Alasan mengapa kita sebagai umat Katolik memanggil “bapa” kepada Paus dan para imam, juga diambil dari Kitab Suci. Umat Protestan umumnya mengambil ayat Mat 23:9 untuk mengatakan bahwa kita dilarang menyebut siapapun di bumi dengan sebutan “bapa”. Namun pengertian ini adalah interpretasi yang melepaskan ayat ini dari konteks keseluruhan. Bagaimana seharusnya mengartikan ayat tersebut sesuai dengan konteks dan pesan keseluruhan Kitab Suci? Pada ayat tersebut, Yesus melarang untuk menyebut siapapun sebagai bapa di bumi ini (lih. Mat 23:9) adalah untuk memperingatkan kepada umat bahwa 1) hanya ada satu saja yang dapat kita anggap sebagai Allah Bapa; 2) janganlah seperti ahli Taurat dan orang Farisi yang senang dihormati dan dipanggil sebagai rabbi dan bapa oleh semua orang. Di sinilah pentingnya untuk mempelajari suatu ayat Kitab Suci dalam kaitannya dengan ayat-ayat yang lain di seluruh Alkitab (seperti prinsip yang dipegang oleh Gereja Katolik), karena perintah-perintah Tuhan tidak mungkin bertentangan satu dengan lainnya.
Sebab di perikop-perikop yang lain, Yesus juga menyebut orang tua sebagai bapa dan ibu (lih. Mat 10:35; 19:29). Jika Ia sungguh melarangnya, maka Ia tidak mungkin menyebutkan sendiri panggilan ini. Abraham disebut sebagai “bapa Abraham” bapa leluhur kita (Luk 16:24, Kis 7:2; Rom 4:1, Yak 2:21), dan Rasul Paulus menyebutkan dirinya sebagai bapa bagi umat di Korintus (1 Kor 4:15) dan bapa rohani bagiTimotius (1 Tim 1:2, 2 Tim 1:2), dan bagi Titus (Tit 1:4). Rasul Yohanes juga berkhotbah kepada para bapa (1 Yoh 2:14). Tentunya rasul Paulus, Yakobus dan Yohanes memiliki maksud pada saat menuliskan ayat-ayat itu. Yaitu bahwa di dalam hidup kita ini memang ada orang-orang tertentu yang diberi tugas sebagai bapa untuk berperan sebagai orang tua bagi anak-anak, mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Dan secara rohani, tugas kebapakan itu diberikan kepada para pemimpin umat, yaitu para pastor, seperti teladan Rasul Paulus.
Para pastor, uskup dan Paus itu berperan dalam kelahiran kita semua umat Katolik secara rohani. Mereka itu adalah yang membaptis kita umat beriman, mengajar kita, membimbing kita dan memberi teladan kepada kita bagaimana mengasihi, seperti Allah Bapa mengasihi kita. Oleh karena itu kita harus berdoa bagi para imam, uskup dan Paus, agar mereka senantiasa dapat melaksanakan tugasnya sebagai “bapa rohani” bagi kita. Kita memanggil mereka sebagai “bapa” untuk menunjukkan hormat kita kepada mereka. Sama seperti banyak pendeta Protestan yang dipanggil Rev./ Reverend oleh jemaatnya, padahal tentu hormat/ reverence juga paling layak diberikan kepada Tuhan.
Maka umat Katolik memanggil Paus sebagai “Holy Father” itu sebagai tanda hormat sebab kita mengakui bahwa ia telah dipanggil oleh Kristus untuk menjadi gambaran kekudusan dan kebapa-an dari Tuhan (lih. KGK 896, 1549). Tentu pengertian ini diturunkan, tergantung dari, dan berada di bawah panggilan kita kepada Allah Bapa yang Mahakudus, dan memang tidak untuk menyaingi ataupun mengingkari keunikan kekudusan dan ke Bapa-an dari Allah Bapa.
Sebaiknya istilah Romo tidak usah digunakan dalam komunikasi publik yang melibatkan pribadi-pribadi multi kultur seperti mailing, acara radio, televisi, materi digital dsb. Gunakan saja istilah yang umum “Pastor”. Aneh juga karena beberapa pastor memperkenalkan diri mereka sebagai “Romo” di daerah di mana istilah ini tidak dikenal.
Lama-lama Gereja Katolik Indonesia menjadi Gereja Katolik versi JAWA.
[dari Katolisitas: Menurut hemat kami, istilah ‘romo’ itu sudah begitu luas dipakai oleh masyarakat di Indonesia di seluruh pelosok tanah air, walaupun asalnya memang dari bahasa Jawa, sehingga sudah seperti diserap sebagai perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Banyak kata-kata lain dalam bahasa Indonesia yang merupakan hasil serapan dari bahasa-bahasa lain, termasuk dari bahasa Jawa juga. Dan artinya tidak asing bagi kita semua, yaitu ‘bapa’.]
Shalom team katolisitas.
23:9 Dan janganlah kamu menyebut “SIAPAPUN” bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga.
Interpretasi saya setelah saya baca kembali secara keseluruhan (ayat 1-36), kata “siapapun” yang tertulis diatas (ay 9) maksudnya adalah para ahli taurat dan orang farisi atau orang-orang yang tidak layak dipanggil bapa. Apakah benar ?
Tapi saya masih bertanya-tanya, seandainya benar -menurut GK- apa yang saya tangkap, kenapa disana ditulis “siapapun” ?
Bukankah itu membuat orang-orang yang baru pertama kali membacanya memiliki tafsiran2 yang berbeda-beda ?
Kenapa tidak ditulis saja ( misal ) “Dan janganlah kamu menyebut “ahli-ahli taurat dan orang farisi” bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga ?
Maaf kalau saya banyak bertanya..
Trims sebelumnya…
Tuhan berkati.
Shalom Frans,
Prinsipnya adalah bahwa untuk menginterpretasikan suatu ayat dalam Kitab Suci (terutama ayat-ayat yang sulit), kita harus melihat kaitannya dengan ayat-ayat yang lain; sehingga kita dapat menangkap maksud yang sebenarnya, yang ingin disampaikan oleh sang penulis kitab. Dengan melihat kaitannya dengan ayat-ayat yang lain, kita mengetahui apakah ayat tersebut menggunakan gaya bahasa kiasan atau tidak, dan kita akan mengetahui maksud apakah yang ada di balik gaya bahasa yang digunakan.
Silakan membaca lebih lanjut dalam Empat Cara Menginterpretasikan Kitab Suci, silakan klik; dan Bagaimana Gereja Katolik Menginterpretasikan Kitab Suci, silakan klik.
Selanjutnya, demikianlah penjelasan yang saya sarikan dari A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed. Dom Orchard, tentang ayat tersebut:
Sehubungan dengan istilah ‘bapa’/ ‘Abbi’/ ‘Rabbi’, Yesus mau mengajarkan bahwa Ia tidak mengecam adanya penggunaan istilah Rabbi, tetapi Ia mengecam kepuasan diri yang sia-sia, yang dimiliki oleh sejumlah orang, yang ingin dipanggil sebagai ‘Rabbi’. (lih. Mat 23:7-8). Maka Yesus tidak bermaksud mengubah suatu sistem pengertian yang berlaku di masyarakat saat itu (bahwa seorang pengajar akan dipanggil ‘guru’/ rabbi/ ‘Abi’/ bapa’ oleh muridnya), tetapi Ia prihatin dengan pengertian secara rohani, yang tidak dipahami, tentang makna panggilan sebagai guru. Dengan kata lain, Yesus memperhatikan apa yang tersirat, daripada apa yang tersurat, dari makna istilah ‘guru’ ataupun ‘Abi’. ‘Abi/ bapa’ adalah istilah yang digunakan untuk memanggil Rabbi yang besar/ terhormat. Maka Yesus mengingatkan, bahwa sebenarnya istilah Bapa (panggilan yang paling terhormat) seharusnya diberikan kepada Allah Bapa. Semua jabatan manusia, hanyalah bayangan dari otoritas Allah, yang daripadanya semua nama jabatan itu berasal (lih. Ef 3:15). Jika ini tidak dipahami, maka jangan memanggil siapapun di bumi dengan sebutan ‘Abi/ bapa’. Namun sebaliknya, jika prinsip ini dipahami, tidaklah dilarang, untuk memanggil seseorang di bumi dengan sebutan bapa/ ayah, sebab Yesuspun mengajar bahwa anak harus menghormati ayah dan ibunya (lih. Mat 15:4; Mrk 7:10; Luk 18:20)- artinya si anak boleh memanggil bapanya dengan sebutan bapa/ ayah. Oleh karena itu, di banyak ayat di dalam Injil, Yesus membiarkan diri-Nya dipanggil sebagai “Rabbi”/ Guru, dan Ia menyebut Abraham sebagai ‘bapamu’ (Yoh 8:56) kepada orang-orang Yahudi. Demikian pula, Rasul Paulus juga menyebut dirinya sebagai bapa rohani bagi jemaat/ anak-anak rohaninya (lih. 1 Kor 4:15; 1 Tim 1:2, 2 Tim 1:2; Tit 1:4).
Maka yang dilarang oleh Yesus adalah pemahaman makna ‘bapa’, yang mengaburkan makna kebapaan dari Allah Bapa. Karena itu, tidak layak seorang murid Kristus menempatkan dirinya sebagai seorang guru rohani yang independen/ terpisah dari kebapaan Allah yang adalah Sang Guru/ Bapa yang sejati.
Dengan pemahaman bahwa nama jabatan di bumi diturunkan dari Allah Bapa, maka istilah ‘bapa’ tidak serta merta dilarang penggunaannya oleh Yesus. Jika Yesus memperbolehkan anak memanggil bapa jasmaninya dengan sebutan ‘bapa’, maka Ia tidak akan melarang seorang anak untuk memanggil bapa rohaninya (yaitu pastor/ imam) dengan sebutan ‘bapa’. Pemanggilan bapa kepada seorang bapa rohani yang mengambil bagian dalam kebapaan Allah, itu justru semakin membantu kita menghayati makna kebapaan Allah, agar kita mengalaminya sebagai sesuatu yang nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan pemahaman inilah maka imam/ pastor dalam Gereja Katolik dipanggil sebagai bapa, karena mereka mengambil bagian dalam kebapaan Allah; dan adalah tugas mereka untuk semakin menghadirkan kasih kebapaan Allah di dunia ini.
Demikian tanggapan saya, semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Katolisitas,
Dalam konteks hidup sehari-hari, kata “Bapa” dan “Ibu” digunakan sebagai uangkapan “hormat” kepada orang tua atau yang disetarakan dengan “orang tua” atau yang dituakan… Ketika mengajar, Kristus menggunakan kata “Bapa” sebagai “analog” relasi Kristus dengan Yahwe, logikanya tentu justru karena kata itu sebagai ungkapan hormat demikian itu sudah sangat kontekstual pula di lingkungan masyarakat Yahudi ketika itu…Kita tahu, satu dari sepuluh Perintah Tuhan, sebelum kedatangan Kristus, sudah menegaskan keharusan untuk menghormati orang tua (bapa dan ibu kita)..Jadi, sepertinya kurang pas jika mencari-cari pembenaran sebutan “bapa atau bapak” kepada Paus/pastor KARENA PAUS/PASTOR TELAH DIPANGGIL KRISTUS MENJADI GAMBARAN KEKUDUSAN DAN KEBAPAA-AN DARI TUHAN.. Berdasar fakta sejarah Gereja, sangatlah berlebihan jika hendak mengklaim bahwa perilaku PAUS/PASTOR dapat disebut sebagai gambaran kekudusan dan kebapaan Tuhan.. Janganlah kita berlebihan menyetarakan manusia cipataan dengan Sang Penciptanya.. Menurut sy demikian..GBU
Shalom Irwan Saragih,
Terima kasih atas komentar Anda. Para Bapa memang sudah dipanggil untuk menjadi gambaran akan kebapaan dari Allah. Itulah sebabnya, kita harus menghormati bapa kita sebagai perwakilan dari Tuhan. Dan tidak menjadi masalah kalau kita memanggil ayah kita sebagai bapa. Walaupun ada sebagian dari ayah di dunia ini yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik, namun kita tidak melarang seluruh anak di dunia ini untuk memanggil ayahnya dengan sebutan bapa. Dengan logika yang sama, walaupun ada sebagian pastor ada yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik, maka kita tidak melarang seluruh umat Katolik untuk memanggil pastor dengan sebutan bapa atau Romo. Tidak ada yang menyetarakan ciptaan dengan Sang Pencipta, seperti yang dapat Anda baca sendiri dalam argumen di atas. Kita juga jangan melupakan bahwa di ayat sebelum dan setelahnya, Yesus juga melarang seseorang untuk menyebut seseorang dengan sebutan guru dan pemimpin. Apakah kita juga tidak boleh memanggil guru di sekolah dengan sebutan guru?
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear katolisitas,
Postingan-postingan di sini jelas menggunakan kata “katolisitas.org” dan mau tidak mau mengesankan apa pun postingan di sini seakan “ajaran” sah Katolik. Apalagi, pembaca postingan di sini tidaklah semata golongan sendiri.
Panggilan bapa kepada Paus/pastor dengan alasan sebagaimana diposting di sini yaitu KARENA PAUS/PASTOR TELAH DIPANGGIL KRISTUS MENJADI GAMBARAN KEKUDUSAN DAN KEBAPAA-AN DARI TUHAN, menurut sy semata adalah TAFSIR penulis… Kata Bapak atau Bapa kepada Paus/pastor, menurut sy, adalah sebutan universal seperti halnya Bapak Kiyai, Bapak Pendeta, Bapak Lurah, Bapak Bupati, Bapak pimpinan, Bapak supir…
Selanjutnya, sy pun belum pernah diajarkan dan / atau menemukan adanya larangan dari Kristus untuk menyebut seseorang guru atau pemimpin.
Hukum tertinggi yang diajarkan Kristus adalah HUKUM KASIH. Sebagai HUKUM TERTINGGI, maka semua hukum, tafsir, praktek iman harus digantungkan / dibunyikan demi hukum tertinggi itu yaitu KEMULIAAN TUHAN DAN KASIH / KESELAMATAN SESAMA. Itulah patokan yang diberikan Kristus, itulah batu uji. Maka, jika ada tafsir, ketentuan, praktek yang bertentangan dengan hukum tertinggi itu harus digugurkan demi hukum tertinggi. Pemahaman sy demikian. GBU
Shalom Irwan,
1. Tentang Paus, Pastor/ imam sebagai gambaran kebapaan Allah.
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa para pemimpin Gereja dalam hal ini Uskup, yang adalah para penerus Rasul itu mempunyai peran sebagai bapa, sebagai gambaran dari Allah Bapa. Jadi ini bukan penafsiran kami pribadi di Katolisitas. Katekismus, yang adalah ajaran resmi Gereja Katolik, mengatakan:
KGK 896 Dalam melaksanakan tugasnya sebagai gembala, Uskup harus memakai Gembala baik sebagai teladan dan “rupa”. Sadar akan kelemahan-kelemahannya, ia dapat “turut menderita dengan mereka yang tidak tahu dan sesat. Hendaklah ia selalu bersedia mendengarkan bawahannya, yang dikasihinya sebagai anak-anaknya sendiri… Adapun kaum beriman wajib patuh terhadap Uskup, seperti Gereja terhadap Yesus Kristus, dan seperti Yesus Kristus terhadap Bapa” (LG 27).
“Ikutilah Uskupmu seperti Yesus Kristus mengikuti Bapa dan ikutilah para imam seperti mengikuti para Rasul; tetapi taatilah para diaken seperti menaati perintah Allah. Jangan seorang pun melakukan sesuatu yang menyangkut Gereja tanpa Uskup” (Ignasius dari Antiokia, Smym. 8 1).
KGK 1549 Oleh pejabat yang telah ditahbis, terutama oleh jabatan Uskup dan imam, menjadi nyatalah bahwa Kristus sebagai Kepala Gereja hadir di tengah persekutuan umat beriman (Bdk. LG 21). Sesuai dengan ungkapan indah dari santo Ignasius dari Antiokia, seorang Uskup adalah tupos tou Patros, “citra Bapa” (Trall. 3,1,Bdk. Ignasius dari Antiokia, Magn. 6,1).
KGK 1465 …. Pendeknya, imam adalah tanda dan alat cinta Allah yang penuh belas kasihan kepada orang berdosa.
Jadi sebutan ‘bapa’ pada imam, Uskup ataupun Paus, mempunyai arti yang lebih mendalam dari sekedar sebutan ‘bapak’ pada kata-kata bapak lurah, bapak bupati ataupun bapak supir, seperti yang Anda sebutkan itu.
2. Kristus mengatakan jangan ada orang mau disebut guru?
Kalau Anda membaca ayat sebelumnya dari ayat yang sedang kita diskusikan ini, maka Anda akan menemukan perkataan Yesus itu. Bunyinya demikian:
“Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi [artinya: guru]; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. (But you are not to be called rabbi, for you have one teacher, and you are all brethren.) Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga.” (Mat 23:8-9)
Nah, namun kenyataannya, toh kita mengenal adanya guru dan bapa (ayah/ papa/father) dan kita memanggil mereka dengan sebutan demikian, bahkan Kristus sendiri mengatakan adanya sebutan ‘bapa’ (ayah/ father) dalam salah satu perintah Allah, “hormatilah ayahmu dan ibumu” (Mat 19:19; Mrk 10:19). Maka untuk memahami makna Mat 23:8-9 tersebut, kita perlu melihat konteksnya, sebagaimana telah dijabarkan di artikel di atas.
Akhirnya Anda benar bahwa hukum kasih adalah hukum yang tertinggi, namun kasih ini tidak untuk menggugurkan kebenaran iman. Sebab jika demikian itu bukan kasih yang sejati. Demikianlah, Gereja Katolik, tidak pernah mengajarkan kasih terpisah dari kebenaran, dan hal ini nyata juga dalam surat ensiklik Paus Benediktus XVI, Caritas in Veritate (Kasih dan kebenaran), yang terjemahannya ada di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.