Jika sampai ada perbedaan teks doa Bapa Kami (Mat 6:11; Luk 11:3), yaitu ‘berilah kami makanan yang secukupnya’ (yang umum digunakan di gereja-gereja non- Katolik di Indonesia) dan ‘berilah kami rezeki hari ini’ (yang digunakan Gereja Katolik di Indonesia), itu disebabkan karena perbedaan terjemahan, namun sebenarnya mengacu kepada kata asli yang sama. Kata aslinya, menurut terjemahan Vulgate/ Vulgata adalah, “panem nostrum supersubstantialem da nobis hodie/ Give us this day our supersubstantial bread” (Mat 6:11). Namun ‘bread‘ ini, adalah seperti kata idiom, mempunyai arti lebih luas dari sekedar makanan. Oleh karena itu Gereja Katolik menerjemahkannya dengan kata ‘rezeki’ yang lebih luas artinya dari sekedar ‘makanan’.
Prinsip umum dalam mengartikan Kitab Suci, Katekismus mengajarkan agar kita berusaha memahami maksud sang penulis pada saat menuliskan kalimat tersebut:
KGK 109 Di dalam Kitab Suci Allah berbicara kepada manusia dengan cara manusia. Penafsir Kitab Suci harus menyelidiki dengan teliti, agar melihat, apa yang sebenarnya hendak dinyatakan para penulis suci, dan apa yang ingin diwahyukan Allah melalui kata-kata mereka (Bdk. DV 12,1).
KGK 110 Untuk melacak maksud para penulis suci, hendaknya diperhatikan situasi zaman dan kebudayaan mereka, jenis sastra yang biasa pada waktu itu, serta cara berpikir, berbicara, dan berceritera yang umumnya digunakan pada zaman teks tertentu ditulis. “Sebab dengan cara yang berbeda-beda kebenaran dikemukakan dan diungkapkan dalam nas-nas yang dengan aneka cara bersifat historis, atau profetis, atau poetis, atau dengan jenis sastra lainnya” (DV 12,2).
Atas prinsip ini, kita melihat konteks arti kata “bread” tersebut, yang menurut sastra (gaya bahasa) pada jaman itu, kata “bread (artos, Yunani)” tidak saja berarti roti makanan, tetapi juga adalah semua kebutuhan sederhana untuk hidup, yang terwakili dalam kata “bread/ artos” itu. Dengan demikian, jika ‘bread‘ diterjemahkan sebagai hanya ‘makanan’, maka malah menjadi tidak terlalu sesuai/ membatasi arti yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penulisnya.
Dalam hal ini, agaknya kita perlu menyadari adanya keterbatasan dalam hal terjemahan, karena terjemahan ke dalam bahasa Indonesia memang nampaknya tidak dapat secara persis/ ideal menggambarkan maksudnya. [Sejujurnya ini umum dalam hal terjemahan, sebab ada banyak kata- kata dalam bahasa Jawa, misalnya, yang juga tidak mempunyai padanan kata persisnya dalam bahasa Indonesia]. Sebab jika mau diterjemahkan secara benar- benar literal, maka harusnya diterjemahkan “berilah kami roti…” (Sedangkan kata supersubstantial ini dapat mengacu kepada makna roti setiap hari/ daily, maupun roti ‘yang istimewa’ sehingga mengacu kepada Ekaristi). Sayangnya, bagi orang Indonesia dan menurut gaya bahasa Indonesia, kata ‘roti’ ini tidak ‘berbicara’, karena makanan pokok kita adalah nasi. Lagipula menurut gaya bahasa Indonesia, “berilah roti” ini tidak mempunyai arti sebagai idiom. Jadi jika diterjemahkan secara literal sebagai ‘roti’, menjadi tidak pas dan tidak kontekstual juga bagi kita orang Indonesia. Karena itu, gereja- gereja yang non- Katolik di Indonesia menerjemahkannya sebagai “makanan”, walaupun sebenarnya terjemahan ini juga tidak tepat, karena yang dikatakan itu “bread/ roti” bukan “food/ makanan”.
Maka Gereja Katolik di Indonesia menerjemahkannya sebagai ‘rezeki’, kemungkinan karena mempertimbangkan maksud arti yang lebih luas dari kata “bread” itu tadi. Terjemahan ini sudah disetujui oleh pihak otoritas Gereja Katolik, maka mari kita menerimanya dengan kerendahan hati. Perbedaan terjemahan ini dapat dimengerti jika kita memahami faktanya, yaitu: 1) sebab tidak ada padanan kata dalam bahasa Indonesia yang secara persis menyampaikan maksud dari kata aslinya; 2) terjemahan yang ada sekarang, entah diterjemahkan ‘makanan’ atau ‘rezeki’ adalah merupakan terjemahan yang relatif terdekat untuk mengartikan kata tersebut; 3) Gereja Katolik melihat bahwa ‘rezeki’ merupakan terjemahan yang lebih baik daripada makanan, karena mencakup makna yang tersirat dalam kata ‘bread‘ itu, menurut gaya bahasa/ sastra penulis pada saat itu. Maka dalam menerjemahkan, Gereja Katolik di Indonesia memperhatikan hal- hal ini. Sebab jika ‘give us this day our daily bread‘ ingin diterjemahkan secara literal tentu harusnya ‘berilah kami hari ini roti untuk sehari’, tetapi tentu menjadi kurang kontekstual bagi kita di Indonesia yang pada umumnya makan nasi setiap harinya.
Jadi, yang terpenting adalah: kita memahami maknanya, dan walau ada keterbatasan dalam hal penerjemahan kata, namun tidak mengubah pengertian ataupun iman kita.
Scott Hahn, seorang apologist Katolik menuliskan artikel di link ini, silakan klik, dan menjabarkan bermacam makna kata ‘roti’. Roti di sini mempunyai makna tidak terbatas hanya sebagai makanan jasmani. Berikut ini cuplikannya:
“Pemberian roti di jaman dahulu adalah tanda kesejahteraan suatu kerajaan. Ketika kerajaan itu sedang jaya atau menang perang, maka para warganya menerima cukup roti “tanpa uang dan tanpa bayar” (Yes 55:1). Maka sejak zaman Kristen awal, “our bread/ roti kami” dalam doa Bapa kami diartikan tidak hanya sebagai kebutuhan- kebutuhan material, tetapi juga kebutuhan mereka akan persekutuan dengan Tuhan. Maka pemecahan roti juga berarti Ekaristi. “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2:42).
St. Agustinus mengajarkan bahwa terdapat tiga macam arti kata ‘roti’, yaitu:1) segala sesuatu yang kita butuhkan; 2) Sakramen Tubuh Kristus, yang kita terima setiap hari; 3) Makanan rohani kita, Sang Roti Hidup, yaitu Yesus…..” (St. Augustine, Our Lord’s Sermon on the Mount, in Scott Hahn, Understanding “Our Father”: Biblical Reflections on the Lord’s Prayer (Steubenville: Emmaus Road, 2002), 143-44)
Dengan demikian, sebenarnya penerjemahan “give us this day our daily bread” menjadi “berilah kami rezeki pada hari ini” sesungguhnya lebih tepat, sebab di sini daily bread adalah semacam idiom yang menurut pengertian aslinya mempunyai makna lebih dari sekedar makanan. Pemberian roti setiap hari mempunyai makna luas, yaitu kesetiaan Tuhan kepada umat-Nya (KGK 1334). Selanjutnya “our bread” memang diterjemahkan sebagai ‘rezeki kami’ dalam Katekismus Gereja Katolik, demikian:
KGK 2830 Rezeki kami. Mustahil bahwa Bapa, yang menganugerahkan kehidupan kepada kita, tidak memberikan juga makanan serta segala kebutuhan jasmani dan rohani lainnya bagi kehidupan itu. Dalam khotbah-Nya di bukit Yesus mengajarkan sebuah kepercayaan, di mana kita merasa terjamin dalam penyelenggaraan Bapa (Bdk. Mat 6:25-34). Dengan itu Yesus tidak menghendaki kita untuk menerima nasib secara acuh tak acuh (Bdk. 2 Tes 3:6-13). Ia ingin membebaskan kita dari segala kesusahan dan kecemasan yang menekan hati. Anak-anak Allah selalu membiarkan diri dalam penyelenggaraan Bapa mereka.
“Mereka yang mencari Kerajaan dan keadilan Allah, akan juga mendapat segala sesuatu yang lain sesuai dengan janji-Nya. Karena bila segala sesuatu adalah milik Allah, maka orang yang memiliki Allah tidak akan kekurangan apa pun, kalau ia sendiri tidak lupa akan kewajibannya terhadap Allah” (Siprianus, Dom. orat. 21)KGK 2835 Permohonan ini, dan tanggung jawab yang dituntutnya, berlaku juga untuk satu kelaparan lain, yang karenanya manusia binasa; “Manusia hidup bukan dari roti saja, melainkan dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat 4:4) (Bdk. Ul 8:3), artinya dari sabda dan dari napas Allah. Orang-orang harus melakukan segala upaya, supaya “mewartakan Injil kepada orang-orang miskin”. Di dunia ada satu kelaparan lain, “bukan kelaparan akan makanan, bukan kehausan akan air, melainkan akan mendengarkan firman Tuhan” (Am 8:11). Karena itu arti yang khas Kristen dari permohonan keempat [berilah kami rejeki hari ini] berhubungan dengan roti kehidupan. Itulah Sabda Allah yang harus kita terima dalam iman, dan tubuh Kristus yang kita terima dalam Ekaristi (Bdk. Yoh 6:26-58).
Dengan demikian, ‘berilah kami rezeki’ dimaksudkan juga sebagai rezeki jasmani; maupun rohani, yaitu Sabda Allah dan Kristus sendiri dalam Ekaristi. Maka “to give daily bread” itu mungkin menyerupai ungkapan “berilah kami sesuap nasi” yang memang walaupun menyangkut makanan, tetapi maksud di balik ungkapan itu tentu lebih dari sekedar nasi sesuap. Hal ini selain menyangkut gaya bahasa tetapi juga ‘common sense‘ yang berlaku dalam kehidupan jasmani kita sebagai manusia. Manusia memang tidak saja bisa hidup dari makanan, tapi juga minuman, udara, sandang, papan, dan semua itu tergabung dalam kata ‘rezeki’; walau ungkapan gaya bahasa yang dipergunakan itu hanya “bread“/ roti. Selanjutnya, kita mengingat Sabda Yesus bahwa manusia tidak hanya hidup dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah. Maka rezeki di sini tidak terbatas dalam hal jasmani, tetapi juga rohani. Hal inilah yang diajarkan oleh para Bapa Gereja, dan hal inilah yang diteruskan oleh Gereja Katolik; dan karena pemahaman inilah maka Gereja Katolik di Indonesia menerjemahkannya menjadi, ‘berilah kami rezeki pada hari ini’.
Kalo demikian beranikah kitab suci /alkitab kita kita ubah dari makanan secukupnya menjadi rejeki.
[Dari Katolisitas: Biarlah pihak otoritas yang berwewenang dalam hal ini yang memutuskan. Yang penting kita telah mengetahui duduk persoalannya, dan hal tersebut tidak menggoyahkan iman kita].
katolisitas yth: berilah kami rezeki pada hari ini,,,,,apakah ini berarti cukup kita minta rezeki utk hari ini saja, lantas apa hari2 esok tik perlu diusahakan? mohon penjelasan katolisitas…trims, salom
Shalom Simon,
Maksud permohonan ‘berilah kami rejeki hari ini’ adalah agar kita tidak menjadi serakah dan terlalu dipusingkan/ menaruh kekhawatiran akan kebutuhan di masa depan. Maka merencanakan untuk memenuhi kebutuhan di hari esok tetap dapat diusahakan, namun jangan sampai kita dikuasai oleh kekhawatiran tentang hal tersebut. Dalam hal memenuhi kebutuhan kita sehari- hari, kita tetap harus bekerja, sebab Kitab Suci mengajarkan agar kita tekun bekerja dan tak boleh bermalas- malas. Rasul Paulus mengajarkan, “… jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” (2Tes 3:10). Namun saat kita bekerja, jangan sampai kita diperbudak oleh pekerjaan kita sampai-sampai kita melupakan apa yang lebih penting daripada rezeki duniawi, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” (Mat 16:26)
Untuk itulah, Kristus mengajarkan kita agar kita berdoa memohon ‘rezeki pada hari ini’, agar kita dapat mempunyai sikap yang benar dalam menjalani kehidupan ini: kita mencukupkan diri dengan apa yang perlu untuk kehidupan di dunia ini, sambil mengarahkan pandangan kepada rezeki surgawi, yang mengarahkan kita kepada kehidupan kekal. Atas pengertian ini, para Bapa Gereja mengartikankan ‘rezeki hari ini’, juga sebagai Roti Hidup yang kita terima dalam Ekaristi, selain sebagai rezeki ataupun makanan jasmani.
St. Yohanes Krisostomus mengajarkan, “Karena kita hanya berdoa untuk rezeki hari ini, maka kita tidak perlu menjadi terlalu khawatir akan hari esok, tidak juga untuk hal- hal duniawi, tetapi untuk menjadi puas akan apa yang perlu, [dan] mengarahkan pikiran kita kepada sukacita surgawi.” (St. John Chrysostom, Homily xx.)
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.