Maria menyimpan segala perkara di dalam hati Menyimpan perkara di dakam hati. Ini adalah sikap Bunda Maria yang sederhana, namun artinya sangat dalam, dan bisa jadi, hal ini bukannya mudah untuk kita tiru. Mungkin sikap Bunda Maria yang tenang dan hening ini menyebabkan hanya sedikit bagian dari Injil yang menyebutkan dan menceritakan tentang dirinya. Padahal jika kita renungkan: betapa besar peran Bunda Maria dalam pemenuhan rencana keselamatan Allah pada kita. Oleh kesediaannya, Yesus Putera Allah berkenan menjelma menjadi janin di dalam kandungannya, dan kemudian lahir sebagai manusia. Terpikirkah oleh kita, bahwa tanpa persetujuan Maria, Yesus tidak jadi lahir ke dunia pada saat itu…?

Injil menceritakan tentang Bunda Maria, pertama-tama pada saat Malaikat Gabriel mengunjunginya dan memberitakan kelahiran Yesus (Luk 1: 26-38). Tak lama kemudian Bunda Maria mengunjungi Elizabeth saudaranya, yang menyebutnya sebagai ‘Ibu Tuhanku’ (Luk 1:43). Perkataan Bunda Maria yang terpanjang tertulis dalam Injil sebagai Nyanyian pujian kepada Tuhan: ‘Magnificat’ (Luk 1:46-55). Injil kemudian mencatat kelahiran Yesus. Saat para gembala dan para malaikat menyembah Yesus Sang Putera yang dilahirkan di kandang Betlehem (lih. Luk 2:19), di sanalah pertama kali kita membaca, bahwa Maria menyimpan segala perkara di dalam hatinya dan merenungkannya (Luk 2:51). Mungkin hati Maria juga tak berhenti merenungkan perkataaan nubuat nabi Simeon tentang Yesus dan dirinya (Luk 2:34-35). Dan Injil mencatat kedua kalinya Maria ‘menyimpan semua perkara di dalam hatinya’ saat ia dan Yusuf suaminya menemukan Yesus kembali di Bait Allah, pada saat Ia berumur 12 tahun (Luk 2:51). Pastilah, Maria terus ‘menyimpan segala perkara’ di dalam hatinya, sampai ia dapat tegak berdiri di kaki salib Yesus, mempersembahkan buah hatinya demi memenuhi rencana Keselamatan Allah Bapa.

Jika kita renungkan, ‘menyimpan perkara di dalam hati’, kita akan mengakui bahwa hal ‘menyimpan perkara’ adalah sesuatu yang gampang-gampang susah. Di dunia ini, kita seolah-olah terbiasa dengan segala sesuatu yang ‘go public’, segala sesuatunya diumumkan, entah benar atau tidak, itu urusan belakangan. Contoh umum, lihatlah betapa menjamurnya tabloid dan majalah yang menceriterakan kehidupan tokoh- tokoh publik. Keberadaan aneka majalah tersebut adalah gambaran bahwa ada banyak orang menyukai berita-berita semacam itu. Kalau kita lihat ke dalam diri kita sendiri dan lingkungan kita, kita juga akan dapat menemukan contoh lainnya, yaitu: betapa mudahnya untuk membicarakan orang lain, (terutama kekurangan mereka) dan betapa sulitnya untuk menyimpan segala perkara di dalam hati. Betapa mudahnya menceritakan diri sendiri, terutama jika itu kita pandang baik, dan betapa sulitnya untuk diam, dan menyimpan segala sesuatunya di dalam hati….

Mari kita tengok bersama: jika kita menghadapi masalah yang berat, apakah yang pertama dan utama kita lakukan? Curhat pada Tuhan atau curhat pada sahabat? Kita cenderung lebih dapat ‘bongkar muat’ uneg-uneg pada teman, daripada kepada Tuhan. Dunia sekeliling kita memang tidak ‘berteman’ pada keheningan. Hari-hari kitapun diisi dengan kesibukan dari pagi sampai malam, dari urusan keluarga, pekerjaan ataupun sekolah, dan ngobrol sana-sini dengan teman-teman, atau mungkin juga nonton TV. Betapa sedikitnya waktu yang kita habiskan bersama Tuhan. Betapa singkat waktu yang kita lalui dalam keheningan bersama Allah. Betapa sulit bagi kita untuk kembali ke dalam hati kita sendiri, dan menemukan Tuhan di sana. Kita perlu belajar dari Bunda Maria yang menyimpan segala perkara di dalam hati.

Mari kita bayangkan pergumulan di hati Bunda Maria, saat ia menjawab “YA” pada rencana Allah. Ia pada saat itu sudah bertunangan dengan Yusuf, mungkin mereka sedang merencanakan pernikahan. Walaupun demikian, Bunda Maria menyerahkan dirinya seutuhnya pada rencana Allah. Bunda Maria tidak lagi memikirkan rencananya sendiri. Imannya mengalahkan segala kekuatirannya: bagaimana caranya memberitahukan kabar malaikat kepada orang tuanya, bagaimana nanti reaksi Yusuf tunangannya, bagaimana nanti jika ia digossipkan oleh orang-orang sekampung, dan bahkan, bagaimana jika ia dituduh berzinah dan dapat dijatuhi hukuman rajam?

Dari sejak awal kita mengetahui, ‘menyimpan segala perkara di dalam hati’ telah menjadi bagian dari sikap Bunda Maria. Ia tidak banyak bicara, tidak pula berusaha menjelaskan segala sesuatunya pada Yusuf. Ia membiarkan Allah sendiri menjelaskan kepada Yusuf lewat mimpi. Selanjutnya, kejadian demi kejadian membentuk Bunda Maria untuk menimba kekuatan hanya di dalam Tuhan: saat ia harus melahirkan Yesus di kandang hewan karena tak ada yang mau memberikan tempat baginya dan Yusuf; saat ia melihat kemuliaan Tuhan di dalam kemiskinan yang ekstrim; saat para malaikat dan para gembala menyembah bayi Yesus; saat ia mendengar nubuat nabi Simeon, akan penderitaan yang harus dialaminya; saat ia bersama Yusuf dan bayi Yesus harus mengungsi ke Mesir. Maria menyimpan perkara di dalam hatinya, juga saat hari demi hari ia melihat Yesus bertambah besar… Ya, betapa Maria menyadari, bahwa meskipun Yesus adalah anaknya, namun Yesus tidaklah menjadi ‘milik’nya. Hari demi hari Maria melihat Tuhan yang Maha Besar mau merendahkan diri dan mau tinggal bersamanya sebagai anak yang menghormatinya. Ia adalah Sang Sabda yang menjadi manusia, dan tinggal satu atap dengannya. Kehidupan Maria adalah permenungan tanpa henti akan Sabda Tuhan yang hidup!

Mari kita tengok kehidupan kita, sudahkah kita belajar untuk menyimpan segala perkara di dalam hati kita? Apakah kita lebih cenderung untuk menceritakan problem kita kepada teman, ataukah kepada Tuhan? Sadarkah kita bahwa Allah menunggu kita agar kita menemui Dia di dalam hati kita? Mungkin sudah saatnya kita belajar untuk mengurangi pembicaraan tentang diri sendiri dan orang lain, dan menambah pembicaraan untuk kemuliaan Tuhan. Sudah saatnya bagi kita untuk mengurangi curhat kepada banyak orang dan menambah usaha untuk mencurahkan isi hati kepada Tuhan yang ada di dalam hati kita. Betapa lebih baik bagi kita untuk mengandalkan Sabda Tuhan daripada pendapat kita sendiri. Ya, saat kita kembali kepada Tuhan, di sanalah kita akan menemukan kekuatan dan penghiburan yang tak dapat kita dapatkan dari siapapun. Mari kita belajar dari Bunda Maria, untuk menyimpan segala perkara di dalam hati. Dengan iman mari kita yakini, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku” (Fil 4:13). Bunda Maria, doakanlah kami, agar dapat meniru teladanmu, untuk selalu kembali kepada Tuhan yang hadir di dalam hati kami, dan menimba kekuatan daripadaNya….

Pertanyaan untuk pemeriksaan batin:

  1. Tentang pembicaraanku hari ini:
    • Berapa banyak aku berbicara tentang diri sendiri kepada orang lain?
    • Berapa banyak aku berbicara tentang kekurangan orang lain?
    • Berapa banyak aku berbicara tentang Tuhan dan segala kebaikanNya kepada orang lain?
  2. Tentang ‘menyimpan segala perkara’:
    • Apakah aku banyak mengeluh/ ‘komplain’ hari ini?
    • Apakah aku cukup bersyukur atas rahmat Tuhan hari ini?
    • Apakah aku membocorkan rahasia orang lain?
    • Apakah merenungkan Sabda Tuhan hari ini? Ayat apa yang menguatkan/ menegur aku hari ini?
    • Apakah pikiranku tertuju kepada Tuhan hari ini?
    • Apakah aku menyediakan waktu untuk berdoa dan ‘hening’ di hadapan Tuhan?

12 COMMENTS

  1. Maria Tertutup dan Yesus Tidak Patuh ?
    1. Beberapa kali disebutkan dalam Injil bahwa Maria menyimpan semua itu dalam hatinya. Bukankah ini bukti ketertutupan Maria?
    2.Pada usia ke-12 tahun, ketika Yesus dibawa ke Jerusalem, Yesus justru bandel dan tidak meminta ijin kepada orang tuanya, pergi dan menghilang begitu saja sehingga menyusahkan orang tuanya yang mencariNYa dan baru menemukannya setelah tiga hari.
    Dengan kata lain keluarga ideal Nazareth yang diajarkan untuk dicontohi oleh umat kristiani,sebenarnya bukan keluarga yang ideal banget. Maria tertutup dan tidak mengerti dan mengenal anaknya. Sebaliknya, anaknya tidak patuh kepada orang tuanya. Inilah inti bacaan yang dibahas dalam pertemuan adven I di KAJ.

    • Shalom Kristanto,

      Terima kasih atas pertanyaannya tentang keluarga kudus di Nazaret. Ketika mendengar apa yang diceritakan oleh para gembala tentang para malaikat, maka orang-orang heran (Luk 2:18). Apa yang dilakukan oleh Maria? Dia menyimpan perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya (Luk 2:19). Ketika tidak mengerti akan perkataan Yesus bahwa Yesus berada di dalam rumah Bapa-Nya, maka Maria menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya (lih. Luk 2:51). Seseorang yang menyimpan di dalam hati perkataan dari Yesus, maka dia adalah seumpama biji yang jatuh di tanah yang baik, yang menghasilkan buah ketekunan. (lih. Luk 8:15) Dengan demikian, Maria yang menyimpan perkataan Yesus di dalam hatinya bukanlah gambaran akan ketertutupan Maria, namun kontemplasi akan sabda Allah dan merenungkannya di dalam hati, sehingga pada akhirnya menghasilkan buah-buah iman, pengharapan dan kasih yang begitu dalam dan luar biasa – seperti yang terlihat dalam kehidupan Bunda Maria.

      Yesus yang berusia 12 tahun dan dicari oleh orang tuanya bukanlah gambaran akan anak yang menyusahkan orang tuanya. (Lih. Luk 2:41-52) Kita tahu bahwa Yesus senantiasa melaksanakan kehendak Bapa (lih. Yoh 4:3) dan tidak pernah Dia mengenal dosa (Ibr 4:15). Kejadian ini mengajarkan kepada kita bahwa Yesus menempatkan kehendak Tuhan di atas segala-galanya dan pada saat yang sama memperlihatkan identitas dan misi-Nya secara lebih jelas. Namun, kita juga jangan melupakan bahwa di ayat 51 dikatakan “Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret;” Di satu sisi Maria yang adalah ciptaan tidak mengerti sepenuhnya tentang rencana keselamatan Allah dan dia menyikapinya dengan bijaksana, yaitu dengan menyimpan dan merenungkan semua itu dalam hatinya. Dan Yesus yang adalah Allah, yang mengambil kodrat manusia dan hidup dalam keluarga menghormati orang tua-Nya dan taat dalam asuhan mereka, sehingga dikatakan “Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (lih. ay 52). Jadi, mari kita belajar dari keluarga kudus Nazaret.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  2. Syaloom Tim Katolisitas,

    Saya ingin bertanya tentang buku “Kisah Kehidupan Santo Yosef seperti yang diceritakan Tuhan Yesus kepada Maria Cecilia Bay”

    Nampaknya seperti wahyu pribadi kepada Maria Cecilia Bay. Yang ingin saya tanyakan

    Di buku itu dikisahkan kalau St Yosef dan Bunda Maria sudah tahu dari awal kalau Yesus adalah Mesias dan Putra Allah, tapi menjadi aneh ketika dibandingkan dengan Injil ketika Kanak-Kanak Yesus diketemukan di Bait Allah. Pada Lukas 2:50. Dikatakan kalau mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka. Jadi apakah buku itu baik untuk dibaca?

    Terima Kasih

    • Shalom Leonard,

      Terus terang saya belum pernah membaca buku tersebut. Namun tidak ada pertentangan jika dikatakan bahwa sejak awalnya St. Yusuf dan Bunda Maria sudah mengetahui bahwa Yesus adalah Mesias; dan pada Luk 2:50 dikatakan, “Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka”, pada saat mereka menemukan kembali Yesus di bait Allah. Sebab memang pada saat Maria menerima kabar gembira dari malaikat, ia sudah mengetahui bahwa Anak yang akan dikandung dan dilahirkan-Nya akan disebut sebagai “Anak Allah yang Maha Tinggi” (Luk 1:32, 35); demikian pula St. Yusuf, dalam mimpinya sudah diberitahu malaikat bahwa Anak yang dikandung Maria tunangannya itu akan menyelamatkan umat Tuhan dari dosa mereka (Mat 1:21), dengan kata lain, adalah seorang Mesias/ Penyelamat yang dijanjikan Allah kepada bangsa Israel.

      Tentu walaupun St. Yusuf dan Bunda Maria sudah mengetahui namun mereka besar kemungkinan mereka tidak memahami sepenuhnya bagaimana dan seperti apakah Sang Mesias itu, yang hadir di tengah mereka sejak dalam kandungan Maria. Bukannya tidak mungkin, bahwa baru pada usia 12 tahun itulah mereka disadarkan bahwa walaupun di mata dunia mereka adalah orang tua Yesus, namun sesungguhnya sebagai Mesias, Allah adalah Bapa-Nya; dan bahwa persatuan antara Yesus dengan Allah Bapa mengatasi apapun, termasuk ikatan kekeluargaan antara Yesus dan mereka sebagai orang tua. Kenyataan inilah yang mendasari jawaban Yesus yang seolah mempertanyakan mengapa St. Yusuf dan Bunda Maria mencari-Nya saat ia sedang tinggal di rumah Bapa-Nya (bait Allah), dan sepertinya sengaja untuk tinggal di sana, tanpa memberitahu mereka. Hal  tertinggalnya Yesus di bait Allah ini  membuat mereka cemas dan bingung, sebagaimana wajarnya reaksi orang tua yang kehilangan anaknya. Dan mereka semakin bertanya- tanya, ketika menemukan Yesus, yang ternyata sepertinya tidak ingin pulang, bahkan menganggap bahwa sudah selayaknya Ia tinggal di bait Allah. Jadi bahwa mereka ‘tidak mengerti’ di sini tentu wajar, dan tidak bertentangan dengan pemahaman mereka akan Kristus sebelumnya; sebab memang perwujudan rencana penyelamatan Allah dalam diri Kristus Sang Mesias/ Sang Penyelamat, yang melibatkan kerjasama St. Yusuf dan Bunda Maria untuk membesarkan dan mengasuh-Nya, juga diungkapkan secara perlahan- lahan seiring dengan berjalannya waktu.

      Salam kasih dalam Kristus Yesus,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. Saya adalah pengagum ibu maria, walaupun masih dalam tahap awal tapi saya sangat percaya akan setiap cinta yang ia tawarkan. Dalam refleksi saya, ada pertanyaan yang belum dapat saya jawab sampai saat ini.
    1. Ibu maria adalah dara yang di pilih Tuhan sebagai Bunda Allah. Saat melahirkan Yesus apakah ibu maria juga mengalami kesakitan layaknya seorang perempuan? mengingat bawa:
    a. Yang tidak berdosa di dunia ini hanyalah Yesus
    b. Maria pun adalah keturunan adam dan hawa, yang tetap mendapatkan dosa asal.
    TQ atas jawabannya. GBU

    • Shalom Lucita,
      Karena Allah telah secara khusus memilih Bunda Maria sebagai Bunda Putera-Nya Yesus, maka Bunda Maria dibebaskan dari noda dosa asal, meskipun ia keturunan Adam dan Hawa. Lebih lengkapnya, silakan baca di artikel ini: Bunda Maria Dikandung tanpa Noda: Apa Maksudnya? (silakan klik) dan juga artikel Bunda Maria Tetap Perawan, Mungkinkah? (silakan klik). Nah, karena tanpa noda asal, dan dengan keperawanannya bahkan pada saat melahirkan Yesus, maka Bunda Maria tidak mengalami sakit bersalin pada saat melahirkan Yesus. Lebih lanjutnya, silakan baca juga di jawaban ini (silakan klik).

      Semoga keterangan pada ketiga tulisan tersebut dapat menjawab pertanyaan Lucita. Ya, sudah selayaknya kita melihat teladan Bunda Maria dalam hal kesetiaan dan kasihnya kepadaYesus.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati

      • Banyak terima kasih atas usaha anda. sekarang saya merasa semakin mengerti dengan iman saya. Dan dengan penjelasan yang sungguh lengkap dari beberapa dokumen Gereja, sys merasa itu dapat juga menjadi referensi bagi saya. Selamat melanjudkan studymu, Ibu Maria mendampingi.

  4. Saya sebagai orang Katolik sangat bangga pada iman yang dimiliki Bunda Maria karena meskipun Maria adalah manusia biasa tetapi Maria menyerahkan diri sepenuhnya pada kehendak Allah. Yesus lahir ke dunia melalui rahim Maria jadi melalui Bunda Maria kita sampai kepada Yesus

  5. Shalom Bu Ingrid Listiati,

    Saya ada beberapa pertanyaan mengenai Bunda Maria,
    – Ketika malaikat mendatanginya untuk memberitahukan akan kabar gembira ttg dirinya akan mengandung Yesus, Apakah Maria mengetahui perjalanan hidup yang akan dia alami nantinya?

    – Bagaimanakah Bunda Maria dapat mampu menjalani segala hal tersebut tanpa mengeluh sedikitpun, karena bukankah Bunda Maria sama seperti kita, manusia biasa yang lemah?

    Sekian pertanyaan saya, mohon maaf jika ada hal yang kurang tepat dan menyinggung anda.
    Terima kasih atas jawaban anda.

    Warm Regards,
    Nikholas Widjaja Soetopo Putra

    • Shalom Nikholas,
      Mari kita melihat pada tulisan Paus Yohanes Paulus dalam surat ensikliknya Bunda Penyelamat / Redemptoris Mater (RM), sehubungan dengan pertanyaan anda:

      1) Ketika malaikat Gabriel memberikan kabar gembira kepada Bunda Maria bahwa ia akan mengandung Yesus, Maria diperkenalkan dengan misteri Kristus (RM 8). Pada saat itu, Tuhan memenuhinya dengan rahmat (Lk 1:8), dan Roh Kudus, yaitu Roh Allah sendiri menaungi dia. Maka Maria menerima pengetahuan rohani dari Roh Kudus, yang memang tidak dapat diperoleh dengan pengetahuan manusia, dan Maria mencapai pengetahuan yang agung tersebut melalui imannya (RM 33). Sejak saat itu Bunda Maria mengetahui bahwa janji Keselamatan Allah yang dahulu diberikan kepada Abraham, itu dipenuhi di dalam dan melalui dirinya; seperti yang dikatakannya di dalam kidung Magnificat (Luk 1: 54-55).
      [Namun, pengetahuan ini adalah yang sesuai dengan yang dapat ditangkap oleh manusia, karena Bunda Maria adalah manusia seperti kita; sehingga pengetahuan tersebut tidak dapat dibandingkan dengan pengetahuan akan segala sesuatu yang dimiliki oleh Yesus, sebab Yesus bukan saja manusia, tetapi juga Tuhan. Maka,  pada saat Yesus merenungkan penderitaan-Nya di Taman Getsemani, Yesus sampai mengeluarkan keringat darah, karena pada saat itu Ia melihat dan merasakan beban dosa manusia sepanjang segala abad yang harus dipikulnya, penderitaanNya di Salib, dan pengkhianatan orang-orang yang dikasihi-Nya, termasuk setiap dari kita yang menyakitiNya lewat dosa-dosa kita. Nah, pengetahuan semacam ini tidak dialami oleh Bunda Maria].
      Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa, keikutsertaan Maria di dalam misteri Yesus menyingkapkan ikatan yang lebih dalam antara Yesus dan Bunda Maria, yang bukan saja ikatan ibu dan anak secara daging, tetapi ikatan yang berkembang dari mendengarkan dan melaksanakan Sabda Tuhan. Kedalaman makna ikatan dan persatuan mereka oleh Sabda inilah yang dinilai tinggi oleh Yesus, dan yang dikatakan-Nya kepada orang banyak tentang Ibu dan saudara-saudara-Nya (Lk 8:20-21). Maria menjadi yang pertama dari mereka yang mendengarkan Sabda Tuhan dan melakukannya (RM 20). Pada saat menerima kabar gembira malaikat, Maria memberikan bukti ketaatan iman dengan menyerahkan secara total segala akal budi dan kehendaknya (RM 13), meskipun pada saat itu ia tidak mengetahui secara persis apa yang akan terjadi di dalam kehidupannya selanjutnya.
      Oleh ketaatan imannya ini, Bunda Maria disejajarkan dengan Abraham, yang menjadi Bapa orang beriman (Rom 4:12). Iman Abraham menjadi tanda permulaan Perjanjian Lama, sedangkan iman Maria menandai Perjanjian Baru (RM 14). Sama seperti Abraham yang berharap tanpa ada dasar untuk berharap (Rom 4:18), Mariapun demikian, mengingat bahwa iapun mempertanyakan bagaimana ia dapat mengandung, padahal ia tidak bersuami (Luk 1:34). Kesediaan Maria menjawab YA pada kabar malaikat, memenuhi rencana inkarnasi Allah: Allah menjadi manusia di dalam rahimnya. Ketaatan iman yang dimulai pada saat menerima kabar gembira, berlangsung terus saat Bunda Maria mengikuti jejak Yesus, setapak demi setapak di dalam peziarahan imannya (RM 26), saat melahirkan Yesus di kandang Betlehem, saat menerima nubuat Simeon, mengungsi ke Mesir, saat mendampingi Yesus dalam kehidupanNya yang tersembunyi di Nazareth, saat Yesus mengajar dan sampai mendampingi Yesus di kaki salibNya.
      Jadi, Maria menerima pengertian akan rencana Allah melalui permenungan Sabda Allah yang terus menerus di dalam hidupnya. Ini tidak terjadi sekaligus dalam sekejap tetapi berjalan seiring dengan waktu. Oleh karena itu kita melihat makna yang dalam di dalam pernyataan Alkitab bahwa Maria ‘menyimpan segala perkara di dalam hatinya’.
      Bunda Maria menjadi teladan ketaatan iman dan pengharapan, karena seperti kita ketahui, "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat" (Ibr 11:1). Bunda Maria tidak sepenuhnya mengetahui secara detail jalan hidupnya pada saat menerima kabar gembira, namun demikian ia menyerahkan diri seutuhnya pada rencana Allah. Oleh karena itu ia menjadi teladan iman bagi kita semua, dan bagi Gereja.

      2) Apakah Bunda Maria sama seperti kita manusia yang lemah? Jawabannya adalah ya dan tidak. Ya, karena Maria memang manusia biasa seperti kita (bukan Tuhan),tetapi ia tidak persis sama dengan kita, sebab Maria dibebaskan dari noda dosa asal (silakan membaca: Maria dikandung tanpa noda: apa maksudnya?) Oleh karena kekudusannya itu, Maria memiliki kemampuan yang total untuk bersatu dengan Tuhan dan "dengan setia menjaga persatuannya dengan Kristus" (RM 5). Maka oleh persatuannya dengan Kristus inilah, Maria dimampukan untuk menerima dan menghadapi perjalanan hidupnya dengan tabah dan lapang. Mengikuti teladan Maria, kitapun dipanggil untuk mempersatukan hidup kita dengan Kristus, dan ini kita peroleh melalui Ekaristi. Oleh karena itu, Maria mengantar kita orang beriman pada Ekaristi (RM 44). Seharusnya, jika dengan sikap yang benar kita menerima Ekaristi, kita akan dikuatkan seperti Bunda Maria, sehingga kitapun tidak lekas mengeluh dan dapat bertumbuh di dalam iman dan kekudusan.

      Demikian yang dapat saya tuliskan atas pertanyaan Nikholas. Tidak perlu minta maaf,  karena pertanyaan tersebut sangat bagus untuk direnungkan oleh kita semua.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati – http://www.katolisitas.org

      • Memang…dalam perjalanan dari perj lama ke perj baru , Tuhan banyak memilih orang-orang yang memang pilihanNya untuk menjadi sarana/alat untuk menyatakan kekuasaan Allah itu sendiri. Dan Allah sendiri sudah mempersiapkan jauh-jauh hari sebelum orang itu dipakai sbg alatnya…bahkan beratus-ratus tahun sbelumnya sdh dinubuatkan . Dia mempersiapkan orang2 pilihannya untuk dibentuk menj Pahlawan Iman & Saksi Iman spt yg tertulis dalam Ibrani 11 . Ada yang berkemenangan ada pula yang “kalah” , disesah, dibunuh dan mereka menjadi martyr.
        Maria adalah salahsatunya…Allah memakainya sbg ibu yg melahirkan Sang Mesias…dan bukan dari hubungan sex…tapi dikandung oleh Roh Kudus .
        Org katolik sangat menghormati Maria sbg teladan iman , pelaku firman itu sendiri bahkan mengakuinya sbg Bunda Allah . Meskipun saya krg setuju Maria sbg Bunda Allah tp saya percaya kalau Maria dipakai secara luar biasa oleh Allah sebgai bagian dari Karya Keselamatan untuk manusia .

        • Shalom Budi,
          Terima kasih atas tanggapannya. Sebenarnya kalau kita meneliti lebih jauh tentang ajaran Maria sebagai Bunda Allah, maka ajaran ini sekaligus untuk melindungi kodrat Yesus yang sungguh Allah dan sungguh manusia. Dalam teologi, hal ini dikenal dengan “Communicatio Idiomatum.” Silakan Budi membaca artikel Yesus sungguh Allah dan sungguh manusia (silakan klik). Karena Yesus Allah, dan Yesus dilahirkan oleh Maria, maka Maria adalah bunda Allah. Menyebut Maria hanya sebagai bunda Yesus adalah seperti pengajaran Nestorianism (abad 4-5), yang gagal melihat hakekat dari Yesus yang sebenarnya.
          Pernghormatan kita kepada Maria yang benar tidak akan mungkin berhenti hanya pada Maria, namun mengarahkan penyembahan kita kepada Yesus sendiri.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          stef – http://www.katolisitas.org

Comments are closed.