Yesus sebagai Penebus, Pengantara dan Hakim
Dalam pembahasan sebelumnya tentang pernyataan iman atau Syahadat, kita telah membahas bahwa Kristus telah menebus manusia dengan kedatangan-Nya ke dunia, terutama dengan penderitaan, wafat dan kematian-Nya, sehingga kita dapat menjadi anak-anak Allah (lih. Gal 4:5). Dengan kebangkitan-Nya dan kenaikan-Nya ke Sorga, Kristus menjadi Pengantara kita (lih. 1Yoh 2:1), sehingga dapat mengantar kita sampai kepada tujuan akhir, yaitu Sorga. Dan dengan duduk di sisi kanan Allah Bapa, maka segala kekuasaan untuk mengadili semua orang yang hidup dan mati telah diserahkan kepada Kristus (lih. 1Pet 3:22).
Syahadat menyatakan, “Dari situ Kristus akan datang mengadili orang hidup dan mati.” Gereja Katolik mengajarkan bahwa Kristus datang ke dunia dua kali, dalam kodrat-Nya sebagai Allah dan sebagai manusia. Kedatangan-Nya yang pertama adalah dalam peristiwa Inkarnasi, yaitu ketika Dia mengambil kodrat manusia dan lahir dari Perawan Maria dan kemudian menjalankan seluruh misi penyelamatan manusia, yang berakhir pada Misteri Paskah – penderitaan, kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke Sorga. Kristus menjanjikan bahwa Dia akan turun lagi ke dunia di akhir zaman. Pada waktu para murid melihat kenaikan Kristus di awan-awan, seorang malaikat berkata kepada mereka, “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga.” (Kis 1:11) Kedatangan Kristus kembali atau kedatangan-Nya yang kedua disebut Hari Tuhan (the day of the Lord) atau hari kiamat, yaitu berakhirnya dunia ini yang kemudian diubah menjadi langit dan bumi yang baru (lih. 2Ptr 3:13; Why 21:1); inilah yang sering disebutkan oleh Yesus sebagai hari di mana terjadinya seperti pencuri di malam hari (lih. Mat 24:43; 1Tes 5:2), di mana tentang hari dan saatnya tidak ada seorangpun yang tahu (lih. Mat 24:36).
Tanda Kedatangan Kristus yang ke-dua
Walaupun tentang hari dan saatnya tidak ada yang tahu, namun Kristus juga memberikan tanda-tanda, sehingga kita semua dapat semakin meningkatkan kewaspadaan kita. Kita juga semakin waspada dengan ajaran-ajaran yang menyesatkan, dengan cara terus berpegang pada pengajaran yang diberikan oleh Magisterium Gerjea. Dan kita juga dapat terus menaruh pengharapan kita di dalam Kristus, karena pada akhirnya peperangan akan dimenangkan oleh Kristus. Walaupun kita harus mewaspadai tanda-tanda zaman ini, namun jangan sampai kita terjebak pada pencarian tanda ini, dan melupakan persiapan yang sesungguhnya adalah paling penting, yaitu dengan senantiasa berjuang untuk bertumbuh dalam kekudusan. Berikut ini adalah beberapa tanda yang terjadi sebelum kedatangan Kristus yang kedua:
1. Kerajaan seribu tahun/ Milennium (berdasarkan Why 20)- tidak untuk diartikan literal.
“[Seorang malaikat] menangkap naga, si ular itu, yaitu Iblis dan Setan, dan mengikatnya seribu tahun lamanya….. Aku juga melihat [jiwa-jiwa yang dipenggal kepalanya karena kesaksian tentang Yesus] hidup kembali dan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Kristus untuk masa seribu tahun…. Dan setelah masa seribu tahun itu berakhir, Iblis akan dilepaskan dari penjaranya, dan ia akan pergi menyesatkan bangsa-bangsa…” (Why 20:1-8) Gereja Katolik tidak secara khusus mendefinisikan Millennium ini, namun mengambil patokan dari pengajaran St. Agustinus, yang menginterpretasikan secara allegoris, yaitu mengartikan 1000 tahun ini sebagai simbol, sebagai ‘jangka waktu yang cukup lama’, sebagaimana teks angka ’1000′ yang lain dalam Alkitab merupakan simbol dari jumlah yang banyak/ ribuan. ((Lihat Mzm 50:10 dan Dan 7:10: seribu dan beribu-ribu di sini maksudnya adalah banyak sekali)) Seribu tahun kejayaan ini dimana Iblis diikat dan para kudus memimpin bersama Kristus ini sebagai Gereja Katolik yang masuk ke dalam sejarah manusia untuk menebarkan nilai-nilai Injil. Jadi ke-seribu tahun kejayaan ini mengacu pada era Christendom. Pengikatan Iblis selama 1000 tahun ini dikaitkan dengan perumpamaan yang diajarkan oleh Kristus tentang orang kaya yang diikat: …Bagaimanakah orang dapat memasuki rumah seorang yang kuat dan merampas harta bendanya apabila tidak diikatnya dahulu orang yang kuat itu? Sesudah diikatnya, barulah dapat ia merampok rumah itu.” ((Mat 12:29, lihat St. Augustine, City of God, book XX, chap. 8.)) Kristus telah mengikat Iblis dengan korban sengsara dan salib-Nya. Namun demikian, Iblis terus berusaha mempengaruhi banyak bangsa, walaupun akhirnya mereka berangsur ‘tunduk’ dengan menerima nilai-nilai Injil dan pertobatan.
Maka, ke- 1000 tahun tersebut adalah untuk diartikan sebagai simbol, yang mengacu pada arti jangka waktu yang lama antara kedatangan Kristus yang pertama dan kedatangan Kristus yang kedua. Namun menjelang akhir zaman, terjadi pelepasan ikatan Iblis, yang dihubungkan dengan kejayaan singkat suatu kesesatan/apostasy yang besar yang memuncak pada kejayaan Antikristus. Pada saat inilah Gereja akan mengalami pencobaan yang hebat (lihat Why 20:7-9, KGK 675).
Gereja Katolik menolak untuk mengajarkan pandangan mengartikan 1000 tahun itu sebagai sesuatu masa yang literal. Hal ini dinyatakan secara tegas pada pernyataan Kongregasi untuk Ajaran Iman di Roma pada tahun 1944, yang bunyinya sebagai berikut:
“In recent times, on several occasions this Supreme Sacred Congregation of the Holy Office has been asked what must be thought of the system of mitigated Millenarianism, which teaches for example, that Christ the Lord before the final judgment, whether or not preceded by the resurrection of the many just, will come visibly to rule over this world. The answer is: The system of mitigated Millenarianism cannot be taught safely.” ((Congregation for the Doctrine of the Faith, Decree of 19 July 1944, DS, 3839.))
Kelihatannya pernyataan ini sulit, tetapi maksudnya sebenarnya sederhana: sebagai orang Katolik, kita menolak doktrin yang mengajarkan bahwa sebelum kedatangan Kristus yang kedua, Kristus akan datang lagi sebagai manusia dalam sejarah manusia, untuk memimpin kerajaan-Nya di dunia.
2. Kebangkitan Antikristus (1Yoh 2:18-23, 2Tes 2:3-4, Why 13, KGK 675-676)
“Seperti yang telah kamu dengar, seorang Antikristus akan datang, sekarang telah bangkit banyak antikristus…” (1 Yoh 2:18). “Janganlah kamu memberi dirimu disesatkan orang dengan berbagai cara…Sebab sebelum Hari itu, haruslah datang dahulu murtad dan haruslah dinyatakan dahulu manusia durhaka, yang harus binasa…. Kedatangan si pendurhaka itu adalah pekerjaan Iblis, dan akan disertai dengan rupa-rupa perbuatan ajaib, tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat palsu, dengan rupa-rupa tipu daya jahat…” (2Tes 2:3-10) Antikris adalah seseorang yang menyebut dirinya sendiri sebagai Kristus, dan dengan bantuan Iblis akan melakukan banyak mukjizat untuk menarik banyak orang (lih. 2Tes 2:9-10) dan ia akan menganiaya Gereja (lih. KGK 675). Antikristus ini juga disebut oleh Rasul Paulus sebagai “manusia durhaka” atau yang disebut dalam kitab Wahyu sebagai “binatang yang keluar dari dalam laut” yang disembah sebagai nabi palsu.
3. Penyesatan secara besar-besaran (2 Tes 2-3, Why 13:3, Mat 24:11-12 dan Luk 18:8).
“Akan tetapi jika Anak Manusia datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” (Luk 18:8) Alkitab mengajarkan bahwa sebelum kedatangan Kristus yang kedua akan terjadi banyak orang meninggalkan iman Kristiani. Banyak orang akan tertipu oleh nabi-nabi palsu, terutama nabi palsu yang terakhir, yaitu, Antikristus.
4. Pertobatan bangsa Yahudi (Rom 11)
“Aku mau kamu mengetahui rahasia ini: Sebagian dari Israel telah menjadi tegar sampai jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain telah masuk. Dengan jalan demikian, seluruh Israel akan diselamatkan…” (Rom 11:25-26) Dengan demikian, kita dapat berharap bahwa bangsa Israel akan akhirnya menerima Yesus sebagai Sang Mesias.
5. Pemberitaan Injil sampai ke ujung dunia (Mat 24:14)
“Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya.” (Mat 24:14) Maksudnya, ini bukan hanya penyiaran Injil melalui mass-media dan internet, namun merupakan penanaman nilai-nilai Injil di setiap bangsa.
6. Tampaknya tanda Kristus [dimengerti sebagai tanda salib] di langit (Mat 24:30)
“Pada waktu itu akan tampak tanda Anak Manusia di langit dan semua bangsa di bumi akan meratap dan mereka akan melihat Anak Manusia itu datang di atas awan-awan di langit…” (Mat 24:30)
7. Tanda-tanda yang menakutkan di langit, bencana alam yang dashyat dan kerusakan hebat yang disebabkan oleh manusia (Mat 24: Luk 21:25-26).
“Segera sesudah siksaan pada masa itu, matahari akan menjadi gelap dan bulan tidak bercahaya dan bintang-bintang akan berjatuhan dari langit dan kuasa-kuasa langit akan goncang.” (Mat 24: 29) “Dan akan ada tanda-tanda pada matahari dan bulan dan bintang-bintang. Dan di bumi bangsa-bangsa akan takut dan bingung menghadapi deru dan gelombang laut…” (Luk 21:25)
8. Kemenangan Allah dalam perjuangan akhir melawan Si jahat (lih. Why 20:7-10)
Namun pada akhirnya, perjuangan melawan si jahat akan dimenangkan oleh Allah, sehingga si jahat akhirnya dilemparkan dalam kesengsaraan abadi.
Dapatkah kita mengetahui waktu kedatangan Yesus yang kedua?
Yesus mengatakan bahwa kita tidak dapat mengetahui waktu kedatangan-Nya yang kedua (Mat 24:42). Kitab Suci berkali-kali menyatakan bahwa kedatangan Yesus yang kedua ini sifatnya seperti pencuri, dan tak pernah dapat diketahui (lih. Mat 25: 13. Luk 17:22-35, 1 Tes 5:2 dan 2 Pet 3:10). Hal ini juga dinyatakan dengan jelas dalam KGK 673 dan KGK 1040), bahwa hanya Tuhan saja yang mengetahui kapan saatnya kedatangan Yesus yang kedua tersebut.
Jika kita teliti tanda-tanda yang diberikan itu tidak dengan jelas menunjukkan urutan-urutannya, juga periode/ interval yang ada tidak jelas disebutkan jangka waktunya, dan banyak dari tanda itu mempunyai banyak arti dan telah terpenuhi, dan kita tidak tahu persis apakah hal yang lebih besar akan terjadi sebagai pemenuhan tanda-tanda tersebut. Sejarah telah membuktikan bahwa banyak orang telah berusaha mengartikan tanda-tanda, menghitung tahun-tahun untuk meramalkan akhir zaman, namun hanya berakhir dengan sejumlah teori yang tidak menjadi kenyataan.
Yesus sebagai Hakim Agung
Di dalam Kis 10:42 dituliskan sebagai berikut, “Dan Ia telah menugaskan kami memberitakan kepada seluruh bangsa dan bersaksi, bahwa Dialah yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati.” (bdk 1Ptr 4:5) Bagaimana kita mengartikan orang-orang hidup dan orang-orang mati? Pengertian pertama, orang-orang hidup dapat menggambarkan orang-orang yang masih hidup di dunia ini ketika Kristus datang yang kedua kali, sedangkan orang-orang mati adalah orang-orang yang telah mati dari awal penciptaan sampai kedatangan Kristus yang kedua. Pengertian yang lain adalah orang-orang hidup adalah orang-orang yang dibenarkan oleh Allah, yang akan mendapatkan kebahagiaan abadi di Sorga; sedangkan orang-orang mati adalah orang-orang jahat yang akan mendapatkan penghukuman abadi di neraka. Namun, secara prinsip, Kristus akan mengadili seluruh umat manusia, baik yang jahat maupun yang baik, baik yang hidup ataupun yang telah mati ketika Kristus datang yang kedua kali.
Dalam bukunya, The Aquinas Catechism, St. Thomas Aquinas mengutip St. Gregorius menuliskan tentang pengelompokan orang-orang yang jahat dan yang baik. Kitab Suci juga menjelaskan tentang adanya pengelompokan domba yang baik di sebelah kanan, yang kemudian memperoleh kebahagiaan sejati dan kambing yang jahat di sebelah kiri, yang mendapatkan penghukuman abadi di neraka (lih. Mat 25:31-46). Kelompok yang jahat adalah termasuk orang-orang yang tidak percaya. Mereka yang tidak percaya telah berada di bawah hukuman (lih. Yoh 3:18). Rasul Paulus menegaskan “Tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.” (Ibr 11:6) Namun, orang-orang yang percayapun tidak lepas dari kategori ini, yaitu yang meninggal dalam kondisi dosa berat (lih. 1Yoh 5:16), karena upah dari dosa adalah maut (lih. Rm 6:23). Yang termasuk dalam kategori orang-orang yang baik yang diselamatkan adalah orang-orang yang mengikuti Kristus dengan setia (lih. Mat 19:28), yang mensyaratkan iman, pengharapan dan kasih.
Dua pengadilan: Pengadilan Khusus dan Pengadilan Umum
Kristus yang duduk sebagai Hakim akan mengadili yang hidup dan mati. Dalam pengajaran Gereja Katolik, kita mengenal adanya dua pengadilan, yaitu pengadilan khusus dan pengadilan umum. Pengajaran ini sesuai dengan ajaran St. Agustinus, yang mengatakan “Begitu jiwa meninggalkan tubuh, maka jiwa tersebut diadili“. Hal ini sesuai juga dengan pengajaran di Alkitab, seperti yang kita lihat pada kisah yang dialami oleh Lazarus dan orang kaya itu setelah kematian mereka (lih. Luk 16:16-31). Rasul Paulus mengajarkan, “…manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi.” (Ibr 9: 27). Maka di saat kematian kita kita akan diminta pertanggungan jawab atas urusan kita (lih. Luk 16:2). Kita akan diadili oleh Tuhan menurut perbuatan kita (1 Pet 1:17, Rom 2:6). Jika Tuhan sendiri mengajarkan bahwa gaji pekerja tidak boleh ditunda (lih Im 19:13), maka Ia sendiri pasti memenuhi peraturan tersebut, dan Ia akan memberi penghargaan kepada mereka yang telah melakukan tugasnya di dunia dengan setia seturut perintah-perintah-Nya. Maka seperti kata St. Ambrosius, “Kematian adalah penghargaan perbuatan baik, mahkota dari panen.”
Tuhan Yesus akan duduk sebagai Hakim (lih. Yoh 5:22). Pada Perjamuan Terakhir, Yesus berjanji kepada para rasul-Nya untuk datang kembali setelah kenaikan-Nya ke surga dan untuk membawa mereka kepada diri-Nya (lih. Yoh 14:3).
Setelah dihakimi secara pribadi oleh Tuhan Yesus, maka jiwa orang yang meninggal akan ditentukan masuk surga (jika ia sempurna), atau masuk neraka (jika ia meninggal dalam keadaan berdosa berat dan tidak bertobat ), atau masuk Api Penyucian (jika ia meninggal dalam keadaan berdamai dengan Allah, namun masih harus dimurnikan terlebih dahulu).
Maka, Gereja Katolik mengajarkan adanya dua macam Penghakiman setelah kematian. Yang pertama adalah Pengadilan Khusus (Particular Judgment) yang diadakan sesaat setelah kematian, dan yang kedua adalah Pengadilan Umum (General Judgment) yang diadakan pada akhir zaman, setelah kebangkitan badan. Pada pengadilan khusus, yaitu kita masing-masing diadili secara pribadi oleh Yesus Kristus; dan kedua adalah pengadilan umum/ terakhir, yaitu pada akhir zaman, saat kita diadili oleh Yesus Kristus di hadapan semua manusia. Setelah Pengadilan Khusus itu, kita sudah ditentukan, apakah jiwa kita masuk surga, atau neraka, ataukah masih perlu dimurnikan dahulu dalam Api Penyucian. Penentuan dalam Pengadilan Khusus ini dilakukan oleh Tuhan Yesus, dan tidak dapat diubah/ ditarik kembali. Tentang Pengadilan Khusus, Katekismus Gereja Katolik menjelaskannya sebagai berikut:
KGK 1022 Pengadilan khusus adalah “Pada saat kematian setiap manusia menerima ganjaran abadi dalam jiwanya yang tidak dapat mati. Ini berlangsung dalam satu pengadilan khusus, yang menghubungkan kehidupannya dengan Kristus: entah masuk ke dalam kebahagiaan surgawi melalui suatu penyucian (bdk. Konsili Lyon: DS 857-858; Konsili Firense: DS 1304-1306; Konsili Trente: DS 1820), atau langsung masuk ke dalam kebahagiaan surgawi (bdk. Benediktus XII: DS 1000-1001; Yohanes XXII: DS 990) ataupun mengutuki diri untuk selama-lamanya (bdk. Benediktus XII: DS 1002)”
Sedangkan pada akhir jaman, setelah kebangkitan badan, kita (jiwa dan badan) akan diadili dalam Pengadilan Umum/ Terakhir. Pengadilan ini tidak lagi bersifat pribadi antara kita dengan Yesus, namun diadakan di hadapan semua orang. Pada saat inilah segala perbuatan baik dan jahat dipermaklumkan di hadapan semua mahluk, “Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak diketahui dan diumumkan.”(Luk 8: 17). Pada saat itu, seluruh bangsa akan dikumpulkan di hadapan tahta Kristus, dan Dia akan mengadili semua orang: yang baik akan dipisahkan dengan yang jahat seperti memisahkan domba dan kambing (lih. Mat 25: 32-33). Pengadilan ini merupakan semacam ‘pengumuman’ hasil Pengadilan Khusus tiap-tiap orang di hadapan segala ciptaan yang lain. Hasil Pengadilan itu akan membawa penghargaan ataupun penghukuman, bagi jiwa dan badan. Tubuh dan jiwa manusia bersatu di Surga, apabila ia memang layak menerima ‘penghargaan’ tersebut; inilah yang disebut sebagai kebahagiaan sempurna dan kekal di dalam Tuhan. Atau sebaliknya, tubuh dan jiwa manusia masuk ke neraka, jika keadilan Tuhan menentukan demikian, sesuai dengan perbuatan manusia itu sendiri; inilah yang disebut sebagai siksa kekal. Setelah akhir zaman, yang ada tinggal Surga dan Neraka, tidak ada lagi Api Penyucian, sebab semua yang ada di dalam Api Penyucian akan beralih ke Surga. Katekismus Gereja Katolik menuliskan tentang Pengadilan Umum:
KGK 1040 Pengadilan terakhir akan berlangsung pada kedatangan kembali Kristus yang mulia. Hanya Bapa yang mengetahui hari dan jam, Ia sendiri menentukan, kapan itu akan terjadi. Lalu, melalui Putera-Nya Yesus Kristus Ia akan menilai secara definitif seluruh sejarah. Kita akan memahami arti yang terdalam dari seluruh karya ciptaan dan seluruh tata keselamatan dan akan mengerti jalan-jalan-Nya yang mengagumkan, yang di atasnya penyelenggaraan ilahi telah membawa segala sesuatu menuju tujuannya yang terakhir. Pengadilan terakhir akan membuktikan bahwa keadilan Allah akan menang atas segala ketidak-adilan yang dilakukan oleh makhluk ciptaan-Nya, dan bahwa cinta-Nya lebih besar dari kematian (bdk. Kid 8:6)
Mungkin ada orang bertanya, apa gunanya Penghakiman Terakhir, jika jiwa-jiwa sudah berada di surga setelah menyelesaikan pemurnian di Api Penyucian?
Penghakiman Terakhir diadakan setelah kebangkitan badan. Dalam Pengadilan Terakhir, setiap orang akan diadili di hadapan semua ciptaan, sehingga segala perbuatan baik akan diumumkan di hadapan semua mahluk, demikian juga perbuatan yang jahat. Tuhan Yesus akan duduk sebagai hakim yang mengadili semua orang, dan pengadilan ini dimaksudkan untuk menyatakan kebijaksanaan dan keadilan Tuhan kepada semua ciptaan. Jadi tidak ada lagi segala sesuatu yang ‘relatif’ di sini. Yang salah dinyatakan salah, yang benar dinyatakan benar, dan ini berlaku pada semua orang. Orang-orang yang baik mendapat penghargaan di hadapan semua ciptaan, dan sebaliknya, orang-orang yang jahat menerima hukuman di hadapan semua. Penghakiman ini merupakan pengulangan pengadilan khusus di hadapan semua mahluk, dan pengulangan sejarah dunia, di mana semua kejadian akan ditampilkan di hadapan semua orang, dan pada saat itu tidak ada sesuatu yang tersembunyi, yang tidak akan dinyatakan (lih. Mat 10: 26-27, Luk 8:17). Maka Penghakiman Terakhir merupakan momen yang penting, yang menjadi dasar pengharapan Kristiani (seperti yang diungkapkan oleh Bapa Paus Benediktus XVI dalam surat ensikliknya Spe Salvi/ Diselamatkan di dalam Pengharapan, 44). Sebab pada saat Penghakiman Terakhir pengorbanan para martir dan orang benar akan mendapat penghargaan. Orang-orang yang jahat akan memandang orang-orang yang baik dan berkata dengan menyesal, “Dia itulah yang dahulu menjadi tertawaan kita, dan buah cercaan kita ini, orang-orang yang bodoh… ia terbilang di antara anak-anak Allah dan bagiannya terdapat di antara para kudus… Kita inilah yang tersesat dari jalan kebenaran dan cahaya kebenaran tidak menerangi kita…” (Kebj 5:3-6).
Setelah Pengadilan Terakhir ini, tidak ada lagi Api Penyucian. Dan karena seluruh semesta alam akan dihancurkan dengan api pada akhir zaman, maka orang-orang yang baik/ benar dapat masuk surga jiwa dan badannya setelah melalui api itu, seperti Sadrakh, Mesakh dan Abednego (lih. Dan 3:1-30), tanpa terbakar. Sedang mereka yang jahat akan masuk neraka, jiwa dan badannya. Persatuan jiwa dan badan di surga inilah yang disebut sebagai kesempurnaan kebahagiaan kekal, dan sebaliknya, yang di neraka sebagai siksa kekal yang tak terlukiskan.
Maka perbedaan antara Pengadilan Khusus dan Pengadilan Umum pada akhir zaman ini adalah, pada Pengadilan Khusus, yang diadili adalah jiwa manusia, sehingga setelah mendapat keputusan (surga, neraka, atau api penyucian), yang masuk ke dalamnya hanya jiwa saja. Sedangkan sesudah Pengadilan Terakhir, yaitu setelah kebangkitan badan, maka tubuh manusia akan bersatu dengan jiwanya, dan keduanya akan masuk kedalam kebahagiaan abadi (Surga), ataupun siksa abadi (neraka). Pengadilan Khusus bersifat pribadi, antara yang meninggal dengan Kristus, sedangkan Pengadilan Umum diadakan di hadapan semua orang.
Katekismus Gereja Katolik menjelaskan arti perkataan Syahadat bahwa Yesus akan ….”mengadili orang yang hidup dan yang mati….”, sebagai berikut:
KGK 678 Seperti para nabi (bdk. Ul 7:10. Yl 3-4; Mal 3:19) dan Yohanes Pembaptis (bdk. Mat 3:7-12), Yesus pun mengumumkan pengadilan pada hari terakhir dalam khotbah-Nya. Di sana akan disingkapkan tingkah laku (bdk. Mrk 12:38-40) dan isi hati yang paling rahasia dari setiap orang (bdk. Luk 12:1-3; Yoh 3:20-21; Rm 2:16; 1Kor 4:5). Lalu ketidak-percayaan orang berdosa, yang telah menolak rahmat yang ditawarkan Allah, akan diadili (bdk. Mat 11:20-24; 12:41-42). Sikap terhadap sesama akan menunjukkan, apakah orang menerima atau menolak rahmat dan cinta Allah (bdk. Mat 5:22; 7:1-5). Yesus akan mengatakan: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40).
KGK 679 Kristus adalah Tuhan kehidupan abadi. Sebagai Penebus dunia, Kristus mempunyai hak penuh untuk mengadili pekerjaan dan hati manusia secara definitif. Ia telah “mendapatkan” hak ini oleh kematian-Nya di salib. Karena itu, Bapa “menyerahkan seluruh pengadilan kepada Putera-Nya” (Yoh 5:22, bdk. Yoh 5:27; Mat 25:31; Kis 10:41; 17:31; 2 Tim 4:1). Akan tetapi, Putera tidak datang untuk mengadili, tetapi untuk menyelamatkan (bdk. Yoh 3:17) dan untuk memberikan kehidupan yang ada pada-Nya (bdk. Yoh 5:26). Barang siapa menolak rahmat dalam kehidupan ini, telah mengadili dirinya sendiri (bdk. Yoh 3:18; 12:48). Setiap orang menerima ganjaran atau menderita kerugian sesuai dengan pekerjaannya (bdk. 1 Kor 3:12-15) ia malahan dapat mengadili dirinya sendiri untuk keabadian, kalau ia tidak mau tahu (bdk. Mat 12:32; Ibr 6:4-6; 10:26-31) tentang cinta.
KGK 681 Pada hari pengadilan, pada hari kiamat, Kristus akan datang dalam kemuliaan-Nya, untuk menentukan kemenangan kebaikan secara definitif atas kejahatan, yang dalam perjalanan sejarah hidup berdampingan bagaikan gandum dan rumput di ladang yang sama.
KGK 682 Kalau Ia datang pada akhir zaman untuk mengadili orang hidup dan orang mati, Kristus yang dimuliakan akan menyingkapkan isi hati yang terdalam dan akan membalas setiap manusia sesuai dengan pekerjaannya, tergantung pada, apakah ia menerima rahmat Tuhan atau menolaknya.
Pengadilan Terakhir: antara harapan dan ketakutan
Kita mungkin sering mempertanyakan bagaimana sikap kita akan pengadilan Allah? Apakah kita harus menyikapi dengan sikap takut atau dengan penuh harapan. Sebagai umat beriman, kita harus melihatnya dengan takut dan pada saat yang bersamaan memandangnya dengan penuh harap. Sikap takut akan pengadilan terakhir dapat membantu kita untuk hidup lebih baik pada masa ini dan sikap penuh harapan akan pengadilan terakhir dapat membantu kita untuk tidak kehilangan harapan walaupun banyak ketidakadilan di dunia ini, karena tahu bahwa pada saatnya, Tuhan akan memberikan keadilan dengan seadil-adilnya.
Memang sudah selayaknya, kita harus takut akan Pengadilan Terakhir. Rasul Paulus menuliskan kepada jemaat di Filipi untuk mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar (lih. Fil 2:12). Ketakutan ini bukanlah tanpa alasan, karena adanya empat alasan ((St. Thomas Aquinas, The Aquinas Catechism, p. 67-68)) sebagai berikut:
(1). Karena kebijaksanaan Hakim. Hakim Agung yang akan mengadili kita mengetahui segala pikiran, perkataan dan perbuatan kita, karena tidak ada yang tersembunyi di hadapan-Nya. Ibrani 4:13 menyatakannya demikian “Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab.” (bdk. Ams 16:2) Apalagi suara hati kita turut bersaksi, sehingga kita juga tidak dapat berbohong (lih. Rm 2:15-16). Bahkan setiap kata sia-sia yang diucapkan kita harus dipertanggungjawabkan kita pada hari penghakiman (lih. Mat 12:36).
(2). Karena kekuasaan Hakim Agung. Yesus mengatakan “Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” (Mat 10:28) Dengan demikian, kita seharusnya berhati-hati dalam setiap pikiran, perkataan maupun perbuatan kita, sehingga kita tidak mendapatkan penghukuman selamanya di neraka.
(3). Karena keputusan yang tetap dari Hakim Agung. Menjadi satu permenungan bagi kita bahwa pada saatnya nanti, masing-masing dari kita akan menerima keputusan dari Hakim Agung dan keputusan yang diberikan secara benar dan bijaksana tidak adakan berubah dan akan berlaku untuk selamanya. Kitab Mazmur menuliskan “Apabila Aku menetapkan waktunya, Aku sendiri akan menghakimi dengan kebenaran.” (Mzm 75:2).
(4). Karena Hakim Agung akan menyatakan keadilan-Nya. Kita mengenal Allah sebagai Pribadi yang penuh kasih, yang senantiasa siap sedia mengampuni dosa manusia, seperti yang digambarkan dalam perumpamaan anak yang hilang (lih. Luk 15:11-31). Namun, dalam Pengadilan, maka Hakim Agung akan menunjukkan keadilan-Nya yang tidak terpisah dari kasih-Nya.
Namun sebagai umat Katolik, Pengadilan Terakhir tidak boleh hanya dilihat sebagai peristiwa yang menakutkan, namun juga memberikan pengharapan, karena Kristus sendiri telah datang ke dunia untuk menebus dosa dunia penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib. Kasih Allah inilah yang harus menjadi harapan bagi kita. Paus Benediktus XVI, dalam ensiklik “Spe Salvi” bagian III, 41-48, memaparkan bahwa pengadilan terakhir merupakan harapan bagi seluruh umat beriman, karena pengadilan Allah menjadi saat rahmat dan keadilan. Segala ketidakadilan di dunia akan diluruskan oleh Allah dengan keadilan-Nya yang sempurna, sehingga seluruh makhluk akan berseru “Ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa, benar dan adil segala penghakiman-Mu.” (Why 16:7) Sudahkah kita siap menghadap Kristus dalam Pengadilan Khusus dan Pengadilan Umum?
Shalom,
Saya mau nanya keadaan dunia ketika hari kiamat, jika dunia ini hancur kaya yang difilm2 itu, apa masih ada yang hidup ya? Maaf untuk pertanyaan saya yang bodoh ini.
Gbu
[dari katolisitas: Pada saat terjadi akhir dunia memang akan terjadi kehancuran, berdasarkan: “Segera sesudah siksaan pada masa itu, matahari akan menjadi gelap dan bulan tidak bercahaya dan bintang-bintang akan berjatuhan dari langit dan kuasa-kuasa langit akan goncang.” (Mat 24: 29); “Dan akan ada tanda-tanda pada matahari dan bulan dan bintang-bintang. Dan di bumi bangsa-bangsa akan takut dan bingung menghadapi deru dan gelombang laut…” (Luk 21:25). Silakan melihat artikel ini – silakan klik]
terima kasih atas pencerahan-pencerahan dari team katolisistas. Tuuhan memberkati
Shalom Katolisitas,
Hampir semua pokok-pokok Iman Katholik (credo) sudah dimuat/diuraikan dan sudah saya baca di situs ini, namun saya tidak menemukan satu pokok iman lagi, yakni: YANG NAIK KE SURGA, DUDUK DI SEBELAH KANAN ALLAH BAPA.
Apakah memang belum di-upload, ataukah sudah ada tapi saya yang tidak berhasil menemukannya. Kalau memang sudah, mohon diberikan link-nya.
Terima kasih
Salam Damai dalam Kristus Tuhan
[dari katolisitas: Ya, belum diupload. Nanti kami akan melengkapinya. Terima kasih]
Dear Katolisitas,
Pada hari penghakiman itu, sesuai KS, Kristus akan datang mengadili semua bangsa tanpa kecuali. Sesuai hakekatNya, maka tentulah pengadilanNya itu adalah ADIL. Adil bagi semua insan tentunya artinya kesempatan yang sama dan berdasar perintah yang sudah jelas. Hal siapa yg lolos dan tidak lolos ke rumah BapaNya itu disebut Kristus cukup jelas dalam Injil: Bukan orang yang berseru-seru: Tuhan, Tuhan….. tetapi bagi mereka yang memberi Aku makan ketika aku lapar, yang memberi aku minum ketika Aku haus…..sebab apa yang kamu lakukan bagi hambaKu yang paling hina ini, itu kamu lakukan bagiKu…etc.
Ayat KS itu tentunya merujuk ke perintah utama: HUKUM KASIH, bahwa semua hukum tergantung pada hukum itu, bahwa itulah hukum tertinggi, bahwa itu berlaku universal bagi semua insan ciptaan, bahwa setiap insan ciptaan dikarunia akal budi dan jiwa serta diperintahkan untuk mengasihi / memuliakan Tuhan sesuai dengan akal budi dan jiwanya itu dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Ayat itu tidak menggambarkan apa pun soal “legalitas dan / atau ukuran berdasar agama tertentu (Katolik).
Ketika sy menjelajah ke WONDERLAND, ke tetangga itu, sy pun menemukan penegasan akan hal Kristus itu antara lain disebutkan sebagai “Kalimat daripadaNya, Almasih ‘Isa anak Maryam yang memiliki kebesaran di dunia dan akhirat dan akan menjadi Mahdi, Imam, Hakim yang Adil pada hari penghakiman itu. Ayat-ayat KS agama lain dan Hadits-hadits sahih mereak itu dengan mudah bisa dibaca siapa pun.
Ini meneguhkan sy bahwa MEMANG tak seorang pun sampai ke rumah BapaNya itu tanpa melalui Kristus, Almasih ‘Isa putera Maryam, Bunda Maria itu. Puji Tuhan. GBU
[dari katolisitas: Bagaimana dengan Mrk 16:16; Yoh 6:54; Yoh 20:21-23; 1Yoh 2:3 ?]
Salam Irwan Saragih,
Terima kasih atas semangat anda untuk berdiskusi dengan Katolisitas. Saya melihat bahwa Anda penuh dengan semangat pluralisme. Semoga dengan memahami pluralisme secara benar, Anda dapat menjadi Katolik sejati yang toleran terhadap sesama agama lain tanpa mengaburkan kebenaran iman Katolik.
Sebelum Anda menarik kesimpulan mengenai apa yang sebaiknya Gereja Katolik ajarkan,ada baiknya mendalami terlebih dahulu apa yang sebenarnya Gereja ajarkan dan tujuan mendasar dibalik semua ajaran.
KGK 66 “Tata penyelamatan Kristen sebagai suatu perjanjian yang baru dan definitif, tidak pernah akan lenyap, dan tidak perlu diharapkan suatu wahyu umum baru, sebelum kedatangan yang jaya Tuhan kita Yesus Kristus” (DV 4). Walaupun wahyu itu sudah selesai, namun isinya sama sekali belum digali seluruhnya; masih merupakan tugas kepercayaan umat Kristen, supaya dalam peredaran zaman lama-kelamaan dapat mengerti seluruh artinya.
Perlu sama-sama kita sadari bahwa Wahyu Publik yang dibawa oleh Yesus adalah penggenapan dan pewahyuan sempurna. Tidak ada lagi yang perlu ditambahkan karena Yesus sendiri adalah Putra Allah, Pribadi yang bersatu sempurna bersama Allah Bapa dalam Roh Kudus. Dengan demikian, Gereja Katolik tidak perlu mencari jawaban tambahan mengenai iman dalam WONDERLAND lain. Karena Wahyu Allah telah diberikan sepenuhnya pada Gereja, Gerejalah yang memiliki wewenang menginterpretasikan Wahyu Ilahi tersebut dengan benar. Selain itu, apakah yang menjamin bahwa Injil yang dimaksud Quran adalah Injil yang dimaksud di Injil Kristiani? Jika sama, mengapa kesimpulan keduanya mengenai Yesus jauh berbeda diantara kedua agama? Manakah yang benar?
Gereja Katolik dengan rendah hati telah mengakui bahwa agama-agama lain memantulkan juga berkas sinar kebenaran yang berasal dari Allah (lih. Konsili Vatikan II, Nostra Aetate 2). Namun, kepenuhan rahmat dan kebenaran telah dipercayakan Tuhan kepada Gereja Katolik (lih. Nostra Aetate, 3). Percaya bahwa kebenaran adalah sesuatu yang obyektif, maka Gereja Katolik juga tidak dapat mengatakan bahwa beberapa hal yang tidak sesuai dengan ajaran Kristus dan ajaran Kristus sendiri adalah sama-sama benar. Contohnya, jika Kristus mewahyukan pada Gereja bahwa Ia adalah Allah, bagaimana mungkin Gereja mengamini bahwa Yesus hanyalah nabi dan manusia biasa tanpa kodrat Allah? Atau menganggap Yesus sebagai salah satu Bodhisattva? atau menganggap Yesus salah satu dari roh-roh yang ada di alam dan menjelma?
Semua agama memang baik, melarang pembunuhan, melarang pencurian, mengajarkan bakti pada orang tua. Namun, tidak mungkin kita menyamaratakan semua ajaran agama. Contohnya, tidak mungkin mengimani bahwa Allah hanyalah kekosongan, Allah adalah Tritunggal, dan Allah hanyalah satu Pribadi, sebagai tiga ajaran yang sama-sama benar. Allah memang tidak terbatas, namun tidak mungkin kontradiktif. Oleh sebab itu, setiap manusia memiliki tanggung jawab setulus hati untuk mencari sekuat tenaga mana yang mereka yakini sebagai kebenaran.
Tentu saja, Gereja Katolik menghormati apa yang dipilih dan diyakini oleh penganut agama lain. Walau Gereja wajib mewartakan ajaran Katolik, Gereja tidak memaksa mereka menerima ajaran Katolik. Itulah toleransi antar umat beragama. Namun, tidak mungkin bagi Gereja untuk mengajarkan pada umat Katolik bahwa hal-hal yang kontradiktif tersebut adalah sama-sama benar. Itu adalah sinkretisme. Makanya, sangat wajar bila Gereja membela apa yang ia yakini, sebagaimana setiap umat agama lain bebas memilih dan membela apa yang mereka yakini.
Kitab Suci memang tidak menceritakan semua hal tentang Allah secara total. Namun, Gereja percaya, melalui Tradisi Suci dan Kitab Suci, Allah membuka diri-Nya agar dapat dikenali dan dicintai oleh manusia untuk keselamatan mereka. Pengenalan sempurna seorang manusia tentang Allah memang hanya akan terwujud setelah kita benar-benar melihat Allah apa adanya di surga nanti dalam keabadian.
Pada akhirnya, saya menghormati semangat anda untuk menghormati pemeluk agama lain. Itu jugalah toleransi beragama yang dilakukan dan diajarkan oleh Gereja Katolik. Namun, Gereja tidak mengajarkan sinkretisme, yang mencampuradukkan ajaran semua agama lalu menarik kesimpulan sendiri dari campuran tersebut. Toleransi antar umat beragama tidak sama dengan sinkretisme. Terhadap dua hal ini: Yesus Kristus dari Nazareth adalah Allah yang menjelma menjadi manusia, atau Yesus hanyalah manusia biasa yang mengajarkan kebijaksanaan hidup, hanya ada satu yang benar. Gereja Katolik mengajarkan yang pertama, sesuai dengan apa yang diwahyukan Allah kepadanya. Bagaimana dengan anda? Semoga Allah mengobarkan pula semangat Anda untuk memahami apa yang sebenarnya Gereja Katolik ajarkan.
Pacem,
Ioannes
Ioannes yang baik,
Saya tertarik dengan KGK 66 yang Anda kutip di atas, boleh tidak saya analogikan seperti ini?
Setiap dari kita yang bisa kasih komentar di sini pasti punya software Microsoft Word dan pernah pakai. Terserah versi berapa yang kalian punya, tetapi siapa dari antara kalian yang paham betul setiap fungsi dari Microsoft Word. Sangat mudah untuk menggunakan fungsi dasar seperti copy, paste, print, dll. Tetapi Microsoft Word punya kemampuan lebih dari itu dan hal ini harus dipelajari entah dari buku atau ambil kursus.
Jadi Microsoft Word yang kita pakai sehari – hari ya segitu – segitu saja tetapi seberapa mahir kita menggunakannya?
Alkitab memang wahyu yang sudah selesai dan ensiklik Paus ataupun dokumen Konsili sekalipun tidak menambahkan sesuatu yang baru tetapi sarana bagi kita untuk semakin mengenal wahyu itu sendiri.
Salam,
Edwin ST
Dear Katolisitas & Ioannes Wirawan,
Terimakasih atas tangapannya.
Dokumen Dignitas Humanae – Kons Vatikan II sebagai “Sikap Resmi Gereja Katolik terhadap Keyakinan Lain” membunyikan bahwa sikap terbaik yang diakui Gereja dalam berhadapan dengan umat yg berlainan agama atau kepercayaan adalah sikap PLURALIS BERINTEGRASI TERBUKA : mengakui dan menerima kekhasan masing-masing sekaligus saling belajar, saling dialog untuk saling memperkaya.
Apa yang sy lakukan adalah implementasi sikap itu. Atau ada penjelasan lain tentang bagaimana implementasi sikap OPEN INTEGRITY itu?
Dialog sy adalah dengan menjelajah ke WONDERLAND itu. Dan sy bersaksi, pengalaman di WONDERLAND itu sungguh memperkaya, membuat sy merasa semakin mampu mengenal kebesaran Tuhan untuk semakin sujud di hadapanNya dan semakin mampu mengenal umat lain itu untuk semakin mampu mengasihi mereka itu secara tulus seperti diri sendiri atau katakanlah setara dengan diri sendiri.
Soal siapakah yang akan masuk ke surga, itu otoritas HAKIM AGUNG, KRISTUS itulah. Ia Maha Tahu. Ia Maha Adil. Janganlah kita berlebihan hendak menghakimi yang tak sepaham dengan kita itu sebagai : TAK SELAMAT: bahwa semua amal dan ibadah mereka itu hanya kesia-siaan. Bukankah Tuhan pun melarang kita untuk menghakimi sesama?
Perubahan dalam pendulum Gereja demikian itu disebut sebagai penyesuaian terhadap kondisi masyarakat era sekarang ini. Perubahan itu tentunya dan seharusnyalah didasarkan pada : HUKUM UTAMA , demi kasih/kemuliaan Tuhan dan kasih/keselamatan sesama. Perintah Tuhan kan begitu? Mengasihi/memuliakan Tuhan dengan segenap akal budi dan jiwa masing-masing dan mengasihi sesama seperti diri sendiri, kalau mau selamat.
Pengakuan umat sebelah itu seharusnyalah menggerakkan hati kita untuk lebih memahami Tuhan dan sesama itu dan bukan malah menutup pintu rapat-rapat dengan dalil-dalil absurd : “..Karena itu orang Islam harus percaya kepada Kitab Taurat, Injil dan lain-lain Wahyu yang diturunkan Allah SWT (Al Quran dan terjemahnya, DEPAG RI Bab Tiga hal 92)?
“Dan hendaklah orang-orang penganut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (S. Al-Maa-idah 47).
Sosok yang patut disebut terkait OPEN INTEGRITY ini adalah Suster Gera, seorang biarawati, ahli falsafah Islam dan Tassawuf, mantan dosen Univ Paramadina, penasehat Paus Benediktus XVI. Suster Gera mengatakan ide pluralisme bahkan sudah tidak memadai untuk dialog antar agama, khususnya antara umat Islam dan Kristen. Perlu upaya lebih jauh yaitu; OPEN INTEGRITY yang bertujuan pertama untuk menemukan apa yang belum dikenal dalam proses dialog antar agama dan kedua untuk mengeksplorasi kemungkinan yang dapat mengarahkan proses dialog ke pemahaman yang lebih mendalam di antara penganut agama dengan tetap mempertahankan keunikan masing-masing.
Akhir kata, sy percaya bahwa tanpa mengenal tetangga itu sesungguhnya kita tak kenal diri kita. Tanpa mengenal agama/paham lain itu sesungguhnya kita tak kenal kebesaran Tuhan. Memutlakkan paham sendiri adalah penuhanan atas paham sendiri dan pembatasan Tuhan sebatas kotak akal pikir sendiri. GBU
Salam, Irwan Saragih
Terima kasih atas tanggapan anda. Semoga dengan memahami ajaran Gereja dengan lebih baik, kita dapat berusaha menjadi seorang Katolik sejati sembari mewujudkan kerukunan beragama di Nusantara.
Saya sungguh terkesan atas perhatian anda mengenai isu toleransi beragama dalam negara ini. Sikap antusias tersebut sungguh akan lebih positif jika kita sungguh-sungguh mendalami ajaran Gereja terlebih dahulu sambil menyaring sumber informasi mana yang akan kita gunakan sehubungan dengan topik yang kita bahas.
Saya menduga anda mengutip dari salah satu artikel di sebuah situs koran di Indonesia, karena kemiripan kata-kata, poin opini, dan istilah dalam artikel tersebut dengan komentar anda. Dalam artikel tersebut memang membahas mengenai toleransi keberagamaan di Indonesia. Akan tetapi, artikel tersebut problematik karena beberapa hal :
1) Artikel tersebut adalah opini. Jadi, apa yang dikandung tidak selalu mencerminkan fakta posisi Gereja yang sebenarnya. Ini terlihat dari pemahaman mengenai Extra Ecclesia Nulla Salus (EENS) yang keliru. Penulis menafsirkan bahwa Gereja mengajarkan EENS dalam makna yang sempit, yakni diluar Gereja Katolik pasti tidak masuk surga. Gereja tidak pernah mengatakan demikian. Konsili Vatikan II juga tidak mengubah apapun mengenai EENS. Gereja tetap mengajarkan bahwa keselamatan memang bersumber hanya dari Kristus, Allah Pencipta Semesta, yang dialirkanNya melalui GerejaNya ini. Tapi, Gereja tidak pernah mengatakan bahwa orang-orang diluar Gereja Katolik [yang terlihat] secara absolut tidak akan selamat.
2) Penulis tersebut kelihatannya belum sepenuhnya mengerti ajaran Katolik, terutama Konsili Vatikan II. Ini terlihat dari dokumen yang ia kutip kurang akurat dengan topik yang ia angkat.Bila ia mengangkat mengenai pluralisme dari sudut pandang Gereja Katolik, seharusnya ia mengangkat dokumen Nostra Aetate. Setidaknya, bila ingin bicara mengenai keselamatan menurut Gereja Katolik, ia harus memperhatikan Lumen Gentium. Tanpa kedua dokumen ini, penilaiannya mengenai keselamatan dan pewartaan menurut ajaran Gereja Katolik menjadi keliru. Dokumen Konsili Vatikan II sendiri tidak pernah berdiri sendiri-sendiri, melainkan berada dalam satu kesatuan organis dengan dokumen lain dan ajaran Gereja. Ketidaktelitian ini tentu saja berpotensi melahirkan mitos-mitos baru yang keliru mengenai Gereja. Dignitatis Humanae baru digunakan di paragraph-paragraph selanjutnya, yang tentu saja baru mulai berhubungan dengan kebebasan beragama di Indonesia.
Oleh sebab itu, mari kita coba telaah sikap sebenarnya dari Gereja Katolik mengenai keselamatan, hubungan Gereja dengan agama-agama lain, dan pewartaan seperti apa yang Gereja ajarkan.
A. Keselamatan menurut Gereja Katolik
Menurut penulis artikel tersebut, Gereja mengajarkan bahwa diluar Gereja mutlak tidak ada keselamatan. Ini terlihat dalam pernyataannya :
Di sisi lain, pernyataan bahwa “satu-satunya agama yang benar itu berada dalam Gereja katolik” bukankah menjadi sebuah langkah mundur ke masa-masa sebelum Konsili Vatikan II yang berprinsip “di luar Gereja tidak ada keselamatan?” Bukanlakah dengan demikian Gereja kembali jatuh dalam fanatisme religius atau sikap ekslusivisme yang jelas bertentangan dengan spirit zaman yang menghargai pluralisme kebenaran?
Pernyataan tersebut sekaligus menyuratkan pemahaman pribadi penulis bahwa Konsili Vatikan melakukan perubahan terhadap ajaran Gereja, terutama Extra Ecclesia Nulla Salus (EENS). Pemahaman tersebut tentu saja keliru sekali.
Gereja Katolik tidak pernah mengatakan bahwa orang yang tidak termasuk dalam Gereja Katolik [yang kelihatan] pasti tidak selamat. Sikap ini selalu dipegang oleh Gereja sedari awal hingga kapanpun. Menurut Lumen Gentium 16 :
“Mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta GerejaNya, namun dengan hati tulus mencari Allah dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendakNya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal.”
Hasil konsili ini yang dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 847 yang berbicara mengenai frase “Extra Ecclesia Nulla Salus” :
Penegasan ini tidak berlaku untuk mereka, yang tanpa kesalahan sendiri tidak mengenal Kristus dan Gereja-Nya: “Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal” (Lumen Gentium 16)
Bila penegasan ini tidak berlaku untuk orang-orang tersebut, yakni orang dengan nurani bersih yang menganut kepercayaan apapun selain Katolik, penegasan tersebut berlaku untuk siapa? Ini dijelaskan di poin artikel sebelumnya, KGK 846 :
Bagaimana dapat dimengerti ungkapan ini [EENS} yang sering kali diulangi oleh para bapa Gereja? Kalau dirumuskan secara positif, ia mengatakan bahwa seluruh keselamatan datang dari Kristus sebagai Kepala melalui Gereja, yang adalah Tubuh-Nya:
“Berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi, konsili mengajarkan, bahwa Gereja yang sedang mengembara ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam Tubuh-Nya, yakni Gereja. Dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan baptis, Kristus sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang melalui baptis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan” (LG 14).
Dari mana munculnya istilah EENS? Aksioma ini bermula dari St. Siprianus dari Kartago (c.200-258AD) yang pertama kali menggunakannya dalam Epistola 4, 4 dan Epistola 73,21. Lantas, apakah St. Siprianus bermaksud mengatakan bahwa mereka yang berada diluar Gereja Katolik pasti tidak selamat? Rupanya, St. Siprianus berbicara mengenai bidaah-bidaah, yang sebelumnya berada dalam Gereja Katolik namun mengoyak kesatuan Gereja dengan ajaran bidaah. Konteks St. Siprianus adalah mereka yang memisahkan diri dari Gereja Katolik dan inilah juga yang ditekankan dalam KGK 846. Beliau tidak membahas mengenai orang-orang yang sedarimula belum mengenal Kristus dan Gereja Katolik.
Lantas, bagaimana dengan sikap Gereja terhadap mereka yang belum mengenal Kristus (atau mungkin tidak sempat mengenal Kristus dan GerejaNya)? Sudah dipertegas dalam Konsili Vatikan II diatas dalam LG 16 dan KGK 847. Konsili tersebut tidak pernah mengubah ajaran Gereja sedikitpun. Penjelasan lebih mendalam mengenai EENS yang tidak berubah namun tidak pernah bermakna sempit dapat diperoleh dengan membaca catatan kaki dalam Lumen Gentium 16, yakni Surat Kongregasi S.Officii kepada Uskup Agung Boston dari Kardinal Fenton.
Oleh sebab itu, pewartaan tetap diperlukan agar sebanyak mungkin orang mengenal Kristus dan GerejaNya. Hal ini juga ditegaskan dalam poin artikel KGK 848 :
“Meskipun Allah melalui jalan yang diketahui-Nya dapat menghantar manusia, yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil, kepada iman yang merupakan syarat mutlak untuk berkenan kepada-Nya, namun Gereja mempunyai keharusan sekaligus juga hak yang suci, untuk mewartakan Injil” (AG 7) kepada semua manusia.
Apakah ini berarti kita yang sudah bernaung dalam Gereja Katolik pasti selamat? Tentu tidak. Lumen Gentium, 14 menyatakan bahwa :
“Tetapi tidak terselamatkan orang, yang meskipun termasuk anggota Gereja namun tidak bertambah dalam cinta-kasih; jadi yang ‘dengan badan’ memang berada dalam pangkuan Gereja, namun tidak ‘dengan hatinya’”
B. Agama-agama Lain dan Gereja Katolik
Sejauh ini, kita sudah jelas bahwa Gereja Katolik tidak pernah mengubah ajaran bahwa Gereja Katolik perlu bagi keselamatan, namun juga tidak mengatakan bahwa diluar Gereja Katolik pasti tidak selamat. Lalu, bagaimana sikap Gereja Katolik terhadap umat beragama lain?
Sesuai dengan Nostra Aetate art. 2,”Gereja tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. dengan sikap hormat yang tulus, Greja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah, serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya, namun tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang.”
Bagi Gereja, agama-agama lain adalah persiapan menuju Injil :
Penyelenggaraan ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Sebab apapun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, Gereja pandang sebagai persiapan Injil (Lumen Gentium, 16; Eusebius dari Caesarea, Persiapan Injil, I,1)
Sikap Gereja terhadap umat Muslim adalah :
“Menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham–iman Islam dengan sukarela mengacu kepadanya – telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maria Bunda-Nya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu mereka mendambakan hari pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa.
Memang benar, disepanjang zaman cukup sering timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristiani dan kaum Muslimin. Konsili suci mendorong mereka semua, supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan.(Nostra Aetate,3).
Gereja juga mengecam segala bentuk penganiayaan dan kekerasan, terutama yang mengatasnamakan agama :
“Maka Gereja mengecam setiap diskriminasi antara orang-orang atau penganiayaan berdasarkan keturunan atau warna kulit, kondisi hidup atau agama, sebagai berlawanan dengan semangat Kristus” (Nostra Aetate, 5).
Namun, hendaknya kita mengambil sikap bijak dengan tidak menyamakan rasa hormat Gereja terhadap kebenaran di agama lain sebagai alasan untuk mencampuradukkan ajaran Katolik dengan ajaran lain. Nostra Aetate, dokumen yang sama mengenai Hubungan Gereja dengan Agama Lain, mengatakan bahwa :
Maka hendaknya semua berusaha, supaya dalam berkatekese dan mewartakan Sabda Allah jangan mengajarkan apa pun, yang tidak selaras dengan kebenaran Injil dan semangat Kristus (Nostra Aetate 4).
Bahkan, penulis artikel sendiri mengakui bahwa :
Akan tetapi, perlulah diingat bahwa dengan pernyataanya ini Gereja hendak menegaskan sikap dasarnya yang harus dipegang teguh oleh para pemeluknya. Gereja tidak mau jatuh dalam relativisme terhadap kebenaran agamanya sendiri.
Penulis menunjukkan pemahaman bahwa memang Gereja tidak pernah bermaksud mengatakan bahwa penghormatan terhadap agama lain merupakan pembenaran terhadap relativisme, yang menganggap kebenaran yang relatif dan bisa berubah-ubah sesuai kehendak pribadi. Gereja tidak pernah menggunakan toleransi keberagamaan sebagai landasan untuk mengutak-atik apa yang Gereja ajarkan menjadi definisi pribadi hanya atas dasar “toleransi keberagamaan” yang semu.
Gereja mengajarkan dalam KGK 66 bahwa :
“Tata penyelamatan Kristen sebagai suatu perjanjian yang baru dan definitif, tidak pernah akan lenyap, dan tidak perlu diharapkan suatu wahyu umum baru, sebelum kedatangan yang jaya Tuhan kita Yesus Kristus” (Dei Verbum 4).
Inilah yang Gereja imani, bahwa apa yang diwahyukan melalui Kristus sudah lengkap dan tidak ada lagi yang Allah wahyukan. Dengan demikian, Gereja tidak perlu menjelajah ke WONDERLAND lain untuk melengkapi apapun, karena Allah sudah mengungkapkan segalanya melalui Sang Putra pada GerejaNya (KGK 65). Inilah yang Gereja imani, namun Gereja tidak pernah menuntut orang diluar Katolik untuk mempercayai hal ini. Apabila orang lain bebas mengimani apa yang mereka percaya sebagai agama terbaik, mengapa Gereja harus disebut “memutlakkan paham sendiri”, memaklumkan dalil absurd, atau “membatasi Tuhan sebatas kotak akal pikir sendiri” karena mengimani apa yang diajarkan? Tidakkah ini merupakan bentuk pelanggaran atas kebebasan untuk mengimani ajaran agama masing-masing?
C. Pewartaan menurut Gereja Katolik di tengah Pluralisme.
Sejauh ini, kita sudah melihat bahwa Gereja tidak menganggap mereka yang berada di luar Gereja pasti tidak selamat. Kita juga sudah melihat bahwa Gereja menghormati agama-agama lain sebagai persiapan menuju Injil dan juga memantulkan kebenaran-kebenaran tertentu. Lantas, apakah pewartaan mengenai Kristus dan GerejaNya masih relevan? Tentu saja, bahkan ini juga merupakan hak dan kewajiban dari seorang Katolik :
Kaum awam, seperti juga semua umat beriman, telah menerima dari Allah tugas kerasulan berkat Pembaptisan dan Penguatan; karena itu mereka mempunyai hak dan kewajiban, baik sendiri-sendiri maupun dalam persekutuan dengan orang lain, untuk berusaha supaya semua manusia di seluruh dunia mengenal dan menerima berita keselamatan ilahi. Kewajiban ini lebih mendesak lagi, apabila orang tertentu hanya melalui mereka dapat menerima Injil dan mengenal Kristus. Dalam persekutuan gerejani kegiatan mereka sekian penting, sehingga kerasulan pastor sering tidak dapat berkembang sepenuhnya tanpa mereka. (KGK 900).
Bagaimana seorang Katolik melakukan pewartaannya? Jalan dialog adalah salah satu cara yang dapat kita lakukan. Oleh sebab itu, kita dapat menjumpai banyak imam, biarawan-biarawati, atau awam yang mendedikasikan diri untuk mempelajari filsafat agama lain agar dapat menjadi jembatan dalam dialog. KGK 856 menyatakan :
Tugas misi menuntut dialog penuh hormat dengan mereka yang belum menerima Injil Bdk. RM 55.. Orang beriman dapat menarik keuntungan untuk dirinya dari dialog ini, karena mereka akan mengerti lebih baik segala “kebenaran atau rahmat mana pun, yang sudah terdapat pada para bangsa sebagai kehadiran Allah yang serba rahasia” (Ad Gentes 9). Kalau umat beriman mewartakan berita gembira kepada mereka, yang belum mengenalnya, mereka melakukan itu, untuk menguatkan, melengkapi, dan meningkatkan yang benar dan yang baik, yang telah Tuhan sebarkan di antara manusia dan bangsa-bangsa dan supaya manusia-manusia ini dibersihkan dari kekeliruan dan kejahatan “demi kemuliaan Allah, untuk mempermalukan setan dan demi kebahagiaan manusia” (Ad Gentes 9).
Oleh sebab itu, kita tidak dapat menganggap pewartaan mengenai apa yang Gereja imani dan ajarkan sebagai suatu “narsisme” atau sikap tertutup. Gereja memang berada dalam posisi Berintegritas Terbuka (bukan Integrasi). Gereja Katolik, seperti yang kita lihat, terbuka dalam menghormati agama lain sembari memegang teguh integritas terhadap ajarannya sendiri. Jadi, bukan mencampuradukkan atau meng”integrasi” ajaran agama lain kedalam ajaran Katolik. Tidak mungkin memaksa umat Katolik mengimani Muhammad SAW sebagai nabi Allah, atau menganggap Allah bukan Tritunggal atau Yesus bukan Allah demi “menyesuaikan kondisi masyarakat era sekarang ini”. Memaksa Gereja mencampurkan ajaran agama lain kedalam ajaran Gereja sama tidak mungkinnya dengan memaksa umat agama lain untuk mengimani Trinitas dan Sakramen. Dialog yang dapat memperkaya satu sama lain bisa berkisar dalam usaha konkrit meningkatkan toleransi antar umat beragama, namun tidak mungkin membicarakan masalah mencampurkan dogma yang sudah diyakini masing-masing. “Menerima dan menghargai kekayaan agama lain” tidak berarti seorang Katolik harus mencampurkan ajaran apa yang diimani agama lain kedalam ajaran agama Katolik.
Penulis artikel itu sendiri menyatakan,”Dengan demikian, dari artikel ini nyata bahwa Gereja Katolik mengakui pluralisme agama dan mengakui bahwa dalam agama-agama lain pun ada kebenaran. Selain itu, Gereja Katolik juga memberi penghargaan tinggi kepada kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya.”.
D. Kesimpulan
Dengan demikian, kita sudah mengetahui bahwa :
1) Sedari lahirnya, Gereja selalu mengajarkan bahwa Gereja perlu untuk keselamatan. Namun, Gereja tidak pernah mengatakan bahwa orang diluar Kristiani pasti tidak diselamatkan.
2) Bagi mereka yang bukan karena kesalahannya sendiri tidak mengenal Kristus dan GerejaNya, namun berusaha mencari Allah sesuai hati nurani, kita percayakan mereka pada Kerahiman Allah yang tidak terbatas.
3) Gereja Katolik menghormati pemeluk agama lain sambil tetap melakukan pewartaan mengenai Kristus dengan lemah lembut dan sopan.
4) Sikap toleransi keberagamaan Gereja bukan untuk diartikan bahwa Gereja harus mencampuradukkan semua kebenaran dari agama lain.
E. Saran
Akhirnya, seperti saya sebutkan dalam pembukaan pembahasan ini, saya salut dengan semangat anda menjembatani Gereja Katolik dengan agama lain dalam rangka menumbuhkan toleransi keberagamaan dalam negeri ini. Namun, ada beberapa hal yang ingin saya sarankan dengan penuh hormat dan penghargaan kepada anda dan semua yang terlibat dalam usaha serupa untuk :
1. Memahami secara benar apa yang Gereja ajarkan. Ini dapat dicapai dengan membaca dan memahami Katekismus Gereja Katolik (KGK). Dalam KGK, dirangkumkan secara jelas dan sistematis apa yang menjadi inti ajaran Kristus dan iman pokok Gereja. Karena sistematis, kita tidak dapat sembarang membaca atau mengutip, melainkan harus dimengerti secara integral/keseluruhan.
2. Membaca dan memahami Dokumen Konsili Vatikan II (KVII). Dewasa ini, banyak umat yang tergerak untuk mulai aktif dalam kegiatan pewartaan, ekumenisme, dan dialog keberagamaan. Untuk itu, Dokumen Konsili Vatikan semakin menempati posisi penting dalam dialog tersebut. Sayangnya, hanya sedikit yang memang pernah membaca salah satu dokumen KVII. Lebih sedikit lagi yang membaca seluruh dokumen secara utuh. Ini tentu saja menimbulkan kesalahpahaman mengenai apa yang menjadi hasil KVII, seperti yang dilakukan penulis artikel.
3. Bersikap kritis dalam mengolah sumber informasi. Di zaman teknologi canggih ini, informasi begitu mudah didapat. Sayangnya, begitu mudah pula ditelan mentah-mentah. Hendaknya, dalam menapis sebuah informasi, kita gunakan pemikiran kritis dibarengi sikap positif. Contohnya, dalam artikel yang anda angkat, jelas penulis tidak memahami ajaran Gereja maupun Konsili Vatikan II. Selain itu, tulisan tersebut dalam ranah opini, bukan katekese ataupun pernyataan resmi. Tentu saja, ini mempengaruhi kredibilitas dan akurasi pernyataan artikel tersebut. Sangat disayangkan jika kita menelan mentah-mentah sumber informasi yang belum jelas.
Ini penjelasan saya mengenai ajaran Gereja mengenai Keselamatan menurut Gereja Katolik, Sikap Gereja terhadap Agama-agama Lain, dan Relevansi Pewartaan ditengah Pluralisme. Semoga ini dapat membantu anda memahami apa yang sebetulnya Gereja ajarkan dan bagaimana sikap Gereja terhadap agama lain. Semoga saran saya juga berkenan bagi anda demi meningkatkan usaha kita semua dalam dialog antar agama supaya tidak diwarnai mitos yang kurang akurat mengenai Gereja. Semoga Allah menuntun kita pada Sang Kebenaran, PutraNya yang Tunggal, Tuhan kita, Yesus Kristus.
Pacem,
Ioannes
Tambahan: Diskusi tentang EENS dapat Anda lihat di sini: silakan klik, klik ini, dan klik ini.]
Bapa romo,saya ini kristian yang selalu keliru,saya betul2 ingin menjadi seorang katolik yg mengikuti jalan yg benar kerana saya tdk mahu ditinggakn pd hari penghakiman..apakah yg saya perlu lakukan supaya saya layak berada ditempat yg kristus janjikan..tolonglah saya.
Shalom Petronella,
Apakah Anda sudah dibaptis? Jika belum, dan Anda ingin menjadi Katolik, silakan Anda mengikuti proses katekumen, dan jika Anda terpanggil, silakan melanjutkan sampai Pembaptisan. Jika Anda sudah pernah dibaptis di gereja lain, silakan dilihat, apakah Baptisan tersebut sah dan diakui oleh Gereja Katolik (Silakan menanyakannya kepada imam/ pastor paroki Anda). Jika ya, Anda tidak perlu dibaptis ulang, hanya perlu diteguhkan secara Katolik.
Selanjutnya setelah Anda diterima menjadi Katolik, silakan bertumbuh secara rohani dalam Gereja Katolik. Rahmat pertumbuhan iman ini diperoleh melalui doa, merenungkan Sabda Tuhan, menerima sakramen-sakramen, secara khusus Ekaristi dan Pengakuan Dosa, dan bertekun dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan, terutama hukum kasih. Singkatnya, bertumbuh di dalam kekudusan, sebab hanya dengan kekudusan inilah kita dapat masuk dalam Kerajaan Surga (lih. Ibr 12:14). Silakan untuk membaca artikel seri berikut ini tentang kekudusan:
Apa itu Kekudusan?
Setiap Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus
Kerendahan hati: Dasar dan Jalan Menuju Kekudusan
Refleksi Praktis tentang Kekudusan
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Bu Ingrid,
pada pengadilan umum nanti, apakah dosa dosa kita yang sudah diampuni melalui sakramen pengakuan dosa tetap ‘diumumkan” oleh Hakim Agung kita?
terima kasih
[dari katolisitas: Ya, walaupun dosa-dosa kita telah diampuni dalam Sakramen Tobat, tetap akan diumumkan dalam Pengadilan Terakhir. Namun, semua perbuatan kasih yang kita lakukan juga akan diumumkan. “Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan.” (Luk 8:17)]
Comments are closed.