Dari Katolisitas:

Berikut ini adalah terjemahan dokumen Gereja yang berjudul Komentar atas Dokumen Responsa ad Questiones de Aliquibus Sententiis Ad Doctrinam de Ecclesia Pertinentibus – dari salah seorang pembaca, Anastasius. Terjemahan ini sudah diperiksa dan dikoreksi oleh Ingrid Listiati dari Katolisitas, namun tetap masih merupakan terjemahan tidak resmi (un-official translation) dari dokumen tersebut.

Kepada Anastasius , terima kasih atas kiriman terjemahan ini. Semoga Tuhan memberkati anda sekeluarga.

[Dear Katolisitas,
Terima kasih banyak atas dimuatnya terjemahan tak resmi yang telah saya kerjakan, berikut ini saya sertakan lagi terjemahan dokumen doktrinal dari CDF berjudul “Komentar atas dokumen; Responsa ad Questiones de Aliquibus Sententiis Ad Doctrinam de Ecclesia Pertinentibus”, dokumen ini adalah komentar resmi CDF atas dokumen tersebut, semoga dapat mendekatkan kita umat Katolik kepada dokumen Gereja yang dengannya mengenalkan kekayaan khasanah iman Katolik.

Tuhan Memberkati anda sekalian dan kita semua

Anastasius]

KATA PENGANTAR PENERJEMAH

Dokumen ini berisikan komentar Konggregasi untuk Ajaran Iman atas dokumen sebelumnya yang berjudul; “Responsa ad Questiones de Aliquibus Sententiis Ad Doctrinam de Ecclesia Pertinentibus” yang membahas beberapa pertanyaan spesifik mengenai Gereja pasca Konsili Vatikan II. Komentar-komentar ini memberikan penjelasan yang lebih detil untuk dokumen tersebut dan juga memberikan sebuah refleksi pastoral bagi misi ekumenisme Gereja.
Teks asli dalam bahasa Inggris diambil dari http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_doc_20070629_commento-responsa_en.html pada tanggal 10 Mei 2010 pukul 20.00
Semoga bermanfaat bagi kita semua umat Katolik dalam memahami ajaran-ajaran Gereja yang tertuang dalam berbagai dokumen-dokumen resmi autoritatif.

Salam dan doa,

Anastasius

KONGGREGASI UNTUK AJARAN IMAN

KOMENTAR ATAS DOKUMEN “RESPONSA AD QUESTIONES DE ALIQUIBUS SENTENTIIS AD DOCTRINAM DE ECCLESIA PERTINENTIBUS”;
TANGGAPAN-TANGGAPAN ATAS BEBERAPA PERTANYAAN MENGENAI BEBERAPA ASPEK DOKTRIN TENTANG GEREJA

Dalam dokumen ini, Konggregasi untuk Ajaran Iman memberikan tanggapan atas sejumlah pertanyaan mengenai pandangan yang menyeluruh perihal Gereja, yang muncul dari ajaran-ajaran dogmatis dan ekumenis Konsili Vatikan II. Konsili ini ‘dari Gereja tentang Gereja’ mengisyaratkan, menurut Paulus VI, “sebuah era baru bagi Gereja” di mana “wajah sesungguhnya dari Mempelai Kristus telah secara utuh tercermati dan tersingkap.” (1) Berbagai rujukan telah sering dilakukan kepada dokumen-dokumen pokok dari Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II serta kepada berbagai intervensi Konggregasi untuk Ajaran Iman, yang semua itu terinspirasi oleh pemahaman yang semakin mendalam tentang Gereja itu sendiri, dan beberapa di antaranya ditujukan untuk mengklarifikasi banyaknya teologi pasca konsili yang penting- yang tidak semuanya kebal dari ketidaktepatan dan kesalahan.

Dokumen ini terinspirasi oleh hal serupa. Justru karena beberapa penelitian teologi kontemporer telah salah, atau ragu, Konggregasi bermaksud untuk menjelaskan arti otentik dari pernyataan-pernyataan eklesiologis tertentu dari Magisterium. Untuk alasan ini maka Konggregasi telah memilih menggunakan gaya penulisan dari Responsa ad questiones, yang secara kodrati tidak berusaha untuk melebihi argumen-argumen untuk membuktikan doktrin tertentu, melainkan dengan membatasi diri kepada ajaran-ajaran sebelumnya dari Magisterium, menunjukkannya hanya untuk memberikan tanggapan yang tentu dan pasti atas beberapa pertanyaan spesifik.

Pertanyaan pertama yaitu mempertanyakan apakah Konsili Vatikan II mengubah doktrin yang telah dipegang sebelumnya mengenai Gereja.

Pertanyaan tersebut mempermasalahkan arti dari apa yang Paulus VI uraikan dalam kutipan tersebut di atas sebagai ‘wajah baru’ dari Gereja yang ditawarkan oleh Vatikan II.

Tanggapannya, berdasarkan ajaran dari Yohannes XXIII dan Paulus VI, adalah sangat jelas: Konsili Vatikan II tidak bermaksud untuk mengubah – dan oleh karena itu tidaklah mengubah – doktrin sebelumnya tentang Gereja. Konsili hanya memperdalam dan mengartikulasikannya dengan cara yang lebih organis. Ini adalah, dalam kenyataannya, apa yang dikatakan oleh Paulus VI dalam diskursusnya yang mempromulgasikan Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium ketika ia menetapkan bahwa dokumen tersebut tidak mengubah doktrin tradisional tentang Gereja, melainkan “apa yang dahulu diasumsikan, kini menjadi eksplisit; bahwa yang dahulu tidak jelas, kini telah menjadi jelas; apa yang dahulu direnungkan, didiskusikan dan terkadang diperdebatkan, kini telah diletakkan bersama dalam satu rumusan yang jelas.” (2)

Terdapat juga suatu kontinuitas antara doktrin yang diajarkan oleh Konsili dengan intervensi selanjutnya dari Magisterium yang telah mengangkat dan memperdalam doktrin yang sama ini, yang dengan sendirinya merupakan sebuah perkembangan. Dengan pengertian ini, sebagai contohnya, Deklarasi dari Konggregasi untuk Ajaran Iman Dominus Iesus hanya menegaskan kembali ajaran konsiliar dan post-konsiliar tanpa menambah atau mengurangi apa pun.

Dalam masa post-Konsili, bagaimanapun, dan sekalipun ada penegasan-penegasan yang jelas ini, ajaran dari Vatikan II telah dan terus berlanjut sebagai obyek interpretasi- interpretasi yang salah, yang berbeda dengan ajaran tradisional Katolik tentang sifat dasar Gereja: entah melihatnya sebagai ‘revolusi Copernican’ atau yang lainnya yaitu menekankan beberapa aspek dengan hampir mengesampingkan aspek-aspek lainnya. Pada kenyataannya, maksud utama dari Konsili Vatikan II adalah secara jelas untuk memasukkan diskursus tentang Gereja di dalam lingkup serta berada di bawah [urutan] diskursus tentang Tuhan, oleh karena itu menawarkan sebuah eklesiologi yang sungguh-sungguh teo-logis. Penerimaan ajaran Konsili ini telah, bagaimanapun, seringkali tidak jelas pada poin ini, merelatifkannya berdasarkan penekanan- penekanan eklesiologis pribadi, dan seringkali menekankan beberapa kata atau frasa tertentu yang mendorong pengertian parsial dan timpang dari doktrin konsiliar yang sama ini.

Berdasarkan eklesiologi dari Lumen Gentium, beberapa pemikiran kuncinya tampak telah masuk ke dalam sebuah kesadaran gerejawi: pemikiran akan Umat Allah, kolegialitas para Uskup sebagai sebuah peninjauan kembali dari persekutuan para Uskup bersama dengan keutamaan Paus, sebuah pembaharuan pemahaman tentang Gereja-gereja individual dalam Gereja Universal, aplikasi ekumenis tentang konsep Gereja serta keterbukaannya terhadap agama-agama lain; dan akhirnya mengenai pertanyaan sifat dasar dari Gereja Katolik yang terekspresikan dalam sebuah rumusan yang berdasarkan atas Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik – seperti dikatakan oleh credo tersebut – subsistit in Ecclesia catholica.

Dalam pertanyaan-pertanyaan selanjutnya, dokumen ini memperhatikan beberapa pemikiran ini, terutama mengenai kodrat spesifik Gereja Katolik bersamaan dengan apa yang dimaksudkan secara ekumenis dari pemahaman ini.

Pertanyaan kedua mempertanyakan tentang apa yang dimaksud dengan penegasan bahwa Gereja Kristus berada dalam [subsists in] Gereja Katolik.

Ketika G. Philips menuliskan bahwa frase “subsistit in” telah menimbulkan ’sungai tinta’ (3) yang akan tertumpahkan, ia mungkin tidak pernah membayangkan bahwa diskusi ini akan berlanjut untuk sekian lama atau dengan intensitas yang dapat menggugah Konggregasi untuk Ajaran Iman untuk menerbitkan dokumen ini sekarang.

Penerbitan dokumen ini, berdasarkan atas teks-teks konsiliar dan postkonsiliar yang dikutipnya, merefleksikan perhatian Konggregasi untuk melindungi kesatuan dan persatuan Gereja, yang akan terancam oleh pemikiran bahwa Gereja yang didirikan oleh Kristus dapat berupa lebih dari satu subsistensi. Jika benar ini adalah masalahnya, maka kita akan dipaksa, sebagaimana Deklarasi Mysterium Ecclesiae mengatakannya, untuk membayangkan bahwa “Gereja Kristus adalah seperti jumlah total dari Gereja-gereja atau komunitas-komunitas gerejawi – yang secara bersamaan berbeda-beda namun tersatu”, atau “untuk berpikir bahwa Gereja Kristus sudah tidak ada lagi secara nyata sekarang ini dan maka dari itu hanyalah sebuah obyek riset bagi Gereja-gereja dan komunitas-komunitas tersebut.” (4) Jika benar ini adalah masalahnya, Gereja Kristus akan menjadi tiada dalam sejarah, atau hanya akan eksis dalam semacam bentuk ideal yang muncul baik melalui beberapa usaha-usaha persatuan atau melalui penyatuan kembali (reunification) dari berbagai Gereja-gereja sesaudari, untuk senantiasa diharapkan dan dicapai melalui dialog.

Notifikasi dari Konggregasi untuk Ajaran Iman mengenai sebuah buku dari Leonardo Boff adalah lebih eksplisit. Dalam tanggapan atas pernyataan Boff bahwa Gereja Kristus yang satu “adalah mungkin untuk berada dalam Gereja-gereja Kristen yang lain”, Notifikasi menyatakan bahwa “Konsili memilih kata “subsistit” secara khusus untuk menjelaskan bahwa Gereja yang sejati hanya memiliki satu “subsistensi”, dan sementara itu di luar batas-batasnya yang ada hanyalah “elementa Ecclesiae” yang – sebagai elemen-elemen dari Gereja yang sama – memiliki kecondongan dan mengarahkan kepada Gereja Katolik.” (5)

Pertanyaan ketiga mempertanyakan mengapa ungkapan “subsistit in” lebih dipilih daripada sebuah kata “est”.

Adalah justru perubahan terminologi ini dalam deskripsi hubungan antara Gereja Kristus dengan Gereja Katolik yang telah menimbulkan berbagai macam interpretasi yang sangat banyak, di atas semuanya itu, dalam bidang ekumenisme. Pada kenyataannya, para Bapa Konsili hanya bermaksud untuk mengenali kehadiran elemen-elemen gerejawi yang sesuai dengan Gereja Kristus di dalam komunitas-komunitas Kristiani non Katolik. Hal ini tidaklah mengakibatkan bahwa identifikasi Gereja Kristus dengan Gereja Katolik tidak berlaku lagi, ataupun tidak juga bahwa di luar Gereja Katolik adalah sama sekali tidak terdapat elemen-elemen gerejawi, sebuah “kehampaan tanpa Gereja” (a “churchless void”). Artinya adalah, jika ungkapan “subsistit in” diperhitungkan dalam konteksnya yang benar, yaitu, dengan acuan kepada Gereja Kristus “didirikan dan terorganisir di dunia ini sebagai sebuah masyarakat … dipimpin oleh penerus Petrus beserta para Uskup yang bersekutu dengannya”, maka perubahan dari est menjadi subsistit in tidak mengambil arti teologis khusus yang terputus dengan doktrin Katolik sebelumnya.

Dalam kenyataannya, justru karena Gereja yang dikehendaki oleh Kristus terus senantiasa hadir (subsistit in) dalam Gereja Katolik, kesinambungan subsistensi ini menyiratkan sebuah identitas yang penting antara Gereja Kristus dan Gereja Katolik. Konsili berkeinginan untuk mengajarkan bahwa kita bertemu dengan Gereja Yesus Kristus sebagai sebuah subyek historis yang konkret di dalam Gereja Katolik. Oleh karena itu, pemikiran bahwasanya subsistensi tersebut dapat sepertinya dilipatgandakan tidak mengungkapkan apa yang dimaksud dengan pemilihan istilah “subsistit”. Dalam memilih kata “subsistit” Konsili bermaksud untuk mengungkapkan sebuah singularitas dan tak “terlipatgandakan” dari Gereja Kristus: Gereja hadir sebagai sebuah realitas historis yang unik.

Berlawanan dengan banyaknya interpretasi yang tak berdasar, maka dari itu, perubahan dari “est” menjadi “subsistit” tidak mengartikan bahwa Gereja Katolik telah berhenti mengenali dirinya sebagai Gereja Kristus yang satu dan sejati. Melainkan semakin menekankan keterbukaannya yang lebih besar terhadap niat ekumenis untuk mengenali ciri-ciri gerejawi yang sesungguhnya beserta dimensi-dimensinya di dalam komunitas-komunitas Kristiani yang tidak bersekutu penuh dengan Gereja Katolik, oleh karena adanya “plura elementa sanctificationis et veritatis” di dalam diri mereka. Akibatnya, sekalipun hanya ada satu Gereja yang “berada” (subsists) dalam subyek historis yang satu dan unik, terdapat pula realitas-realitas gerejawi sejati yang hadir di luar batas-batasnya yang terlihat.

Pertanyaan keempat mempertanyakan mengapa Konsili Vatikan II menggunakan kata “Gereja-gereja” untuk menjelaskan Gereja-gereja Oriental yang tidak bersekutu penuh dengan Gereja Katolik.

Meskipun penegasan eksplisit bahwa Gereja Kristus “berada” (subsists) dalam Gereja Katolik, pengakuan bahwa bahkan di luar batas-batasnya yang terlihat “banyak elemen-elemen pengudusan dan kebenaran” (6) ditemukan, menyiratkan ciri gerejawi – walaupun bermacam-macam – dari Gereja-gereja non-Katolik atau Komunitas-komunitas gerejawi. Tak satu pun dari pernyataan ini berarti “hilangnya arti dan kepentingan” dalam artian bahwa “Roh Kritus tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan mereka sebagai sarana keselamatan.” (7)

Dokumen ini mempertimbangkan terutama kenyataan bahwa Gereja-gereja oriental tidak bersekutu penuh dengan Gereja Katolik dan dengan merujuk kepada berbagai teks konsili, memberikan kepada mereka sebutan “Gereja-gereja partikular atau lokal” juga menyebut mereka sebagai Gereja-gereja sesaudari dari Gereja-gereja Katolik partikular karena mereka masih tetap bersatu dengan Gereja Katolik melalui suksesi apostolik dan perayaan Ekaristi yang valid “yang melaluinya Gereja Tuhan dibangun dan bertumbuh.” (8) Deklarasi Dominus Iesus menyebut mereka secara eksplisit sebagai “Gereja-gereja partikular sejati.” (9)

Meskipun pengakuan tegas tentang mereka “sebagai Gereja-gereja partikular” serta nilai-nilai keselamatan mereka, dokumen ini tidak dapat mengabaikan luka (defectus) yang mereka derita secara khusus di dalam keberadaan mereka sebagai Gereja-gereja partikular. Sebab karena visi Ekaristik Gereja, yang menekankan kenyataan tentang Gereja partikular yang disatukan dalam nama Kristus melalui perayaan Ekaristi dan di bawah bimbingan seorang Uskup, maka mereka memahami diri mereka utuh dalam partikularitas mereka. (10) Maka dari itu, dengan adanya persamaan yang fundamental di antara seluruh Gereja-gereja partikular serta para Uskup yang memimpin mereka, setiap dari mereka menuntut sebuah otonomi internal tertentu. Hal ini jelas tidak sesuai dengan doktrin akan keutamaan Paus yang, menurut iman Katolik, merupakan “sebuah prinsip pembentukan (konstitutif) internal” dari keberadaan sebuah Gereja partikular itu sendiri.(11) Oleh karena itu, tetaplah penting untuk menekankan bahwa Keutamaan Penerus Rasul Petrus, uskup Roma, tidak untuk dilihat sebagai sesuatu yang asing atau hanyalah sebatas kesetaraan dengan para Uskup atau Gereja-gereja partikular. Melainkan hal tersebut haruslah dilaksanakan untuk melayani kesatuan iman dan persekutuan dalam batas-batas yang bermula dari hukum Ilahi dan dari konstitusi yang kudus dan tak dapat dilanggar tentang Gereja sebagaimana termaktub dalam wahyu. (12)

Pertanyaan kelima mempertanyakan mengapa Komunitas-komunitas gerejawi yang berasal dari Reformasi tidak disebut sebagai ‘Gereja-gereja’.

Untuk menanggapi pertanyaan ini, dokumen menyebutkan bahwa “luka tersebut masih lebih dalam pada komunitas-komunitas gerejawi tersebut yang tidak menjaga suksesi apostolik atau perayaan Ekaristi yang valid”. (13) Atas alasan ini mereka “bukanlah Gereja-gereja dalam arti yang sepantasnya” (14) melainkan, sebagaimana terbukti dalam ajaran konsili dan setelah konsili, mereka adalah “Komunitas-komunitas gerejawi”. (15)

Meskipun faktanya bahwa ajaran ini menimbulkan ketegangan yang tidak kecil di dalam komunitas-komunitas yang dimaksudkan dan juga di antara beberapa umat Katolik, namun tetaplah sulit untuk melihat bagaimana sebutan “Gereja” dapat disandangkan kepada mereka, berdasarkan kenyataan bahwa mereka tidak menerima arti secara teologis tentang Gereja dalam pengertian Katolik dan mereka tidak memiliki elemen-elemen yang esensial bagi Gereja Katolik.

Dalam mengatakan hal ini, bagaimanapun, haruslah pula diingat bahwa Komunitas-komunitas gerejawi yang telah disebutkan ini, berdasarkan berbagai elemen pengudusan dan kebenaran yang sungguh-sungguh hadir dalam diri mereka, tak dapat diragukan memiliki semacam ciri gerejawi dan maka dari itu juga memiliki nilai keselamatan.

Dokumen yang baru dari Konggregasi untuk Ajaran Iman ini, yang secara esensial merangkum ajaran Konsili dan magisterium post-konsili, menetapkan sebuah penegasan kembali yang jelas atas doktrin Katolik tentang Gereja. Terpisah dari menghadapi ide- ide tertentu yang tak dapat diterima, yang sayangnya telah menyebar di kalangan Katolik, dokumen ini menawarkan indikasi- indikasi yang penting untuk dialog ekumenis di masa mendatang. Dialog ini masih merupakan salah satu dari beberapa prioritas Gereja Katolik, sebagaimana Benediktus XVI menegaskannya dalam pesan pertama kepada Gereja, tanggal 20 April 2005 dan juga di beberapa kesempatan lainnya, terutama pada saat kunjungan apostolik ke Turki (28/11/06 – 1/12/06). Namun demikian, jika dialog sedemikian ditujukan untuk dapat sungguh-sungguh membangun, maka dialog tersebut harus melibatkan tidak hanya sikap saling keterbukaan dari para partisipan melainkan juga kesetiaan kepada identitas iman Katolik. Hanya melalui cara inilah maka dialog dapat memimpin menuju kesatuan seluruh umat Kristiani dalam “satu kawanan dengan satu gembala” (Yoh 10:16) dan karenanya memulihkan luka-luka tersebut yang menghambat Gereja Katolik untuk secara penuh menyatakan ke-universalitasnya di dalam sejarah.

Ekumenisme Katolik mungkin terlihat, dalam sekilas pandangan pertama, agak saling bertentangan (paradoxical). Konsili Vatikan II menggunakan frase “subsistit in” dengan tujuan untuk mengharmoniskan dua ketegasan doktrinal: pada satu sisi, bahwa meskipun terdapat perpecahan di antara umat Kristiani, Gereja Kristus terus senantiasa hadir secara penuh hanya dalam Gereja Katolik, dan di sisi lain bahwa terdapat banyak elemen-elemen pengudusan dan kebenaran yang hadir di luar batas-batas yang terlihat pada Gereja Katolik baik dalam Gereja-gereja partikular ataupun juga di dalam Komunitas-komunitas gerejawi yang tidak dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik. Untuk alasan ini, Dekrit Vatikan II tentang ekumenisme Unitatis Redintegratio memperkenalkan istilah kepenuhan (fullness) (unitatis/catholicitatis) secara khusus untuk membantu pemahaman situasi yang sepertinya bertentangan ini. Walaupun Gereja Katolik memiliki kepenuhan sarana keselamatan, “meskipun begitu, perpecahan di antara umat Kristiani menghambat Gereja untuk mengakibatkan kepenuhan ke-katolisitasnya yang sesuai bagi dirinya di dalam diri anak-anaknya yang, sekalipun tergabung dengannya melalui pembaptisan, namun masihlah terpisahkan dari persekutuan penuh dengannya.” (16) Oleh karena itu, kepenuhan Gereja Katolik, sudah ada, tetapi masih harus tumbuh di dalam saudara-saudara yang masih belum bersekutu penuh dengannya dan juga di dalam anggota-anggota Gereja Katolik sendiri yang adalah para pendosa “sehingga secara membahagiakan sampai pada kepenuhan kemuliaan abadi di dalam Yerusalem surgawi.” (17) Kemajuan dalam kepenuhan ini berakar pada proses yang sedang berjalan dari persatuan dinamis dengan Kristus: “Bersatu dengan Kristus adalah juga bersatu bersama dengan semua yang kepadanya Ia memberikan diriNya. Aku tak dapat memiliki Kristus hanya untuk diriku sendiri; Aku dapat menjadi milikNya hanya dalam persatuan dengan semua yang telah menjadi atau akan menjadi milikNya. Persekutuan membawa aku keluar dari diriku menuju kepadaNya, dan juga kepada persatuan dengan seluruh umat Kristiani.” (18)

CATATAN KAKI
[1] PAUL VI, Discourse (September 21, 1964): AAS 56 (1964) 1012.
[2] Ibid., 1010.
[3] G. PHILIPS, La Chiesa e il suo mistero nel Concilio Vaticano II, (Milano 1975), I, 111.
[4] CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, Mysterium Ecclesiae, 1: AAS 65 (1973) 398.
[5] CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, Notification on the book of Father Leonardo Boff: “The Church: charism and power”: AAS 77 (1985) 758-759. This passage of the Notification, although not formally quoted in the “Responsum”, is found fully cited in the Declaration Dominus Iesus, in note 56 of n. 16.
[6] SECOND VATICAN COUNCIL, Lumen gentium, 8.2.
[7] SECOND VATICAN COUNCIL, Unitatis Redintegratio, 3.4.
[8] Cf. SECOND VATICAN COUNCIL, Unitatis Redintegratio, 15.1..
[9] CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITHI, Dominus Iesus, 17: AAS 92 (2000) 758.
[10] Cf. COMITATO MISTO CATTOLICO-ORTODOSSO IN FRANCIA, Il primato romano nella comunione delle Chiese, Conclusioni: in “Enchiridion oecumenicum” (1991), vol. IV, n. 956.
[11] Cf. CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, Communionis notio, n.17: AAS 85 (1993) 849.
[12] Cf. CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, Considerations on the Primacy of the Successor of Peter in the Mystery of the Church, n. 7 and n. 10, in: L’Osservatore Romano, English Edition, 18 November 1998, 5-6.
[13] CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, Communionis notio, 17: AAS 85 (1993) 849.
[14] CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, Dominus Iesus, 17: AAS 92 (2000) 758.
[15] Cf. SECOND VATICAN COUNCIL, Unitatis Redintegratio, 4; John Paul II, Novo millenio ineuente, 48: AAS 93 (2001) 301-302.
[16] SECOND VATICAN COUNCIL, Unitatis Redintegratio, 4.
[17] Ibid, 3.
[18] BENEDICT XVI, Deus caritas est, 14: AAS 98 (2006) 228-229.