[Hari Minggu Biasa ke XXVII: Kej 2:18-24; Mzm 128:1-6; Ibr 2:9-11; Mrk 10:2-16]
Belum lama ini Paus Fransiskus mengadakan kunjungan pastoral ke Amerika Serikat. Salah satu acara yang dihadiri Paus adalah the World Meeting of Families di Philadelphia, tanggal 26 September 2015 yang lalu. Di tengah-tengah khotbahnya, Paus mengesampingkan teks yang sudah disiapkan, dan ia berbicara secara spontan tentang peran kasih dalam keluarga.
“Keluarga mempunyai kewarganegaraan yang ilahi. KTP-nya diberikan kepada mereka dari Tuhan supaya dari dalam jantung hati keluarga, dapat sungguh-sungguh bertumbuh lah kebenaran, kebaikan dan keindahan…. Beberapa dari kalian mungkin berkata, Bapa, Anda berbicara seperti itu, sebab Anda tidak menikah…” kata Paus. Ia melanjutkan, “Ya, keluarga-keluarga mempunyai kesulitan-kesulitan…. Dalam keluarga… kita bertengkar…, kadang piring-piring bisa terbang, dan anak-anak membuat sakit kepala. Saya tidak mau bicara tentang ibu mertua…,” perkataan ini langsung disambut tawa ribuan pendengarnya. “Namun demikian,” kata Paus, “dalam keluarga, selalu ada terang, oleh karena kasih dari Sang Putera Allah. Sebab dalam terang Kristus, kita melihat bahwa sebagaimana ada masalah-masalah dalam keluarga, demikianlah ada terang kebangkitan. Keluarga adalah pabrik harapan. Dalam keluarga memang ada kesulitan-kesulitan dan anak-anak membawa tantangan. Tetapi semua kesulitan itu dapat diatasi dengan kasih. Kebencian tidak dapat mengatasi kesulitan. Perpecahan hati tidak dapat mengatasi kesulitan. Hanya kasih yang dapat mengatasinya….” demikian kata Paus.
Khotbah Paus Fransiskus itu meneguhkan kembali ajaran iman Kristiani tentang keluarga, yang dibangun atas dasar kasih yang tak terceraikan antara suami dan istri. “Sebab pada awal mula dunia Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, janganlah diceraikan manusia” (Mrk 10:6-9). Demikianlah, sejak awal mula, Allah yang telah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, juga menghendaki manusia hidup mencerminkan gambar dan rupa-Nya itu. Hal ini nampak jelas dalam kehidupan kasih suami istri yang dengan kasih pemberian diri yang total, menjadi gambaran akan kasih Allah sendiri kepada umat-Nya; dan kasih Kristus kepada Gereja-Nya. Itulah sebabnya, Kristus memerintahkan agar kasih suami istri dalam perkawinan tidak diceraikan, karena perceraian tidak sesuai dengan hakikat kasih. Selain bertentangan dengan hakikat kasih yang menyatukan suami istri, perceraian juga memberi akibat yang buruk yang sangat melukai hati anak-anak mereka. Bukankah hal itu demikian nyata dalam keseharian kita, saat kita melihat betapa besar dan dalamnya luka batin dari anak-anak yang orangtuanya bercerai.
Sungguh, salah satu tantangan besar dalam dunia sekarang ini adalah, mengusahakan dan mempertahankan kesatuan dalam perkawinan. Bukan rahasia lagi bahwa di negara-negara maju, angka perceraian begitu tinggi sampai hampir 50%. Hal ini jelas membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Lama-kelamaan mereka tidak lagi menghargai nilai-nilai luhur perkawinan dan kehidupan berkeluarga, dan menjadikan perkawinan semacam kontrak kerja, yang kalau cocok diteruskan dan kalau tidak cocok diakhiri. Gereja Katolik telah dengan setia mengajarkan pentingnya kasih setia antara pasangan suami istri, yang menjadi fondasi bagi kehidupan keluarga yang dibangun di atasnya, demi kebaikan anak-anak mereka. St. Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Berakar dari pemberian diri yang total dan personal antara pasangan suami istri, dan menjadi syarat bagi kebaikan anak-anak, perkawinan yang tak terceraikan menemukan kebenaran pokok dalam rencana yang Tuhan nyatakan dalam wahyu-Nya: Ia menghendaki dan menyatakan perkawinan yang tak terceraikan sebagai buah, tanda dan persyaratan dari kasih setia yang absolut yang Allah miliki bagi manusia dan yang Tuhan Yesus miliki bagi Gereja” (Familiaris Consortio, 22). Seruan Paus ini mengingatkan kita yang memutuskan untuk hidup berkeluarga, untuk menemukan dalam panggilan hidup kita, suatu kesempatan memberikan diri secara total kepada pasangan hidup kita. Sebab dengan demikian, kita mengambil bagian dalam kasih setia Tuhan, yang menghendaki kita menampakkan ciri-ciri kasih-Nya itu kepada dunia. Di tengah pandangan dunia, di mana kesetiaan kepada satu orang istri atau satu orang suami, dipandang sulit; Injil mengajarkan kita untuk setia kepada pasangan kita. Di tengah pandangan dunia, bahwa perceraian dan perkawinan lagi dengan orang lain dianggap biasa, Injil mengajarkan bahwa hal itu adalah zinah. Dunia mengajarkan jalan pintas, tetapi sabda Tuhan mengajarkan kita untuk memperbaiki akar permasalahannya. Yaitu agar kita belajar mengasihi, seperti Allah telah mengasihi kita. Sebab jika mengasihi sedemikian, tidak akan ada lagi perceraian dan perpecahan dalam keluarga, yang membawa permasalahan baru lagi, entah bagi anak-anak maupun bagi pasangan suami istri yang berpisah itu.
Maka, hari ini kita diingatkan untuk tidak mengikuti arus dunia. Sebab Allah yang menciptakan kita serupa dengan-Nya juga menghendaki kita mencinta serupa dengan-Nya. Yaitu terus setia mengasihi sampai akhir, sebab hanya kasih-lah yang mampu mengatasi kesulitan-kesulitan dalam kehidupan. Dengan mengasihi tanpa kenal lelah itulah, kita dibentuk Allah untuk menjadi semakin menyerupai Dia yang adalah Kasih (1Yoh 4:8). Dan dengan kasih itulah kita memiliki pengharapan, bahwa kita akan digabungkan dengan Dia dalam Kerajaan-Nya.
“Tuhan Yesus, pengorbanan-Mu di kayu salib telah menyatakan betapa besar kasih-Mu kepada kami. Biarlah salib-Mu itu menjadi kekuatan bagiku, untuk belajar mengasihi dan untuk bertekun di dalamnya. Semoga dengan demikian, kasih-Mu senantiasa hadir dalam kehidupan perkawinan kami dan dalam keluarga kami, untuk selalu mempersatukan dan meemulihkan. Amin.”