Sumber gambar: http://missionhelpers.wordpress.com/2013/12/19/living-in-hope-a-reflection-for-the-4th-sunday-of-advent/

[Hari Minggu Adven IV: 2Sam 7:1-5,8-12,14-16; Mzm 89:2-5,27,29: Rm 16:25-27; Luk 1:26-38] 

Aku memandang Kitab Suciku yang kian hari kian belel ini. Kalau kulihat sekilas dari samping buku, sudah terlihat tandanya, betapa aku lebih suka membaca bagian Perjanjian Baru, ketimbang Perjanjian Lama. Mengapa? Aku sendiri tak tahu pasti. Mungkin karena kisah Tuhan Yesus ada di bagian akhir itu. Tetapi alasan yang mungkin lebih jujur adalah: ini menggambarkan kecenderunganku yang lebih suka melihat hasil akhir, ketimbang melihat perjalanan mencapai hasil akhir.

Di akhir Minggu Adven ini, Tuhan membuka mata hatiku untuk menghargai keduanya. Sebab perjalanan mencapai hasil akhir, yang melibatkan masa penantian, pemurnian dan pengharapan, itu sendiri menggambarkan kisah iman, yang tidak hanya dialami oleh bangsa Israel, tetapi juga dialami oleh setiap kita, secara pribadi. Kisah penyelamatan umat manusia itu sendiri tidak terjadi secara instan, tetapi melewati kurun waktu yang panjang. Maka nampaknya, sering hal itupun yang umum terjadi dalam hidup kita sebagai manusia. Perjalanan iman dan pertumbuhan rohani kita tidak terjadi secara seketika, tetapi melalui suatu proses jatuh bangun, yang sering kali tidak mudah. Tapi kabar baiknya adalah, Allah tetap setia menepati janji-Nya untuk menyelamatkan kita.

Sejak awal mula, sejak manusia pertama jatuh dalam dosa, Allah telah menjanjikan kedatangan Sang Penyelamat, yang akan lahir sebagai keturunan dari sang perempuan, yang akan mengalahkan iblis (lih. Kej 3:15). Setelah itu janji kedatangan Sang Penyelamat terus dinubuatkan silih berganti oleh para Patriarkh dan para nabi. Maka nubuat yang dibacakan di Bacaan Pertama hari ini adalah salah satu nubuatan itu, yaitu bahwa sang Mesias akan lahir sebagai keturunan Raja Daud (lih. 2Sam 7:12,14,16). Selanjutnya, Nabi Yesaya sekitar 7 abad sebelum Masehi, telah menubuatkan kedatangan Mesias dari seorang perawan (lih. Yes 7:9-14). Nabi Mikha bahkan secara khusus telah menyebutkan Betlehem sebagai kota kelahiran-Nya (lih. Mi 5:2-5). Betapa tak terpahami rencana Allah ini. Berabad-abad Ia mempersiapkan umat-Nya untuk menerima penggenapan rencana-Nya. Ia tetap menepati janji-Nya, meskipun berkali-kali bangsa Israel tidak setia kepada-Nya. Ia tetap mengutus Putera-Nya sendiri untuk menyelamatkan kita. Jika Putera Allah itu rela mengambil rupa manusia, bagaimana aku bisa berlambat-lambat menyambut-Nya? Jika Ia yang mahatinggi mau merendahkan diri dan lahir sebagai seorang bayi mungil di kandang hewan, pantaskah aku bercongkak hati? Jika Ia yang Empunya segala sesuatu, mau menghampakan diri dan menjadi seorang anak tukang kayu, mungkinkah tak kulihat begitu mulianya nilai kesederhanaan? Engkau merelakan segalanya untuk menyelamatkan kami umat-Mu, ya Tuhan. Betapa semua ini Kaulakukan untuk menyatakan kasih-Mu kepada kami, termasuk kepadaku. O, betapa jiwaku memohon agar Engkau sudi menambahkan lagi setitik pengertian di dalam batinku, tentang misteri kasih-Mu yang tak terpahami ini!

Di hari-hari menjelang Natal ini, mata hatiku tertuju kepada Bunda Maria. Sosoknya yang sederhana selalu memikat hatiku. Saat menerima Kabar Gembira dari malaikat Tuhan, ia benar-benar seorang perempuan biasa, yang mungkin sama sekali tidak terkenal. Maria bukan seperti sejumlah tokoh perempuan lainnya dalam kitab Perjanjian Lama, seperti Debora, Yudit dan Ester, yang dapat dikatakan cukup dikenal dan dihormati di masa hidup mereka. Maria hidup dalam kesederhanaan, atau lebih tepatnya kemiskinan. Namun dalam kemiskinannya ini, hatinya malah dapat sepenuhnya tertuju kepada Allah. Ini membuatnya mampu berharap, di tengah keadaan yang terlihat mustahil di mata manusia. Bagaimana mungkin seorang wanita yang demikian miskin dapat menjadi begitu yakin, bahwa “mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia”? (Luk 1:48) Bunda Maria mempunyai pengharapan yang teguh, karena percaya akan janji Allah. Sebab melaluinya, Tuhan berkenan mewujudkan rencana-Nya yang berabad-abad lamanya tersembunyi (lih. Rm 16:25-26). St. Jose Maria Escriva mengatakan, “Betapa kontrasnya antara pengharapan Bunda Maria dengan ketidaksabaran kita sendiri! Kita sering berharap kepada Tuhan agar membalas dengan segera apapun kebaikan kecil yang telah kita lakukan. Bagi kita, begitu timbul satu kesulitan pertama saja, kita langsung mulai komplain. Sering kita mendapati diri sendiri tak berdaya mempertahankan usaha-usaha kita, untuk menjaga agar pengharapan kita selalu hidup…” (Friends of God, 286). Melalui teladan Bunda Maria ini, semoga kita diteguhkan dalam pengharapan dan ketaatan iman. Bersama Bunda Maria, marilah kita menyambut kedatangan Tuhan Yesus dengan penuh harap, tanpa komplain tentang situasi apapun yang sedang kita hadapi. Sebab kedatangan-Nya merupakan penggenapan janji Tuhan, bahwa Ia adalah Sang Immanuel, yaitu Allah yang beserta kita (lih. Yes 7:14; Mat 1:23). Jika Allah setia bersama kita, apakah yang perlu kita risaukan?

Hai, jiwaku, lambungkanlah Mazmur ini dengan segenap kekuatanmu: “Kerelaan Tuhan hendak kunyanyikan, selama-lamanya! Aku hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya… ” (Mzm 89:2) Aku menantikan Engkau, ya Tuhan. Datanglah segera!