[Hari Minggu Biasa ke XIII: 2Raj 4:8-16; Mzm 89:2-3,16-19; Rm 6:8-11; Mat 10:37-42]
Di dunia yang serba praktis dan cepat ini, berkembang mental untuk menolak segala bentuk ketidaknyamanan. Jika ketidaknyamanan saja ditolak, apalagi penderitaan. Dunia menganggap penderitaan sebagai sesuatu yang negatif dan harus dihilangkan. Bahkan di kalangan umat Kristen sendiri, ada sejumlah orang yang berpendapat bahwa tanda seorang benar-benar dikasihi Tuhan ialah jika ia tidak lagi menderita. Namun Gereja Katolik tidak mengajarkan demikian. Salah satu alasannya, adalah karena perkataan Tuhan Yesus sendiri yang dicatat dalam Injil hari ini. “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:38). Salib, atau penderitaan, merupakan jalan yang harus kita tempuh, untuk mengikuti Yesus. Sebab sejujurnya, selama kita hidup di dunia, penderitaan tidaklah sepenuhnya dapat dihindari. Tidak perlu dicari, penderitaan akan datang sendiri. Memang ada penderitaan yang datang karena kesalahan kita, tetapi ada juga yang bukan karena kesalahan kita. Juga, ada penderitaan yang harus kita terima, sebagai konsekuensi dari panggilan hidup yang kita jalani sebagai pengikut Kristus. Pendeknya, hidup kita sebagai murid Kristus tidak terlepas dari salib.
St. Agustinus mengajarkan adanya dua macam salib yang Tuhan perintahkan harus kita pikul. Pertama, salib yang jasmaniah dan yang kedua, salib yang rohaniah. Salib yang jasmaniah maksudnya adalah menahan nafsu yang tak teratur yang berhubungan dengan sentuhan, rasa, penglihatan dan seterusnya. Sedangkan dengan salib yang rohani adalah yang jauh lebih pantas kita perhatikan, Ia [Tuhan Yesus] mengajar kita untuk mengendalikan apa-apa yang disukai pikiran kita dan untuk mengekang dorongan-dorongan yang tak teratur, dengan kerendahan hati, ketenangan, kesederhanaan, kesopanan, damai sejahtera, dst. Sungguh berharga lah di mata Allah, dan sungguh mulia salib ini, yang menguasai dan mengatur semua gairah pikiran yang tak teratur, menurut aturan yang benar.
Mungkin sejenak kita dapat merenungkan, apakah salib yang sedang kita pikul pada saat ini… Sebab setiap kita memiliki jenis salib yang tidak sama. Walau secara umum kita ketahui bahwa salib itu berkenaan dengan bagaimana kita mengalahkan kecenderungan keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup, namun kadarnya untuk tiap-tiap orang berbeda. Demikian pula, apa yang disukai oleh pikiran itupun berbeda antara yang satu dan lainnya. Apa yang sangat menggoda bagi seseorang bisa jadi tidak terlalu masalah bagi orang lain. Namun intinya, kita dipanggil untuk memikul salib kita masing-masing, artinya mengendalikan tubuh dan pikiran untuk dapat mengatasi godaan-godaan yang kita hadapi. Bacaan Kedua menyatakan kepada kita bahwa penderitaan dapat dimaknai sebagai kematian kita terhadap dosa, supaya kita dapat dibangkitkan dan hidup di dalam Kristus. Penderitaan menjadi jalan yang harus dilalui agar kita dapat menemukan “kehidupan” yang sesungguhnya. Betapa banyak orang yang disembuhkan dari kesombongan setelah mengalami keterpurukan, entah karena penyakit, ataupun berbagai kesulitan hidup lainnya. Betapa banyak orang tidak lagi memusatkan pikiran kepada kesenangan duniawi, melainkan mensyukuri kehidupan hari demi hari, setelah pernah melewati masa-masa krisis dalam hidup! Betapa banyak orang yang justru mengalami kedekatan dengan Tuhan ketika sedang mengalami penderitaan! Betapa melalui penderitaan kita dapat belajar untuk lebih bergantung kepada Tuhan…
Sungguh, melalui penderitaan, kita sebenarnya dikuduskan. Kita dilatih untuk tidak menjadi sombong dan mengandalkan kekuatan sendiri, tetapi untuk mengandalkan kekuatan Tuhan. Dalam kelemahan, kita menjadi lebih mudah untuk bersandar kepada-Nya, sebab kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan dan apa yang kita capai, bukanlah merupakan jerih payah kita sendiri melainkan rahmat Tuhan yang bekerja di dalam kita. Maka penderitaan adalah semacam partisipasi kita dalam misteri Kristus, yaitu jalan yang menjadikan kita sedikit demi sedikit menyerupai Dia. Karena keselamatan kita diperoleh melalui sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, maka kita mesti mengambil bagian dalam sengsara-Nya, agar dapat memeroleh keselamatan itu.
Tersirat dalam Injil hari ini, bahwa salib juga berkenaan dengan bagaimana kita mengatur urutan cinta dalam kehidupan kita. Kata Yesus, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak layak untuk Aku” (Mat 10:37). Apakah artinya kita tidak boleh mengasihi keluarga kita? Tentu tidak demikian St. Hieronimus mengajarkan bahwa frasa yang perlu diperhatikan adalah “lebih daripada mengasihi Aku [Yesus]”. Sebab Allah tetaplah harus berada di tempat pertama dan utama dalam urutan kasih kita. Artinya, meski kita hidup berkeluarga, kita tetap harus menempatkan kasih kepada Allah di atas kasih kepada keluarga kita. Jika kita setia melayani keluarga kita, motivasinya adalah demi mengasihi Allah yang menghendakinya demikian. Dengan pemahaman ini, kita dikuatkan untuk melakukan tugas dan tanggungjawab sehari-hari, betapapun berat dan melelahkan. Sebab kita tahu apa yang kita lakukan adalah demi kasih kita kepada Allah, yang terlebih dahulu mengasihi kita. Dengan cara inilah kita mengambil bagian—walaupun dengan cara yang sangat sederhana—dalam salib Kristus. Dengan melakukan tugas-tugas kita dan menyatukannya dengan korban salib Kristus, kita mengambil bagian dalam karya keselamatan-Nya. Kita mengambil bagian dalam ketaatan-Nya, dalam kasih-Nya kepada Allah Bapa dan sesama.
Kasih kepada Allah ini pulalah yang mendorong kita untuk turut mendukung karya-Nya dalam diri sesama, terutama dalam diri para pelayan-Nya. Bacaan Pertama hari ini mengisahkan tentang seorang wanita yang kerap mengundang Nabi Elisa untuk singgah dan makan di rumahnya. Allah berkenan kepada apa yang dilakukan oleh wanita itu, dan mengaruniakan kepadanya seorang anak laki-laki. Demikian juga di Bacaan Injil, kita mendengar perkataan Yesus yang mengajak kita untuk bermurah hati kepada mereka yang melanjutkan karya-karya kerasulan, secara khusus, para imam. Karena dengan menyambut mereka, artinya kita pun menyambut Kristus yang mengutus mereka dan Allah Bapa yang mengutus Kristus (lih. Mat 10:41-42). Para imam adalah mereka yang memilih untuk mengambil cara hidup Yesus sebagai cara hidup mereka sendiri. Mereka secara lebih eksplisit mengambil jalan salib Yesus sebagai sebagai jalan hidup mereka. Mari kita mendukung para imam dengan doa-doa dan perhatian kasih; agar mereka tetap setia dalam panggilan hidup mereka dan menjadi teladan bagi kita semua. Dalam kesatuan sebagai anggota-anggota Tubuh Mistik Kristus, marilah kita memohon kepada Kristus, agar kerelaan-Nya untuk menebus dosa-dosa kita dengan sengsara dan wafat-Nya, menumbuhkan dalam hati kita kerelaan untuk mengikuti jalan salib-Nya, agar kelak kitapun disatukan dengan kebangkitan dan kemuliaan-Nya di Surga. Dengan sukacita kulambungkan Mazmur hari ini, “Kerelaan Tuhan hendak kunyanyikan selama-lamanya. Aku hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya, hendak menuturkan kesetiaan-Mu turun temurun. Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama-lamanya, kesetiaan-Mu tegak seperti langit… Tuhan Yesus, jadikanlah kami rela memikul salib kami dan mengikuti Engkau, seumur hidup kami. Agar kelak Kau gabungkan kami dalam kemuliaan-Mu selama-lamanya. Amin.”