[Hari Raya Penampakan Tuhan, Hari Anak Misioner Sedunia, Yes 60:1-6; Mzm 72:1-13; Ef 3:2-3a,5-6; Mat 2:1-12]
Hari ini kita merayakan Minggu Epifani, yang artinya ‘Penampakan Tuhan’. Hari ini kita merayakan pernyataan Yesus yang pertama kalinya kepada dunia bahwa Ia adalah Mesias, Seorang Raja yang telah dinanti-nantikan. Bacaan Injil hari ini menuliskan tentang tiga orang majus dari Timur yang dengan melihat sebuah bintang di langit, dan dengan bantuan rahmat tertentu dari Tuhan, mereka datang mencari kelahiran Sang Mesias tersebut di tanah Israel. Mungkin di zaman itu ada banyak orang yang melihat bintang yang sama, namun tak banyak yang tahu ataupun menangkap artinya sebagai tanda kelahiran Kristus, dan kemudian mengikutinya. Suatu gambaran sederhana yang mengisahkan bahwa untuk melihat dan menemukan Tuhan diperlukan kepekaan akan rahmat Tuhan dan usaha dari pihak kita, untuk mencari Dia. Para orang majus melihat bintang itu, dan menanggapinya dengan mau bersusah payah melakukan perjalanan berminggu-minggu melintasi padang pasir, untuk mencari Sang Mesias, yang kelahiran-Nya ditandai oleh bintang itu. Ketika telah sampai ke tanah Yudea, para majus itu-pun tak sungkan bertanya kepada Raja Herodes penguasa daerah itu, yang kemudian menyuruh para imam dan ahli Taurat Yahudi untuk meneliti, di manakah Anak itu akan lahir. Dari merekalah, para majus itu mengetahui bahwa Sang Mesias itu lahir di Betlehem. Dan benarlah, bintang itu kembali mendahului para orang majus itu, dan berhenti tepat di atas sebuah tempat, di mana Anak itu berada (lih. Mat 2:9). Betapa mereka sangat berbahagia, karena menemukan Siapa yang mereka cari! Banyak kaum Yahudi yang tidak menyadari bahwa Raja mereka telah lahir, namun orang-orang majus ini yang berasal dari negeri yang jauh, malah termasuk dalam bilangan mereka yang pertama kali mengenali Kristus sebagai Raja dan menyembah-Nya.
Para majus itu menjadi gambaran samar-samar akan bangsa-bangsa bukan Yahudi yang kelak menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Ya, Para majus itu menjadi gambaran bagi kita semua yang kini mengimani Kristus. Kalau kita sungguh mau mengikuti Kristus, kita tidak perlu takut akan apa tanggapan orang, tidak perlu takut dianggap ekstrim karena kita tidak mengikuti arus dunia. Walaupun panggilan kita sebagai umat Kristiani tidak mudah, dan bahkan membutuhkan pengorbanan, namun kita mengetahui bahwa akan ada Terang Ilahi di akhir perjuangan kita.
Bukankah keseluruhan hidup kita adalah perjalanan menuju Kristus? Dan melalui Kristus menuju Allah Bapa? Maka hidup kita adalah semacam perjalanan yang harus kita lalui dengan terang iman. Kita tak perlu mengandalkan kemampuan diri kita sendiri untuk menemukan Dia. Kristus telah memberikan Gereja-Nya untuk menuntun kita dengan ajaran-ajarannya dan sakramen- sakramennya, agar kita dapat bertemu dan bersatu dengan-Nya. Kristus juga telah memberikan kepada kita Ibu-Nya, yang menjadi teladan Gereja, yaitu Bunda Maria Stella Maris, Sang Bintang Laut yang memimpin kita dalam perjalanan hidup ini, kepada Kristus Putera-nya. Betapa kita perlu memandang kepada bintang ini, agar kita dapat selalu menemukan Kristus. Semoga kitapun dapat mengalami sukacita karena menemukan Dia, dan kita dapat datang kepada-Nya dengan membawa persembahan kita: persembahan yang terbaik- emas, persembahan doa- kemenyan, dan pengorbanan kita- mur.
Setelah kita menemukan Kristus, mari kita mengingat panggilan kita untuk mewartakan Dia, terutama kepada mereka yang belum mengenal Dia. Di hari Epifani ini kita juga merayakan Hari Anak Misioner sedunia. Kita semua dipanggil untuk menjadi misioner. Sejauh mana kita telah melakukannya?
Dear Katolisitas,
Terima kasih karena memuat dan menanggapi pemikiran saya. Saya hendak mengajak merenungkan hal penting dalam proses terpilihnya Bapa Paus Fransiskus. Terpilihnya Kardinal Bergoglio yang tidak “masuk unggulan” itu yang bahkan hanya beberapa jam sebelumnya melakukan kritik keras hal semacam narsisme teologi itu, dan kemudian tindakan-tindakan kongkrit dan pernyataan-pernyataan beliau sesudah terpilih, bukankah itu menunjuk secara jelas dan terang arah pendulum Gereja: konsistensi menempatkan hukum kasih sebagai hukum tertinggi, dasar segala hukum dan Kitab Suci?
Bukankah itu SOLUSI atas situasi kita ini yang SURPLUS ATURAN , TETAPI DEFISIT CINTA ini? Salib gereja tentulah salib kita semua. Sy memang dari semenjak lama sudah menyampaikan METODE membaca Kitab Suci itu : konsisten menempatkan hukum kasih sebagaimana diperintahkan: sebagai hukum tertinggi, dasar KS.
Sebagai analog: di Di negeri kita ini dasar negara dan hukum tertinggi adalah PANCASILA dan UUD 45. Maka segala hukum, tafsir hukum dan prakteknya harus sejalan dengan PANCASILA dan UUD 45. Jika tidak, maka GUGUR demi hukum. Itulah logika dasar negara dan hukum tertinggi. Untuk apa Hukum Kasih disebut sebagai dasar Kitab Suci, sebagai hukum tertinggi, jikalau tidak dalam logika itu?
Katolisitas tak pernah keberatan dengan Hukum Kasih sebagai hukum tertinggi, sebagai dasar Kitab Suci, tetapi TAK PERNAH KONSISTEN dengan itu. Malah TAFSIR sendiri itu yang sepertinya sebagai HUKUM TERTINGGI. Kalau tidak bermerk Katolik,dan tidak sesuai tafsirnya itu, maka semua SALAH. Saya sebagai umat Katolik, boleh dunk tidak sepemahaman dengan itu. Akal budi dan jiwa saya ini pun karunia Tuhan untuk saya gunakan sebaik-baiknya untuk kemuliaan Tuhan dan kemaslahatan sesama. Maka, mari kita diskusi secara intelektual dengan premis dasar yang jelas: hukum diuji ke hukum yang lebih tinggi. Jadi jelas dasarnya. Tanpa premis yang jelas, ya kayak pesakitan berhadapan dengan hakim. Apa semua umat Katolik, semua umat manusia ini hendak disuruh ramai-ramai mengembalikan akal budi dan jiwanya itu kepada Tuhan karena dilarang Katolisitas menggunakannya untuk memahami Tuhan dan mengasihiNya sesuai akal budi dan jiwanya, karena semua HARUS DISERAGAMKAN MENURUT PAHAM KATOLISITAS untuk dapat berkenan di hadapan Tuhan? Apa Katolisitas ini sudah gak takut dimurka Tuhan? GBU
Shalom Irwan Saragih,
Terima kasih atas komentar Anda. Sebenarnya kalau kita mau meneliti, argumentasi yang Anda berikan senantiasa sama dan cenderung merupakan pengulangan, seperti: hukum kasih, narsisme teologi, surplus aturan tapi defisit cinta, aturan membatasi, dll. Terus terang, kami telah mencoba untuk menjawab kebenaran-keberatan yang telah Anda ajukan, namun sepertinya diskusi yang dilakukan bersama Anda seperti berjalan di tempat. Mohon maaf, kami tidak mempunyai banyak waktu dan tenaga untuk melayani diskusi seperti ini. Jadi, saran saya, silakan Anda membuat website sendiri, dan silakan Anda mengelola dengan visi Anda yang menempatkan hukum kasih.
Saya sudah mencoba untuk mengemukakan bahwa kasih sesungguhnya tidaklah terpisah dengan kebenaran. Kasih yang terpisah dari kebenaran bukanlah kasih. Seperti orang tua yang mengizinkan anaknya makan coklat yang berlebihan setiap hari, maka sebenarnya justru bukan manifestasi dari tindakan kasih, karena bertentangan dengan kebenaran – yaitu dapat mengganggu kesehatan anak tersebut. Dalam konteks yang sama, kami mencoba mengadakan pendekatan kasih dalam dialog, namun tidaklah terlepas dari kebenaran, seperti yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Oleh karena itu, saya menyarankan kepada Anda – yang terus menerus menekankan hukum kasih dan terus menuduh katolisitas tidak mempunyai kasih – agar meluangkan waktu untuk kontemplasi beberapa hal berikut ini:
1. Apakah definisi dari kasih?
2. Apakah definisi dari kebenaran?
3. Apakah kasih dapat terpisah dari kebenaran?
4. Apakah hubungan antara kasih dan kebenaran?
5. Apakah dasar dari kasih?
6. Apakah dasar dari kebenaran?
7. Dari mana kita tahu bahwa sesuatu yang kita yakini adalah sungguh benar?
8. Apakah pemikiran dan hati nurani kita dapat salah? mengapa?
9. Apakah contoh nyata dari situs ini, di mana katolisitas telah menyalahi hukum kasih? Diskusi yang mana, dan silakan memberikan link-nya. Kalau Anda yang harus menjawab pertanyaan tersebut, bagaimana Anda menjawabnya dengan berpegang pada hukum kasih tersebut? Sebagai contoh, dalam diskusi Trinitas, Anda mengatakan bahwa diskusi tidak berdasarkan kasih. Silakan melihat link ini – silakan klik. Coba jelaskan bagaimana menjelaskan Trinitas versi Anda tanpa menyalahi hukum kasih.
Silakan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan tersebut dengan lengkap. Dan untuk sementara beberapa komentar Anda yang lain saya hapus. Kita berfokus saja pada diskusi ini. Semoga dapat dimengerti.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear Katolisitas,
Sy tidak sependapat dengan pemikiran Katolisitas bahwa kisah orang Majus itu dimaksudkan sebagai gambaran samar-samar akan bangsa bukan Yahudi yang kelak akan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Kesimpulan demikian itu adalah OPINI TIDAK BERDASAR, bukan tafsir GK.
Kisah orang Majus itu adalah FAKTA bahwa Tuhan pun memelihara, memberi wahyu kepada umat di luar bangsa Yahudi itu. Bukankah itu sejalan hakekat Tuhan Sang Pencipta, Sang Maha Kasih dan Maha Adil bagi semua umat ciptaanNya? Bukankah setiap insan dikarunia akal budi dan JIWA untuk memeliharanya? Sedangkan bapa-ibu mengasihi dan menghendaki semua anaknya selamat, apalagi Tuhan?
Kitab Suci tidak menyebut siapa nama Raja Segala Raja itu dalam tradisi masyarakat Majus itu dan apa nama kepercayaan mereka itu. Tetapi Kitab Suci menunjukkan adanya relasi yang jauh lebih mendalam ketimbang segi-segi formal “agama” antara orang-orang Majus itu dengan Tuhan. Bukannya para para Imam Kepala bangsa terpilih itu, justru mereka itu yang diberi wahyu hal kelahiran Raja Segala Raja itu dan bahkan diberi tuntunan “DI LUAR AKAL PIKIR MANUSIA” yaitu BINTANG. Memanglah Tuhan Maha Besar, karyaNya di luar akal pikir manusia. KasihNya pun tak terbatas pada umat Yahudi itu, MESKI Imanuel itu diturunkan dari bangsa Yahudi.
Pesan penting dari kisah itu adalah bahwa Tuhan pun memelihara umat ciptaanNya di luar bangsa Yahudi itu. Menurut sy termasuk leluhur sy, termasuk nenek moyang semua kita inilah. Umum meyakini bahwa para leluhur itu bukanlah “ahli kitab” tetapi memiliki kecerdasan spiritual, spiritual intelligence, melebihi rata-rata kita ini. Dan Tuhan memang ditangkap dengan SQ bukan dengan IQ. Tuhan di luar akal pikir,MISTERI, tetapi dapat dicintai. Mencintai itu bukan dengan akal pikir, tetapi dengan “hati”, jiwa. Bukankah perintah Tuhan adalah: mengasihiNya dengan segenap akal budi dan jiwa yang dikaruniakanNya itu, dan mengasihi sesama seperti diri sendiri?
Keselamatan tidak digantungkan pada bentuk paham atau tradisi tentang Tuhan. Gembong mafia di Amrik sono dan raja-raja narkoba di Amerika Latin sono hampir semua berpaham dan bertradisi GK. Apakah Tuhan mendasarkan KEADILANNYA berdasar paham dan tradisi mereka itu tentang Tuhan? Bukankah orang-orang yang berkenan kepada Tuhan dalam Kitab Para Nabi itu, tidak satu pun berpaham dan bertradisi GK,yang bahkan belum ada ketika itu, tetapi karena mereka mematuhi perintah Tuhan?. GBU
Shalom Irwan Saragih,
Terima kasih atas komentarnya. Saya menyarankan agar dalam membaca argumentasi seseorang, maka Anda perlu melihat konteks secara keseluruhan, sehingga Anda tidak mengambil sebagian dari argumentasi dan kemudian memperdebatkan sesuatu yang sesungguhnya sejalan. Sebagai contoh, kami tidak pernah mengatakan bahwa kisah orang Majus adalah hanya khayalan belaka. Justu di dalam paragraf pertama, kami ingin memberikan renungan bahwa para Majus itu adalah figur yang nyata yang menghadap raja Herodes yang memang ada dalam sejarah umat manusia.
Kalau menurut saya, dari semua argumentasi yang Anda berikan di dalam situs ini, semuanya ingin menyampaikan bahwa semua agama sama saja dan semuanya mendatangkan keselamatan. Jadi, saya menyarankan agar Anda berfokus saja pada diskusi ini, daripada memberikan komentar pada semua artikel dengan argumentasi yang sama, sehingga tidak perlu terjadi pengulangan-pengulangan argumentasi yang tidak perlu. Silakan Anda membaca beberapa artikel tentang EENS ini – silakan klik terlebih dahulu. Semoga dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Comments are closed.