Banyak orang bertanya, mengapa teks doa Bapa Kami yang digunakan oleh Gereja Katolik mengatakan, berilah kami ‘rezeki’ pada hari ini, dan bukan ‘berikanlah kami …makanan kami yang secukupnya’, sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci (terjemahan LAI). Gereja Katolik menerjemahkan Mat 6:11 dari teks aslinya terjemahan Vulgata, yaitu “panem nostrum supersubstantialem da nobis hodie” yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris adalah: Give us this day our supersubstantial bread”, di mana ‘bread‘ ini, seperti kata idiom, mempunyai arti lebih luas dari sekedar makanan.

St. Agustinus mengajarkan bahwa terdapat tiga macam arti kata ‘roti’ di sini, yaitu: 1) segala sesuatu yang kita butuhkan; 2) Sakramen Tubuh Kristus, yang kita terima setiap hari; 3) Makanan rohani kita, Sang Roti Hidup, yaitu Yesus…..” (cf. St. Augustine, Our Lord’s Sermon on the Mount, in Scott Hahn, Understanding “Our Father”: Biblical Reflections on the Lord’s Prayer (Steubenville: Emmaus Road, 2002), p.143-44)

Gereja Katolik berpegang pada prinsip umum mengartikan Kitab Suci, yaitu agar kita berusaha memahami maksud sang penulis suci pada saat menuliskan kata-kata dalam kitab tersebut (lih. KGK 109), sehingga perlu diperhatikan situasi zaman, kebudayaan, jenis sastra yang digunakan saat itu, cara berpikir dan berbicara pada saat teks ditulis (lih. KGK 110). Atas prinsip ini, kita melihat konteksnya, yang menurut sastra/ gaya bahasa pada zaman itu, di mana kata bread  (artos, dalam bahasa Yunani)  tidak saja berarti roti/ makanan, tetapi juga adalah semua kebutuhan sederhana untuk hidup, yang terwakili dalam kata bread/ artos itu. Dengan demikian, jika bread diterjemahkan sebagai hanya makanan, maka malah menjadi tidak terlalu sesuai/ membatasi arti yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penulisnya.

Maka sebenarnya penerjemahan “give us this day our daily bread” menjadi “berilah kami rezeki pada hari ini” sesungguhnya lebih tepat, sebab di sini daily bread adalah semacam idiom yang menurut pengertian aslinya mempunyai makna lebih dari sekedar makanan. Pemberian roti setiap hari mempunyai makna luas, yaitu kesetiaan Tuhan kepada umat-Nya (lih. KGK 1334). Selanjutnya “our bread” memang diterjemahkan sebagai ‘rezeki kami’ dalam Katekismus Gereja Katolik, demikian:

KGK 2830     Rezeki kami. Mustahil bahwa Bapa, yang menganugerahkan kehidupan kepada kita, tidak memberikan juga makanan serta segala kebutuhan jasmani dan rohani lainnya bagi kehidupan itu. Dalam khotbah-Nya di bukit Yesus mengajarkan sebuah kepercayaan, di mana kita merasa terjamin dalam penyelenggaraan Bapa (Bdk. Mat 6:25-34). Dengan itu Yesus tidak menghendaki kita untuk menerima nasib secara acuh tak acuh (Bdk. 2 Tes 3:6-13). Ia ingin membebaskan kita dari segala kesusahan dan kecemasan yang menekan hati. Anak-anak Allah selalu membiarkan diri dalam penyelenggaraan Bapa mereka.

“Mereka yang mencari Kerajaan dan keadilan Allah, akan juga mendapat segala sesuatu yang lain sesuai dengan janji-Nya. Karena bila segala sesuatu adalah milik Allah, maka orang yang memiliki Allah tidak akan kekurangan apa pun, kalau ia sendiri tidak lupa akan kewajibannya terhadap Allah” (Siprianus, Dom. orat. 21)

KGK 2835     Permohonan ini, dan tanggung jawab yang dituntutnya, berlaku juga untuk satu kelaparan lain, yang karenanya manusia binasa; “Manusia hidup bukan dari roti saja, melainkan dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat 4:4) (Bdk. Ul 8:3), artinya dari sabda dan dari napas Allah. Orang-orang harus melakukan segala upaya, supaya “mewartakan Injil kepada orang-orang miskin”. Di dunia ada satu kelaparan lain, “bukan kelaparan akan makanan, bukan kehausan akan air, melainkan akan mendengarkan firman Tuhan” (Am 8:11). Karena itu arti yang khas Kristen dari permohonan keempat ini berhubungan dengan roti kehidupan. Itulah Sabda Allah yang harus kita terima dalam iman, dan tubuh Kristus yang kita terima dalam Ekaristi (Bdk. Yoh 6:26-58).

Dengan demikian, ‘berilah kami rezeki’ dimaksudkan juga sebagai rezeki jasmani, maupun rohani yaitu Sabda Allah dan Kristus sendiri dalam Ekaristi. Maka “to give daily bread” itu mungkin menyerupai ungkapan “berilah kami sesuap nasi” yang memang walaupun menyangkut makanan, tetapi maksud di balik ungkapan itu tentu lebih dari sekedar nasi sesuap. Manusia memang tidak hidup dari makanan saja, tapi juga minuman, udara, sandang, papan, dan semua itu tergabung dalam kata ‘rezeki’; walau ungkapan gaya bahasa yang dipergunakan itu hanya “bread“/ roti. Selanjutnya, kita mengingat Sabda Yesus bahwa manusia tidak hanya hidup dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah (lih. Mat 4:4). Maka rezeki di sini tidak terbatas dalam hal jasmani, tetapi juga rohani. Hal inilah yang diajarkan oleh para Bapa Gereja, dan hal inilah yang diteruskan oleh Gereja Katolik.

Selanjutnya, kita perlu menyadari adanya keterbatasan dalam hal terjemahan, karena terjemahan ke dalam bahasa Indonesia memang nampaknya tidak dapat secara persis/ ideal menggambarkan maksud kata aslinya. [Sejujurnya ini umum dalam hal terjemahan, sebab ada banyak kata- kata dalam bahasa Jawa, misalnya, yang juga tidak mempunyai padanan kata persisnya dalam bahasa Indonesia]. Sebab jika mau diterjemahkan secara benar- benar literal, maka harusnya diterjemahkan “berilah kami roti…” Sayangnya, bagi orang Indonesia dan menurut gaya bahasa Indonesia, kata ‘roti’ ini tidak ‘berbicara’, karena makanan pokok kita adalah nasi. Lagipula menurut gaya bahasa Indonesia, ‘berilah roti’ ini tidak mempunyai arti sebagai idiom. Jadi jika diterjemahkan secara literal sebagai ‘roti’, menjadi tidak pas dan tidak kontekstual juga bagi kita orang Indonesia. Maka dapat dimengerti jika gereja- gereja yang non- Katolik di Indonesia menerjemahkannya sebagai ‘makanan’, walaupun sebenarnya terjemahan ini juga tidak tepat, karena yang dikatakan itu “bread/ roti” bukan “food/ makanan”.

Sedangkan Gereja Katolik di Indonesia menerjemahkannya sebagai ‘rezeki’ karena mempertimbangkan arti yang lebih luas dari kata ‘bread‘, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dengan memandang bahwa kata ‘rezeki’, yang mencakup rezeki jasmani dan rohani, lebih mewakili maksud asli dari penulisnya.

3 COMMENTS

  1. Bagus penjelasannya bu, hal ini juga perlu dipahami sebagian dari saudara kita protestan bahwa “rezeki” dalam doa Bapa kami diartikan tidak sesuai atau menyimpang dengan alkitab dan bahkan menjurus pada pernyataan bahwa ajaran gereja katolik sesat.

    [Dari Katolisitas: Mari, dengan keterbatasan kita masing-masing, kita menjelaskan kepada mereka yang menanyakannya tentang hal ini kepada kita, bahwa tidak ada maksud sedikitpun dari Gereja Katolik untuk mengubah teks doa Bapa kami. Adanya perbedaan teks yang ada sekarang disebabkan keterbatasan kosa kata bahasa (dalam hal ini bahasa Indonesia) untuk memberikan terjemahan kata yang persis dengan makna bahasa aslinya].

  2. Shalom pengasuh Katolisitas.org

    Jikalau memang arti dari “bread” tersebut lebih ke arah “rejeki” mengapa LAI tidak menerjemahkan “rejeki” saja dan menuliskannya di Alkitab? Karena ini masalah yang cukup serius mengingat kata “makanan” dan “rejeki” itu berbeda.
    Kalau seperti ini seolah-olah Gereja Katolik yang mengubah/seenaknya sendiri mengganti doa Bapa Kami yang notabene adalah doa yang amatlah penting karena diajarkan oleh Yesus sendiri. Saudara-saudara kita Kristen Non-Katolik tentunya mengacu pada Alkitab, jikalau di Alkitab tertulis “makanan” maka ketika pada saat Doa Bapa Kami di ibadah gereja mereka pun sesuai Alkitab, dan mereka pun pasti merasa tidak ada yang salah dengan Doa Bapa Kami mereka. Terimakasih.

    • Shalom Sonny,

      Tentang mengapa dalam teks doa Bapa Kami yang digunakan oleh Gereja Katolik disebutkan, berilah kami ‘rezeki’, bukan ‘makanan kami yang secukupnya’ (yang digunakan oleh gereja-gereja non-Katolik), sudah dibahas di sini, silakan klik. Kedua terjemahan itu benar, walaupun memberikan penekanan yang tidak persis sama. Maka, marilah kita melihat hal ini dengan sikap yang lebih obyektif, sehingga tidak cenderung menyalahkan. Sebab secara prinsip, yang kita imani dan yang kita doakan itu sama, hanya ada kata-kata tertentu yang diterjemahkan sedikit berbeda, dengan pertimbangan yang berbeda, karena memang secara obyektif tidak ada kata padanan yang benar-benar persis sama artinya dengan kata aslinya. Namun demikian, hal itu tidak mengubah ajaran iman yang disampaikan dalam doa Bapa Kami.

      Sebab, jika diterjemahkan sebagai ‘makanan’, yang mendoakannya juga pasti memahami bahwa kita membutuhkan pertolongan Tuhan, tidak saja hanya untuk memberikan kita makanan jasmani, tetapi juga dalam banyak hal lain, termasuk yang rohani. Demikian pula, kalau diterjemahkan sebagai ‘rezeki’, yang mendoakannya juga mengetahui bahwa yang dimaksud di sini juga bukan hanya rezeki jasmani (termasuk makanan), tetapi juga rezeki rohani. Maka masalahnya di sini hanya terjemahannya yang memberi penekanan yang sedikit berbeda, tetapi secara prinsip sesungguhnya sudah dapat dipahami.

      Demikian juga, hal perbedaan terjemahan ini juga nampak pada kata “dimuliakanlah nama-Mu” (menurut terjemahan Gereja Katolik), dan “dikuduskanlah nama-Mu” (menurut terjemahan LAI. Kata aslinya adalah ἁγιάζω, hagiázō (bahasa Yunani) yang dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan sebagai “to make holy, to sanctify, to consecrate, to make sacred, to hallow“, menguduskan ataupun memuliakan.

      Jadi sesungguhnya dalam bentuk pasif, kata tersebut dapat diterjemahkan sebagai ‘dikuduskanlah’ ataupun ‘dimuliakanlah’. Jika kita melihat kepada terjemahan bahasa Inggris, kita dapat membaca bahwa memang dari kata yang sama hagiázō (G37), dapat diterjemahkan menjadi ‘sanctified‘ (contohnya Yoh 10:36, 17:19; Kis 20:32, 26:18; 1Kor 1:2,6:11; 1Tim 4:5, 2Tim 2:21; Ibr 2:11, 10:10,14,29) ataupun kata ‘hallowed‘ (contohnya Mat 6:9, Luk 11:2, dalam doa Bapa Kami). Walaupun dalam terjemahan LAI tidak dibedakan terjemahan antara ‘sanctified’ dan ‘hallowed’ ini, namun ini tidak mengubah kenyataan bahwa kata hagiázō dapat diterjemahkan menjadi dikuduskanlah, atau dimuliakanlah; keduanya benar.

      Maka mohon dipahami, hal yang Anda sampaikan ini lebih menyangkut kepada hal terjemahan daripada sebuah ajaran. Gereja Katolik juga mengambil sumber ajaran-Nya dari Kitab Suci, dan karena itu tidak mungkin, mengubah teks Kitab Suci seenaknya, sebagaimana mungkin disangka oleh orang-orang tertentu. Kalau saudara-saudari kita yang non-Katolik mendoakannya dengan teks seperti tertulis dalam Kitab Suci terjemahan LAI, tentu itu boleh saja, dan umat Katolik menghormatinya. Namun pada saat yang sama, semoga saudara-saudari kita itu juga menghormati keputusan Gereja Katolik yang menerjemahkannya dengan sedikit berbeda, dengan pertimbangan yang sudah disampaikan di atas. Sebab pada hakekatnya, kedua terjemahan itu tidak mengubah apa yang kita imani dalam doa Bapa Kami: akan Allah yang kudus dan mulia di atas segalanya, yang dapat kita sebut sebagai ‘Bapa kami’ di dalam Kristus, dan Ia-lah Bapa yang menyediakan segala keperluan kita, baik secara jasmani maupun rohani.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

Comments are closed.