Sosialisme dan Komunisme adalah suatu gerakan atau sistem ekonomi yang berdasarkan atas kepemilikan secara publik, baik dalam hal sarana produksi maupun perencanaannya secara sentral. Sosialisme timbul sebagai reaksi terhadap kapitalisme, sedangkan komunisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari sosialisme, yang bertujuan menghapus adanya perbedaan kelas/ kelompok ekonomi di dalam masyarakat. Mungkin ada orang menyangka bahwa sosialisme dan komunisme adalah sistem yang baik untuk menyelamatkan nasib para pekerja dari kekuatan para memilik modal. Namun walaupun sepertinya baik, sistem tersebut tidak sesuai dengan ajaran Kristiani. Untuk memahami hal ini, mari kita melihat kepada fakta sejarah, dan ajaran Gereja Katolik, yang jelas dinyatakan, terutama oleh Paus Leo XIII -dalam surat ensikliknya Rerum Novarum (RN), dan Paus Yohanes Paulus II, dalam surat ensikliknya Centessimus Annus (CA), Sollicitudo Rei Socialis (SRS), dan Laborem Excercens (LE).

Sosialisme timbul setelah zaman industri (di akhir abad ke-18), yang membagi dunia menjadi dua kelas: yaitu kelompok pemilik modal dan kelompok pekerja/ buruh. Sosialisme yang diprakarsai oleh Karl Marx di akhir abad ke-19 adalah semacam upaya untuk menghilangkan jurang yang besar di antara kedua kelompok tersebut ((See Karl Marx, Communist Manifesto, Penguin (2002) and  “Socialism” Encyclopedia Britannica 2006. Encyclopædia Britannica Online. Karl Marx posited that socialism would be achieved via class struggle and a proletarian revolution, and would represent a transitional stage between capitalism and communism.)). Prinsip utama dari gerakan ini adalah, apa yang disebut sebagai “milik bersama” (RN 15), yang artinya kepemilikan pribadi ditolak, dijadikan milik bersama di bawah kontrol dari sejumlah orang dari pemerintah (lih. RN 4). Namun, walaupun sekilas prinsip ini terlihat baik, Paus Leo XIII mengecamnya, karena prinsip Sosialisme secara mendasar keliru dalam memahami kodrat manusia, yaitu karena sistem tersebut: 1) menempatkan ‘milik bersama’ dan ‘milik pribadi’ sebagai dua hal yang bertentangan sehingga seolah perseorangan dianggap sebagai ancaman bagi komunitas dan bukan sebagai pendukung komunitas ; 2) menentang hukum kodrat dengan menghapuskan hak pribadi untuk memiliki sesuatu, dan dengan melimpahkan tanggung jawab orang tua dalam keluarga kepada negara; 3) negara tidak lagi berperan sebagai penjaga yang melindungi namun sebagai pengatur yang merampas hak warganya; 4) menyebabkan kehancuran masyarakat terutama para pekerja/buruh sendiri; 5) mengabaikan Tuhan, mengabaikan kebebasan manusia dan mengabaikan kebahagiaan kekal dengan memusatkan perhatian kepada perolehan kesenangan materi.

Pertama, dengan mempertentangkan ‘milik bersama’ dengan ‘milik pribadi’, kaum sosialis gagal melihat keuntungan bahwa milik pribadi sesungguhnya dapat mendukung dan melayani kepemilikan bersama. Seseorang dapat memberikan sebagian miliknya untuk mendukung kebutuhan komunitas, dan hal ini dapat mempengaruhi orang lain melakukan yang sama, ataupun mendorong orang lain yang turut menikmati keuntungannya untuk mendukung komunitas dengan menyumbangkan sesuatu yang ada padanya -jika tidak dalam bentuk materi, dapat pula dalam bentuk lain, seperti jasa ataupun pelayanan. Dengan demikian, keberagaman kelompok dalam komunitas diarahkan untuk saling mendukung dan melengkapi di dalam komunitas. Hal ini diabaikan dalam sistem sosialisme,  yang ingin mereduksi masyarakat menjadi satu kelas (lih. RN 17). Ini bertentangan dengan rencana Allah, sebab meskipun martabat manusia itu sama, namun manusia diciptakan dengan bermacam kemampuan dan talenta, supaya mereka dapat saling bekerja sama dan saling mendukung demi kebaikan bersama. ((Paus Leo XIII dalam Rerum Novarum 19, berkata, “Setiap [golongan] memerlukan [golongan] yang lain. Pemilik modal tak dapat berbuat sendiri tanpa pekerja, demikian pula pekerja tanpa pemilik modal. Perjanjian timbal balik menghasilkan cantiknya keteraturan yang baik, sedangkan konflik yang tak berkesudahan menghasilkan kebingungan dan suasana barbar yang liar.”)) Prinsip keberagaman yang saling mendukung juga terjadi di dalam tubuh manusia, keluarga dan tempat kerja. Tubuh terdiri dari banyak anggota tubuh, dan tiap anggota tubuh mempunyai fungsinya sendiri-sendiri, tetapi semua bekerja sama untuk mendukung satu sama lain. Dengan cara ini kebaikan satu anggota menjadi penyebab dari kebaikan seluruh tubuh. Maka usaha-usaha untuk menyeragamkan semua anggota (misalnya tubuh hanya terdiri atas tangan-tangan) bukan saja tidak alami, tetapi juga mustahil, sebab seandainya dilakukan-pun akan menghasilkan tubuh yang tidak lengkap dan tidak seimbang.

Selain itu, mempertentangkan milik bersama dengan milik perorangan dapat mengakibatkan timbulnya anggapan bahwa perorangan adalah ancaman bagi komunitas, sehingga keadaan ini memupuk persaingan yang tidak sehat dan kebencian antar anggota. Oleh karena itu, Paus Leo XIII mengatakan bahwa kita tidak dapat menepis kemiskinan dengan menghapuskan kelas/tingkatan kelompok dalam masyarakat. Usaha apapun untuk menghapuskan kelompok-kelompok tersebut hanya akan mengarah kepada kebencian dan kekerasan. Paus Yohanes Paulus II menghubungkan masalah ini, bersamaan dengan berbagai masalah ketidakadilan yang terjadi di tingkat internasional maupun nasional, sebagai penyebab terjadinya Perang Dunia pertama dan kedua (lih. CA 17), dan berbagai perang revolusi yang terjadi di seluruh dunia.

Maka, klaim para sosialis, bahwa gagasan kolektivism diambil dari kehidupan jemaat perdana juga tidak tepat. Sebab praktek kepemilikan bersama dalam Gereja awal dilakukan secara sukarela, dan tidak dipaksakan oleh pihak tertentu. ((Lihat Kis 4:34, sebagaimana dijelaskan oleh Paus Leo dalam Rerum Novarum 29: bagaimana para Rasul membagikan derma kepada jemaat yang lebih miskin, yang diberikan secara sukarela.  Tertullian, dalam Apologia secunda, 39, (Apologeticus, cap. 39; PL 1, 533A) menyebut hal ini sebagai perbendaharaan kesalehan, yaitu ketika jemaat memberi makan kepada yang membutuhkan, menguburkan yang wafat dan mendukung para yatim piatu dan para janda….)) Maka ide untuk memaksakan konsep kepemilikan bersama oleh Negara itu tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Kaum sosialis juga gagal melihat, bahwa “kebaikan bersama” yang harus dilindungi oleh pihak otoritas harus berarti “kebaikan untuk semua orang”. Maksudnya, kebaikan bersama ini harus menjadi kebaikan untuk setiap orang, setiap keluarga, komunitas dan negara. Maka aturan dasarnya harusnya adalah: apa yang diusahakan harus mendatangkan kebaikan, baik untuk komunitas, maupun untuk perorangan. ((St. Thomas Aquinas dalam Summa Theology (ST IIa- II ae, q. LXI, a 1, ad 2) mengajarkan, “Karena suatu bagian maupun keseluruhan dalam arti tertentu adalah sama, maka apa yang menjadi milik keseluruhan juga menjadi milik bagian tersebut.”)) Hanya dengan memusatkan perhatian kepada kepentingan komunitas saja namun mengabaikan kepentingan perorangan, itu bukan kebaikan bersama. Demikian pula, jika tugas perorangan sebagai orang tua untuk mendukung keluarga diambil alih oleh pemerintah, itu juga pada gilirannya akan mengganggu hubungan kodrati antara orang tua dan anak dalam keluarga. Padahal seharusnya sebuah keluarga adalah “sel pokok kehidupan sosial” (KGK 2207) sehingga jika orang bekerja untuk kebaikan keluarganya, artinya ia juga bekerja untuk kebaikan bersama di dalam masyarakat.

Kedua, prinsip utama sosialisme -yaitu kepemilikan bersama- adalah bertentangan dengan hukum kodrat dan hanya menyebabkan ketidakadilan kepada manusia dan keluarganya; karena prinsip tersebut menyerang martabat manusia. Sebab setiap manusia diciptakan menurut gambar Tuhan dan diperintahkan agar berkembang biak dan menguasai bumi (lih. Kej 1:26,28), maka kelangsungan hidup manusia itu sendiri dimungkinkan oleh adanya kepemilikan pribadi/ perorangan. Sebab, bagaimana mungkin manusia dapat mempunyai motivasi untuk menguasai hal-hal di bumi jika ia tidak diperbolehkan untuk memilikinya? Oleh karena itu penolakan atas hak perorangan untuk memiliki sesuatu sebagai hasil jerih payahnya dan membuat segala sesuatu menjadi milik bersama, sesungguhnya bertentangan dengan kodrat (lih. RN 9,13,47). Menurut Paus Leo XIII, penolakan atas hak seseorang untuk memiliki properti adalah tidak adil bagi orang yang bekerja tersebut (lih. RN 10), sebab orang berhak untuk mempunyai kepemilikan terhadap buah hasil karyanya untuk mendukung kehidupan keluarganya. Tanpa hak untuk memiliki, maka orang akan bekerja seperti robot, tanpa tujuan dan harapan, tanpa kebebasan untuk mengatur penggunaan gajinya, tidak punya hak apapun untuk memelihara diri sendiri dan keluarganya untuk perbaikan kehidupan mereka (lih. RN 5), ataupun merencanakan masa depan mereka. Dengan sistem sosialisme, semua ini diatur oleh negara, negara ditempatkan di atas manusia. Padahal sebenarnya manusialah yang mengatasi negara: artinya, manusia ada lebih dahulu dari negara (lih. RN 7), dan negara terbentuk untuk melayani kesejahteraan manusia.

Selanjutnya, dengan negara mengambil alih tugas kewajiban bapa/orang tua terhadap anak-anak mereka, negara seolah meniadakan peran dan keberadaan keluarga, dengan demikian,  meniadakan konsep bahwa bapa bertugas untuk menghidupi keluarganya (lih. RN 12-14). Padahal bapa dan ibu adalah tanda sakramental akan kasih Tuhan kepada anak-anak mereka, sebagaimana terlihat dalam hal prokreasi dan pendidikan anak-anak. ((lih. KGK 1652 dan Ekshortasi Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 14)) Tidak mengherankan, jika negara menggantikan peran orang tua dalam keluarga, maka negara sesungguhnya mengancam keberadaan keluarga itu sendiri. Sebab bagaimanapun juga negara tidak dapat menggantikan peran orang tua dalam hal mengasihi anak-anak mereka, apalagi menggantikan peran orang tua sebagai tanda yang kelihatan akan kasih Tuhan yang memberikan diri-Nya kepada anak-anak mereka.

Jelaslah, dengan bertujuan untuk menghapuskan adanya kelas dalam masyarakat dan mengendalikan kehidupan keluarga warga negaranya, negara gagal untuk menerapkan keadilan, dalam hal ini adalah keadilan distributif, yaitu keadilan untuk memberikan apa yang layak kepada setiap warga negara menurut kontribusi dan kebutuhannya (lih. KGK 2411). Sebab kenyataannya, setiap keluarga mempunyai kebutuhan dan kontribusi yang khusus sendiri-sendiri, sehingga upaya apapun untuk menggeneralisasi aspek-aspek ini atas nama sistem sosial, menjadi tidak adil. Contohnya, keluarga yang memiliki lima orang anak, pasti mempunyai kebutuhan finansial yang lebih besar daripada keluarga lain yang hanya mempunyai satu orang anak. Maka, permasalahan akan muncul ketika negara harus menentukan kepemilikan bersama yang cocok untuk kedua kasus tersebut. Sebagai akibatnya, hal ini dapat membuka jalan bagi keterlibatan negara yang lebih besar, yaitu dengan mengatur jumlah anak di dalam keluarga, sebagaimana yang kini terjadi di Cina, dengan kebijakan hanya satu anak saja (one child policy) untuk setiap keluarga.

Ketiga, dengan membuat semua kepemilikan sebagai milik bersama, negara menyerap semua perorangan dan keluarga (lih. RN 35), dan dengan demikian merampas hak-hak mereka, bukannya melindungi dan menguatkannya. Lihatlah bahwa salah satu perintah Allah adalah, “Janganlah mengingini rumah sesamamu …. atau apapun yang dipunyai sesamamu.” (Kel 20:17) Dengan demikian pelimpahan kepemilikan perorangan kepada pemerintah, merupakan pelanggaran terhadap perintah ini, sebab Negara menjadi pihak yang mengingini milik perorangan. Ini bagaikan wasit yang seharusnya memimpin pertandingan, malah bermain sendiri sebagai pemain. Dengan sistem ini, negara dapat menjadi terlibat terlalu jauh dalam kehidupan keluarga warganya. Sebagai contoh, kebijakan ‘satu anak saja’ dalam keluarga, sesungguhnya negara telah melanggar hak setiap pasangan suami istri untuk secara alami merencanakan jumlah anak dalam keluarga mereka. Kebijakan ini bahkan dapat mendorong pasangan melakukan aborsi, sesuatu yang mungkin tidak perlu terjadi jika kebijakan satu anak itu tidak ada.

Keempat, sistem sosialisme dapat mengarah kepada kehancuran masyarakat, terutama para pekerja/ buruh yang menjadi tujuan prinsip ini diterapkan. Sebab dengan diterapkannya sistem ini maka manusia dilihat tidak lagi sebagai pribadi, tetapi sebagai elemen ekonomi tertentu, yang dipergunakan untuk mencapai kebutuhan material. Tak mengherankan, dengan menerapkan prinsip ini, manusia diarahkan kepada “atheisme dan kebencian terhadap pribadi manusia” (CA 14), sebab sesama manusia lebih dipandang sebagai alat dan saingan untuk mencapai kebutuhan materi, dan bukan sebagai pribadi untuk dikasihi dan didukung untuk mencapai kebahagiaannya. Paus Benediktus XVI menyamakan prinsip materialisme dengan prinsip yang menyamakan manusia sebagai “semata-mata produk keadaan ekonomi” (Spe Salvi 21). Ini bertentangan dengan kebenaran tentang manusia, yaitu bahwa keberadaan manusia lebih penting daripada harta miliknya, being is more important than having. Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa,”Seperti kegiatan manusia itu berasal dari manusia, maka diatur demi [kebaikan] manusia. Sebab ketika manusia bekerja, ia tak hanya mengubah benda-benda dan masyarakat, namun ia juga mengembangkan dirinya juga…. Seorang manusia lebih berharga dari dirinya sendiri daripada dari apa yang dimilikinya.” ((Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 35. Lihat juga surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Laborem Exercens 9, “Melalui pekerjaan, manusia tidak hanya mengubah alam dan menyesuaikannya menurut kebutuhannya, tetapi ia juga mencapai pemenuhannya sebagai manusia dan…. menjadi semakin manusiawi”))

Selanjutnya penghapusan kelas dalam masyarakat dapat memimpin kepada masalah lainnya, sebab kepemilikan bersama dapat memberikan keuntungan bukan kepada semua masyarakat, tetapi hanya kepada sejumlah orang-orang tertentu, dengan kepentingan golongan (lih. CA 14), yang bertindak sebagai administrator yang bertindak atas nama negara. Maka ini hampir sama dengan menciptakan sistem tuan tanah secara nasional. Jika ini yang terjadi, maka kaum miskin yang harusnya memperoleh keuntungan, malah menjadi korban yang pertama. Dengan demikian jelaslah bahwa upaya apapun untuk menghapus dua kelompok masyarakat (pemilik modal dan pekerja/buruh) adalah upaya yang bertentangan dengan kodrat, karena kedua kelompok itu memang dimaksudkan untuk saling mendukung satu sama lain (lih. RN 19); dan usaha untuk menghapuskannya hanya akan mengakibatkan konflik-konflik lainnya. Maka hal yang perlu diusahakan adalah sinergi antara keduanya, hubungan yang saling mendukung satu sama lain, atas dasar penghormatan akan martabat manusia.

Akhirnya, upaya kaum sosialis untuk mencapai keadaan impian tanpa Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin, dan karena itu tidak mungkin tercapai (lih. RN 16). Pengingkaran akan keberadaan Tuhan, yang menjadi titik awal prinsip kaum sosialis, tidak akan membawa manusia kepada keadaan yang baik. Dengan menerapkan prinsip sosialisme, maka manusia tidak diarahkan untuk menaati hukum Tuhan, namun diarahkan untuk menempatkan ideologi mereka di atas manusia. Padahal manusia tidak akan pernah lebih adil dari Tuhan. Hukum Tuhan yang sempurna mengatasi manusia. Maka penolakan akan Tuhan akan mengarahkan manusia kepada kehancuran. Inilah mengapa sosialisme menghantam kebutuhan manusia yang paling hakiki, yaitu untuk bertindak sesuai dengan kodratnya. Jika manusia menolak untuk taat kepada hukum Tuhan, maka “alam berontak melawan manusia dan tidak lagi mengenali manusia sebagai tuannya.” (SRS 30). Hidup menjadi sulit, manusia akan menderita dan jatuh ke dalam bentuk perbudakan benda-benda materi. Dengan demikian, tujuan utama untuk menghilangkan penderitaan yang disebabkan oleh orang-orang kaya, tidak terwujud, tetapi hanya diubah menjadi jenis penderitaan yang berbeda. Contohnya, di Cina, upaya menghindari kemiskinan material menghasilkan kemiskinan rohani, yang mengakibatkan keputusasaan, ketiadaan harapan atau bahkan tingkat bunuh diri yang tinggi. ((Menurut Association for Asian Research, as on http://www.asianresearch.org/articles/1697.html tingkat bunuh diri di China termasuk yang tertinggi 2.3 lebih tinggi dari angka rata-rata bunuh diri di dunia)).

Sesungguhnya, upaya manusia untuk menghapuskan penderitaan sama sekali, nampaknya tidak akan pernah tercapai, sebab manusia pada dasarnya pasti akan mengalami penderitaan walaupun kadarnya berbeda-beda pada tiap orang. Manusia memang perlu terus berjuang di dalam kehidupan ini. Gereja sadar bahwa penderitaan dan kesulitan tidak akan berakhir di dunia (lih. RN 18), sehingga manusia harus menghadapinya, dan bukan berpura-pura bahwa penderitaan itu tidak ada. Sebaliknya, manusia perlu mencari jalan keluarnya, dan untuk melakukan itu manusia dari kedua golongan kelas (baik pemilik modal maupun pekerja) perlu bekerjasama dan saling membantu. Baik Paus Leo XIII maupun Yohanes Paulus II kemudian mengusulkan diadakannya kerjasama berdasarkan kasih antara pemilik modal dan pekerja untuk memajukan lapangan kerja yang menguntungkan, dengan mengadakan keuntungan melalui pelatihan dan berbagai bentuk asosiasi, koperasi kredit, pendidikan umum, pelatihan profesional, berbagai bentuk partisipasi di dalam kehidupan di lingkungan kerja maupun masyarakat pada umumnya. ((lih. RN 55, CA 16)) Dengan demikian jurang pemisah antara yang kaya dan miskin dapat dijembatani dengan keadilan dan cinta kasih, dan bukan dengan pertarungan antar golongan dan penghapusan kelas/ kelompok.

Maka kesimpulannya, kesalahan utama Sosialisme adalah karena gerakan tersebut: 1) mengabaikan martabat manusia, karena manusia dianggap semata-mata hanya bagian dari sistem (lih. AC 13); 2) menentang hak-hak kodrati manusia, yang terlihat jelas di dalam hal penghapusan kepemilikan perorangan, sehingga mengakibatkan efek negatif terhadap keluarga dan masyarakat; 3) mengusahakan tercapainya keadaan ideal tetapi tanpa melibatkan Tuhan dan prinsip-prinsip Kristiani, dan upaya ini terbukti tidak berhasil. Menanggapi masalah ini, Paus Leo XIII menggarisbawahi ajaran sosial Gereja untuk mempengaruhi pikiran dan hati manusia agar mau tunduk kepada prinsip-prinsip Tuhan. Yang pertama dari prinsip ini adalah pentingnya mempertahankan kepemilikan perorangan yang selanjutnya harus diikuti dengan penggunaan kepemilikan ini demi perbaikan/ peningkatan perorangan maupun komunitas (lih. RN 15). Prinsip kedua adalah pentingnya untuk menerapkan prinsip Injil, yaitu keadilan dan kasih. Pemilik modal dan pekerja harus menerima apa yang menjadi hak mereka; dan selanjutnya, mereka yang dipercaya banyak harus memberi lebih banyak. Juga, setiap orang harus mau berkorban demi orang lain, terutama demi mereka yang miskin. Keberpihakan Gereja kepada kaum miskin mengambil dasar dari teladan Yesus dan perintah-Nya. Yesus sendiri merangkul kemiskinan dan penderitaan ketika hidup di dunia, maka kita akan menemukan Dia di dalam wajah kaum miskin. Hanya dengan kedua prinsip ini, yaitu keadilan dan kasih, kita dapat menemukan jalan untuk memperbaiki masyarakat, sambil menantikan tercapainya masyarakat yang sempurna, yaitu dalam Kerajaan Allah di Surga.

12 COMMENTS

  1. Selamat malam Pak Stefanus dan Ibu Ingrid. Terima kasih atas artikelnya.
    Saya ingin bertanya mengenai komunisme Kristen. Komunisme Kristen percaya bahwa Yesus sebenarnya mendukung paham komunisme dimana adanya persamaan bagi semua orang dimana tidak ada yang kaya. Salah satu ayat Alkitab yang mereka rujuk adalah Matius 19-16-24 mengenai orang muda yang kaya. Dalam ayat tersebut, Yesus meminta orang muda itu untuk menjual semua hartanya dan membagikannya pada orang miskin. Hal itu berarti Yesus mendukung komunisme. Bagaimana pandangan Gereja Katolik mengenai hal ini?
    Kedua, mereka juga merujuk pada 2 Korintus 8:13-15 dimana tertulis bahwa Yesus menghendaki adanya persamaan. Bagaimana kah sebenarnya Gereja menanggapi sabda Yesus ini?

    Terima kasih atas perhatiannya. Semoga dapat dijawab

    Salam kasih,

    Monica

    • Shalom Monicadwiyanti,

      Gereja Katolik mengajarkan bahwa tidak mungkin seorang Katolik menjadi seorang sosialis/ komunis, sebab ajaran iman Katolik tidak sejalan dengan ajaran mengenai sosialism. Paus Pius XI dalam surat ensikliknya, Quadragesimo Anno (Rekonstruksi Keteraturan Sosial), mengatakan demikian:

      “120. If Socialism, like all errors, contains some truth (which, moreover, the Supreme Pontiffs have never denied), it is based nevertheless on a theory of human society peculiar to itself and irreconcilable with true Christianity. Religious socialism, Christian socialism, are contradictory terms; no one can be at the same time a good Catholic and a true socialist.” (QA, 120)

      Terjemahannya yang dicetak tebal:

      “… Sosialisme… tidak dapat didamaikan dengan Kristianitas yang sejati… Tak seorangpun dapat menjadi orang Katolik yang baik sekaligus sebagai seorang sosialis sejati.”

      Mengapa demikian, silakan membaca surat ensiklik tersebut, silakan klik.

      Dengan demikian sesungguhnya tidak ada istilah ‘komunisme Kristen’.

      Sebagaimana telah disebutkan di atas, hal yang paling mendasar yang membuat paham komunisme tidak sesuai dengan prinsip Kristiani, adalah, bahwa dalam komunisme, hal kepemilikan bersama itu menjadi sesuatu yang dipaksakan sebagai keharusan bagi semua orang, sehingga tiap-tiap orang dilarang untuk mempunyai hak milik pribadi. Sedangkan dalam Injil, hal membagikan harta pribadi kepada orang miskin, itu bukan paksaan, namun undangan kepada mereka yang mau menanggapinya secara sukarela. Di sepanjang sejarah Gereja ada begitu banyak ordo religius yang menerapkan Mat 19:16-24, namun mereka melakukannya tidak dengan paksaan. Mereka yang bergabung ke ordo-ordo tersebut melakukannya atas dasar kerelaan dan tidak ada paksaan bagi semua umat untuk melakukan hal yang sama.

      Sedangkan 2 Kor 8:12-15, demikianlah keterangan dari A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed. Dom Orchard OSB. dan dari Haydock’s Commentary:

      ay. 12 dan 13: “Sebab jika kamu rela untuk memberi….” juga menekankan bahwa hal saling berbagi ini atas dasar ke-sukarela-an, bukan atas dasar paksaan. Maka hal ‘dibebani’ ini juga harus dimengerti dalam artian bahwa beban ini diterima dengan suka rela, jika diputuskan demikian.

      Maksudnya bukan untuk membuat mereka (jemaat yang dibantu) hidup enak dalam keadaan lebih kaya daripada mereka yang memberi, tetapi untuk keadaan keseimbangan, sebab saat itu jemaat di Yudea berada dalam keadaan miskin dan berkekurangan. Tuhan menghendaki dua hal dalam amal kasih kita: 1) semangat dan kehendak baik yang dengannya kita beramal; 2) besarnya makna amal kasih, yaitu apa yang sesuai dengan sarana kita. Jika kamu memiliki sedikit, berilah sedikit tetapi dengan kehendak yang baik; jika kamu memiliki banyak, berilah juga yang banyak, tetapi dengan semangat dan kehendak yang baik juga. Tuhan mengukur tingkatan amal kasih dengan besarnya semangat/ niat baik kita, tidak mensyaratkan apa yang tidak kita miliki, tetapi apa yang kita miliki, untuk meringankan sesama, tanpa berlebihan memberatkan kita sendiri….

      ay. 14: ‘Kelebihan mereka’ maksudnya adalah bahwa ada saatnya ketika jemaat di Korintus akan bersuka cita, sebab kelak jemaat ini akan memetik hasilnya dalam rupa karunia-karunia rohani yang mereka peroleh dari Yerusalem. Sebab jemaat yang mereka bantu akan juga berdoa bagi mereka, untuk kebutuhan mereka, terutama dalam kekayaan rahmat Tuhan yang dibutuhkan semua orang.

      ay. 15: Di sana dikutip apa yang disampaikan dalam Kel 16:17, tentang pengumpulan manna. “Orang yang mengumpulkan banyak…, yang mengumpulkan sedikit…
      Dengan contoh ini, Rasul Paulus mau mengajarkan agar mereka mau memberikan kontribusi untuk membantu saudara/saudari mereka dengan mengandalkan penyelenggaraan Tuhan, tanpa perlu takut kekurangan untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri.

      Demikian tanggapan saya, semoga berguna.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Salam,
    Saya mengerti sedikit tentang Sosialisme.
    Apa yang mereka kaitkan dengan Gereja Perdana memang perlu pemahaman yang dalam. Untuk hal ini saya SETUJU bahwa prinsip sosialisme tentang “milik bersama” bila dikaitkan dengan Gereja Perdana adalah keliru. Namun, ada hal yang menjadi perdebatan saya dalam hati, jika memang Anda mengatakan bahwa jemaat Gereja Perdana “sukarela” memberi kepunyaannya, lalu bagaimana dengan Ananias dan istrinya yang mati karena Petrus mengetahui mereka tidak memberi kepunyaan mereka ? Titik berat pertanyaan saya adalah tentang kesukarelaan, mohon jawabannya dan mohon maaf jika ada kekeliruan dalam argumen dan pertanyaan saya.

    Terima KAsih

    • Shalom Efrem,

      Demikianlah keterangan yang kami ambil dari Haydock’s Catholic Bible Commentary, 1859 ed. tentang perikop Ananias dan Safira (Kis 5:1-2):

      “Banyak Bapa Gereja yakin bahwa resolusi yang dibuat oleh umat beriman untuk menjual segala harta milik dan kemudian menyerahkan semua hasilnya di kaki para Rasul, adalah implikasi dari sebuah kaul untuk tidak menyisakan apapun bagi diri mereka sendiri, melainkan memberikan semuanya kepada komunitas tersebut. Maka kesalahan Ananias dan Safira terletak kepada pelanggaran terhadap kaul ini, yang tentangnya mereka menganggapnya sebagai sakrilegi, dan merampasan sesuatu yang sakral (lih. St. Basil, Serm. i. de instit. Monac.; St. Cyprian, lib. i. ad Quir. &c). Sebab tanpa keadaan ini, kita tidak dapat menjelaskan tentang penghukuman yang demikian berat dan tiba-tiba yang diberlakukan kepada pihak-pihak yang melanggarnya.

      Ananias dan istrinya Safira sudah membuat suatu janji atau kaul, untuk memberikan ke dalam persediaan bersama, hasil penjualan yang mereka peroleh. Ketika mereka menjual ladang itu, mereka berdua setuju untuk menahan sebagian dari hasilnya untuk mereka sendiri, dan membawa sisanya, seperti seolah mereka tidak menerima lebih. Seluruh harganya telah dijanjikan, dan dengan itu, jumlah tersebut telah dikonsekrasikan kepada Tuhan, oleh karena itu St. Agustinus menyebut tentang hal ini sebagai penipuan sakrilegi, dan St. Yohanes Krisostomus, menyebutnya pencuri dari apa yang telah dijadikan sakral di hadapan Tuhan.”

      Dengan demikian, maka sebenarnya, tidak ada yang memaksa Ananias dan Safira untuk melakukan kaul itu, yaitu untuk menyerahkan hasil penjualan seluruh harta miliknya, sebab tidak semua dari jemaat itu menjual harta miliknya untuk dibagikan kepada jemaat lainnya. Dikatakan di sana, ada yang melakukan hal itu, tetapi tidak semua jemaat. “Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.” (Kis 2:44-45)

      Nah maka, meskipun di jemaat perdana ada kepemilikan bersama ini, namun semua itu dilakukan atas dasar sukarela, dan tidak dipaksa. Namun kepada mereka yang telah setuju untuk berkaul memberikan semua harta miliknya, tentunya terikat oleh kaul itu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan, Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. lalu, sistem apakah yang sesuai dengan ajaran kristiani?

    [Dari Katolisitas: Ajaran iman Kristiani memberikan prinsip dasarnya, yaitu kasih dan kebenaran, dan beberapa prinsipnya, yaitu: membela martabat manusia, membela kalangan yang terlemah/ miskin/ tersingkir, solidaritas, subsidiaritas, mengusahakan kesejahteraan umum, dst. Sistem ekonomi dan kemasyarakatan yang menerapkan prinsip-prinsip ini sesuai dengan ajaran Kristiani. Silakan membaca prinsipnya dalam Surat ensiklik Paus Emeritus Benediktus XVI, Caritas in Veritate, silakan klik]

  4. menurut saya: Agama katolik juga termasuk komunis dan sosialis karena ajaranya hampir mirip dengan injil NOVO TESTAMENTO E ANTIGO TESTAMENTO mengatakan apa yang anda miliki di bagi kepada temanmu yg tidak memiliki..
    ciri-ciri: sosial kita memberikan sesuatu kepada orang lain secara cuma-cuma…sifat ini bagus atau tida.
    comunio/comum: apa yang saya miliki kita harus di nikmati bersama…

    bagaimana tehadap pendapat anda?????

    • Shalom Artur,

      Ajaran iman Kristiani memang mengajarkan agar kita rela berbagi kepada kaum miskin dan yang membutuhkan pertolongan, namun hal ini dilakukannya atas dasar kasih secara sukarela, dan bukan atas dasar paksaan. Inilah yang membedakan antara ajaran Kristiani dengan paham komunis dan sosialis, yang bertujuan untuk menghapuskan hak milik pribadi dan menjadikannya sebagai milik bersama, secara paksa, sebab dimasukkan dalam sistem kenegaraan.

      Hal memberikan kepada orang lain secara cuma-cuma adalah hal baik sepanjang dilakukan dengan kebijaksanaan (prudence), dengan memperhatikan harkat dan martabat orang yang diberi, dengan maksud meningkatkan juga sumber daya orang tersebut entah dari segi pendidikan, ketrampilan maupun potensi positif lainnya yang ada pada orang tersebut. Inilah yang diupayakan oleh karya Gereja, misalnya dengan mendirikan sekolah-sekolah, pusat pelatihan, pelayanan pastoral atau pelayanan masyarakat lainnya.

      Tentang hak milik apakah harus dinikmati bersama, silakan dinilai dengan kebijaksanaan dan kelayakan, sesuai dengan norma dan hukum moral yang berlaku.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  5. Artikel ini terlalu absurd, anda harus bisa membedakan sosialisme dan komunisme (ala lenin,stalin,mao, atau trotskysme) walaupun akar keduanya dri Marxisme (kaum kiri)….keduanya mempunyai perbedaan sosialisme menganggap agama bukan penghalang revolusi dan ada demokrasi didalam kehidupan bernegara, sedangkan komunisme (ala stalin) menganggap agama sebagai penghalang revolusi dan menghalalkan segala cara (diktator). Kalau anda berbicara amerika latin : Brasil-lah sebenarnya menjadi panutan sosialime modern saat ini dan presiden Lula adalah seorang yang luar biasa. Brasil mempunyai pertumbuhan ekonomi yg baik, demokrasi yg baik (bukan komunisme ala castro, dsb) dan Tujuan kehidupan bernegara adalah masy adil dan makmur bukan semata2 masalah hak individu.

    • Shalom Joe,

      Kalau Gereja mengatakan bahwa paham sosialisme (bukan hanya komunisme) itu bertentangan dengan ajaran Kristiani, itu ada alasannya. Kalau secara prinsip tidak bertentangan, atau dapat dikatakan sejalan, maka Paus Pius XI (1922-1939) tidak akan mengatakan, “… no one can be at the same time a good Catholic and a true socialist. -Tak seorangpun dapat menjadi seorang Katolik yang baik sekaligus juga seorang sosialis sejati).” (lih. ensiklik Quadragesimo Anno, 120). Atau Paus Yohanes XXIII mengatakan, “No Catholic could subscribe even to moderate socialism” -Tak seorang Katolikpun dapat menyetujui sosialisme, bahkan yang moderat sekalipun.” (ensiklik Mater et Magistra, 34). Faktanya, tidak hanya kedua Paus itu saja yang mengecam Sosialisme, tetapi semua Paus, sejak Paus Pius IX sampai Paus Benediktus XVI. Kutipan kecaman para Paus itu terhadap paham Sosialisme, dapat dibaca di link ini, silakan klik. Sayang karena terbatasnya waktu, kami tidak dapat menerjemahkannya.

      Para Paus itu tidak hanya asal bicara dalam mengecam suatu paham, jika tidak benar- benar keliru secara mendasar. Kami telah memaparkannya di artikel di atas, mengapa Gereja Katolik menganggap paham sosialisme itu keliru. Sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah bahwa dalam prinsip sosialisme, kepemilikan bersama itu dijadikan suatu keharusan, sampai menolak hak kepemilikan pribadi. Ini tidak sesuai dengan ajaran Kristus dan para Rasul. Sebab dalam perikop orang muda yang kaya yang bertanya kepada Yesus, bagaimana agar menjadi sempurna, Yesus menjawab, “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” (Mat 19:21). Di sini kita ketahui bahwa Yesus mengakui adanya hak kepemilikan dari orang muda itu, sehingga kalau mau, ia dapat menjualnya, dan hasilnya dibagikan kepada orang-orang miskin. Namun Yesus tidak memaksakan ini kepadanya. Yesus hanya ngatakan, “jikalau engkau hendak sempurna“. Nah, maka hak kepemilikan pribadi tidak dapat ditiadakan dengan paksa atau digantikan dengan kepemilikan bersama dengan keharusan.

      Padahal negara-negara yang menerapkan prinsip sosialisme pada akhirnya menempatkan negara untuk menguasai segala sesuatunya tentang kehidupan warga negaranya, dan jika sudah menjadi ketentuan, maka sifatnya adalah keharusan. Ini terlihat dalam campur tangan negara dalam kehidupan pribadi rakyatnya, entah dalam hal jumlah anak yang diperbolehkan, apakah jenis pendidikan dan pekerjaannya yang boleh diambil (disesuaikan dengan kebutuhan negara), jenis pelayanan masyarakat/ kesehatannya, dst, sehingga orang tua, bahkan anak-anak itu sendiri tidak mempunyai kebebasan untuk melakukan pilihannya sendiri. Meskipun sistem sosialisme belum secara total diterapkan sekalipun, kecenderungan ke arah ini, sudah menunjukkan tendensi peran negara yang terlalu mengintervensi/ menyerap ke dalam kehidupan pribadi warga-nya, sampai warga tak dapat menjalankan apa yang diyakininya benar menurut hukum-hukum Tuhan. Hal ini sudah terjadi misalnya di Amerika Serikat dan Canada, dan juga di Brazilia, di mana negara kemudian melegalisasi aborsi, euthanasia, perkawinan sesama jenis, menyebarluaskan penggunaan alat kontrasepsi, dst. Belum lagi efek lain dari bantuan kepada masyarakat miskin, yang mempunyai efek ganda, selain membuat orang menjadi cenderung malas bekerja (karena tinggal menunggu saja bantuan dari pemerintah) namun juga memarakkan praktek korupsi di lapangan, demi kepentingan regim yang sedang berkuasa. Kemungkinan hal ini juga terjadi di Brasil, setidaknya, kita dapat membaca berita-berita mengenai hal ini tentang kepemimpinan Presiden Lula, yang Anda anggap berhasil itu.

      Di sini terlihatlah bahwa prinsip kemakmuran jasmani yang menjadi tujuan kaum sosialis itu hanya merupakan keberhasilan yang semu, sebab tidak secara mendasar membangun ahlak warganya. Kesejahteraan manusia yang sejati tidak pernah dapat dicapai tanpa melibatkan Tuhan. Kemajuan manusia yang dimaksudkan oleh Gereja, adalah kemajuan manusia secara lengkap, jasmani dan rohani, yang mengusahakan kesejahteraan fisik dan mental, tanpa mengesampingkan Tuhan dan pelaksanaan hukum-hukum Tuhan. Hal ini jelas ditegaskan oleh Paus Benediktus XVI dalam surat ensikliknya Caritas in Veritate, Kasih dan Kebenaran, yang teks terjemahannya ada di sini, silakan klik.

      Anda dapat saja tidak setuju dengan apa yang kami sampaikan di sini dan menganggapnya absurd, itu adalah hak Anda. Tetapi kami di Katolisitas tidak dapat menyampaikan suatu paham yang bukan merupakan ajaran Gereja Katolik. Kami berharap Anda dapat menghormati keputusan kami.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  6. lalu kenapa banyak negara yang mayoritas penduduknya beragama katolik malah menganut sosialisme atau komunisme ? contohnya saja negara-negara amerika latin ?

    • Shalom Moshe,

      Sebagaimana telah disebutkan di atas, komunisme ataupun sosialisme tidak sejalan dengan ajaran Gereja Katolik. Tetapi sayangnya, banyak pemimpin negara, yang walaupun Katolik, tetapi tidak memahami ajaran iman Katolik. Inilah yang mengakibatkan dapat terjadinya negara-negara yang walaupun pemimpinnya Katolik, atau pernah dibaptis Katolik, namun kemudian mereka menjadi kaum sosialis atau bahkan atheis. Dengan pandangan yang dianut ini, maka mereka tidak lagi mengartikan ajaran iman sesuai dengan ajaran Magisterium Gereja Katolik, tetapi sudah dipengaruhi oleh paham ideologi mereka sendiri, walaupun awalnya didasari oleh kehendak yang baik, yaitu untuk memajukan kehidupan masyarakat. Masyarakat di negara-negara Amerika Latin memang mayoritas berkekurangan/ miskin, jika dibandingkan dengan negara Amerika Utara. Namun sebagaimana disampaikan di atas, paham sosialisme yang cenderung mengesampingkan hak milik dan peran individu dalam mewujudkan perkembangan dan kesejahteraan masyarakat, tidak sejalan dengan ajaran iman Kristiani, yang walaupun sama-sama mengusahakan kesejahteraan umum, namun pencapaiannya tidak boleh sampai mengabaikan hak dan martabat tiap-tiap individu.

      Relevan untuk diingat akan perkataan Paus Pius XI dalam surat ensikliknya, Quadreagesimo Anno di tahun 1931, “no one can be at the same time a good Catholic and a true socialist” atau “tak ada seorangpun yang, pada saat yang sama dapat menjadi seorang Katolik yang baik, dan seorang sosialis sejati.” Sebab prinsip sosialisme yang murni akhirnya akan berujung pada pengabaian hak dan peran individu dalam memajukan masyarakat, sedangkan ajaran iman Katolik adalah mengusahakan tercapainya keduanya, tanpa mengabaikan salah satu di antaranya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

Comments are closed.