Kehidupan bagaikan semak belukar, berat dan tidak enak dipandang. Hidup terperangkap dalam banyak kegiatan. Pontang-panting menimbulkan pertanyaan “apa yang dicari” dengan semuanya. Semuanya berakhir pada “serba salah”. Bukannya sebuah kesaksian hidup yang dipancarkan, tetapi kekecewaan yang merobek ketulusan. Kelelahan yang menyiksa menimbulkan kerinduan untuk kembali kepada misi kehidupan. Memadahkan cinta, tanpa gebyar-gebyar, membuat hidup kembali nyaman dan bermakna.

Hidup sederhana, tetapi penuh hikmat, dilakoni oleh seorang ibu yang harus menjalani cuci darah seminggu tiga kali sejak enam tahun lalu akibat penyakit diabetes yang ia derita sejak duapuluh delapan tahun silam. Penyakit diabetesnya itu pelan-pelan menggerogoti organ-organ vital tubuhnya. Ia dapat bertahan karena madah cintanya kepada Tuhan dan keluarganya, yang ia alunkan dalam setiap langkah hidupnya. Kesibukannya pun tidak menebarkan kejengkelan, tetapi justru kekaguman karena merupakan buah dari cinta. Perkataan Ibu Theresia dari Kalkuta “Buah dari iman adalah kasih dan buah dari kasih adalah pengabdian” merupakan inspirasinya. Senyuman merupakan riasan alaminya sehingga kelelahan fisik akibat diabetes yang ganas tidak tampak.

Kisah hidupnya seharusnya pantas diangkat ke layar kaca karena akan meneguhkan iman para pemirsa. Pada suatu siang, ia meminta tolong menantunya untuk memanggilkan aku. Ia mengenalku dari siaran “Oase Rohani Katolik” di Radio Cakrawala. Ia ingin sekali mengaku dosa dan curhat. Aku dan juga anak-anaknya sempat berpikir bahwa ia mungkin akan menumpahkan segala uneg-unegnya yang telah menyesakkan dada akibat luka batin di masa silam. Ternyata pikiran kami meleset semua. Ia curhat bahwa ia ingin menghadap Tuhan kalau memang sudah tidak berguna. Ia tahu bahwa anak-anak dan para cucunya sangat mengharapkan kehadirannya, tetapi mereka sudah mandiri semuanya, sehingga tidak mengganggu pikirannya. Batinnya tersiksa dengan bayang-bayang orang-orang jompo di Pamulang. Selama dua tahun ini ternyata setiap minggu ia memasak makanan bagi mereka. Ketika ia sakit, ia tidak bisa melakukannya. “Siapa ya, sekarang, yang memberikan makan bagi mereka yang lemah itu”, itulah ungkapan batinnya. Hatinya yang mulia mencengangkan kami semua. Hatinya yang mulia terbentuk sejak masih belia. Ia selalu bangun jam empat pagi untuk membantu maminya memasak dan memandikan binatang-binatang peliharaan orang tuanya. Baru kemudian ia berangkat ke sekolah. Setelah pulang sekolah, ia tidak bermain, tetapi membantu maminya membuat kue dan menjahit pakaian untuk menambah penghasilan keluarga. Ia menabung uang sisa keperluan rumah tangga dalam bentuk perhiasan-perhiasan emas.

Pada usia duapuluh tahun, Tuhan mempertemukannya dengan pasangannya dan mereka menikah di sebuah gereja non Katolik, menurut iman suaminya. Setelah menikah, ia bersama suaminya pindah ke Rangkasbitung dan tinggal di rumah kontrakan yang sederhana. Ia mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Ia menanamkan iman ke dalam diri keenam anaknya sejak mereka kecil. Ia mengajarkan kepada anak-anaknya itu untuk mengucap syukur atas segala sesuatu kepada Tuhan. Setiap malam, ia selalu mendoakan anak-anaknya dengan menyebut namanya satu persatu. Ia menjadikan Firman Tuhan pegangan hidup anak-anaknya dengan menuliskan ayat-ayat Kitab Suci di tembok rumah. Peduli kepada sesama sudah dibiasakannya dalam keluarga dengan meminta anak-anaknya mengirimkan makanan kepada tetangga-tetangganya yang kesusahan.

Pada tahun 1971 ia memutuskan untuk menjadi Katolik. Alasannya : ibadatnya sederhana, romonya murah senyum dan berpenampilan sederhana, serta tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin. Sejak menjadi Katolik, ia meminta anak-anaknya aktif dalam kegiatan gerejani. Pada tanggal 29 September 2003, ia harus menjadi orang tua tunggal karena suaminya meninggal dunia. Suaminya meninggal dunia karena penyakit yang sama dengan yang dideritanya.

Setelah anak-anaknya bersedia untuk melanjutkan memberi makan kepada orang-orang tua di panti werdha, ia menghadap Bapa pada Pesta Pemberkatan Gereja Basilika Lateran di Roma pada tanggal 09 November 2012 pukul 18.27. Ia menghembuskan nafas terakhirnya pada saat doa Koronka selesai didaraskan. Ia telah mencapai kemenangan dengan masuk dalam Gereja Abadi di Surga, yang dilambangkan Pesta Gereja Basilika Lateran, dan dengan menerima cinta kasih Yesus dalam doa Koronka yang mengiringi kepergiannya. Ia memberikan pesan kepada anak-anaknya tentang sukacitanya untuk menghadap Bapa : “Mami sudah siap pulang ke Surga. Kalian jangan sedih dan menangis, tetapi harus bersukacita dengan memanggil tukang masak dan tukang kue karena Mami telah memenangkan pertandingan”.

Sejarah hidupnya yang dibungkus dengan kasih memberikan teladan bagaimana seharusnya anugerah hidup ini disyukuri sehingga menjadi bermakna. Hidup adalah sebuah tantangan, maka hadapilah dengan sukacita. Hidup adalah sebuah lagu, maka nyanyikanlah dengan perasaan. Hidup adalah sebuah mimpi, maka raihlah dengan bijaksana. Hidup adalah sebuah permainan, maka mainkanlah dengan cerdas. Hidup adalah sebuah pujian, maka madahkanlah dengan iman. Hidup adalah sebuah cinta, maka pancarkanlah dengan ceria. Dekatlah dengan Yang Mahakuasa, maka hidup pun tiada bernoda pada hari kesudahannya : “Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari padaNyalah keselamatanku” (Mazmur 62:2). Tuhan memberkati.

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

1 COMMENT

  1. Sungguh luar biasa kesaksian hidup ini. Pengabdian dan hidupnya mencerminkan Kasih dan teladan Yesus. Mampukan aku Tuhan meneladani sikap hidup ibu ini, mulai dari hal-hal kecildan sederhana. Amin

Comments are closed.