Hidup seperti roller coaster. Itu salah satu jawab sok filosofis yang dulu pernah aku berikan ketika ditanya seorang teman. Roller coaster yang naik lagi turun tak tentu, cepat lagi lambat, dan kalau memang apes, bisa-bisa berhenti tengah jalan kapanpun karena mesinnya ngadat. Begitu juga dengan hidup, pikirku. Ya iya lah, wong saya melamun ini ketika dalam perjalanan menggunakan roller coaster tanpa rel : bus antarkota! Sama-sama menegangkan, sama-sama kencang dan lambat semaunya. Bedanya, kalau lagi apes, taruhannya adalah nyawa (Jreennggg!). Perjalanan aku lalui dengan lamunan yang terkantuk-kantuk. Maklum, balapan sama ayam bangun jam 3 subuh, lalu mengejar bus jam 04.00 pagi demi survey acara amal. Sesuatu banget.

Menjelang terbit matahari, beragam orang sudah mulai naik turun bus. Dari aki-aki (kakek) yang kelihatannya belum mandi pagi, pedagang asongan yang salah melafalkan ‘mizone’ kayak nama tukang kebun, hingga berbagai pengamen. Baik pengamen suaranya seperti Iwan Fals (fals terus maksudnya) maupun pengamen yang bisa jadi calon peserta X-Factor.

Salah satu pengamen menyanyikan lagu yang menarik hati. Lucu, simpel, tapi bermakna. Salah satu baitnya kira-kira berbunyi : “Gawe opo orang repot sing duniawi, kabeh harta mengko ora digowo mati”. Buat apa repot dengan hal duniawi, semua harta nanti tidak dibawa mati. Klise, sering didengar, tapi jarang dihayati. Saat refleksi sendiri, dengan mudahnya aku melihat bahwa aku masih melekatkan hati pada hal duniawi di sana sini. Maksudnya lepas bukannya tidak butuh sih, tapi bersikap lepas bebas. Kayak Ibu Teresa,”Aku menerima apapun yang Engkau berikan, dan aku akan memberikan apapun yang Engkau ambil”.

Tapi, bagaimana melepaskan diri dari kelekatan seperti itu? Lagipula untuk apa? Toh, selama masih hidup di dunia, semua hal duniawi itu dibutuhkan. Harta, pekerjaan, kedudukan. Kalau tidak ada, gimana bisa hidup? Ngomong memang mudah, praktek sendiri sulit. Apalagi mengajak orang melakukan hal serupa. Perjalanan yang melelahkan dan warna-warni ini (6 jam di bus hingga pantat tepos) ternyata menghantar pada secercah jawaban.

Tibalah aku di Sekolah Katolik di daerah terpencil tujuan. Gedung sekolah yang kecil itu berada di lahan yang sama dengan sebuah gereja stasi kecil. Di belakang gedung gereja percisss menjulang sebuah bukit, pemandangan yang sontak mengundang hati bergumam,”Ya, Allahku, Gunung Batu keselamatanku (Mzm 89:27)”. Kondisi gedung gereja cukup baik dan mampu menampung 200an KK Katolik di sekitarnya. Gedung sekolahnya? Memprihatinkan. Hanya ada 3 ruang kelas yang seadanya. Ruang Kepsek dan TU menjadi satu, dengan balok kayu penopang di tengah ruangan menahan kuda-kuda atap yang hampir runtuh. Berbagai bahan untuk lab kimia yang aslinya tidak beracun mungkin bisa mematikan karena kadaluarsa. Berbagai peta yang tergantung lebih kumal dari peta harta karun yang asli. Dari luar, bisa dilihat bagian atap sekolah yang meliuk ke dalam, nampak mulai menyerah pada usia. Menghitung mundur untuk terjun bebas kapan saja.

Di balik keprihatinan tersebut, perhatianku tertuju pada Allah. Kepala sekolah ini ternyata seorang pendoa tangguh. Beliau bersaksi, setelah berdoa rosario 40 hari untuk memohon bantuan Allah, kabar mengenai bantuan datang dari tim amal kami beberapa hari kemudian. Jawaban doa yang penuh penyelenggaraan Ilahi. Mungkin ini petunjuk untuk pertanyaan di atas tadi. Allah adalah Gunung Batu keselamatan, yang menyediakan semuanya sehingga tidak perlu takut kekurangan. Allah telah rela hadir di bumi, lahir di kandang domba, menjadi tukang kayu yang miskin. Allah yang sama rela hadir dalam tabernakel gereja stasi ini, tinggal di tengah desa orang-orang miskin dan sederhana di tengah keprihatinan. Allah yang hadir inilah yang mencukupkan apa yang dibutuhkan mereka.

Mungkin, aku melekat pada hal duniawi bukan karena kebutuhan, melainkan kemauan. Karena keserakahan dan keegoisan. Jika saudaraku di stasi ini untuk gedung sekolah layak saja sulit, apa hakku menuntut jalan-jalan ke luar negeri? Allah pasti mencukupkan, sehingga kita tidak perlu melekat pada hal duniawi. Kecuali ada egoisme, melekat erat pada Allah pasti mencukupkan. Tidak ada lagi yang dikhawatirkan karena bantuan-Nya pasti tepat waktu. Melekat erat padaNya, seperti gulali pada batang lidinya (atau lengket pada rambut kalau jadi korban keusilan anak-anak). Melekatlah pada tempat yang tepat : Allah Tritunggal Mahakudus.

2 COMMENTS

  1. “Dari luar, bisa dilihat bagian atap sekolah yang meliuk ke dalam, nampak mulai menyerah pada usia. Menghitung mundur untuk terjun bebas kapan saja.

    Di balik keprihatinan tersebut, perhatianku tertuju pada Allah. Kepala sekolah ini ternyata seorang pendoa tangguh. Beliau bersaksi, setelah berdoa rosario 40 hari untuk memohon bantuan Allah, kabar mengenai bantuan datang dari tim amal kami beberapa hari kemudian. Jawaban doa yang penuh penyelenggaraan Ilahi. Mungkin ini petunjuk untuk pertanyaan di atas tadi. Allah adalah Gunung Batu keselamatan, yang menyediakan semuanya sehingga tidak perlu takut kekurangan. Allah telah rela hadir di bumi, lahir di kandang domba, menjadi tukang kayu yang miskin. Allah yang sama rela hadir dalam tabernakel gereja stasi ini, tinggal di tengah desa orang-orang miskin dan sederhana di tengah keprihatinan. Allah yang hadir inilah yang mencukupkan apa yang dibutuhkan mereka.”

    LUAR BIASA SAUDARAKU…. MAU CARI YANG SITUASI SEPERTI KISAH SAUDARA…? LEBIH DARI CUKUP DI SINI… SY JADI BANGKIT LAGI MEMBACA TULISAN INI… KITA SALING MENDOAKAN YA… JMLU

  2. ‘Jika saudaraku di stasi ini untuk gedung sekolah layak saja sulit, apa hakku menuntut jalan-jalan ke luar negeri? Allah pasti mencukupkan, sehingga kita tidak perlu melekat pada hal duniawi.’

    jadi ter’senggol’ & ter’sentak’..
    meski belum sampai level menuntut tp tetap saja memiliki keinginan ‘ziarek’ ke vatican & tempat2 luar negeri-sambil fota foto & lupa akan kondisi masih adanya gereja2 yg membutuhkan bantuan.

    trima kasih Sdr.Ioannes atas renungannya.. trima kasih, membuka perspektif.

Comments are closed.