Berikut ini adalah terjemahan teks dari dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium bab 5 (paragraf no. 39-42), yaitu tentang Panggilan Umum untuk Kekudusan dalam Gereja. Pesan ini sangat penting diketahui oleh semua umat Katolik, termasuk kaum awam, sebab panggilan kekudusan ini juga ditujukan kepada kita, bukan hanya kepada kaum religius. Kita yang menikah maupun yang lajang, yang mempunyai beragam latar belakang dan peran dalam keluarga dan masyarakat, semua dipanggil untuk hidup kudus. Melalui pekerjaan dan hidup kita sehari-hari, kita dipanggil untuk melaksanakan ajaran iman kita, yaitu cinta kasih, agar dengan demikian dunia sekitar kita dapat mengalami kasih Allah; dan kita sendiri diarahkan untuk hidup lebih serupa dengan teladan Kristus.
BAB LIMA –
PANGGILAN UMUM UNTUK KEKUDUSAN DALAM GEREJA
39. (Prakata)
Kita mengimani Gereja, yang misterinya diuraikan oleh Konsili suci ini, bahwa kekudusannya tidak akan hilang. Sebab Kristus, Putera Allah, yang bersama Bapa dan Roh Kudus dipuji bahwa “hanya Dialah Kudus”[122], mengasihi Gereja sebagai mempelai-Nya, dengan menyerahkan diri baginya untuk menguduskannya (lih. Ef 5:25-26). Ia menyatukannya dengan diri-Nya sebagai tubuh-Nya sendiri dan menyempurnakannya dengan kurnia Roh Kudus, demi kemuliaan Allah. Maka dalam Gereja semua anggota, entah termasuk Hirarki entah digembalakan olehnya, dipanggil untuk kekudusan, yang menurut amanat Rasul: “Sebab inilah kehendak Allah: pengudusanmu” (1Tes 4:3; lih. Ef 1:4). Adapun kekudusan Gereja itu tiada hentinya dinyatakan dan harus dinyatakan di dalam buah-buah rahmat, yang dihasilkan oleh Roh Kudus dalam kaum beriman. Kekudusan itu dengan aneka cara terungkapkan pada masing-masing orang, yang dalam jalan hidupnya menuju kesempurnaan cinta kasih, sehingga memberi teladan baik kepada sesama. Secara khas pula kekudusan ini nampak dalam pelaksanaan nasehat-nasehat, yang lazim disebut “nasehat Injil”. Pelaksanaan nasehat-nasehat itu di bawah dorongan Roh Kudus yang ditempuh oleh banyak orang Kristiani, entah secara perorangan, entah dalam kondisi atau status hidup yang disahkan oleh Gereja, memberikan dan harus memberikan di dunia ini kesaksian dan teladan yang ulung tentang kekudusan itu.
40.(Panggilan umum kepada kekudusan)
Tuhan Yesus, Guru dan Teladan ilahi segala kesempurnaan, mengajarkan kekudusan hidup kepada setiap murid-Nya di dalam setiap keadaan. Ia sendiri adalah pencipta dan pelaksana kekudusan ini dalam hidup: “Kamu harus sempurna, seperti Bapamu yang di sorga sempurna adanya” (Mat 5:48)[123]. Memang, kepada semua orang diutus-Nya Roh Kudus, untuk menggerakkan mereka dari dalam, supaya mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap kekuatan mereka (lih. Mrk 12:30), dan agar mereka saling mencintai seperti Kristus telah mencintai mereka (lih. Yoh 13:34; 15:12). Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan mereka, melainkan berdasarkan rencana dan rahmat-Nya. Mereka dibenarkan dalam Tuhan Yesus, dan dalam Pembaptisan iman sungguh-sungguh dijadikan anak-anak Allah dan ikut serta dalam kodrat ilahi. Dengan cara ini, mereka sungguh dijadikan kudus. Maka juga dengan karunia Allah, mereka wajib mempertahankan dan melengkapi dalam hidup mereka, kekudusan yang telah mereka terima. Oleh rasul [Rasul Paulus] mereka dinasehati, supaya hidup “sebagaimana layak bagi orang-orang kudus” (Ef 5:3); supaya “sebagai kaum pilihan Allah, sebagai orang-orang Kudus yang tercinta, mengenakan sikap belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran” (Kol 3:12); dan supaya menghasilkan buah-buah Roh dalam kekudusan (lih. Gal 5:22; Rom 6:22). Akan tetapi karena dalam banyak hal kita semua bersalah (lih. Yak 3:2), kita terus-menerus membutuhkan belas kasihan Allah dan wajib berdoa setiap hari: “Dan ampunilah kesalahan kami” (Mat 6:12)[124].
Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang Kristiani, bagaimanapun status atau jenjang hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan cinta kasih[125]; dengan kekudusan sedemikian, cara hidup yang lebih manusiawi dapat dikembangkan di dalam masyarakat di dunia ini. Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus. Mereka harus mengikuti jejak-Nya dan menyesuaikan diri mereka dengan citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segala sesuatu. Mereka harus dengan segenap jiwa membaktikan diri bagi kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama. Dengan demikian, kekudusan Umat Allah akan bertumbuh dan menghasilkan buah berlimpah, seperti dalam sejarah Gereja telah diperlihatkan secara mengagumkan oleh kehidupan sekian banyak orang kudus.
41. (Bentuk pelaksanaan kekudusan)
Ada banyak jenjang dan tugas-tugas kehidupan namun kekudusan adalah satu dan sama, yaitu kekudusan yang ditumbuhkan oleh semua orang, yang digerakkan oleh Roh Allah, dan yang mematuhi suara Bapa serta menyembah Allah Bapa dalam roh dan kebenaran. Mereka mengikuti Kristus yang miskin, rendah hati dan memanggul salib-Nya, agar mereka pantas ikut menikmati kemuliaan-Nya. Adapun setiap orang, menurut kurnia dan tugasnya sendiri, wajib melangkah tanpa ragu-ragu menempuh jalan iman yang hidup, yang membangkitkan harapan dan perbuatan-perbuatan melalui cinta kasih.
Terutama, para Gembala kawanan Kristuslah yang wajib menjalankan pelayanan mereka dengan kudus dan gembira, dengan rendah hati dan berani, menurut citra Imam Agung dan Abadi, Gembala dan Pengawas jiwa kita. Dengan demikian pelayanan yang mereka lakukan juga bagi mereka sendiri akan menjadi upaya pengudusan yang ulung. Mereka yang dipilih untuk mengemban kepenuhan imamat dikurniai kemampuan untuk melaksanakan tugas yang sempurna tentang kasih penggembalaan melalui rahmat sakramen Tahbisan Suci. Tugas sempurna kasih penggembalaan ini dilakukan di dalam setiap bentuk perhatian/pengabdian Uskup dan pelayanan, doa, pengorbanan, dan khotbah [126]. Oleh rahmat sakramental yang sama, mereka dikaruniai keberanian supaya jangan takut menyerahkan jiwa demi domba-domba, dan kemampuan untuk memajukan kekudusan yang lebih tinggi di dalam Gereja dengan contoh hidup mereka sehari-hari, dengan menjadi teladan bagi kawanan mereka (lih. 1Ptr 5:3).
Para imam, yang serupa dengan para Uskup dalam derajat tertentu di dalam partisipasi mereka dalam sakramen Tahbisan Suci, menjadi mahkota rohani bagi para Uskup [127]. Mereka ikut-serta mengemban rahmat tugas para Uskup, dan mereka hendaknya bertumbuh dari hari ke hari dalam kasih mereka kepada Allah dan sesama mereka dengan melaksanakan tugas mereka melalui Kristus, satu-satunya Pengantara yang kekal. Hendaklah mereka memelihara ikatan persekutuan para imam, melimpah dalam segala kebaikan rohani, dan dengan demikian memberi kesaksian hidup tentang Allah kepada semua orang[128]. Semua ini harus mereka lakukan untuk memajukan para imam itu, yang dalam perjalanan waktu meninggalkan contoh kekudusan yang gemilang, dengan pengabdian mereka yang sering amat sederhana dan tersembunyi. Pujian terhadap mereka menggema dalam Gereja Allah. Melalui tugas jabatan mereka untuk berdoa dan mempersembahkan korban bagi jemaat mereka dan segenap Umat Allah, mereka harus meningkat kepada taraf kekudusan yang lebih tinggi. Dengan menyadari apa yang mereka lakukan dan berusaha menghayati apa yang mereka lakukan [129] para imam ini, dalam karya-karya apostolik hendaknya tidak terperangkap oleh bahaya-bahaya dan kesukaran-kesukaran, melainkan hendaklah justru karena itu mereka mencapai taraf kekudusan yang lebih tinggi. Mereka harus memupuk dan menguatkan kegiatan- kegiatan mereka dengan kelimpahan hasil kontemplasi, dan melakukan semua ini demi kebaikan seluruh Gereja Allah. Hendaklah semua imam, dan terutama mereka yang karena alasan khas tahbisan mereka disebut imam diosesan (projo), mengingat betapa besar nilainya bagi pertumbuhan kekudusan mereka, kesetiaan dan kerjasama yang ikhlas dan murah hati dengan Uskup mereka.
Ikut serta pula dalam perutusan dan rahmat imam tertinggi adalah para pelayan di tingkat yang lebih rendah, terutama para Diakon, yang seperti para pelayan itu, yang adalah pelayan misteri-misteri Kristus dan Gereja[130], wajib mempertahankan kemurniannya dari segala perilaku buruk dan berdiri di hadapan orang banyak sebagai personifikasi kebaikan dan sahabat Allah (lih. 1Tim 3:8-10 dan 12-13). Para rohaniwan, yang dipanggil oleh Tuhan dan dikhususkan bagi-Nya, agar menyiapkan diri untuk tugas-tugas pelayanan di bawah pengawasan para gembala rohani, wajib menyesuaikan budi dan hati mereka dengan pilihan yang istimewa ini. Mereka akan mencapai ini dengan bertekun dalam doa, dengan cinta kasih yang berkobar, dengan mencita-citakan apa saja yang benar, adil dan pantas dipuji. Mereka akan mencapai semua ini demi kemuliaan dan keluhuran Allah. Menyusul mereka, terdapat pula para awam yang terpilih oleh Allah, dan dipilih oleh Uskup. Para awam ini membaktikan diri sepenuhnya kepada karya kerasulan – untuk bekerja di ladang Tuhan dengan menghasilkan banyak buah.[131]
Selanjutnya, para suami-isteri dan orang tua kristiani wajib mengikuti jalan hidup mereka dengan cinta kasih yang setia. Mereka harus saling mendukung dalam rahmat, sepanjang hidup mereka. Mereka harus meresapkan ajaran kristiani maupun keutamaan-keutamaan Injil di dalam hati keturunan (anak-anak) mereka, yang mereka sambut dengan kasih sebagai karunia Tuhan. Sebab dengan cara ini mereka memberi teladan cinta kasih yang tak kenal lelah dan penuh kerelaan kepada semua orang, dan dengan demikian mereka membangun persaudaraan kasih, dan dengan melakukannya, mereka menjadi saksi serta pendukung kesuburan Bunda Gereja yang kudus; dengan kehidupan yang sedemikian, mereka adalah tanda dan sekaligus pengambil bagian di dalam cinta kasih yang sama, yang dengannya Kristus mengasihi mempelai-Nya, yang kepadanya Ia [Kristus] menyerahkan diri-Nya [132]. Teladan serupa disajikan dengan cara lain oleh para janda dan mereka yang tidak menikah, yang juga dapat menyumbang banyak sekali bagi kesucian dan karya apostolik dalam Gereja. Akhirnya, mereka yang bekerja – dan tak jarang menanggung beban kerja yang berat- hendaknya menjadikan diri mereka sendiri lebih baik melalui pekerjaan mereka. Mereka harus membantu sesama warga, mengangkat segenap masyarakat dan bahkan alam ciptaan kepada keadaan yang lebih baik. Sungguh, hendaklah mereka dengan cinta kasih yang aktif, dalam pengharapan yang penuh suka cita dan dengan saling menanggung beban dengan sukarela, meneladan Kristus, yang dahulu bekerja dengan tangan-Nya dengan alat tukang kayu, dan yang dalam kesatuan dengan Bapa-Nya, terus bekerja demi keselamatan semua orang. Maka, di dalam pekerjaan mereka sehari-hari ini, hendaknya mereka [para pekerja] mendaki untuk mencapai tingkat kekudusan dan kegiatan apostolik yang lebih tinggi.
Semoga mereka semua yang ditimpa oleh kemiskinan, kelemahan, penyakit dan pelbagai kesukaran, atau yang menanggung penganiayaan demi kebenaran – semoga mereka semua mengetahui bahwa mereka dipersatukan dengan Kristus yang menderita dalam cara yang istimewa demi keselamatan dunia. Tuhan menyebut mereka berbahagia di dalam Injil-Nya, dan mereka adalah orang-orang yang kepadanya “Allah, sumber segala rahmat, yang dalam Kristus Yesus telah memanggil kita ke dalam kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan dan mengokohkan, sesudah mereka menderita seketika lamanya” (1Ptr 5:10).
Jadi semua orang beriman kristiani dalam kondisi apapun hidup mereka, dalam tugas-tugas serta keadaan mereka – dan memang melalui itu semua- dari hari ke hari akan makin dikuduskan, bila mereka dalam iman menerima segala-sesuatu dari tangan Bapa di sorga, dan jika mereka bekerja sama dengan kehendak ilahi. Di dalam tugas sehari-hari ini, mereka akan menyatakan kepada semua orang, cinta kasih Allah terhadap dunia.
42. (Jalan dan upaya kekudusan)
“Allah itu kasih, dan barang siapa tetap berada dalam kasih, ia tinggal dalam Allah dan Allah dalam dia” (1Yoh 4:16). Adapun Allah mencurahkan cinta kasih-Nya ke dalam hati kita melalui Roh Kudus yang dikurniakan kepada kita (lih. Rom 5:5). Maka dari itu kurnia yang pertama dan paling perlu adalah cinta kasih, yang dengannya kita mencintai Allah melebihi segala sesuatu dan mengasihi sesama demi Dia. Memang, agar cinta kasih sebagaimana benih yang baik dapat bertumbuh dalam jiwa dan menghasilkan buah, setiap orang beriman wajib mendengarkan sabda Allah dengan suka hati, dan menerima kehendak-Nya, dan harus melengkapi dengan tindakan mereka apa yang telah Tuhan mulai, dengan pertolongan rahmat Tuhan. Tindakan- tindakan ini terdiri dari: menerima sakramen-sakramen, terutama Ekaristi, dan kerap ikut serta dalam perayaan liturgi, juga dengan berdoa, mengingkari diri, melayani sesama secara aktif, dan mengamalkan segala kebajikan. Sebab cinta kasih, sebagai pengikat kesempurnaan dan kepenuhan hukum (lih. Kol 3:14; Rom 13:10), mengatasi semua cara untuk mencapai kekudusan dan memberikan hidup kepada semua cara ini. [133] Cinta kasihlah yang mengarahkan kita kepada tujuan akhir kita. Maka cinta kasih akan Allah maupun akan sesama merupakan ciri murid Kristus yang sejati.
Karena Yesus, Putera Allah, telah menyatakan cinta kasih-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita, maka demikian juga, tak seorang pun mempunyai cinta kasih yang lebih besar daripada ia yang menyerahkan hidupnya untuk Kristus dan saudara-saudaranya (lih. 1Yoh 3:16; Yoh 15:13). Sudah sejak masa permulaan ada orang-orang Kristiani yang telah dipanggil, dan selalu masih ada yang akan dipanggil, untuk memberi kesaksian cinta kasih yang tertinggi itu di hadapan semua orang, khususnya di hadapan para penganiaya. Maka Gereja memandang kematian sebagai martir sebagai kurnia yang luar biasa dan bukti cinta kasih yang tertinggi, yang menjadikan murid serupa dengan Gurunya yang dengan rela menerima kematian demi keselamatan dunia, dan juga serupa dengan Dia dalam menumpahkan darahnya. Meskipun hanya sedikit orang yang diberi kesempatan ini, namun semua [umat beriman] harus siap-sedia mengakui Kristus di muka orang-orang. Mereka harus siap membuat pernyataan iman ini di tengah penganiayaan, yang selalu saja menimpa Gereja, untuk mengikuti jalan salib Kristus.
Demikian juga, kekudusan Gereja secara istimewa ditingkatkan oleh pelaksanaan aneka macam nasehat, yang oleh Tuhan dalam Injil disampaikan kepada para murid-Nya[134]. Posisi utama di antara semua ini dipegang oleh keperawanan atau status selibat (lih. 1Kor 7:32-34). Ini adalah kurnia berharga dari rahmat ilahi, yang oleh Bapa dianugerahkan kepada beberapa orang tertentu (lih. Mat 19:11; 1Kor 7:7), supaya melaluinya mereka lebih mudah membaktikan diri seutuhnya kepada Allah, dengan hati tak terbagi (lih. 1Kor 7:32-34)[135]. Tarak sempurna demi Kerajaan sorga itu dalam Gereja selalu dihargai secara istimewa. Alasannya adalah bahwa tarak sempurna demi kasih kepada Tuhan adalah dorongan terhadap cinta kasih, dan adalah jelas suatu sumber kesuburan rohani yang luar biasa di dunia.
Gereja juga tetap mengingatkan anjuran Rasul, yang mengundang kaum beriman untuk mengamalkan cinta kasih, dan mendorong mereka supaya mengalami secara pribadi apa yang telah Kristus kenali di dalam diri-Nya sendiri. Ini adalah Kristus Yesus yang sama, “yang telah mengosongkan Diri-Nya dan mengenakan rupa seorang hamba, – dan menjadi taat sampai mati” (Flp 2:7-8), dan demi kita “menjadi miskin, meskipun Ia kaya” (2Kor 8:9). Karena para murid harus selalu meniru dan memberikan kesaksian tentang cinta kasih dan kerendahan hati Kristus, Bunda Gereja bergembira, bahwa dalam pangkuannya terdapat banyak pria dan wanita, yang mengikuti dari dekat Sang Penyelamat, yang menurut pemahaman kita, telah merendahkan Diri-Nya sendiri. Ada beberapa orang yang dalam kebebasannya sebagai anak-anak Allah, menerima kemiskinan serta mengingkari keinginan-keinginan mereka sendiri. Lebih jauh lagi, beberapa dari mereka atas kemauan sendiri menempatkan diri di bawah kuasa seseorang yang lain, di dalam hal kesempurnaan demi kasih kepada Allah. Ini melampaui ketentuan perintah yang diwajibkan tetapi dilakukan, agar menjadi lebih menyerupai Kristus yang taat[136].
Maka semua orang beriman Kristiani diajak untuk berjuang mengejar kekudusan dan kesempurnaan status hidup mereka. Memang, mereka mempunyai kewajiban untuk berjuang dengan keras. Oleh karena itu hendaklah semua memperhatikan, agar mereka mengarahkan keinginan-keinginan hati dengan tepat, supaya mereka dalam mengejar cinta kasih yang sempurna jangan dirintangi karena penggunaan hal-hal duniawi dan keterikatan kepada kekayaan yang melawan semangat kemiskinan menurut Injil. Itulah maksud nasehat Rasul kepada mereka yang menggunakan barang-barang duniawi ini: janganlah mereka menerima pengertian dunia, sebab dunia ini sebagaimana yang kita lihat, sedang/ akan berlalu (lih. 1Kor 7:31 )[137].
Catatan kaki:
[122] Misal Romawi, “Kemuliaan kepada Allah di sorga”. Lih. Luk 1:35; Mrk 1:24; Luk 4:34; Yoh 6:69: “Yang Kudus dari Allah”; Kis 3:14; 4:27 dan 30; Ibr 7:26; 1Yoh 2:20; Why 3:7.
[123] Lih. ORIGENES, Komentar pada Rom 7:7 PG 14,1122B. Pseudo MAKARIUS, Tentang Doa 11 : PG 34,861AB. S. TOMAS, Summa Theol. II-II, soal 184, art. 3.
[124] Lih. St. AGUSTINUS, Penarikan Kembali, II, 18: PL 32,637 dsl. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 225.
[125] Lih. PIUS XI, Ensiklik Rerum omnium, 26 januari 1923: AAS 15 (1923) hlm. 50 dan 59-60. Ensiklik Casti Connubii, 31 Desember 1930: AAS 22 (1930) hlm. 548. PIUS XII, Konstitusi apostolis Provida Mater, 2 Februari 1947: AAS 39 (1947) hlm. 117. Amanat Annus sacer, 8 Desember 1950: AAS 43 (1951) hlm. 27-28. Amanat Nel darvi, Juli 1956: AAS 48 (1956) hlm. 574 dsl.
[126] Lih. St. TOMAS, Summa Theol, II-II, soal 184, art. 5 dan 6. Tentang kesempurnaan hidup rohani, bab 18. ORIGENES, Tentang Yesaya, Homili 6,1: PG 13,239.
[127] Lih. St. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Magnesia, 13,1: terb. FUNK, I, hlm. 241.
[128] Lih. St. PIUS X, Amanat Haerent animo, 4 Agustus 1908: ASS 41 (1908) hlm. 560 dsl. Kitab Hukum Kanonik (lama) kanon 124. PIUS XI, Ensiklik Ad catholic sacerdotii, 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 22 dsl.
[129] Tata-laksana Tahbisan Imam, dalam kotbah pada awal upacara.
[130] Lih. St. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Tralles 2,3: terb. FUNK, I, hlm. 244.
[131] PIUS XII, Amanat Sous la maternelle protection, 9 Desember 1957: AAS 50 (1958) hlm. 36.
[132] PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii, 31 Desember 1930: AAS 22 (1930)hlm. 548 dsl. Lih. St. YOH. KRISOSTOMUS, Tentang Ef, Homili 20,2: PG 62,136 dsl.
[133] Lih. S. AGUSTINUS, Enchriridion (kamus) 121,32: PL 40,288. St. TOMAS, Summa Theol, II-II, soal 184, art. 1. PIUS XII, Amanat apostolik Mentinostrae, 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 660.
[134] Tentang nasehat-nasehat itu pada umumnya, Lih. ORIGENES, Komentar Rom X, 14: PG 14,1275B. St. AGUSTINUS, Tentang keperawanan suci, 15,15: PL 40,403. St. TOMAS, Summa Theol, I-II, soal 100, art. 2 C (pada akhir); II-II, soal 44, art. 4, ad 3.
[135] Tentang keunggulan keperawanan suci, lih. TERTULIANUS, Anjuran tentang kemurnian, 10: PL 2,225C. St. SIPRIANUS, tentang para perawan 3 dan 22: PL 4,443B dan 461A dsl. S. ATANASIUS (?), Tentang para perawan: PG 28,252 dsl. St. YOH KRISOSTOMUS, Tentang para perawan: PG 48,533 dsl.
[136] Tentang kemiskinan rohani, lih. Mat 5:3 dan 19:21; Mrk 10:21; Luk 18:22; tentang ketaatan terdapat contoh Kristus dalam Yoh 4:34 dan 6:38; Flp 2:8-10; Ibr 10:5-7. Banyak sekali teladan dikemukakan oleh para Bapa Gereja dan para pendiri tarekat.
[137] Tentang pelaksanaan nyata nasehat-nasehat, yang tidak diharuskan kepada semua orang, lih. St. YOH KRISOSTOMUS, Tentang Mat, Homili 7,7: PG 57,81 dsl. S. AMBROSIUS, Tentang para janda, 3,23: PL 16,241 dsl.
[Diterjemahkan oleh Katolisitas.org, dari “The Sixteen Documents of Vatican II“, Pauline Books and Media, 1999]