“Engkau hanya menganggap saudara-saudaramu sebagai batu loncatan. Namun saat engkau gagal, engkau mengharapkan belas kasihan dari mereka, sesuatu yang tidak engkau berikan pada mereka.” – St. Josemaria Escriva
Ketika Ia berbisik melalui kata-kata St. Josemaria Escriva, akal budi dan kesombonganku protes keras. Akan tetapi, jauh dalam hati nuraniku, aku merasa kata-kata itu ada benarnya. Aku tercengang melihat gerakan kontras dalam hatiku ini. Di satu sisi, aku merasa kata-kata itu benar. Di sisi lain, aku tidak percaya karena aku merasa telah memperlakukan saudara-saudara sebiaraku dengan cukup baik. Semakin aku renungkan, mungkin memang aku hanya “cukup” baik dalam mencintai mereka. Aku belum mencintai mereka sebagaimana yang Yesus inginkan dariku.
Yesus Berdoa dalam Sakratul Maut di Gethsemani.
Ketika di Gethsemani, Yesus bergulat dengan kecemasan dan ketakutan-Nya sebagai manusia dalam menghadapi derita Salib. Di hadapan-Nya, terpampang dosa dan kengerian akibat kejahatan manusia. Terlintas pula gambar kekejian dosa-dosa yang aku lakukan. Pada akhirnya, Ia meminum cawan derita itu. Ia memeluk semua pendosa sebagai saudara-Nya dan mencintai mereka. Ia tetap mencintai pendosa, walau membenci dosa yang mereka. Dapatkah aku tetap mencintai saudara-saudaraku apa adanya, sekalipun banyak kekurangan?
Yesus Dicambuk.
Yesus dijatuhi hukuman salib, yang mengharuskanNya dicambuk terlebih dahulu. Cambuk berduri si prajurit Romawi merobek Tubuh Kristus. Ia tidak bersalah, dan apa yang dialamiNya adalah sebuah ketidakadilan. Tapi, Yesus menjalani penderitaan itu dengan rela. Ia mempersembahkan Tubuh-Nya sebagai korban demi saudara-saudara-Nya manusia, demi aku. Sanggupkah aku membaktikan tubuhku untuk saudara-saudaraku?
Yesus Dimahkotai Duri.
Yesus, sebagai Raja Israel yang Sejati, Penguasa Alam Raya, layak mendapat kemuliaan setinggi-tingginya. Hanya Ia seorang yang layak. Ketika berinkarnasi menjadi manusia, Ia mendapat mahkota di dunia ini. Namun, mahkota yang diperolehNya adalah mahkota duri. Ia diberi jubah dan tongkat kerajaan. Namun, itu semua hanyalah sindiran dan olok-olokan belaka. Dengan kerendahan hati yang luar biasa, Ia menjalani semua itu. BagiNya, jiwa manusia lebih penting dari kehormatan dan harga diri-Nya. Maukah aku mempersembahkan harga diriku demi saudara-saudaraku? Jika Tuhan meletakkan kemuliaan-Nya demi manusia, kenapa aku masih memegang harga diriku?
Yesus Memanggul Salib.
Yesus telah dicambuk, dipukul, dan dihina. Ia telah letih secara fisik dan mental. Namun, itu semua seolah masih belum cukup. Ia masih harus memanggul sendiri salib-Nya yang berat menuju Golgota. Tubuhnya yang penuh luka dan lelah sempat menolak dan ingin menyerah hingga tiga kali. Namun, hati dan jiwa-Nya dipenuhi cinta yang mendorongNya untuk terus maju. Apakah aku rela mendorong jiwa dan ragaku menembus keletihan dan halangan demi saudara-saudaraku, sekalipun situasi terlihat hampir tidak mungkin?
Yesus Wafat di Salib.
Langit berubah gelap. Mentari bersembunyi dibalik awan yang murung. Bumi berguncang menahan senggukan tangisnya. Bahkan, para malaikat menudungkan sayap mereka untuk menyembunyikan air mata mereka. Seluruh ciptaan menyaksikan Allah yang wafat disalib bagi Kekasih-Nya. Ia memberikan seluruh Diri-Nya, kemuliaan-Nya, cinta-Nya secara penuh pada manusia. Walau demikian, masih ada saja orang-orang yang menolak cinta-Nya, sekalipun berdiri di dekat salib. Ia memberikan Diri-Nya padaku. Relakah aku menyerahkan seluruh hidupku demi saudara-saudaraku? Relakah aku berkorban secara penuh bagi mereka sekalipun mereka menolak aku?
“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” – Tuhan Yesus (Mat 22 : 39).