Ada kalanya saya malas melihat cermin, yaitu saat badan sedang gemuk karena sering makan melebihi porsi yang sehat serta kurang berolahraga. Sepertinya dengan begitu saya sedang ingin melupakan penampakan keadaan fisik saya. Demikian juga dengan keadaan rohaniku. Karena pilihan-pilihanku sendiri yang kubuat di luar Allah, ada banyak keadaan mula-mula yang sebenarnya indah menjadi tidak ideal lagi sampai-sampai melihat bayangan diri sendiri pun enggan. Rasa percaya diri terkikis.
Entah berapa banyaknya rencana Tuhan yang indah buat kehidupan manusia telah berubah karena pilihan manusia untuk memutuskan sendiri apa yang dianggapnya baik. Minggu lalu ketika tugas kuliah mengharuskan kami membuat skema pohon keluarga, keluarga inti yang sejatinya terdiri dari skema sederhana yaitu satu pasang suami istri dengan anak-anak, menjadi rupa-rupa bentuk skemanya, rumit dan membingungkan, karena terjadi pernikahan kedua dan bahkan ketiga karena perceraian, kemudian ada pernikahan antar sesama jenis, sehingga di negara yang liberal mulai ada wacana untuk tidak menyebut orangtua anak-anak sebagai ‘mother and father’, tetapi sebaiknya dengan ‘parents’ saja karena ada kemungkinan kedua orangtuanya berjenis kelamin sama. Sudah mulai jamak bahwa nilai yang mulia dan ilahi dianggap aneh, sebaliknya nilai yang keliru dan menyimpang dianggap sebagai dinamika jaman dan toleransi kemanusiaan.
Tuhan telah mengajakku menjadi mitranya untuk menjadi duta-duta kasih & penyampai Kabar Keselamatan bagi dunia ini, tetapi karena dosa-dosaku, jati diriku yang mulia menjadi kabur dan penuh distorsi. Tugas indah yang Dia percayakan padaku tidak mampu kupikul dengan semestinya, karena diriku sendiri masih penuh dengan pelanggaran dan cinta diri. Kita memerlukan sebuah masa pertobatan sebagaimana masa Prapaskah ini sebagai kesempatan untuk memulihkan jati diri kita yang sejati, yang dikaruniakan Tuhan pada manusia sejak semula. Dikasihi secara personal oleh Kristus, diciptakan secara istimewa dengan berbagai keunikan, dan dipelihara dengan kasih Bapa yang kekal sejak semula. Aku telah diciptakan seturut gambaran Diri-Nya (Kejadian 1: 26-28). Dicintai tanpa syarat sebagaimana adanya diriku (Yohanes 3:16-17 dan Roma 5:8). Aku begitu berharga dan tak ternilai, ditebus dengan darah yang demikian kudus oleh Kristus (Mazmur 49: 7-8 dan 1 Petrus 1:19). Aku dibenarkan (Roma 5:1), dikuduskan (Ibrani 10:10, 1 Kor 1:2, 6:11). Aku anggota komunitas Kerajaan Allah (1 Pet 2:9), aku dijadikan anak Allah dan anggota keluarga Allah oleh karena iman (Yoh 1: 12 dan Efesus 1:1-7 serta Galatia 3:26).
Yah, sedemikianlah berharganya kita di hadapan Allah. Rancangan Allah yang Ia miliki bagi kita, mulia dan sempurna. Sayangnya, memilih untuk mengandalkan diri sendiri, menempatkan ego dan keinginan diriku di atas suara Tuhan yang selalu mengingatkan dengan halus dan lembut dalam nuraniku, membuat citra itu perlahan-lahan mengabur. Dan tahu-tahu inilah aku, rapuh dan tidak percaya diri lagi, karena tidak mengenali lagi siapa diriku yang sebenarnya di mata-Nya. Tetapi Allah bukanlah Tuhan yang mudah menyerah. Ia juga tidak pernah menyerah akan aku. Sekalipun dunia ciptaan-Nya mungkin telah terdistorsi begitu rupa oleh kejahatan manusia, Allah tetap mempercayai kita untuk melanjutkan karya agung-Nya. Melalui solidaritas teragung dalam sejarah umat manusia, Putera-Nya Yesus Kristus hadir ke dunia sebagai manusia, menunjukkan jalan untuk memulihkan kembali jati diri alam semesta dan seisinya sebagaimana citranya yang mula-mula. Solidaritas yang sedemikian mahal, yang dijalani Kristus dengan penderitaan salib yang sedemikian berat. Sama halnya dengan Kristus yang berjuang untuk menempuh jalan pemulihan itu, aku diajakNya untuk berjuang bersama dan di dalam Dia. Tidak ada yang mustahil bersamaNya, semuanya mungkin untuk menjadi baik kembali, dimulai dari diriku sendiri dan pilihan-pilihanku untuk menyangkal egoku dan memikul salib kecilku bersamaNya***
Tubuh hanyalah khasing, yang terpenting hati yang mengarah pada hal yang positif
[Dari Katolisitas: Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa tubuh hanya semacam “tempat/ casing” bagi jiwa, seolah keduanya terpisah. Manusia diciptakan memiliki jiwa dan tubuh, dan keduanya bersatu sedemikian membentuk kodrat yang satu. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:
KGK 365 Kesatuan jiwa dan badan begitu mendalam, sehingga jiwa harus dipandang sebagai “bentuk” badan , artinya jiwa rohani menyebabkan, bahwa badan yang dibentuk dari materi menjadi badan manusiawi yang hidup. Dalam manusia, roh dan materi bukanlah dua kodrat yang bersatu, melainkan kesatuan mereka membentuk kodrat yang satu saja.
Maka tubuh bukan semata semacam ‘kerangka’ yang tidak berpengaruh bagi kekudusan manusia. Sabda Tuhan mengajarkan bahwa tubuh kita adalah bait Allah (1 Kor 3:16, 6:19), sehingga kita harus menjaganya supaya tetap layak menjadi tempat kediaman Allah, sebagaimana dikehendaki oleh-Nya.]
Comments are closed.