[Minggu Biasa ke VII: Im 19:1-2,17-18; Mzm 103:1-13; 1Kor 3:16-23; Mat 5:38-48]
Ada seruan iklan, yang berbunyi demikian, “Kapan saja, di mana saja, minumnya AA AA.” Slogan yang sederhana, namun lekas menempel di ingatan kita. Serupa dengan slogan ini, bacaan Injil hari ini juga mengingatkan kita untuk mengasihi, kapan saja dan di mana saja. Mengasihi di sini bukan hanya tidak membenci, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, dan tidak menyimpan dendam (lih. Im 19: 17-18). Tapi juga yang mungkin paling sulit dilakukan adalah: mengasihi dan mendoakan mereka yang memusuhi kita (lih. Mat 5:44). Sungguh, ini merupakan perjuangan bagi kita. Sebab sepertinya, hal mengasihi dan mengampuni, lebih mudah dibicarakan daripada dilaksanakan.
Bukankah nyatanya, tidak mudah bagi kita untuk mengasihi dan mendoakan orang-orang yang membenci ataupun memarahi kita? Sebab dimarah- marahi orang bukanlah pengalaman yang mengenakkan. Umumnya kita tidak berharap untuk mengalaminya. Namun adakalanya, Tuhan mengizinkan hal itu terjadi dalam kehidupan kita. Dari pengalaman inilah, kita dapat bertumbuh dalam kasih, yaitu untuk tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, atau kebencian dengan kebencian. Dari pengalaman tidak enaknya disakiti orang, kita belajar untuk tidak menyakiti hati orang lain. Ya, melalui berbagai pengalaman hidup kita, Kristus mendorong kita untuk belajar mengasihi dan berbuat baik tanpa memperhitungkan balasan, dan tetap mengampuni tanpa mengingat-ingat kesalahan. Sulit memang. Karena itu, kita membutuhkan rahmat Tuhan. Namun kabar baiknya ialah, jika kita mengandalkan Tuhan, Ia akan memampukan kita. Para Santo dan Santa telah menunjukkan kepada kita bahwa mengasihi dan mengampuni adalah sesuatu yang mungkin dilakukan, bahkan terhadap mereka yang telah menganiaya kita.
Contoh yang mungkin paling akrab di ingatan kita adalah teladan yang diberikan oleh Paus Yohanes Paulus II. Pada tanggal 13 Mei 1981, Paus nyaris terbunuh oleh peluru yang ditembakkan kepadanya oleh seorang yang bernama Mehmet Ali Ağca. Darah mengucur dengan derasnya karena penembakan itu, dan Paus segera dilarikan ke rumah sakit. Namun syukurlah, oleh pertolongan Tuhan, Paus kembali pulih. Di tahun yang sama itu, Paus mengunjungi Ağca, di penjara di mana Ağca ditahan. Dalam video rekaman pertemuan mereka, terlihat bahwa Paus duduk berhadapan dengan Ağca. Paus tak ragu menggenggam tangan Ağca dan berbincang-bincang dengannya layaknya seorang bapa dengan anaknya. Mungkin, tergerak oleh ketulusan hati Paus, Ağca pun tak segan mencium tangan Paus. Kita memang tak mengetahui isi pembicaraan mereka, namun kita mengetahui bahwa Paus telah menunjukkan kasih dan pengampunannya kepada Ağca. Ini adalah sebuah teladan kasih yang berseru lebih lantang daripada khotbah yang berapi-api sekalipun. Seusainya dari kunjungan ke penjara itu, banyak orang bertanya kepada Paus, apakah yang dibicarakannya dengan Ağca. Namun Paus hanya menjawab singkat, “Apa yang kami bicarakan, akan tetap menjadi rahasia antara kami berdua. Aku bicara kepadanya sebagai saudaraku, yang telah kuampuni, dan yang telah memperoleh seluruh kepercayaanku.” Paus kemudian juga menemui ibu Ağca di tahun 1987, dan kakak Ağca, sepuluh tahun berikutnya. Sungguh, Paus telah menunjukkan kepada dunia yang sarat dengan kekerasan dan perang, bahwa kasih dan pengampunan adalah sesuatu yang mungkin dilakukan. Ia telah mewujudkan perintah Injil hari ini dalam suatu tindakan nyata. Apa yang dilakukan Paus Yohanes Paulus II sungguh sesuai dengan apa yang pernah diajarkan oleh St. Agustinus, “Seorang Kristen harus menunjukkan kasih persaudaraan kepada orang yang sudah menjadi saudaranya; dan juga kepada orang yang memusuhinya, supaya orang itu dapat menjadi saudaranya.”
Mari memeriksa batin kita: “Siapakah orang yang perlu kukasihi dan kuampuni? Siapakah orang yang harus kutemani berjalan ‘sejauh dua mil’? Apakah yang dapat kulakukan untuk mengasihi orang yang telah membenciku?”
“Tuhan Yesus, ampunilah aku, jika aku belum dengan sungguh-sungguh mengasihi dan mengampuni sesamaku. Bantulah aku agar dapat mengasihi, kapanpun dan di manapun, supaya dengan demikian aku melakukan kehendak-Mu untuk meniti jalan kesempurnaan kasih.”
“….haruslah kamu sempurna, sebagaimana Bapamu yang di surga sempurna adanya.” (Mat 5:48)
Shalom Katolisitas,
Sabtu sore saya baca dan nonton, bagaimana ribuan orang Kristen dihabisi, baik di suatu desa di Suriah, Irak, dan berbagai pelosok Afrika. Gereja dan Biara dibakar, diratakan dengan tanah, Pastor disembelih, dan luapan kebencian yang dikobarkan. Sore itu membuatku sedih sampai menitikkan air mata. Ketika kubuka perikop bacaan Kitab Suci untuk hari Minggu, perlahan-lahan dukaku terangkat dan meneguhkan apa yang kuyakini, bahwa tujuan dan cara untuk meraih tujuan tersebut harus seletak. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap akal budimu, dan dengan segenap kekuatanmu. Kasihilah sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri. Kuyakini bahwa melalui Sabda ini harapan manusia yang paling tinggi diwujudkan, serta manusia akan mencapai peradaban yang luhur dan tinggi, membuat kita untuk bekerja segenap hatiku, segenap jiwaku, segenap akal budiku, dan segenap kekuatanku sebaga syukurku Tuhan telah menghadirkanku di kehidupan dunia ini. Untuk menegakkan cinta kasih ini, sangat tidak mungkin melalui jalan kekerasan bahkan pedang. Karena jalan dan cara yang kupilih untuk dilakukan menunjukkan tujuanku, maka satu-satunya jalan adalah mencintai sesama dengan tulus dan murni. Ini melahirkan sikap apologetis sehari-hari untuk memberi makan kepada yang lapar, memberi minum kepada orang yang haus, memberi perlindungan kepada orang yang asing, memberi pakaian kepada orang yang telanjang, melawat orang sakit, mengunjungi orang yang dipenjarakan, menguburkan orang mati. Biar sedikit yang kulakukan, karena keterbatasan waktu, energi dan rejeki, pasti kulakukan itu.
Akhir malam kuraih butiran rosario, bukan untuk mendoakan ribuan martir, tapi untuk pengampunan dosa untuk semua pelaku tindakan sadis dan brutal terhadap saudara-saudaraku, serta terang bagi batin dan hati sanubari mereka. Bagi para martir dan yang teraniaya, sudah ada Sabda Tuhan, Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah empunya Kerajaan Surga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku dicela dan dianiaya, dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga. Dari mereka para martir yang dibantai, saya justru mohonkan doa mereka buat kami yang masih hidup, agar diteguhkan iman kami dan sempurnakanlah cinta kasih kami pada Tuhan dan sesama.
Terima kasih Katolisitas atas renungannya.
Shalom
[Dari Katolisitas: Terima kasih juga atas sharing Anda yang indah ini. Ya, mari kita mendoakan perdamaian dunia.]
Comments are closed.