Tidak terasa, beberapa hari lagi, Tuhan akan mengantarku memasuki tahapan hidup yang baru. Lembar kehidupan baru dalam biara dan saudara-saudara di dalamnya yang membuat hati penuh kegembiraan, kagum, dan bersemangat, sekaligus waspada, khawatir, dan menduga-duga. Aku sempat heran dan kagum untuk beberapa bulan. Kagum karena takjub akan rencana dan karya Tuhan dalam hidupku. Heran karena penasaran dengan alasan yang memotivasi mamaku hingga mengizinkan dan mendukungku untuk memilih jalan hidup selibat dalam biara.  Pertanyaan ini kemudian terjawab melalui suatu peristiwa.

Sekitar awal bulan Juli, mamaku terpaksa rawat inap di rumah sakit. Kata dokter sih infeksi lambung. Memang, penyakit maag kadang-kadang mengunjungi mama. Tapi, yang kali ini kelihatannya cukup serius. Belakangan, ternyata bukan maag, melainkan infeksi usus karena mungkin sempat mengkonsumsi makanan yang kurang higienis. Selama di rumah sakit ini, imanku akan panggilan Tuhan diuji. Betapa tidak. Dalam hati, pasti ada rasa khawatir dan cemas. Bagaimana nanti ketika aku sudah berada di biara? Apakah orangtuaku akan baik-baik saja? Ditambah lagi, mungkin memang mama sakit karena memikirkan keberangkatanku yang semakin dekat. Sering terlihat kekecewaan mama karena liburan keluarga yang dirancang sebelum aku masuk biara akhirnya harus berjalan tanpaku karena bertabrakan dengan jadwal masuk biara. Dalam situasi seperti ini, aku hanya bisa berpegang pada doa yang selama ini terbukti dalam hidupku : “Tuhan sendiri yang memulai, Tuhan pula yang akan menunjukkan jalannya hingga selesai. Terjadilah kehendak-Nya, apapun itu.”

Hingga pada suatu hari, mendadak si mama terlihat lebih ceria dan bisa makan. Padahal semalam sebelumnya mama masih diare dan muntah. Malah, sudah bisa lepas infus dan jalan-jalan ke kantin untuk membeli makanan kesukaan. Dokter aja sampai geleng-geleng. Sungguh mengherankan namun menggembirakan. Malam harinya, entah kenapa semua adikku juga berkumpul di rumah sakit. Kamipun makan malam bersama di kantin rumah sakit. Selama makan malam, satu keluarga ini bercerita dan bercanda bersama, orangtuaku, aku, dan adik-adikku. Entah kenapa, percakapan mengarah pada panggilanku.

Mama bercerita bahwa ia bisa menjadi lebih baik hari ini karena kebaikan Yesus. Sang Raja datang di malam sebelumnya dan menyentuh mamaku sehingga ketika pagi datang, entah kenapa mama merasa jauh lebih baik. Diare dan mual yang dirasa juga mendadak hilang sehingga bisa makan lagi. Peristiwa itu mengingatkan mama akan pengalamannya beberapa bulan lalu, ketika ia menangis dalam gereja, meratap kehilangannya pada Tuhan karena Ia memanggilku memasuki biara. Jawaban yang diberikan berupa penglihatan di mana mama melihat aku mengenakan jubah putih. Semenjak hari itu, mama merelakan aku menjawab panggilan Tuhan, walau kadang masih agak berat sehingga kadang masih tampak sedih.

Masalah pewahyuan pribadi ini, aku tidak tahu. Mamaku juga tidak mungkin cerita pada imam atau bahkan Uskup karena ia bukan seorang Katolik. Namun, aku percaya bahwa ini semakin meneguhkan panggilan-Nya padaku. Panggilan yang semakin mendasar, bukan sekedar menjadi imam atau biarawan saja, tetapi menjadi imam atau biarawan yang kudus. Memang itulah yang sedang dibutuhkan Gereja saat ini. Aku teringat biografi St. Josemaria Escriva, di mana ia pernah berkata : “Seorang imam tanpa kekudusan heroik? Dia akan menjadi makhluk yang paling aneh, tidak menentu, paling berbahaya..” (Catatan Sejarah Pendiri, 2210). Panggilan-Nya padaku tidak hanya sekedar menjalani kehidupan klerikal, tapi kehidupan klerikal yang kudus. Daripada jadi makhluk Tuhan paling berbahaya, mending jadi makhluk Tuhan paling seksi, eh.. kudus maksudnya.

Allah memanggil semua orang menjadi orang kudus, karena Ia adalah kudus (1 Pet 1:16). Karena Ia sendiri yang memerintahkan, tentu saja hal ini adalah hal yang mungkin, walaupun sulit. Setiap orang bisa menjadi santo-santa melalui jalan hidupnya masing-masing. Jalanku mungkin melalui mempersembahkan seluruh hidupku secara radikal pada Yesus dalam kehidupan biara. Satu hal yang pasti, persembahan ini bukan lagi persembahan hidupku semata. Dalam diriku ini tersimpan juga pengorbanan orangtuaku, adik-adikku, saudara-saudara, teman-teman, dan semua orang yang mendukung dan mendoakanku. Jawaban “ya” dariku atas panggilan-Nya bukan lagi melulu jawabanku, tapi terkandung juga jawaban “ya” dari mereka semua. Jawaban “ya” menuju kekudusan. Setiap orang yang siap membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah (Luk 9:62). Demikian pula untuk si pemintal gulali ini, tidak boleh lagi berpaling dari panggilan menuju kekudusan.

 

 

 

5 COMMENTS

  1. Semoga semua imam selalu menghayati panggilannya, agar menjadi kudus dalam setiap langkah kehidupannya. Kesaksian iman yang luar biasa. Tuhan Yesus Memberkati.

  2. “Seorang imam tanpa kekudusan heroik? Dia akan menjadi makhluk yang paling aneh, tidak menentu, paling berbahaya..” aduhh…knp kedengarannya jd mengerikan yaa…berarti engga cukup “kudus” aja ya? tp mesti pake “heroik”? Kami berdoa, semoga para imam diberi rahmat utk slalu bisa menjadi kudus yg heroik…tidak hanya sekedar menjalani kehidupan klerikal, tapi kehidupan klerikal yang kudus, shg bs jadi makhluk Tuhan paling seksi, eh.. kudus maksudnya, hehe, diatas smua itu..artikel ini menyentuhku krn mengingatkan bhw Allah memanggil semua orang menjadi orang kudus, karena Ia adalah kudus (1 Pet 1:16). Karena Ia sendiri yang memerintahkan, tentu saja hal ini adalah hal yang mungkin, walaupun sulit. Jadi..mari kita sama2 berjuang menjadi kudus…semangat!! Thank you, GBU.

  3. Shalom,

    Kesaksian hidup yang luar biasa. Saya mendapatkan pencerahan dan inspirasi yang sangat berharga. Tuhan kiranya memberkati saudara(i) yang menuliskan semuanya ini. Terima kasih.

    • Shalom,
      Sebuah kesaksian hidup yang luar biasa. Menjadi inspirasi buat anak2 kami yang lagi beranjak remaja. Semoga rahmat Tuhan kita Yesus Kristus selalu menyertai perjalanan saudara Ioannes ke kebun anggur Tuhan. Kami iringi dengan doa buat saudara Ioannes. Tuhan Yesus memberkati.

      Amien

Comments are closed.