Suara sayup-sayup nyanyian “Yerusalem, Yerusalem, lihatlah Rajamu’, di Gereja Santa Odilia – Tangerang pada Minggu Palma malam, tanggal 13 April 2014, terdengar indah dari kamarku. Tiba-tiba pegawai sekretariat mengetok pintu kamarku. Ia memberitahukan kepadaku bahwa seorang ibu ingin bertemu denganku. Aku segera turun ke ruang tamu. Aku terkejut ternyata yang ingin bertemu denganku adalah seorang oma yang berusia tujuh puluh sembilan tahun. Ia ditemani oleh anak perempuan dan menantu lelakinya. Ia datang dari jauh, yaitu Paroki Santo Thomas Rasul, Bojong, Jakarta Barat. Ia mengenalku pada saat aku memimpin Adorasi dalam acara Persekutuan Doa Pembaharuan Karismatik Katolik, Bojong. Senyuman tetap menghiasi wajahya walaupun ia pasti lelah karena harus melewati kemacetan yang merupakan akibat dari pengecoran di Jalan Bitung-Cikupa-Tangerang.
Mensharingkan pengalamannya tentang kesempatan hidup kembali merupakan tujuan kedatangannya. Ia mengatakan bahwa ia datang kepadaku karena desakan jiwanya untuk membagikan pengalaman imannya tentang pertolongan Allah dalam menghadapi penyakitnya. Ia mempunyai masalah dengan ginjalnya. Beberapa bulan lalu ia harus dirawat di rumah sakit. Ia sempat tak sadarkan diri atau koma selama tiga belas jam. Ia juga sudah menerima Sakramen Perminyakan Suci. Ia justru menjadi sadar kembali setelah menerima sakramen bagi orang sakit itu dan bisa beraktivitas lagi. Pengalaman tak sadarkan diri/koma selama tiga belas jam semakin membuka hatinya akan besarnya dan banyaknya kasih Allah kepadanya. Ia pun semakin mengerti makna perjalanan hidupnya. Tuhan senantiasa mengulurkan tangan-Nya. Pertolongan Tuhan kepadanya sudah tak terhitung jari. Pertolongan Tuhanlah yang memampukannya membesarkan keenam anaknya ketika suaminya meninggal dunia dalam usia muda. Ia berusia tiga puluh empat tahun ketika suaminya menghadap Sang Pencipta. Pada waktu itu anak pertamanya baru berusia tiga belas tahun dan anak bungsunya berusia tiga setengah tahun. Janji Tuhan akan rumah kekal membuatnya terus rela berkorban demi cinta kepada Tuhan dan anak-anaknya.
Ia menguraikan penghayatannya tentang arti peziarahan hidupnya. Aku membantunya untuk merumuskannya: “Sang Pemurah Hati telah membelikan sebidang tanah kepadaku. Ia memberikannya kepadaku gratis. Aku tidak perlu membayarnya kembali. Harga tanah itu sangat mahal, jauh lebih mahal daripada tanah-tanah dalam kompleks termewah di Jakarta. Harga tanah itu tak mungkin terbayarkan dengan apapun karena Sang Pemurah Hati itu telah membayarnya dengan darah-Nya. Sang Pemurah Hati itu adalah Tuhan Yesus Kristus. Ternyata selama tujuh puluh sembilan tahun aku telah mengirimkan material-material yang diperlukan oleh Sang Arsitek Agung untuk membangun rumah yang sangat mewah dan sangat indah bagiku. Rumah itu adalah rumah yang hebat karena tahan banjir, tahan gempa, dan steril dari segala penyakit. Sang Arsitek Agung itu adalah Tuhan Allah. Tuhan Allah telah memberikan tiket kepadaku untuk terbang menuju rumahku itu. Akan tetapi, tiket itu tidak mencantumkan tanggal keberangkatannya. Yang harus aku lakukan adalah senantiasa siap dan siaga agar tidak ketinggalan pesawat ke surga ketika panggilan terbang diserukan. Sambil menunggu keberangkatanku ke rumahku di surga, aku berusaha sedapat mungkin mengirimkan perabot-perabot untuk mengisi rumah masa depanku. Karena itu, aku mohon Romo bisa merayakan Misa atas ulang tahunku yang ke-delapanpuluh sebagai ungkapan syukur atas anugerah kehidupan dan rumah indah di surga yang telah disediakan bagiku”.
Uraian bijak oma itu mengandung peringatan bahwa hidup di dunia ini sangat singkat dibandingkan dengan keabadian: “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap” (Mazmur 90:10). Hidup di dunia ini merupakan sebuah persiapan menuju kehidupan di surga. Kesadaran akan singkatnya kehidupan di dunia harus membentuk hati yang bijaksana: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12). Hati yang bijaksana adalah hati yang senantiasa ingin memanfaatkan setiap jengkel kehidupan untuk melakukan apa yang berkenan kepada Allah. Penderitaan yang mengiringi perjalanan kehidupan ini dapat dijadikan kesempatan untuk mempercayai Allah secara total sebagai Sang Penolong abadi. Penderitaan juga menjadi sebuah harapan akan rumah indah, yaitu rumah sukacita kekal, yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang setia kepadaNya.
Tuhan Memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC