada para bapa atau bapa angkat yang menurut kebiasaan saat itu mempunyai kuasa untuk memutuskan apakah anak perempuannya akan menikah atau tidak. Dalam hal ini, “baiklah mereka kawin”/ let them marry sebenarnya harus diterjemahkan sebagai “he can decide that she marry.”
Walaupun penyampaian dalam paragraf ini sepertinya tidak jelas, namun maksud utama Rasul Paulus tetap jelas, yaitu, bahwa perkawinan adalah baik dan kudus, tetapi tak seorang-pun wajib untuk menikah; mereka yang dengan panggilan ilahi -“ia yang mempunyai keyakinan ini di dalam hatinya”- dipanggil untuk hidup selibat melakukan hal yang lebih baik (lih. ay. 38).
7:39-40 Mengikuti Rasul Paulus, Gereja selalu mengajarkan bahwa ikatan perkawinan hanya dapat dipisahkan oleh kematian salah satu dari pasangan, dan ia yang masih hidup dapat menikah lagi. Namun menurut anjuran Rasul Paulus, lebih baik bagi yang masih hidup itu untuk tetap tidak menikah, dan melayani Tuhan, jika itu kehendak Tuhan.
Kesimpulan
Melihat pentingnya makna kedua panggilan hidup ini, memang sebaiknya para pemuda/i Katolik merenungkannya sebelum membuat keputusan. Baik perkawinan maupun hidup selibat merupakan jalan yang dapat menuntun seseorang kepada kekudusan, namun perlu direnungkan secara khusus dalam kondisi kita masing-masing, “Apa kehendak Tuhan bagiku?” “Dengan cara apa aku dapat memuliakan Tuhan dengan lebih baik?” Dan jika kita sudah ‘terlanjur’ memilih jalan dan status hidup kita, kita tak perlu resah, karena setiap jalan dan keadaan kita, tetap dapat membawa kita kepada kekudusan, asalkan kita hidup sesuai dengan perintah-perintah-Nya, terutama perintah kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama.
Saya mau bertanya tentang saran dari Rasul Paulus tentang hidup selibat. Apakah hidup selibat disini diarahkan untuk hidup membiara atau hidup selibat sebagai rasul awam?
Shalom Steven, Prinsip dari 1 Kor 7 adalah untuk memberikan nasihat bahwa setiap orang dipanggil dalam kapasitas yang berbeda-beda sesuai dengan cara hidup dan kekhasannya masing-masing. Rasul Paulus menuliskan, “Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu.” (1Kor 7:7) Seseorang dapat saja menikah atau hidup selibat. Namun, keduanya harus semakin memuliakan Allah. Rasul Paulus memang memberikan nasihat ada orang yang dipanggil untuk selibat. Tidak dijelaskan apakah yang dipanggil selibat untuk membiara atau sebagai rasul awam. Namun, keduanya adalah sama baiknya. Karena hal… Read more »
Shalom.. Saya sedang kalut sekali akhir2 ini. Sebenarnya saya punya keinginan sejak belia untuk hidup membiara selepas SMA, namun saat ini usia saya telah mencapai 22 tahun. Lagipula orang tua saya tidak menghendaki saya untuk hidup selibat, mungkin karena takut saya gagal membiara dan sendirian di masa tua. Pada masa itu hingga sekarang saya telah membina hubungan dengan lelaki muslim selama 8 tahun. Dulu saya cukup sreg dengan dia tapi akhir2 ini banyak hal dari dia yang membuat saya jadi takut dan ragu untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Walau begitu, keluarganya sudah setuju dengan saya dan merencanakan pernikahan… Read more »
Shalom Josia, Panggilan untuk masuk biara pada dasarnya adalah suatu anugerah. Maka layaknya anugerah, sikap yang tepat adalah diterima dan ditanggapi dengan ucapan syukur, bukan dengan rasa terpaksa. Sebab dengan masuk biara dan hidup selibat untuk Kerajaan Allah, seseorang diarahkan untuk secara suka rela memberikan dirinya sepenuh-penuhnya untuk Allah, sebagai tanggapan atas anugerah kasih yang telah ia terima terlebih dahulu dari Allah. Jika sebelum membuat keputusan itu ia merasa terpaksa, maka kemungkinan besar ia tidak terpanggil untuk hidup selibat untuk Kerajaan Allah, sebab bagi yang sungguh terpanggil, ia akan dengan sukarela dan bahkan dengan suka cita menyerahkan keseluruhan dirinya untuk… Read more »
Salam pak Stef/Ibu Ingrid, Saya masih kurang mengerti beberapa hal, mohon bantuannya untuk menerangkan: 1) Pada 1 Kor 7:7, apakah karunia/rahmat istimewa yang dimaksud rasul Paulus ini adalah karunia yang sama dikatakan oleh Yesus pada Mat 19:11? 2) Apakah karunia ini diberikan pada orang-orang tertentu yang jumlahnya terbatas, atau bisa diberikan pada hampir semua orang? Apakah semua orang yang saat ini hidup selibat, bisa kita katakan bahwa mereka semua mempunyai karunia ini? 3) Bagaimana kita bisa tahu bahwa kita telah memperoleh karunia ini? Jika kita merasa tidak yakin memiliki karunia ini, apakah berarti sebaiknya kita menikah? Pada artikel di atas… Read more »
Shalom Budi, 1. Ya, karunia hidup selibat (tidak kawin) untuk memusatkan perhatian kepada perkara Tuhan sebagaimana disebutkan oleh Rasul Paulus dalam 1 Kor 7:7-8, 32-35, adalah mengacu kepada hidup selibat oleh karena Kerajaan Surga, yang disebutkan oleh Kristus pada Mat 19:12. 2. Karunia hidup selibat untuk Kerajaan Allah tidak diberikan kepada semua orang, namun kepada orang-orang tertentu menurut kehendak-Nya. Tidak semua orang yang saat ini hidup selibat dapat dikatakan memiliki karunia ini, namun mereka dapat memintanya kepada Tuhan dan Tuhan dapat mengabulkannya. Tentang karunia hidup selibat yang akan diberikan oleh Allah Bapa kepada para imam yang meminta kepada-Nya dengan rendah… Read more »
Terima kasih banyak, Bu Ingrid untuk penjelasan di atas yang sangat membantu pemahaman saya. Saya sendiri masih berusaha untuk belajar mengenai ajaran katolik yang lengkap. Saya ingin bertanya mengenai hal lain. Bagaimana jika seorang muda katolik (khususnya perempuan) yang karena dituntut/disuruh orangtuanya supaya lekas menikah, atau juga karena malu jika diperbincangkan masyarakat sekitar jika tidak kunjung menikah (yang umumnya dicap “tidak laku” dan disindir2), akhirnya kurang cermat atau agak ceroboh dalam memilih pasangan, atau dengan sekenanya menyanggupi saat dipertunangkan oleh orangtua meskipun pasangannya/tunangannya ada kelemahan2 sifat yang serius (seperti kurang menghargai orang lain, sombong, menganggap derajat perempuan lebih rendah, dll)… Read more »
Sesungguhnya tidak ada keharusan bagi setiap orang untuk menikah, seolah kalau tidak menikah ia berbuat dosa. Sebab kita ketahui bahwa ada orang-orang tertentu yang memilih untuk hidup tidak menikah (selibat) untuk Kerajaan Allah, seperti para imam dan biarawan/ biarawati, dan cara hidup sedemikian diajarkan oleh Kristus (lih. Mat 19:12), dan bahkan dipilih-Nya sendiri. Demikian pula, ada sejumlah orang yang memilih untuk tidak menikah, walaupun juga tidak masuk seminari/ biara, dan dengan demikian memiliki waktu yang lebih penuh untuk berkarya baik dalam masyarakat maupun Gereja. Adalah suatu kenyataan yang memprihatinkan memang, jika seseorang menikah bukan karena keinginannya sendiri, tetapi karena takut… Read more »
shalom.. saya umat katolik dari Malaysia.. saya ingin tahu yang mana satu betul mengenai firman Tuhan pada Kor 7:36-38 “36.Inilah nasihat pada pasangan yg sudah bertunang,tetapi mengambil keputusan untuk tidak berkahwin.Jika lelaki itu merasa tidak bertindak dengan sepatutnya terhadap tunangnya dan jika dia tidak dapat menahan nafsunya,serta merasa harus berkahwin dengan gadis itu,hendaklah dia melakukan apa yang dikehendakinya.Dia tidak berdosa,jika mereka berkahwin.Tetapi jika seorang lelaki,tanpa paksaan sesiapa pun, mengambil keputusan untuk tidak berkahwin dengan tunangnya,dan jika dia dapat mengawal nafsunya dengan baik serta tahu akan apa yang hendak dilakukan,maka lebih baik dia tidak berkahwin dengan tunangnya.Dengan demikian orang yang berkahwin… Read more »
Shalom Nani, Teks ayat tersebut menurut Vulgate (dalam versi Douay Rheims, terjemahan bahasa Inggris) adalah: “But if any man think that he seemeth dishonoured with regard to his virgin, for that she is above the age, and it must so be: let him do what he will. He sinneth not if she marry. For he that hath determined, being steadfast in his heart, having no necessity, but having power of his own will: and hath judged this in his heart, to keep his virgin, doth well. Therefore both he that giveth his virgin in marriage doth well: and he that… Read more »
Salam. Bagaimana dgn seseorang yg memang memiliki orientasi seksual yg salah, sehingga tentu saja utk hidup kudus, dia tdk akan mgkn melalui jalan pernikahan, kecuali jika dipaksakan atau dia berhasil sembuh dan kembali normal atas pertolongan Tuhan. Nah, apakah seseorang spti layak tidak utk jg hidup selibat melayani Tuhan? Dari segi motivasi memang inilah awalnya, namun bkn satu2nya. Dan mgkn bsa dijelaskan orang yg hidup selibat apakah hrs slalu jd biarawan/biarawati atau org2 yg spti Romo, suster, dsb? Kalau hnya mjd awam saja dlm profesi pd umumnya spti dokter, pengacara, guru, dsb bisa tdak? Dan apa saja yg bisa atau… Read more »
Salam Jericho, Dalam “Instruction Concerning the Criteria for the Discernment of Vocations with regard to Persons with Homosexual Tendencies in view of their Admission to the Seminary and to Holy Orders”, silakan klik di sini, homoseksual aktif tidak diizinkan hidup dalam kondisi sebagai calon imam. Tentu saja kecenderungan ini pun menyulitkan dia untuk menjadi biarawan dan biarawati. Jika mereka pasif, tentu saja mungkin. Namun bagaimanapun menurut pengalaman Gereja, saudara/i yang homoseks “pasif” ini pun susah dijamin tetap pasif sampai mati dibandingkan dengan yang heteroseksual, lebih-lebih jika lingkungan terdiri dari gender yang sama. Karena itu, Gereja melalui Sri Paus Benediktus… Read more »
Saya minta penjelasan tentang munculnya hidup membiara / hidup bakti? Terima kasih
Salam Yuri, Kutipan dari Wikipedia berikut semoga membantu walau secara sangat umum. “Monastisisme dalam kekristenan memiliki pelbagai bentuk kehidupan religius guna menanggapi panggilan Yesus dari Nazaret untuk mengikutiNya. Monastisisme Kristiani mulai tumbuh sejak permulaan sejarah Gereja, mengikuti teladan-teladan dan gagasan-gagasan dari Kitab Suci, termasuk yang tercantum dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, meskipun kitab tersebut tidak mewajibkannya dijalani dalam institusi tertentu. Monastisisme Kristiani ditata menurut peraturan rohani (misalnya Peraturan Santo Basilius, Peraturan Santo Benediktus) dan, di masa kini, hukum Gereja. Monastisisme Kristiani merupakan suatu jalan hidup rohani (yang juga disebut “jalan penyempurnaan”) yang disambut sebagai sebuah panggilan Allah dari keinginan untuk… Read more »
Saya dalam poses pembatalan pernikahan, karena mantan suami kembali ke agamanya terdahulu dan akan menceraikan saya jika saya tidak mengikutinya, dan itu telah terjadi, secara sipi/negara kami telah bercerai. Saat ini saya mempunyai anak usia 2 tahun, apa dengan keadaan seperti ini saya bisa hidup selibat tapi dengan membawa anak? saya hanya ingin hidup bisa lebih berati dengan melayani… trimakasih
Shalom Indah, Sejujurnya, melayani tidak harus dengan kehidupan selibat, walaupun memang seseorang yang memilih untuk hidup selibat demi Kerajaan Allah, mempunyai kesempatan dan keadaan yang lebih leluasa untuk melayani Tuhan. Dalam kondisi Anda, yaitu yang telah mempunyai anak usia 2 tahun, maka tanggung jawab Anda yang terbesar di hadapan Tuhan adalah untuk membesarkan dan memelihara anak Anda tersebut, agar dapat bertumbuh menjadi anak yang baik dan berkenan di hadapan Allah. Oleh karena itu, meskipun Anda memperoleh izin pembatalan perkawinan sekalipun, maka Anda tidak dapat mengabaikan tanggungjawab Anda untuk membesarkan dan mendidik anak Anda tersebut. Namun demikian, kehidupan selibat tetap dapat… Read more »
selibat merupakan suatu komitmen bukan merupakan suatu pelampiasan karena sudah sakit hati dengan pasangan kita, oleh karna itu ada baiknya kita menenangkan diri sejenak dan mengetahui bahwa hidup selibat bukan merupakan pelarian kita.
[Dari Katolisitas: Ya, pandangan ini benar]