Pertanyaan:

Bu Ingrid,
Bagaimana ajaran katolik mengenai pemahaman meditasi dan kontemplasi, dan bagaimana pula perbedaannya karena akhir-akhir ini kita mengenal meditasi Kristiani dari Fr John Main OSB, seorang rahib Benedictin? Menurut Guigo (the ladder of monk), meditasi merupakan upaya memahami atau merenungkan karunia Allah sedangkan kontemplasi merupakan upaya merasakan indahnya karunia tersebut. Definisi lain mengatakan bahwa meditasi yang berasal dari kata meditare (“stare in medio”) berarti “berada di pusat,” sedangkan kontemplasi berarti bersama Allah di dalam hati kita.
Saya juga ingin bertanya tentang posisi manusia terhadap Allah menurut ajaran Katolik. Apakah manusia berhadapan dengan Allah seperti seorang hamba yang bertelut di hadapan sang Raja ataukah manusia boleh menjadi satu dengan-Nya seperti ajaran Alm Rm Dick Hartoko SJ, “manunggaling kawulo-gusti”? Dalam Alkitab kita memang menemukan ayat-ayat yang mendukung kedua pandangan tersebut. Dalam Lukas 10:42, Yesus mengatakan Maria telah memilih bagian yang terbaik yang tidak akan diambil dari padanya karena Maria telah duduk dekat kaki Tuhan dan mendengarkan perkataan-Nya. Sementara di dalam Yohanes 14:20, Yesus mengatakan, “Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu.”
Tuhan memberkati,

Andryhart

Jawaban:

Shalom Andryhart,
1) Jika kita melihat meditasi dan kontemplasi dalam tradisi doa Gereja Katolik, maka kita dapat melihat pengertian meditasi- kontemplasi yang anda sampaikan adalah benar. Dalam tradisi doa Karmelit, seperti yang diajarkan oleh St. Teresa dari Avila, dan diteruskan oleh Padre Tomas de Jesus (1587), maka terlihat meditasi dan kontemplasi merupakan dua metoda doa yang saling berkaitan. Ketujuh bagian dalam metoda doa Karmelit adalah: persiapan, pembacaan dari Alkitab/ bacaan rohani, meditasi, kontemplasi, ucapan syukur, permohonan, dan penutup.
Memang meditasi menurut St. Teresa dari Avila, sebaiknya diikuti oleh Prayer of recollection, yang artinya mengumpulkan semua usaha dari jiwa, yaitu, baik memori, imajinasi, intelek/ pemikiran, ataupun keinginan untuk dapat dipusatkan dan masuk dalam hadirat Allah. Langkah selanjutnya dari Prayer of recollection ini adalah Prayer of Quiet, yang menjadi awal dari kontemplasi. Di dalam bukunya “Puri Batin/ Interior Castle“, St. Teresa mengumpamakan sebuah ‘istana kristal’ yang berlapis-lapis yang ada dalam hati kita. Pada pusatnya hadirlah Yesus dengan terang-Nya yang memancar. Namun untuk sampai ke sana kita harus melalui lapisan-lapisan ‘bilik/ mansion‘ tersebut, yang totalnya berjumlah 7 lapisan. Pada lapisan awal itu terdapat banyak ‘binatang melata’ yang mengganggu kita, yaitu pikiran-pikiran yang mengganggu konsentrasi kita sewaktu berdoa. Nah, untuk menepiskan gangguan ini, menurut St. Teresa, seseorang harus mengumpulkan segenap kemampuan jiwanya, agar ia dapat terus memusatkan diri kepada Yesus yang ada pada lapisan yang terakhir (bilik yang ketujuh). Pada lapisan terakhir inilah kita mengalami persatuan dengan Allah yang menjadi tujuan kontemplasi. Maka terlihat di sini bahwa meditasi dan prayer of recollection tersebut merupakan langkah/ jalan menuju kontemplasi. Mungkin suatu saat nanti Katolisitas akan menuliskan apa saja ketujuh tahapan menurut St. Teresa tersebut, sehingga bersama kita akan dapat semakin memahami perjalanan doa menuju kontemplasi.

Nah, melihat pola tingkatan ini, maka ajaran Fr. John Main OSB dengan memperkenalkan cara meditasi dengan mantra Kristiani, ataupun ajaran Romo Yohanes O Carm tentang doa Yesus dengan ritme tarikan/ hembusan nafas, dapat dikatakan tidak bertentangan dengan tradisi doa meditasi Katolik. Dengan catatan, jika mau menggunakan ‘mantra’ untuk membantu, kata itu haruslah yang umum kita kenal dan kita ketahui artinya dalam tradisi Kristiani. Jika demikian, tentu hal ini dapat saja dilakukan, karena itu hanya merupakan cara memusatkan hati dan pikiran. Jika kita sudah terbiasa dengan ritme tersebut, maka akan lebih mudah bagi kita untuk menggunakan imajinasi atau pikiran kita untuk merenungkan tentang Allah. Jadi prinsipnya mirip dengan yang diajarkan oleh St. Teresa, bahwa kita perlu memusatkan segenap hati dan pikiran kepada Tuhan di dalam doa-doa kita. Ini sungguh merupakan perjuangan, karena memang tak jarang, begitu kita mulai berdoa, ada banyak pikiran yang dapat mengganggu konsentrasi kita. St. Teresa mengandaikan tahap pemula ini sebagai seorang petani yang harus bersusah payah menimba air sumur untuk mengairi sawahnya, sedangkan lama kelamaan jika tidak terlalu banyak usaha yang diperlukan, itu seumpama petani yang mengairi sawahnya dengan mengarahkan air dari sungai/ mata air.
Jika kita dengan disiplin melatih rohani kita dengan meditasi/ prayer of recollection, maka ada saatnya dimana doa bukan menjadi sesuatu yang sangat sulit/ merupakan perjuangan keras [untuk mengalahkan pikiran yang berkecamuk] namun hati yang terarah kepada Tuhan akan lebih mudah tercapai. Di sini, perlu kita ketahui bahwa ada dua jenis kontemplasi, yang pertama disebut acquired contemplation yaitu kontemplasi yang diperoleh dengan ‘usaha’ dari pihak kita, dan kedua, disebut sebagai infused contemplation, yaitu kontemplasi yang sungguh diberikan dari Allah sendiri.  Tentu kedua tahap ini mensyaratkan disposisi hati yang baik di dalam doa dan kehidupan rohani kita. Menurut St. Teresa, pure contemplation adalah infused contemplation, yang hanya dapat diberikan oleh Allah sendiri.Di akhir kontemplasi ini adalah pengalaman persatuan dengan Tuhan, dimana hanya kasih Allah yang begitu besar yang mengatasi segalanya, sehingga tidak dapat lagi diuraikan dengan kata-kata. St. Teresa mengandaikan hal ini sebagai seorang petani yang tidak perlu lagi mengairi sawahnya, karena hujan yang begitu deras telah turun dari surga dengan limpahnya, dan sang petani hanya menikmati siraman air kehidupan tersebut dengan kebahagiaan yang tak terlukiskan. Perlu juga diketahui, bahwa St. Teresa tidak merendahkan makna doa vokal/ dengan kata-kata. Sebab jika didoakan dengan sepenuh hati, maka doa vokal ini dapat pula menghatar seseorang kepada kontemplasi.

2) Melihat pengertian di atas, maka hubungan kita dengan Tuhan di dunia ini sesungguhnya meliputi kedua sisi yang anda sampaikan. Yaitu kita harus belajar bertumbuh dalam kerendahan hati untuk duduk di kaki Tuhan seperti Maria (Luk 10:42), dan mempunyai hati sebagai seorang hamba, yang mau dengan segenap jiwa dan tenaga berusaha melaksanakan kehendak-Allah. Namun, kita juga percaya, bahwa di tengah-tengah perjalanan hidup kita di dunia ini, Tuhan menyertai kita dan tinggal di tengah kita. Inilah yang secara khusus kita rayakan dan kita alami dalam Ekaristi Kudus. Walaupun, kita juga menyadari bahwa persatuan kita dengan Allah secara sempurna hanya terjadi di Surga, namun sementara hidup kita di dunia, Tuhan telah mengizinkan kita untuk mulai mengalami rahmat persatuan itu, melalui dan di dalam Gereja Katolik. Lumen Gentium 1 dan KGK 776 mengatakan, Gereja adalah sarana keselamatan bagi semua orang, “tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia.”
Memang pada akhirnya, jika kita sampai di surga nanti, yang ada tinggal persatuan kita yang sempurna dengan Tuhan, atau disebut juga dengan kontemplasi yang sempurna (beatific vision), di mana kita memandang Allah di dalam Dia dalam keadaan yang sebenarnya (1Yoh 3:3), karena kita telah dipersatukan dengan Kristus. Dalam hal ini, tepatlah apa yang disampaikan oleh Alm Rm Dick Hartoko SJ, “manunggaling kawulo-gusti”. Namun perlu kita ingat dalam persatuan antara kita dengan Allah ini tidak menjadikan kita manusia sebagai Allah. Setiap manusia akan tetap mempunyai identitasnya sendiri-sendiri, namun semuanya tergabung dalam kesatuan yang sempurna dalam kesatuan Umat Allah, sebagai satu Tubuh Kristus, yang dibangun sebagai Bait Roh Kudus, di mana Allah meraja di dalam semua (lih. 1Kor 15:28). Inilah tujuan akhir dari Gereja yang jaya di surga kelak.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

34 COMMENTS

  1. Dear Katolisitas;

    Belakangan ini, ada banyak kesalahpahaman mengenai praktek doa: baik “Meditasi Kristiani” oleh Fr. John Main OSB, “Doa Yesus, dan khususnya “Doa Keterpusatan/Centering Prayer” oleh Fr. Thomas Keating OCSO.

    Ada kekuatiran dari sejumlah kalangan kalau praktek doa ini meninggalkan spritualitas orthodox Gereja Katolik karena tercampur kedalam “spiritualitas timur” atau “TM/new age”. Kekuatiran ini diperparah oleh beberapa praktisi meditasi ini yg memang menyimpang, entah karena ketidak-tahuan mereka, ataupun mereka memang berniat indiferentisme atau sinkretisme.

    Untuk mengetahui maksud/tujuan “asli” praktek2 doa di atas, sumber terbaik adalah mendengar dari TANGAN PERTAMA. Sayang, Fr. John Main OSB sudah meninggal. Tetapi Fr. Thomas Keating masih hidup, berikut tulisan Beliau yg saya dapatkan untuk menjawaba kekuatiran belakangan ini.
    Fr.Thomas Keating beberapa tahun belakangan aktif di Komisi Kepausan untuk Inter-religious Dialogue, khususnya di bidang Inter-Monastic’s Traditions Dialogue.

    Kalau Katolisitas berkenan, mohon Tulisan ini ditampilkan di “page-one” agar memberikan gambaran yg berimbang kepada pembaca situs ini, dan juga sebagai pengarahan kepada para praktisi doa ini yang sangat banyak di Indonesia, di banyak paroki-paroki. Terima kasih.

    ========
    Clarifications Regarding “Centering Prayer*
    By Fr. Thomas Keating

    Cardinal Ratzinger’s (then Pope Benedict XVI -red) Letter to the Bishops of the Catholic Church on Some Aspects of Christian Meditation was not directed to Centering Prayer, which is the traditional form of Christian prayer, but rather at those forms of meditative practices that actually incorporate the methods of Eastern meditations such as Zen and the use of the Hindu mantras. The letter is chiefly concerned with the integration of such techniques into the Christian faith. It does not forbid their use and indeed, states, “that does not mean that genuine practices of meditation which come from the Christian East and from
    the great non‐Christian religions… cannot constitute a suitable means of helping the person who prays to come before God with an interior peace even in the midst of external pressures” (#28).

    Having noted this affirmation of the value of the Eastern practices when rightly integrated into Christian faith, may I point out that Centering Prayer is the one contemporary form of contemplative practice that does not make use of any of these techniques. The quotation from the Letter that the gift of contemplative prayer can only be granted through the Holy Spirit is precisely what we teach. Nor does Centering Prayer encourage a privatized spiritual journey or the seeking of spiritual experiences, but rather fosters the complete surrender of self in faith and love that leads to divine union. There is much greater danger in concentrating on oneself in discursive meditation and in intercessory and affective prayer, especially if one is preoccupied with one’s self feeling and reflections. In Centering Prayer one is not reflecting on one’s self or one’s psychological states at all.

    It is important to situate Centering Prayer in the context of the monastic tradition of LectioDivina. LectioDivina is the most traditional way of cultivating contemplative prayer. It consists in listening to the
    text of the Bible as if one were in conversation with God and God were suggesting topics for discussion. Those who follow the method of LectioDivina are cultivating the capacity to listen to the word of God at
    ever deepening levels of attention. Spontaneous prayer is the normal response to their growing relationship with Christ, and the gift of contemplation is God’s normal response to them.

    The reflective part, the pondering upon the words of the sacred text in LectioDivina, is called meditation, discursive meditation. The spontaneous movement of the will in response to these reflections is called oratio, affective prayer. As these reflections and particular acts of will simplify, one tends to resting in God or contemplatio, contemplation.

    These three acts –discursive meditation, affective prayer, and contemplation – might all take place during the same period of prayer. They are interwoven one into the other. One may listen to the Lord as
    if sharing a privileged interview and respond with one’s reflections, with acts of will, or with silence – with the rapt attention of contemplation. The practice of contemplative prayer is not an effort to make the mind blank, but to move beyond discursive thinking and the multiplication of particular acts to the level of communing with God, which is a more intimate king of exchange, a matter of the heart.

    In human relationships, as mutual love deepens there comes a time when the two friend convey their sentiments without words. They can sit in silence sharing an experience or simply enjoying each other’s presence without saying anything. Holding hands or a single word from time to time can maintain this deep communication.

    This loving relationship points to the kind of interior silence that is being developed in contemplative prayer. The goal of contemplative prayer is not so much the emptiness of the thoughts or the
    conversations as the emptiness of self. In contemplative prayer, one ceases to multiply reflections and acts of the will. A different kind of knowledge rooted in love emerges in which the awareness of God’s presence supplants the awareness of one’s own presence and the inveterate tendency to reflect on oneself. The experience of God’s presence frees one from making oneself or one’s relationship with God
    the center of the universe. The language of mystics must not be taken literally when they speak of emptiness or the void. Jesus practiced emptiness in becoming a human being, emptying himself of his rerogatives and the natural consequences of his divine dignity (cf. Phil. 2:5‐8). The void does not mean void in the sense of nothing at all, but void in the sense of attachment to one’s activity. One’s own reflections and acts of will are necessary preliminaries to getting acquainted with Christ, but have to be transcended if Christ is to share his most personal prayer with the Father which is characterized by total self surrender.

    Centering Prayer is only one method of developing contemplation and preparing oneself for this great gift of the Spirit. I would think it would have strong appeal for the people in the charismatic renewal movement, especially for those who enjoy the gift of tongues. The gift of tongues is already a form of contemplative prayer since one is fully aware of the presence and action of the Spirit without thinking about what one is saying.

    The practice of Centering Prayer is basically a waiting upon God with loving attentiveness, fulfilling the Gospel injunction, “Watch and Pray”. If one can accept the notion of prayer as primarily relationship with God, it becomes obvious that one’s relationship with God can be expressed without words, simply by a gesture or even by one’s silent intention to consent to God’s presence. This is not to deny the value of other forms of prayer which are normally necessary to prepare one for this level of relating to God. It simply moves one to a deeper dimension of intimacy with God. Thus, it is a more personal kind of prayer than discursive meditation and affective prayer. As a result, it enables one to penetrate to a greater degree the meaning of scripture and liturgical texts and symbols.

    The term “pantheistic”, often used in connection with Eastern practices, is ambiguous and misleading. A distinctions needs to be made between “pantheism” and “panentheism”, as is done in inter‐religious dialogue. Eastern practices are not necessarily pantheistic. Many forms of Buddhism and Hinduism are just as devotional as similar practices in the Christian faith, though directed, of course to their particular deities. Pantheism is usually defined as the identification of God with creation in such a way that the two are indistinguishable. Panentheism means that God is present in all creation by virtue of his omnipresence and omnipotence, sustaining every creature in being without being identified with any creature. The latter understanding is what Jesus seems to have been describing when he prays “that all might be one, Father, as we are one” and “that they may be one in us”. Again and again, in the Last Supper discourse, he speaks of this oneness and his intentions to send his Spirit to dwell within us. If we understand the writings of the great mystics rightly, they experience God living within them all the time.
    Thus the affirmation of God’s transcendence must always be balanced by the affirmation of his imminence both on the natural plane and on the plane of grace.

    The practice of Centering Prayer is simply offered to those who feel called to a deeper life of prayer and who are looking for a method that will help them to do so in the context of a very active life in the world. These people should not be deprived of such an opportunity on the basis of false fears raised by superficial understanding of Centering Prayer and a failure to recognize the significant distinction between traditional methods of preparing for the gift of contemplation, such as Centering Prayer, and the techniques of the Eastern spiritual traditions.

    Revised August 16, 2005

  2. salam damai,bu,,saya mau nanya..kalo roh kudus masuk dalam tubuh kita,apa yang akan kita rasa?karna,dulu,waktu saya berdoa utk novena 3 salam maria,,saya merasa tubuh saya melayang-layang,dan tubuh saya gementar dan,bibir saya ingin mengatakan sesuatu,tapi,ngga terkeluar,,jadinya..saya sangat ketakutan dan saya cepat-cepat habiskan doa itu,,,dan setelah habis,saya seperti ngga da hala tuju,contohnya,keluar kamar,masuk kamar,,bantu saya ya? siapa saja yang mempunyai jawapan,,,,GOD BLESS YOU!

    • Salam Marlena,
      Silahkan merenungkan apa yang Anda alami dengan informasi berikut ini. Silahkan cek juga ke KGK pada nomer-nome tersebut. Kegiatan Roh Kudus pada makhluk ciptaan ialah: memberi rahmat pada manusia (KGK 2003); menghidupi semua makhluk (KGK 703); Membimbing melalui rahmat menuju kebebasan rohani (KGK 1742); memungkinkan hubungan kita dengan Kristus (KGK 683), membangkitkan iman (KGK 683), menganugerahkan cinta sebagai anugerah yang pertama (KGK 733, 735). Lagi pula, dalam suratnya kepada umat Galatia, St Paulus memberi kita pedoman bagaimana hidup yang dalam roh jahat/ buah roh yang jelek dan apa tolok ukur jika dibimbing dalam Roh Kudus (Gal 5: 16-22). Roh Kudus mengarahkan kita pada pertobatan, membimbing kepada Kristus menuju Bapa dalam Gereja-Nya. Apakah pengalaman Anda membuat Anda mengalami buah-buah seperti tersebut?

      Salam
      RD. Yohanes Dwi Harsanto

  3. Dear Mba’ Inggrid

    Saya pernah menjalani meditasi sekitar tahun 1995, namun akhirnya saya memutuskan untuk berhenti berlatih karena di samping hal-hal baik yang diperoleh dari meditasi, saya menemukan juga hal-hal lain yang bersinggungan dengan supranatural.

    Dalam artian, salah satu hasil dari meditasi yang pasti adalah kepekaan, intuisi dan sensitivitas kita semakin tajam, namun pada taraf tertentu dan hanya pada orang tertentu juga bisa disertai dengan manifestasi supranatural, misalnya ‘merasakan’ kehadiran roh lain.

    Memang justru manifestasi ini tidaklah muncul selama menjalani meditasi karena pada saat itu pikiran kita diikat dengan mantra (dalam meditasi kristiani adalah ma-ra-na-tha, dan dalam doa Yesus adalah Ye-sus), namun bisa muncul kapan saja dan di mana saja sebagai akibat kepekaan seperti saya sebutkan di atas.

    Saat ini saya sedang mulai menjalani kembali praktek meditasi kristiani versi John Main, namun ada sedikit kekhawatiran munculnya kembali manifestasi di atas.

    Bagaimana ya sebaiknya menyikapi dan menghindari hal tersebut menurut iman katolik?

    Terima kasih

    • Shalom RK,

      Jika kita membaca review yang dilakukan oleh sebuah situs Katolik yang cukup baik, yaitu CatholicCulture.org, maka kita mengetahui bahwa hasil review tentang situs http://www.wccm.org -(the World Community for Christian Meditation didirikan oleh Fr. John Main) adalah:

      1) Kesetiaan ajarannya [terhadap ajaran Magisterium Gereja Katolik]: Berbahaya! – artinya ajaran yang disampaikan di situs itu banyak yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.
      2) Sumber/ narasumber: Kurang
      3) Usabilitas (apakah [informasinya] dapat berguna): baik

      Silakan membaca selanjutnya, di link ini, silakan klik.

      Penilaian ini sesungguhnya memprihatinkan, karena sesungguhnya jika kita melihat kepada ajaran awalnya dari Fr. John Main, sepertinya baik dan tidak ‘berbahaya’. Namun setelah Fr. Main wafat, kelompok yang didirikannya yaitu WCCM/ the World Community for Christian Meditation, cenderung mengundang pembicara-pembicara non- Katolik, yang secara tidak langsung memasukkan ajaran mereka yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Kristiani, sehingga nampaknya kita perlu waspada untuk menilai apakah yang disampaikan di sana sesuai dengan ajaran iman kita.

      Sejujurnya, terdapat perbedaan yang prinsip antara meditasi centering prayer (juga sering disebutTranscendental Meditation/ TM) dengan meditasi Kristiani. Silakan membaca di link ini, silakan klik, tentang perbedaan antara keduanya, dan kemiripan antara Centering Prayer dan Transcendental Meditation. Dan klik di sini untuk bahayanya melakukan centering prayer.
      Saya pernah mendengar langsung sebuah kesaksian dari seorang imam di Amerika yang malah harus didoakan secara khusus oleh seorang imam lainnya yang exorcist, agar dia dapat dilepaskan dari pengaruh Si Jahat oleh karena ia mempraktekkan TM dan menjadi salah satu pakar TM di Amerika. Imam pakar TM itu sendiri akhirnya baru mengetahui bahwa mantera yang sering diulanginya itulah yang menyebabkan pengaruh si Jahat tersebut. Setelah ia mengetahui tentang hal itu, ia aktif membagikan kesaksiannya agar umat Katolik jangan mengikuti TM.

      Jadi jika saya boleh menyarankan, jangan melakukan meditasi ala Fr. John Main yang juga menjurus ke TM (dengan menggunakan mantra untuk meninggalkan diri, sebagai pengosongan total), sebab hal itu tak sepenuhnya sesuai dengan prinsip meditasi Kristiani. Pengosongan total ini yang untuk beberapa orang dapat mengakibatkan ALC (altered level of consciousness) di mana seseorang menjadi rentan terhadap gangguan si Jahat.
      Maka jika mau mengadakan meditasi, silakan melakukannya dengan pengulangan kata yang sesuai dengan iman Kristiani, dan tanpa maksud secara total mengosongkan diri, melainkan pikiran dan hati tetap terarah kepada Tuhan).
      Lebih baik Anda membaca buku-buku doa/ meditasi yang ditulis oleh St. Teresa dari Avila, St. Yohanes Salib, St. Fransiskus dari Sales, St. Ignatius Loyola, dst, dan renungkanlah/ meditasikanlah yang tertulis di sana. Atau kalau mau lebih mudah, meditasikan peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus dalam doa rosario, atau dengan doa Yesus. Itu adalah cara yang mungkin paling sederhana, dan sudah pasti sesuai dengan ajaran iman Kristiani, dan karena fokusnya adalah Yesus, sudah pasti tak beresiko apapun sehubungan dengan ‘gangguan’ roh jahat.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

      • Dear Katolisitas, sekali lagi terima kasih atas ulasan Doa yg sangat baik ini.

        Dalam topik kali ini terlihat ada ambiguitas. Semula Anda melihat meditasi mantra John Main OSB dan metode Doa Yesus oleh Rm. Yohanes Indrakusuma OC (keduanya memang mirip) sesuai dgn Tradisi Kristiani. Tetapi dalam jawaban kepada RK, Anda menyarankan untuk menjauhi metode Doa Mantra oleh John Main (otomatis Anda juga tidak merekomendasi metode Doa Yesus oleh Rm.Yohanes OC).

        Dan tampaknya Anda dan link yg Anda sertakan mencampurkan antara Christian Meditation (Meditasi Mantra) oleh John Main OSB dengan metoda Centering Prayer oleh Thomas Keating OCSO. Dalam link yg bu Ingrid berikan, Christian Meditation diberi rate Fidelity = Poor! Bila kita teliti lebih lanjut alasan rate Poor tsb maka yg didapat adalah penjelasan mengenai Centering Prayer. Maka disini pembahasan jadi agak membingungkan bagi saya.

        CM (oleh John Main OSB) dan CP (oleh Thomas Keating OCSO) walaupun keduanya adalah metode untuk mempersiapkan peserta kepada comtemplative GIFT, tetapi keduanya metode yg sangat berbeda. Saya tidak begitu cocok dgn metoda CM tetapi sangat tertarik dgn metoda CP. Sejauh yg saya pahami, CP lebih membantu kita menajamkan awareness/consciousness, sedangkan CM (sejauh yg saya pahami) lebih membantu kita mengembangkan concentration.

        Dalam konteks 3 bentuk doa dalam tradisi Kristiani: ORATIO dan MEDITATIO bersifat “active & discursive” (menggunakan semua daya-daya jiwa: pikiran, emosi, imajinasi, memori. Dalam arti tertentu pendoa adalah subject/perenung dan Tuhan adalah object/yg direnungkan), sedangkan CONTEMPLATIO berwarna “pasive & receptive” (Tuhan adalah subject dan pendoa object). Antara ketiganya tidak ada yg lebih baik daripada yang lain, semuanya SAMA-BAIKNYA berdaya-guna merelasikan kita dgn Allah Tritunggal. Dalam banyak contoh kehidupan para Kudus, ketiga bentuk doa ini digunakan saling-bergantian dalam satu waktu. Siklus doa seperti ini seperti para Malaikat yang turun-naik Tangga Yakub.

        CP/CM adalah metode/cara mempersiapkan diri, CONTEMPLATIO adalah GIFT dari Tuhan. Tidak ada ajaran baru dalam CP dan CM, maka bila CP/CM dikatakan “danger” dalam hal apakah itu…? Link yg Anda berikan menyinggung dokumen CDF:”Some Aspects of Christian Meditation”, yang berbicara bahaya incompatibility dgn kepercayaan Timur dan New Ages. TETAPI DOKUMEN TERSEBUT SAMA SEKALI TIDAK MENYINGGUNG CP/CM, MAUPUN PRIBADI2 TERTENTU. Maka dokumen tsb semacam “general-guidance” yg harus diikuti oleh semua orang Katolik yg ingin mengembangkan hidup doa. Bahwa link Anda menyimpulkan bahwa CM/CP (yang kelihatannya penulisnya sendiri mencampur-adukkan) tidak kompatibel dgn dokumen CDF adalah hasil analisa penulis itu sendiri. Bandingkan dgn surat CDF untuk Anthony Mello SJ, Feneey SJ, dll yg menunjukkan jelas kesalahan suatu ajaran.

        Saya telah membaca keberatan2 penulis tsb, tetapi MAAF saya BELUM mendapatkan point yg benar-benar mantap sebagai dasar kita menolak CP dan CM. Mohon kiranya bu Ingrid/Katolisitas memberikan info bila ada sumber lain yang menjelaskan ARGUMENTASI KUAT bahwa CP dan CM tidak kompatibel dgn Tradisi Kristiani. Kesaksian negatif dari satu/dua orang bisa jadi subjective.

        Saya juga mempunyai pandangan sbb:
        (1) dokumen CDF direlease thn 1989, sedangkan CP dan CM mulai tumbuh juga sekitar th.1980-90. Jadi tampaknya terlalu dini bila disimpulkan dokumen CDF 1989 tsb dikeluarkan untuk menunjukkan kesalahan gerakan CP/CM yg baru tumbuh di periode yg sama. Sampai tahun 2012 ini setahu saya belum ada dokumen baru yg specific men-condemn metoda CP/CM. Bahkan CP/CM dilakukan aktif di beberapa Paroki di Indonesia.
        (2) Tuhan Yesus menyarankan kita melihat dari buahnya. Bila kita lihat figur Thomas Keating OCSO, sekarang sudah hampir 90th. Masuk Cistercian Order th.1944 (umur 21th). Ditunjuk sebagai Superior St. Benedict Monastery th.58, diangkat sebagai Abbot (menjadi bapa rohani sekian banyak Benedictine monks) th.1968. Setelah pensiun sd sekarang masih aktif memberi retret dan renungan. Selama 70th hidup imamat dan hidup sebagai pertapa (monk) dan memberi retret dan bimbingan pada banyak orang, blm ada skandal atau isu negatif ttg dia. Rasanya kita perlu ekstra hati-hati dan mempunyai argumentasi kuat untuk menjudge bahwa ajaran dia sesat.

        Dear bu Ingrid/Katolisitas, mohon masukan mengenai topik ini. Apakah CP/CM ini adalah salah satu koleksi bunga yg indah di taman Gereja, ataukah sekadar ilalang. Terima kasih.

        [Dari Katolisitas: pertanyaan ini digabungkan karena masih satu topik]

        oya ada sedikit tambahan. Transendental Meditation (TM) TIDAK berasal dari tradisi doa kristiani. Apakah TM ? Maaf saya sendiri tidak tahu karena saya sama sekali tidak pernah mempelajarinya. Ada kritikus-kritikus yg menuduh bahwa Thomas Keating dan John Main secara diam-diam mengemas ulang TM dgn bungkus Kristianitas. Apakah benar demikian ? Penjelasan inilah yg saya inginkan dengan argumentasi yg objective. Sekadar mengetahui bahwa Thomas Keating dan John Main mengajarkan meditasi rutin 2x sehari, dan pengikut TM juga melakukan meditasi 2x sehari, lalu menyimpulkan bahwa Thomas Keating dan John Main pengikut TM kurang argumentative.

        • Shalom Fxe,

          Terima kasih atas pengamatan Anda yang cukup baik atas jawaban saya. Mohon maaf jika terkesan ada ambiguitas, namun sebenarnya maksud saya adalah menyatakan bahwa walaupun pada dasarnya meditasi dengan menggunakan mantra itu baik (sepanjang matra tersebut ber-citra Kristiani, sebagaimana diajarkan oleh Fr. John Main dan Rm. Yohanes Indrakusuma O. Carm), namun jika tidak dilaksanakan sesuai dengan prinsip doa Kristiani, maka meditasi tersebut, dapat menyimpang dari tujuan doa menurut ajaran iman Katolik, dan dapat pula membuka kemungkinan adanya manifestasi gangguan yang bersifat rohani, sebagaimana yang ditanyakan oleh RK. (Saya sudah merevisi sedikit jawaban saya kepada RK tersebut, semoga sekarang menjadi lebih jelas).

          Nah prinsip/ hakekat doa menurut iman Katolik adalah dialog/ komunikasi dengan Tuhan atas dasar kasih- dan bukan semata sebagai ‘pengosongan diri’, seperti yang diajarkan oleh TM (Transcendental Meditation), yang bukan berasal dari tradisi Katolik. Selain itu, TM yang juga menekankan kepada ‘pengalaman rohani’ ataupun sebagai ‘pencerahan yang melampaui pengetahuan manusia’ itu juga harus diwaspadai, sebab hal ini merupakan dua penyimpangan doa yang dikecam oleh para Bapa Gereja sebagaimana yang disebut dalam dokumen CDF yang berjudul Orationis Formas -Tentang beberapa aspek dalam Meditasi Kristiani (silakan klik), dan yang ulasan ringkasnya telah saya sampaikan di sini, silakan klik. Dua penyimpangan fundamental dalam hal doa tersebut adalah: 1) Pseudognosticism yang menekankan pada ‘pengetahuan tingkat tinggi/ gnosis’, dan 2) Messalianism yang menekankan kepada ‘pengalaman’.

          Selanjutnya, untuk memeriksa tentang kesesuaian Christian Meditation (CM menurut Fr. John Main) dan Centering Prayer (CP menurut Fr. Thomas Keating) itu, mari mengacu kepada dokumen CDF tersebut, yang ditandatangani oleh Cardinal Ratzinger selaku Prefect, dan disetujui oleh Paus Yohanes Paulus II.

          CM ala Fr. John Main merupakan salah satu cara meditasi Kristiani, demikian pula dengan CP. Walaupun menurut Anda keduanya jauh berbeda, tetapi sesungguhnya keduanya memiliki kemiripan. Kemiripan itu justru ada pada pengulangan kata-kata di dalam doa tersebut yang menjadi jangkar pengikat dalam meditasi: Fr. Main menyebutnya sebagai mantra, dan bahkan menganjurkan agar kata itu disebut dengan jelas; sedangkan Fr. Keating menekankannya kepada intensi/ maksud diucapkannya kata tersebut, sehingga kata itu sendiri tidak perlu diucapkan. Melalui kata tersebut yang diulangi di dalam batin, maka kita diarahkan untuk tidak menghiraukan pikiran-pikiran lain yang mengganggu sewaktu berdoa, yang sering disebut sebagai ‘meninggalkan diri sendiri’ untuk sampai kepada Tuhan.

          Prinsip Meditasi Kristiani (CM) yang diajarkan oleh Fr. John Main, sebagaimana dapat dibaca di link ini, silakan klik, memang nampaknya tidak bertentangan dengan prinsip doa menurut iman Katolik. Namun di link tersebut, tepat di bawah prinsip-prinsip yang diajarkan Fr. Main, dicantumkan artikel yang dikutip dari sebuah buku yang ditulis oleh seorang Hindu tentang Christ-consciousness (Kesadaran Kristus). Dari sini kita lihat, walaupun mungkin Fr. Main tidak memaksudkannya demikian, namun terdapat kecenderungan sebagian orang untuk menghubungkan prinsip meditasi yang diajarkan oleh Fr. Main tersebut, dengan prinsip meditasi Hindu. Dan inilah yang perlu diwaspadai, sebagaimana disebutkan dalam dokumen CDF Orationis Formas tersebut.

          Di artikel yang ditulis oleh Sri Swami Krisnananda tersebut, tertulis prinsip-prinsip yang tidak cocok dengan ajaran Kristiani, terutama adalah prinsip yang memisahkan Kristus (yaitu Kristus yang menjelma menjadi manusia dalam sejarah) dengan Kesadaran Kristus (yang digambarkannya sebagai kesadaran Ilahi), seolah keduanya berbeda. Dalam iman Kristiani, Kristus tidak dapat dipisahkan sedemikian [Dalam iman Kristiani, kita mengimani Kristus yang mempunyai kodrat Allah dan kodrat manusia, yang keduanya satu dalam Pribadi Kristus]. Dipisahkannya Kristus dengan Kesadaran Kristus, membuka kemungkinan kesalahan persepsi seolah yang ada dalam meditasi adalah suatu ‘Kesadaran’, yang bukan Kristus itu sendiri, sehingga dengan demikian, dapat dipasangkan dengan banyak tokoh yang lain, menjadi ‘Kesadaran-Buddha’, ‘Kesadaran-Yogin’, dan seterusnya, yang akhirnya berujung pada mensejajarkan Yesus dengan tokoh-tokoh lainnya dan ini tentu tidak sesuai dengan ajaran Kristiani.

          Kecenderungan ini juga terdapat dalam CP (Centering Prayer) yang diajarkan oleh Fr. Thomas Keating. Dalam bukunya Open Mind, Open Heart, Fr. Keating mengatakan tentang salah satu metodanya, “The method consists of letting go of every thought during the time of prayer, even the most devout thoughts/ Metoda tersebut termasuk melepaskan semua pikiran sepanjang waktu doa, bahkan pikiran-pikiran yang paling saleh sekalipun.” ( p. 35). Nah tentu kalimat ini menimbulkan pertanyaan, mengapa demikian, sebab definisi doa menurut Katekismus adalah justru mengarahkan pandangan ke surga (lih. KGK 2558), dan yang artinya mengisi hati kita dengan pikiran-pikiran surgawi, dengan kasih kita yang tulus kepada Allah Tritunggal (Bapa, Putera dan Roh Kudus).

          Dengan prinsip kasih akan Allah Tritunggal ini, St. Teresa dari Avila mengajarkan cara meditasi yang paling sederhana, yaitu merenungkan doa Bapa Kami. St. Teresa mengatakan bahwa ada kalanya, saat ia merenungkan kata “Bapa”, ia dapat sampai pada tingkat kontemplatif, karena menyadari bahwa begitu besar dan dalamnya kasih Allah, hingga memperbolehkan mahluk ciptaan-Nya untuk memanggil-Nya dengan sebutan yang begitu erat, bagai seorang anak kepada ayahnya. Dalam lautan kasih Allah ini, St. Teresa mencapai persatuan secara mistik dengan Tuhan, dan ini dicapainya bukan dengan cara membuang semua pikiran, termasuk pikiran tentang Tuhan. Sebaliknya, justru pikirannya terus terarah kepada Kristus, dalam kesatuan dengan Bapa dan Roh Kudus, sehingga Allah mengizinkannya mengalami pengalaman mistik persatuan dengan Allah. St. Teresa mengajarkan dalam bukunya Interior Mansion (Puri Batin) demikian: “Pikiran harus mengambil bagian agar sesuatu dapat disebut sebagai doa” (Peter Thomas Rohrbach, Conversation with Christ, by St. Teresa of Avila (Rockford, IL: Tan Publishing Co.) p.78, quoting St. Teresa of Avila, Interior Mansion, P. I. i.). Pikiran ini, tentu saja adalah pikiran yang terarah pada Kristus. Oleh karena itu, St. Teresa mengajarkan kepada para biarawati di kongregasinya untuk merenungkan Kisah Sengsara Kristus dalam meditasi mereka sebagai persiapan kontemplasi.

          St. Ignatius dari Loyola, dalam tulisannya Spiritual Exercises/ Latihan Rohani, juga mengajarkan banyak meditasi, yang berpusat pada Kristus, sebagaimana pernah diulas di artikel ini, silakan klik. Hal yang serupa diajarkan oleh St. Yohanes Salib, St. Fransiskus dari Sales, St. Teresia Kanak-kanak Yesus, St. Faustina Kowalska dan banyak orang kudus lainnya.

          Paus Yohanes Paulus II dalam homili tanggal 1 November 1982 juga menekankan pentingnya memusatkan doa kepada Kristus, dan “untuk menolak metoda-metoda doa yang tidak diinspirasikan oleh Injil, yang cenderung untuk menyingkirkan Kristus, dan menggantikan-Nya dengan kekosongan mental yang tidak masuk akal menurut iman Kristiani. Metoda doa yang sah adalah metoda yang diinspirasikan oleh Kristus dan memimpin kepada Kristus, yang adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup.” (Yoh 14: 6, Lih. Homilia Abulae habita in honorem Sanctae Teresiae: AAS 75 (1983) 256-257]. Maka sungguh tepat jika Katekismus mengajarkan bahwa doa harus merupakan “pandangan iman yang tertuju kepada Kristus” (lih. KGK 2715).

          Para orang kudus itu tidak membicarakan tentang ‘kesadaran murni’/ ‘pure consciousness‘, yang umum diajarkan oleh para ahli/ pengajar Transcendental Meditation (TM). Entah sengaja atau tidak, Fr. Thomas Keating, salah satu tokoh sentral tentang Centering Prayer (CP) juga menyebutkan tentang kesadaran murni/ pure consciousness tersebut, demikian: “As the Spirit gradually takes more and more charge of your prayer, you may move into pure consciousness, which is an intuition into your True Self” (p.51). “True Self/ Jatidiri yang sejati” ini menurut Fr. Keating adalah: “Tuhan dan jati diri kita tidak terpisahkan. Walaupun kita bukan Tuhan, Tuhan dan jatidiri kita adalah sesuatu yang sama” (p. 127). Pernyataan ini sesungguhnya cukup problematik, sebab kita sebagai mahluk ciptaan tidak pernah menjadi sama dengan Tuhan Pencipta kita.

          Istilah “True Self” sesungguhnya berasal dari ajaran Hindu. Menurut seorang mantan pakar New Age, Johnnette Benkovic, umat Hindu percaya bahwa: “The self is none other than Brahman or god . . . The true self is God. The “I” which I consider myself to be is in reality the not-self. This “not-self” is caught in a world of illusion, ignorance and bondage. You must lose your personal ego-consciousness into god. You must say I am Brahman.” (Johnnette Benkovic, The New Age Counterfeit, (Faith Publication Co), 1997, p. 10-11)

          Tokoh Centering Prayer (CP) lainnya, Fr. Basil Pennington juga terkenal sebagai pendukung TM, dan bahkan tanpa ragu memperbolehkan umatnya untuk mengikuti TM tersebut, walaupun mantra yang digunakan adalah mantra dalam agama Hindu. Padahal meditasi agama Hindu ternyata dapat mengarah kepada keadaan ASC (altered states of cosnciousness) yang menjadikan orang yang bermeditasi menjadi rentan terhadap kuasa lain yang bukan kuasa Tuhan. Itulah sebabnya beberapa umat yang mengikuti TM, bahkan di antaranya juga ada imam, kemudian dapat mempunyai gangguan keterikatan dengan kuasa kegelapan, sebagaimana diakui oleh Fr. Robert Thorn, yang sempat saya dengar sendiri, dalam kesaksian imannya di salah satu acara seminar di Wasau, Wisconsin, USA sekitar tahun 2009/ 2010. Fr. Thorn terlepas dari ikatan tersebut setelah rekan imam yang lain melakukan eksorsisme atasnya yang dilakukan dalam beberapa sesi selama beberapa hari.

          Kesimpulan:

          Agaknya kita perlu waspada akan metoda-metoda meditasi yang ditawarkan di sekitar kita. Jika kita mau melakukan meditasi, selayaknya kita memilih metoda yang sudah jelas sesuai dengan iman Kristiani. Metoda pengulangan kata/ mantra Kristiani sesungguhnya tidak berbahaya, sepanjang tetap disadari sebagai ungkapan doa, ungkapan kasih kita kepada Allah. Meditasi yang baik selalu berpusat pada Kristus dan karya penyelamatan Allah yang dilakukan Kristus oleh kuasa Roh Kudus. Oleh karena itu, permenungan akan ayat-ayat Kitab Suci, perikop dalam Kitab Suci, kisah sengsara Kristus, peristiwa-peristiwa hidup Yesus sebagaimana dalam doa rosario, doa Bapa Kami, adalah topik-topik yang baik untuk direnungkan dalam meditasi Kristiani.

          Metoda meditasi yang diajarkan oleh Fr. John Main (CM dengan mantra Kristiani yang diucapkan) ataupun Centering Prayer yang diajarkan oleh Fr. Thomas Keating (CP yang berfokus pada intensi, dengan menggunakan mantra yang tidak diucapkan) harus kita sikapi dengan kritis, agar tidak menyimpang dari ajaran iman Kristiani. Sebab perlu kita ingat, bahwa hakekat doa Kristiani adalah dialog dengan Tuhan atas dasar kasih, sehingga jika dialog ini tidak ada, maka meditasi itu bukan doa.

          Jika Anda bertanya apakah CM dan CP merupakan bunga atau lalang dalam taman Gereja, maka saya rasa Anda sendiri sudah dapat menjawabnya. Sebab sepanjang CM dan CP itu dilakukan masih dalam koridor iman Kristiani, dapat saja metoda itu dapat membantu untuk mengarahkan hati kepada Tuhan, dan artinya itu baik. Namun perlu diakui, bahwa sekarang ini pada prakteknya, ternyata ada banyak penyimpangan yang cenderung mencampuradukkan paham non-Kristiani ke dalam praktek meditasi Kristiani, sehingga dapat membahayakan iman orang yang melakukan meditasi. Keadaan inilah yang perlu diwaspadai.

          Jika Anda ingin mengetahui tentang Transcendental Meditation (TM) silakan anda mencari di google, ada banyak sekali informasi tentang hal itu. Namun dari ulasan di atas, dan panduan dari CDF tentang Meditasi Kristiani, sesungguhnya kita sudah dapat menangkap bahwa kenyataannya secara obyektif memang terdapat kemiripan antara praktek CM ala Fr. Main ataupun CP menurut Fr. Thomas Keating dengan TM. Setidaknya itu nampak dari situs CM Fr. John Main (dan situs resmi CM yang banyak memuat ulasan dari para tokoh meditasi non-Katolik) dan pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh CP itu sendiri, yang sepertinya hampir serupa dengan penyataan yang dapat kita baca dalam tulisan para pakar TM. Mohon maaf, saya tidak dapat menulis ulasan kemiripan tersebut satu-persatu karena keterbatasan waktu, namun secara umum, sudah cukup jelaslah apa yang dapat diterima dan tidak dapat diterima dalam CM dan CP, jika kita berpegang kepada dokumen CDF tersebut.

          Demikian tanggapan saya akan komentar Anda, semoga berguna.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • bu Inggrid,
        Jika memang meditasi ala Fr. John Main berbahaya terhadap keimanan kita, apakah hal tsb juga diketahui dalam hirarki Gereja katolik?
        Yang kedua,banyak penerbit buku Katolik mencetak buku Fr. John Main, jika buku tersebut tidak ditarik akan menimbulkan banyak penyimpangan dalam prakteknya. Kira-kira apa yang sudah dilakukan oleh KWI?

        Demikian, mohon tanggapannya.

        Damai Kristus

        • Shalom Yosafat,

          Meditasi ala Fr. John Main (dengan menggunakan pengulangan mantra Kristiani) yang dilakukan di dalam koridor iman Kristiani tidaklah berbahaya terhadap keimanan kita. Namun harus diakui bahwa dewasa ini terdapat kecenderungan penyimpangan, dengan masuknya banyak istilahdan paham non-Kristiani sehubungan dengan metoda meditasi tersebut. Nah, hal kecenderungan penyimpangannya inilah yang perlu diwaspadai, dan pihak kepausan dalam hal ini CDF (Kongregasi Doktrin Iman) telah mengeluarkan panduannya. Silakan membaca langsung dokumen tersebut, di link ini, silakan klik; atau ulasan tentang dokumen tersebut di situs ini, silakan klik. Sedangkan tentang mengapa Christian Meditation (CM ala Fr. John Main) dan Centering Prayer (CP ala Fr. Thomas Keating) perlu disikapi dengan kritis, silakan klik di sini.

          Saya mempersilakan Anda membaca terlebih dahulu ulasan di link-link tersebut, sehingga Anda dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi bermacam metoda meditasi yang ada dewasa ini.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

  4. Bu Inggrid mau nanya: bolehkah melakukan meditasi doa Yesus tanpa pendamping yang berpengalaman?

    [dari katolisitas: Tidak menjadi masalah untuk melakukan doa Yesus secara pribadi.]

  5. dear , katolisitas
    saya ingin menanyakan mengenai meditasi katolik ,
    – saya pernah mengikuti meditasi katolik yang diadakan oleh gereja ,
    1. kami peserta di beri pengetahuan tentang cara masuk dalam keheningan , yaitu dengan membuka cakra – cakra manusia , kalau tidak salah dari aliran tertentu yang saya lupa namanya
    2. setelah itu kita berdoa secara katolik , dan mulai mengambil posisi duduk yang relax dan mulai mengambil nafas teratur dari hidung dan dimasukan ke ulu hati dan ditekan terus sampai kepusar , dan di teruskan sampai ke cakra dibawah , (maaf ) , diantara dubur dan kelamin , semua itu kita latih dalam beberapa sesi dan setiap pencapaian cakra , kita dilatih untuk merasakan adanya aliran tenaga dan energi tersebut lama kelamaan akan terasa dan menembus cakra mahkota dan energi akan berputar putar di cakra mahkota , disitulah kita nanti di katakan mengalami suatu keheningan kontemplasi bersama tuhan
    3. di dalam mengatur nafas kita boleh menyebut nama tuhan atau mantra ayat kitab suci seperti : menyebut maranatha , yesus , dsb
    4. dan saat telah memasuki kontemplasi , peserta akan di tanya mendapat pengalaman apa : seperti ada peserta yang bertemu Tuhan Yesus dan becakap cakap dengan Tuhan Yesus
    – saya akhirnya tidak menyelesaikan karena hal tsb saya anggap tidak benar , karena saya juga pernah belajar reiki , dimana yang ikut juga dari berbagai agama dan ada beberapa suster katolik juga , tetapi saya tidak selesaikan juga , sebab ada sesi tertentu yang membayangkan roh kita melihat tubuh kita , dan disitu saya merasakan roh saya hampir keluar / meraga sukma , dan batin saya berteriak , jangan diteruskan , semua itu adalah ilmu sihir dan pada teori reikipun peserta bisa menyembuhkan orang pada hari masa lampau , misal hari ini tanggal 13 oktober 2011 , kita bisa menyembuhkan seseorang pada tanggal 1 oktober 2011
    – saya memang sangat menyayangkan begitu banyak penipuan meditasi yang berdalih katolik , terutama tanpa pendampingan romo yang kompeten , dan dari ulasan diatas memang tidak ada aturan baku tentang meditasi sehingga bisa dicampur aduk ajaran / sihir dsb , meskipun banyak umat katolik berpikir , asal berdoa secara katolik , sebut nama Tuhan segala sesuatu dimungkinkan untuk dibenarkan
    – saya lebih setuju semacam doa yesus , yaitu tanpa suatu variasi tertentu , hanya menyebut mantra Tuhan Yesus saja , dan tanpa berpikir yang lain , hanya tujukan pada yesus saja , tanpa menginginkan gaib / energi yang terjadi , apa yang terjadi terjadilah , asal sesuai ajaranMu Tuhan
    – jadi bagaimanakah sebetulnya patokan baku yang benar , yang bisa jadi pengangan bila ada seseorang mengajak meditasi katolik , untuk mencapai kontemplasi dan mengalami kasih Tuhan didalamnya , sebab banyak juga umat yang rindu akan meditasi dan kontemplasi dan apakah berdoa rosario juga bisa disebut meditasi dan kontemplasi
    – terimakasih bila ada penjelasan dari team
    GBU

    • Shalom Yongky,

      Sepanjang pengetahuan saya tidak ada dokumen Gereja ataupun tradisi Katolik yang mengajarkan meditasi dengan membuka cakra ataupun menutup cakra. Maka memang memperihatinkan jika sampai ada meditasi semacam itu dilakukan oleh paroki/ diperbolehkan untuk dilakukan di kompleks gedung gereja Katolik. Anda benar, bahwa meditasi Katolik yang benar hanya memfokuskan diri kepada Pribadi Yesus [dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Roh Kudus]. Maka doa Yesus ataupun pengulangan suatu ayat dalam Kitab Suci dapat dilakukan untuk maksud itu. Sedangkan hal energi ataupun cakra tidak berasal dari tradisi Katolik. Ajaran yang mengatakan bahwa roh bisa meninggalkan badan pada saat meditasi, juga bukan berasal dari tradisi Katolik.

      Maka, jika Anda mau bermeditasi dan berdoa kontemplasi, pilihlah doa yang yang sesuai dengan ajaran iman Katolik. Anda dapat berdoa Jalan Salib, ataupun doa Rosario sambil merenungkan peristiwa- peristiwa hidup Yesus. Atau, meniru teladan St. Teresa dari Avila, Anda dapat merenungkan Doa Bapa Kami, yang sesungguhnya maknanya sangat dalam. St. Teresa kerap mencapai kontemplasi hanya dengan merenungkan makna kata “Bapa”. Mari kita belajar dari St. Teresa dan para orang kudus lainnya yang berdoa dengan cara yang sederhana, sebab kepada orang- orang yang kecil dan sederhana Tuhan berkenan menyatakan kehendak-Nya (lih. Mat 11:25).

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

  6. Selamat pagi, bapak-ibu yang diberkati Tuhan. Sebelumnya, saya mengucapkan terimakasih atas web ini. Sungguh! Sungguh sangat berguna dalam perjalanan iman saya. Saya pribadi semakin mencintai ajaran katolik dan sangat terdorong menekuni ajaran katolik karena web ini. Semoga kita semakin menyerupai Yesus.

    Dalam kesempatan ini, saya ingin bertanya mengenai:
    – metode meditasi yang saya temukan dalam kumpulan artikel di alamat web ini:
    http://gerejastanna.org/category/renungan/meditasi/

    Apakah Meditasi Mengenal Diri yang dibahas di sana sesuai dengan ajaran katolik?
    Karena sepemahaman saya, yang saya baca di kumpulan artikel di sana, sepertinya mirip dengan meditasi zen.

    – apakah pengalaman kontemplasi Bernadette Roberts sesuai dengan ajaran katolik? Saya mendapatkan ebook dan membaca ebooknya dari web itu juga, tepatnya inilah alamatnya:
    http://gerejastanna.org/pengalaman-tanpa-diri-oleh-bernadette-roberts/

    Terima Kasih sebelumnya.

    Tuhan Yesus memberkati

    • Shalom Tommy Gunawan,

      Terus terang, saya tidak mendalami mengenai meditasi ala Bernadette Roberts, sehingga kemungkinan jawaban saya tidak memuaskan anda. Tetapi dari sekilas yang saya baca tentang kutipan- kutipannya, saya juga mempunyai kesan bahwa meditasi -kontemplasi yang diajarkannya memang tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang saya ketahui diajarkan oleh para mistik Katolik, seperti St. Teresa Avila dan St. John the Cross (Yohanes Salib), terutama karena Bernadette Roberts mengklaim bahwa akhir dari kontemplasinya itu seolah satu langkah lebih maju daripada yang diajarkan oleh baik St. Teresa maupun St. Yohanes Salib. Berbeda dari para kudus yang memulai langkah spiritual dari tahap purgative (pemurnian), illuminative (penerangan), dan unitive (persatuan) maka Bernadette memulainya langsung di tahap unitive (persatuan dengan Allah), lalu ke tahap no-self (tidak ada “aku”) lagi, seperti yang dipaparkan dalam bukunya The Experience of No-Self.

      Nah yang agak ‘aneh’ bagi saya adalah sewaktu ia mengatakan bahwa dengan pengalaman ‘tidak ada aku’ itu artinya juga adalah ‘tidak ada Tuhan’ (“Where there is no personal self, there is no personal God.”-p.24) Padahal Gereja Katolik berdasarkan, berdasarkan Wahyu Ilahi bahwa Allah itu tetap ada, tidak pernah bisa tidak ada. Tuhan juga ada dalam Tiga Pribadi (yaitu Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus). Jadi Tuhan adalah Tuhan yang Personal/ Pribadi, bukannya hanya Sesuatu. Lalu bahwa akhir dari perjalanan spiritual ini adalah ‘kekosongan total’/ ‘absolute nothingness‘ (p. 81), sehingga seolah menjadi mirip dengan ajaran Buddhism.

      Saya jadi teringat pada tulisan yang dikeluarkan oleh Cardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) sewaktu menjabat sebagai Prefect Congregation of the Doctrine of the Faith (CDF), tentang pernyataan pihak Vatikan sehubungan dengan tulisan- tulisan Pastor Anthony de Mello, yang sebagian di antaranya dikatakan sebagai ‘tidak sesuai dengan iman Katolik dan membahayakan’. (incompatible with the Catholic faith and can cause harm):

      Especially in his early writings, Father de Mello, while revealing the influence of Buddhist and Taoist spiritual currents, remained within the lines of Christian spirituality. In these books, he treats the different kinds of prayer: petition, intercession and praise, as well as contemplation of the mysteries of the life of Christ, etc.

      But already in certain passages in these early works and to a greater degree in his later publications, one notices a progressive distancing from the essential contents of the Christian faith. In place of the revelation which has come in the person of Jesus Christ, he substitutes an intuition of God without form or image, to the point of speaking of God as a pure void. To see God it is enough to look directly at the world. Nothing can be said about God; the only knowing is unknowing. To pose the question of his existence is already nonsense. This radical apophaticism leads even to a denial that the Bible contains valid statements about God. The words of Scripture are indications which serve only to lead a person to silence. In other passages, the judgment on sacred religious texts, not excluding the Bible, becomes even more severe: they are said to prevent people from following their own common sense and cause them to become obtuse and cruel. Religions, including Christianity, are one of the major obstacles to the discovery of truth. This truth, however, is never defined by the author in its precise contents. For him, to think that the God of one’s own religion is the only one is simply fanaticism. “God” is considered as a cosmic reality, vague and omnipresent; the personal nature of God is ignored and in practice denied.” (CDF, Notification concerning the writings of Father Anthony de Mello, SJ, June 24, 1998)

      Melihat adanya kemiripan prinsip yang diajarkan oleh Bernadette Roberts dan tulisan dari Father Anthony de Mello ini, maka jika saya boleh mengusulkan, silakan anda berhati- hati dalam melakukan/ menerapkan meditasi ala Bernadette Roberts ini. Sebab meditasinya itu sendiri sebenarnya baik karena meningkatkan kesadaran akan diri sendiri dan kesadaran akan Tuhan; tetapi jika yang menjadi tujuan adalah “pure void“/ absolute nothingness, ini tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik. Menurut hemat saya, perjalanan menuju Unitive way (persatuan) dengan Tuhan ini bukanlah hal yang mudah, sehingga langsung mengandaikan diri bahwa seseorang sudah mencapai tingkat ‘unitive way‘ ini menurut saya agak tergesa- gesa. Sebab jika kita membaca perjalanan spiritual ala St. Teresa dan Yohanes Salib, persatuan dengan Tuhan ini tidak dapat dicapai secara instan dan menetap sifatnya. Saya tidak cukup mengenal Bernadette Roberts sehingga saya tidak mengetahui apakah hidupnya di luar kehidupan spiritualnya juga mencerminkan persatuan dengan Tuhan yang total itu? Sebab persatuan dengan Tuhan yang sempurna, juga membawa akibat kepada kehidupan nyata sehari- hari (tidak hanya terbatas pada pengalaman rohani saja); sehingga dalam diri orang yang mengalaminya terdapat gabungan antara sikap Maria dan Martha, berdoa dan bekerja dalam persatuan sempurna dengan Kristus. Sesungguhnya, ini bukan hal sederhana, dan menurut pengalaman para kudus, merupakan perjuangan keras yang harus diusahakan secara terus menerus. Sebab seseorang yang sudah mencapai tahap yang persatuan itu sekalipun, harus berjuang untuk mempertahankannya agar ia tidak ‘jatuh’ ke tingkat pemula/ yang lebih rendah.

      Demikian tanggapan saya, semoga berguna.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Syalom bu Inggrid…
        dikatakan menurut Bapa Paus Benediktus XVI (sewaktu kardinal Ratzinger) tentang ajaran Pater Anthony de Mello sbb:
        “Especially in his early writings, Father de Mello, while revealing the influence of Buddhist and Taoist spiritual currents, remained within the lines of Christian spirituality. In these books, he treats the different kinds of prayer: petition, intercession and praise, as well as contemplation of the mysteries of the life of Christ, etc.

        But already in certain passages in these early works and to a greater degree in his later publications, one notices a progressive distancing from the essential contents of the Christian faith.

        Bolehkah ibu memberikan kami buku2 mana yang sekiranya sudah menyimpang dari ajaran Kristiani sehingga kami sebagai umat awam menjadi ‘aware’ .
        Terima kasih sebelumnya.

        Berkah Dalem

        • Shalom Yosafat,

          Saya juga sudah membaca tulisan-tulisan R. Anthony de Mello, memang ada banyak yang baik. Tetapi jika kita terus membaca karya-karyanya, lama kelamaan secara implisit kita dapat menangkap, seolah-olah pencerahan itu dapat diperoleh sendiri secara pribadi dalam keheningan, dan bukan melalui Kristus. Saya tidak ingat secara persis di judul yang mana, karena saya membaca buku- bukunya dua puluhan tahun yang lalu. Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) pernah secara khusus menulis komentar tentang karya R. Mello, pada tahun 1998,yang ada di link http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_doc_19980624_demello_en.html

          Kardinal Ratzinger mengatakan bahwa di awal karyanya R. Mello memang masih setia dengan pengajaran Katolik, tapi lama kelamaan cenderung menyimpang, dengan memperkenalkan sosok Tuhan sebagai ‘pure void’/ ‘kosong’, yang bukan berupa ‘Pribadi Ilahi’. Dengan demikian spiritualitas yang diajarkan R. Mello meninggalkan konsep Allah Tritunggal (Allah yang satu dengan tiga Pribadi); figur Kristus-pun disejajarkan dengan tokoh agama lain; lalu agama dipandang sebagai penghalang untuk menemukan kebenaran. Hal-hal ini yang bertentangan dengan Spiritualitas Katolik.

          Pada akhirnya, kekatolikan kita dinyatakan jika kita mempunyai Roh dan semangat Kristus, menerima dengan taat pengajaranNya yang disampaikan oleh Gereja Katolik (Lumen Gentium 14). Jadi, suara Gereja tentang tulisan R. de Mello harusnya mengarahkan sikap kita terhadap tulisan-tulisan beliau. Kita menerima dengan rendah hati pandangan Gereja, yang pasti telah didahului dengan segala penelitian akan semua karya-karya R. Mello. Sedangkan yang kita baca mungkin hanya sebagian saja.

          Maka anda benar jika dalam sebagian karya-karya R. de Mello ini ada yang membingungkan seolah mengatakan agama tidak penting, atau bahkan Kristus tidak penting. Dan inilah yang dianggap menyimpang oleh pihak Magisterium. Maka kita sebagai umat Katolik harus waspada saat kita membaca karya-karya beliau, agar kita dapat memilah: yang baik boleh kita terima, namun yang tidak sesuai dengan ajaran Katolik, tentu tidak kita terima.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Terima kasih atas tanggapannya Bu Inggrid.
            Jadi saya menarik kesimpulan, untuk buku-buku yg sudah ada imprimatur & nihil obstat [dari Katolisitas: imprimatur dan nihil obstat adalah filter pertama, setidaknya secara umum buku tersebut tidak membahayakan/ bertentangan dengan ajaran iman Katolik. Namun selanjutnya, silakan terus melihat kaitannya/ hubungannya dengan ajaran iman yang sudah jelas disampaikan oleh Magisterium Gereja Katolik] saya tidak akan ragu akan kebenarannya bahwa apa yang ditulis sudah sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Sedangkan untuk buku-buku yang diterbitkan tanpa hal tersebut walaupun ditulis oleh biarawan/ biarawati maupun religius Katolik saya akan lebih berhati-hati dalam membacanya.

            Berkah Dalem,

            Yosafat

  7. syallom bu Iggrid, saya baru bergabung dgn meditasi di gereja saya yg dibimbing oleh seorang suster, ada beberapa yg ingin saya tanyakan bu

    1. mantra maranatha apa kah diucapkan dgn bersuara(sampai ke telinga kita) atau cukup diucapkan di batin saja ?

    2. waktu pertama kali ikut, malamnya saya buang buang air sampai 4 kai bu ( tapi saya tidak lemas, tidak seperti orang diare krn salah makan atau krn virus), apa memang di meditasi ada proses detoks bu?

    3. saat meditasi tubuh saya seperti bergoyang kesamping dan kebelakang,apa memang bisa seperti itu bu? padahal sy hanya duduk rileks dan tegap

    4. saat meditasi pernah tangan kiri saya pelan pelan dengan lembut mengarah ke kaki kiri saya, lalu seperti gerakan mengusap usap sangat lembut sekali ke kaki kiri saya (memang kaki kiri saya ada masalah bu) sedangkan saat meditasi sedikitpun saya tidak fokus ke kaki kiri saya, kenapa bs seperti itu bu?

    5. saat meditasi saya selalu di dalam pikiran saya menampilkan wajah Yesus (yang ada di dalam foto Hati Kudus Yesus) apa boleh seperti itu bu? atau harus kosong sama sekali?

    tks

    • Shalom Dewi,

      1. Apakah Maranatha itu diucapkan atau diulang di dalam hati saja?

      Menurut pengetahuan saya, tujuan meditasi adalah untuk masuk dalam keheningan bersama Allah, maka jika pada intinya kata- kata doa yang diulang tersebut diucapkan di dalam hati. Namun bisa terjadi, ada kelompok meditasi yang mengucapkan bersama- sama kata- kata doa itu pada awalnya. Tetapi saya rasa pada akhirnya karena tujuannya keheningan, maka ada saatnya di mana pengulangan itu berhenti, untuk dilanjutkan sendiri dalam keheningan bersama Allah.

      2. Meditasi adalah proses detoks?

      Meditasi Katolik yang dilakukan dalam suasana doa pada dasarnya adalah salah satu bentuk doa kepada Tuhan. Maka jika kemudian sesudah meditasi anda mengalami perubahan di dalam tubuh yang mendatangkan kesembuhan bagi penyakit anda, pertama- tama anda patut bersyukur kepada Tuhan yang telah menjamah dan menyembuhkan anda. Jadi berfokuslah kepada Allah yang dituju dalam doa, dan bukan kepada cara berdoanya (meditasi).

      3. Dorongan tertentu pada saat meditasi

      Fokus meditasi pada saat kita berdoa adalah Tuhan. Lalu dorongan- dorongan yang ada sebaiknya kita lihat dalam konteks tersebut. Jika memang anda mempunyai masalah penyakit sesuatu pada tubuh anda, silakan membawa pergumulan anda itu ke hadirat Tuhan, tanpa memusatkan diri kepada penyakitnya, tetapi kepada Tuhan Yesus, Sang Tabib di atas segala tabib. Jika hal ini sudah dilakukan, maka hal berikutnya dapat terjadi berbeda- beda pada setiap orang, dan ini merupakan pengalaman rohani orang yang bersangkutan. Namun satu hal yang perlu selalu diteliti: jika dorongan itu dari Roh Kudus, maka akan membuahkan damai sejahtera, tetapi jika tidak membuahkan ketidakdamaian, entah rasa takut, ‘aneh’, ataupun gugup. Silakan anda mengetesnya dengan berkata kepada diri sendiri, jika ini dari Tuhan, biarlah terjadi, namun jika tidak silakan berhenti. Sebab biar bagaimanapun dorongan yang dari Roh Kudus selalu tidak membuat kita kehilangan kontrol atas diri sendiri, karena salah satu buah Roh Kudus adalah pengendalian/ penguasaan diri (Gal 5:23)

      4. Saat meditasi bolehkah menampilkan wajah Yesus di dalam pikiran?

      Ya, saya rasa, inilah yang membedakan meditasi Kristiani dengan meditasi non- Kristiani. Menurut yang saya ketahui tujuan meditasi Kristiani adalah untuk membawa yang berdoa kepada kesadaran akan diri sendiri dalam hubungannya dengan Allah yang menciptakannya dan menebusnya. Dengan demikian, fokus meditasi Kristiani bukanlah semata diri sendiri, tetapi selalu dalam kaitannya dengan Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.

      Selanjutnya tentang meditasi dan kontemplasi, silakan anda membaca artikel di atas, silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  8. Terima-kasih Ingrid atas semua keterangan yang diberikan tentang meditasi dan kontemplasi Katolik. Tolong diberitahu jika ada tulisan2 mutakhir tentang meditasi dan kontemplasi, dan sekali lagi terima-kasih.

  9. iya mba inggrid yang di atas saya mengerti.

    Yang saya permasalahan di sini bila:

    1.ada praktek doa seperti halnya doa syafaat versi protestan,atau ada sautan umat pada saat pemimpin doa membawakan doa.

    2.ada prakter pemimpin doa membawakan doa pada saat peserta yang lain menyanyikan lagu pujian.

    dalam prakteknya 2 point di atas ada pada saat saya mengikuti sesi meditasi lingkungan,bagaimana…?
    dan sebenarnya nyanyian pujian yang di bawakan sumbernya dari mana,lagu2 katolik kah atau bebas saja…?

    Terimakasih.

    • Shalom Flavianus,
      1. Doa syafaat yang ada sahutannya dapat saja dilakukan oleh umat Katolik. Itu serupa dengan bentuk Doa Umat, yang ada di setiap perayaan Ekaristi, yang disambut dengan “Kami mohon, kabulkanlah doa kami ya, Tuhan”. Jadi dalam doa meditasi lingkungan, jika sahutan doa itu diganti kata-katanya, tidak apa-apa.
      2. Pemimpin membawakan doa, saat peserta lain menyanyikan pujian juga tidak apa-apa. Umumnya pada doa meditasi, peserta bersenandung, atau ada permainan alat musik, sementara pemimpin meditasi memimpin doa/ mengarahkan umat untuk berdoa.
      3. Selama lagu- lagu yang dipilih sesuai dengan iman Katolik dan mendukung suasana doa, maka silakan saja lagu-lagu itu dipergunakan dalam doa lingkungan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  10. Bu Ingrid,
    Bagaimana ajaran katolik mengenai pemahaman meditasi dan kontemplasi, dan bagaimana pula perbedaannya karena akhir-akhir ini kita mengenal meditasi Kristiani dari Fr John Main OSB, seorang rahib Benedictin? Menurut Guigo (the ladder of monk), meditasi merupakan upaya memahami atau merenungkan karunia Allah sedangkan kontemplasi merupakan upaya merasakan indahnya karunia tersebut. Definisi lain mengatakan bahwa meditasi yang berasal dari kata meditare (“stare in medio”) berarti “berada di pusat,” sedangkan kontemplasi berarti bersama Allah di dalam hati kita.
    Saya juga ingin bertanya tentang posisi manusia terhadap Allah menurut ajaran Katolik. Apakah manusia berhadapan dengan Allah seperti seorang hamba yang bertelut di hadapan sang Raja ataukah manusia boleh menjadi satu dengan-Nya seperti ajaran Alm Rm Dick Hartoko SJ, “manunggaling kawulo-gusti”? Dalam Alkitab kita memang menemukan ayat-ayat yang mendukung kedua pandangan tersebut. Dalam Lukas 10:42, Yesus mengatakan Maria telah memilih bagian yang terbaik yang tidak akan diambil dari padanya karena Maria telah duduk dekat kaki Tuhan dan mendengarkan perkataan-Nya. Sementara di dalam Yohanes 14:20, Yesus mengatakan, “Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu.”
    Tuhan memberkati,

      • Shalom Flavianus,

        Demikian yang diajarkan oleh Fr. John Main OSB:

        Duduklah dengan tegak dan tetap, selama 20-30 menit. Tutuplah mata, dan katakanlah sebuah frasa kata, yang bisa diambil dari ayat Kitab Suci, dan ulangi terus. Katakan terus ayat tersebut, dengarkan suara anda sendiri saat anda mengatakannya. Jangan pikirkan apapun. Jika terjadi pelanturan/ pikiran melayang, kembalilah ke perkataan ayat itu. Dengan demikian, lama- kelamaan anda meninggalkan segala sesuatu: Anda tidak lagi berkata-kata kepada Tuhan, tetapi duduk di hadirat Tuhan, bersama Tuhan, dan membiarkan hadirat-Nya memenuhi hati anda, dan mengubah diri anda.

        Fr. Main menyarankan, yang dipakai adalah ayat, “Maranatha” yaitu kata Aram yang artinya, “Datanglah Tuhan” (seperti dalam I Kor 16:22 and Why 22:20.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

        • Hanya itu…?
          Kalau ada penambahan di luar itu bagaimana,adakah hukum Gereja yang mendukung cara yang beliau utarakan ini…?
          Apakah ada keterikatan yang mesti di ikuti dalam uraian meditasi itu..?
          Bagaimana kedudukan cara yang di ungkapkan oleh Fr John Main ini di mata Gereja?

          Terimakasih.

          • Shalom Flavianus,
            Hukum Gereja tidak mengatur urusan yang berhubungan dengan doa.
            Apakah yang anda maksud dengan “keterikatan” yang musti diikuti dalam meditasi? Sebab meditasi itu sebenarnya sangat sederhana, yang lebih sulit untuk para pemula dan umat kebanyakan adalah untuk menenangkan diri dan pikiran, untuk berfokus pada Tuhan/ ayat Kitab suci yang dijadikan rhema itu.
            Cara meditasi dengan merenungkan ayat Kitab Suci tentu diperbolehkan oleh Gereja. Cara yang diajarkan oleh Fr. Main sebenarnya bukan hal yang baru, dan meditasi ini juga sudah lama dipraktekkan oleh para orang kudus, secara khusus adalah St. Teresa dari Avila dan St. Yohanes Salib di abad pertengahan.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

          • Maksudnya begini mba ingrid,
            Adakah acuan yang jelas dalam pelaksanaan meditasi ini,karena yang pernah aku dengar ada penambahan doa atau pujian yang justru menjadi melenceng dari pengertian meditasi Katolik.
            Misal dalam satu meditasi ada tambahan cara2 doa protestan.

            Dan aku melihat dari katekismus bahwa Gereja pun mengatur bagaimana harusnya kita ber meditasi,KHK 2707-2708:

            2707 Metode-metode meditasi sangat beragam seperti halnya guru-guru rohani. Seorang Kristen harus bermeditasi secara teratur. Kalau tidak, ia akan menyerupai jalan atau tanah yang berbatu-batu atau yang penuh dengan duri-duri, sebagaimana dikatakan dalam perumpamaan penabur . Tetapi satu metode hanyalah merupakan satu penuntun; yang terpenting ialah maju bersama Roh Kudus menuju Yesus Kristus, jalan doa satu-satunya. 2690, 2664
            2708 Meditasi memakai pikiran, daya khayal, gerak perasaan dan kerinduan. Usaha ini penting untuk memperdalam kebenaran iman, untuk menggerakkan pertobatan hati dan memperkuat kehendak guna mengikuti Kristus. Doa Kristen terutama berusaha untuk bermeditasi tentang “misteri Kristus”, sebagaimana terjadi waktu pembacaan Kitab Suci, “lectio divina”, dan pada doa rosario. Bentuk renungan doa ini mempunyai nilai yang besar; tetapi doa Kristen harus mengejar lebih lagi: perkenalan Yesus Kristus penuh cinta dan persatuan dengan Dia. 516, 2678

            Terimakasih.

          • Shalom Flavianus,
            Setahu saya cara meditasi Fr. Main ini sangat sederhana, seperti yang juga dituliskan di website ini, silakan klik.
            Maka kalau diikuti cara yang diajarkannya, saya pikir tidak ada yang menyimpang. Silakan anda sebutkan kiranya apakah yang anda pikir menyimpang, karena kalau hanya mengulang- ulang suatu ayat Kitab Suci itu tidak apa-apa.
            Katekismus 2707 sendiri menyebutkan bahwa metoda meditasi itu sangat beragam, tergantung yang mengajarkannya. Maka tidak heran, dari cara meditasi Fr. Main ini lalu dapat dikembangkan dengan tambahan lagu- lagu pujian.

            Jika anda tertarik dengan meditasi dengan merenungkan Kitab Suci “Lectio Divina” (yang disebut dalam KGK 2708), saya sudah pernah menuliskannya di artikel ini silakan klik. Di sana saya juga sudah menyebutkan langkah-langkahnya, yang dapat anda lakukan sendiri atau berkelompok.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

          • aku sudah baca-baca lectio divina dana Fr Main ini,yang aku permasalahkan gini loh mba inggrid:

            1.Penambahan-penambahan yang mungkin saja terjadi pada saat sesi meditasi atau kontemplasi,adakah acuannya..?
            2.Jika dalam pelaksanaannya mencampur aduk kan dengan praktek-praktek non katolik itu bagaimana..?

            aku bertanya seperti ini karena kebetulan aku baru saja mengikuti satu sesi meditasi dan di dalamnya ada rangkaian yang terdapat unsur protestannya(setidaknya aku tidak pernah melihat cara ini di dalam kebiasaan doa katolik),misal:

            1.Saat pemimpin doa membawakan doa permohonan ada ucapan-ucapan yang keluar dari mulut peserta seperti menyahut atau mengimbangi ucapan dari si pemimpin doa.
            2.Saat peserta bernyanyi,si pemimpin doa membawakan doa permohonan.

            atau apakah 2 point di atas sebenarnya juga bagian dari tata cara kebiasaan katolik..?

            Terimakasih.

          • Shalom Flavianus,

            1. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada acuan yang pasti tentang apa yang anda sebut sebagai “penambahan- penambahan” meditasi ini.

            2. Anda bertanya akan penambahan sebagai berikut:

            a. Saat pemimpin doa membawakan doa permohonan ada ucapan-ucapan yang keluar dari mulut peserta seperti menyahut atau mengimbangi ucapan dari si pemimpin doa.

            Sebenarnya prinsip sahut- menyahut ini sudah lama ada di Gereja Katolik, walaupun tidak sama persis. Di tradisi Gereja Katolik doa sahut menyahut terdapat di doa umat di Misa Kudus, pada saat umat menyambut dengan “kabulkanlah doa kami, ya Tuhan”, atau misalnya dalam doa rosario dan doa litani. Di situ ada bagian yang bersahut- sahutan. Mungkin bedanya adalah sahutan yang anda maksudkan berupa sahutan yang spontan. Menurut hemat saya, ini tidaklah menjadi masalah, sebab bukankah yang penting dalam berdoa adalah doa yang keluar dari hati?

            b. Saat peserta bernyanyi, si pemimpin doa membawakan doa permohonan.

            Dengan prinsip: bernyanyi memuji Tuhan dengan baik adalah berdoa dua kali (menurut St. Agustinus), maka tidak ada masalah juga jika di tengah- tengah nyanyian ada pemimpin doa membawakan permohonan. Yang terpenting di sini adalah bahwa dengan adanya nyanyian dan doa- doa tersebut, maka hati umat yang berdoa terangkat kepada Tuhan (lih. KGK 2559), dan dapat memuji Tuhan dengan lebih baik.

            Maka tidak apa- apa, Flavianus, silakan berdoa dengan cara demikian, jika anda merasa terbantu dengan doa tersebut.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  11. Yth : Stefanus Tay & Inggrid Listiati

    Perihal meditasi yg sudah sampai di Lingkungan saya (aliran ‘x’ bukan dari Gereja Katolik) tapi sangat disosialisasikan oleh beberapa oknum senior Lingkungan dengan alasan untuk penyembuhan.
    Bahkan salah satu seksi di gereja memanggil masternya dari Philipina yang notabene beragama Katolik ?
    Tetapi yang aneh Ajaran/Prinsip Dasarnya aliran ‘x’ itu adalah ‘hitam dan putih adalah sama/seimbang !
    Terus saya bertanya, klo atas dasar pengajaran seperti itu dapat berarti Tuhan Yesus dan Raja Setan itu seimbang dong ?
    Sepengetahuan saya itu,sudah bertentangan dengan Injil(Sabda Tuhan) deh…dan banyak umat yang tertarik ajaran meditasi tersebut.

    Salam dalam Kasih Yesus Kristus,
    Gendut

    • Shalom Gendut,
      Kami prihatin dengan adanya banyak orang Katolik yang tertarik mengikuti meditasi non-Katolik yang mengajarkan ‘keseimbangan antara hitam (kejahatan) dan putih (kebaikan)’. Kelihatannya meditasi semacam ini adalah semacam aliran New Age yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan bahwa kekuatan baik seimbang dengan kekuatan yang jahat, apalagi mensejajarkan Kristus dengan Iblis. Hal ini sungguh tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Saya pernah menuliskan tanggapan Gereja Katolik mengenai aliran New Age ini, dalam tulisan ini (silakan klik).
      Jadi memang sebaiknya kita waspada terhadap aliran-aliran meditasi semacam ini. Jangan sampai, demi mengejar kesembuhan, kita tidak lagi mengandalkan Tuhan "Sang Tabib di atas segala tabib’ namun malah menjerumuskan diri di dalam kekuatan roh-roh dunia (lihat Kol 2:8). Sebagai orang Katolik, mari kita kembali kepada iman kita, kembali kepada Sakramen Ekaristi yang mengandung Kristus sendiri. Tidak ada yang lebih berkuasa menyembuhkan, daripada Tuhan sendiri, yang mampu menyembuhkan, tidak saja jasmani kita namun lebih dari itu, rohani kita. Hanya dengan bersandar pada Kristus, kita akan menerima kesembuhan yang sejati, terutama kesembuhan rohani kita, yang mempersiapkan dan mengantar kita pada kehidupan kekal.

      Selamat menjadi saksi Kristus, Gendut, untuk membawa saudara- saudari di lingkungan anda untuk kembali mengandalkan Tuhan. Namun di atas semuanya itu, jangan lupa, sampaikanlah ajakan untuk bertindak sesuai dengan iman kita ini dengan lemah lembut dan hormat (lihat 1 Pet 3:15), demikian juga dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ada. Dengan niat yang tulus dan dengan diiringi oleh doa, kami percaya, Gendut dapat melaksanakan peran anda untuk menyampaikan terang Kristus di tengah-tengah lingkungan anda yang mungkin mulai ‘redup’.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid dan Stefanus
       

    • Peri hal meditasi. Kalau dalam meditasi kita arahkan untuk mencari “keperkasaan, kekuatan”, jelas meditasi seperti tidak boleh. Tetapi kalau kita mau meditasi di mana Kitab Suci sebagai sumber inspirasi dan pegangan hidup, maka itu malah dianjurkan. Meditasi Kitab Suci yang berbasiskan “lectio divina”, yang merupakan tradisi gereja perdana, menurut saya saya sangat dianjurkan dewasa ini. Lectio divina sampai saat ini banyak dilakukan tidak hanya oleh biarawan-biarawati, tetapi juga oleh awam yang kini mulai diminati oleh umat. Jika orang mengalami krisis iman, mari kembali kepda “lectio divina”.

      Tuhan berkati.

      Jus S

Comments are closed.