Pengantar dari editor:
Pembaca Katolisitas yang terkasih, kita baru saja kehilangan Romo Antonius Hari Kustono, yang meninggal dunia pada usia 55 tahun pada tanggal 10 Oktober 2014 pk 02.15 WIB di RS Panti Rapih Yogyakarta, setelah didiagnosa menderita leukemia selama kurang lebih empat minggu sebelumnya. Romo Dr. Hari Kustono yang adalah seorang ahli Kitab Suci pernah membantu Katolisitas menjawab pertanyaan mengenai Kitab Suci.
Romo Yohanes Dwi Harsanto, Pr menceritakan, sejak tahun 2007 beliau dengan rajin setiap Kamis atau Jumat memberikan gagasan homili untuk hari Minggu depannya, di milis para imam Keuskupan Agung Semarang (KAS). Sebelum kehilangan kesadaran karena sakitnya, beliau sempat memberikan semua tulisan renungan dari laptopnya kepada romo Sutrasno Purwanto agar diberikan kepada teman-teman imam di milis. Banyak kesaksian dari umat yang pernah berinteraksi dengan beliau menyatakan bahwa sosok yang pandai melukis dan main biola ini sebagai rendah hati dan suka menolong sesama dengan spontan dan tulus. Beliau dimakamkan di makam imam-imam Keuskupan Agung Semarang di kompleks Seminari Tinggi St. Paulus Jl Kaliurang Yogyakarta.
Di bawah ini, melalui kisah kesaksian hidup beliau yang disajikan secara singkat, kiranya kesedihan dan kehilangan kita berganti rasa syukur pada Bapa atas teladan iman, kasih, kerendahan hati, karya, dan ketaatan beliau kepada Tuhan selama perjalanan hidupnya sebagai seorang imam. Hidup pelayanan beliau meneguhkan perjalanan kita sebagai umat beriman yang masih mengembara di dunia dan pengharapan kita yang indah akan karunia sukacita kekal yang disediakanNya di Rumah-Nya. Beberapa waktu sebelumnya, Romo Hari Kustono menyusun sebuah doa mohon kesembuhan untuk kakaknya, Romo JB. Hari Kustanto, SJ yang sedang sakit. Pada saat Romo Hari Kus sendiri jatuh sakit, doa itu didaraskan pula untuk beliau. Saat itu beliau tersadar dan berkata bahwa teringat doa yang diperuntukkan buat kakaknya itu yang malahan dibacakan untuk penggubahnya sendiri. Berikut ini teks kesaksian Rm Antonius Hari Kustono pada saat pesta perak imamat beliau tahun 2011 yang diwartakan ulang oleh Romo Willem Pau dari Yogyakarta. Semoga kesaksian ini menimbulkan inspirasi bagi kita.
KESAKSIAN Rm. A. Hari Kustono Pr saat merayakan Pesta Perak Imamat tahun 2011.
Tidak terasa 25 tahun telah berlalu sejak saya ditahbiskan oleh Mgr. J. Darmaatmadja, SJ (sekarang bapak kardinal) di kapel Santo Paulus. Saya dan romo Hardiyanta ditahbiskan bersama-sama pada tanggal 16 Agustus 1986. Rasanya belum banyak pengalaman yang saya miliki. Agak sulit menoreh-noreh lagi pengalaman-pengalaman yang lampau. Mungkin karena hidup saya kurang bervariasi. Entahlah. Namun, semuanya ini saya syukuri dengan sepenuh hati. Tuhan dengan cara-Nya sendiri telah menuntun dan meneguhkan jalan imamat saya.
Saya Ingin Jadi Romo
Saya tidak tahu kapan muncul keinginan untuk menjadi romo. Seingat saya, sejak SD keinginan itu sudah muncul. Sampai masuk SMP, keinginan itu tidak surut. Oleh karena itu, selepas SMP saya mendaftar ke Seminari Menengah Mertoyudan. Betapa gembira hati saya ketika ada tiga teman lainnya dari paroki Pugeran yang juga diterima. Romo FX. Wiyono yang pada waktu itu menjabat pastor paroki mempunyai perhatian besar terhadap panggilan imam. Dari kami berempat yang berasal dari paroki Pugeran, akhirnya tinggal saya yang masih terus.
Demikian pula dari SMP Pangudi Luhur ada sekitar 8 teman yang diterima di Seminari Mertoyudan, dan ternyata hanya saya yang boleh sampai tahbisan imam. Saya tidak tahu apa alasan Tuhan memanggil saya. Rasanya tidak ada yang istimewa pada diri saya dibandingkan dengan teman-teman lain yang tidak meneruskan panggilan. Panggilan saya pernah sedikit kacau ketika pada tahun 1976 bapak menderita sakit kanker nasofaring. Pada waktu itu, saya dan kakak laki-laki nomor tiga (Rm. JB. Hari Kustanto, SJ) masih di bangku Seminari Menengah Mertoyudan. Memang kekacauan hati yang saya alami tidak sampai membuat saya ingin meninggalkan seminari. Hanya ada rasa sedih karena saya tidak dapat berbuat apa-apa dengan sakitnya bapak. Dalam keadaan sulit itu, ibu menunjukkan ketabahan luar biasa. Dia bekerja keras untuk mencari nafkah dan mengupayakan pengobatan untuk bapak. Kami bertujuh masih sekolah, belum ada yang dapat bekerja untuk meringankan beban ibu. Syukur pada Tuhan bahwa bapak bisa sembuh meskipun tidak sempuma. Kemoterapi yang harus dijalaninya membuat bapak perlahan-lahan mulai kehilangan pendengaran, kehilangan gigi, dan semakin rapuh. Tuhan masih mengijinkan bapak untuk hidup sampai 26 tahun lagi.
Semasa di Kentungan
Saya mencintai Mertoyudan. Hal yang sama dirasakan juga oleh teman-teman ex-merto. Jika ada kesempatan reuni, cerita-cerita yang muncul pasti tentang kehidupan bersama di Seminari Mertoyudan. Ada banyak kisah lucu, naif, memelas, dsb, yang dapat membuat kami semua sekarang tertawa bersama jika ingat kebersamaan kami di Mertoyudan. Tahun 1989, saya meninggalkan Seminari Mertoyudan dan masuk ke Seminari Tinggi Kentungan. Tujuh tahun saya menempuh pendidikan imam praja Keuskupan Agung Semarang di Kentungan. Mengapa saya memilih imam praja. Entahlah, arah ke situ sudah saya cita-citakan sejak lama. Kebetulan kakak saya memilih jadi Yesuit, sehingga langkah ke Kentungan semakin mantap.
Pada tahun kelima, setelah selesai S1, saya tugas orientasi pastoral di paroki Sragen selama setahun di bawah bimbingan Romo Y. Bardiyanta dan Rm. Riawinarta yang baru pulang dari studi musik di Wina. Pengalaman pastoral semakin memantapkan keinginan saya untuk menjadi romo. Seusai tahun orientasi pastoral, saya masih menempuh pendidikan dua tahun lagi sebelum menerima tahbisan imam. Karena Romo Tri Wahyono harus menempuh Tahun Orientasi Pastoral selama dua tahun, saya sendirian saja di angkatan calon imam KAS. Ternyata, Tuhan tidak tinggal diam. Saya mendapat teman seangkatan yang baru yaitu Romo Hardiyanta. Beliau menderita sakit sampai tidak dapat mengikuti kuliah berbulan-bulan. Karena sakitnya tersebut, Romo Hardiyanta turun tingkat menjadi teman seangkatan saya. Tentu saja bukan pengalaman yang manis bagi Romo Hardiyanta dengan sakitnya itu. Akan tetapi di balik penderitaan Romo Hardiyanta, saya diuntungkan karena tidak sendirian lagi.
Pendidikan dua tahun setelah pastoral berlalu dengan cepat. Tak terasa saya harus segera mengambiI keputusan untuk menerima imamat. Jadilah, pada tanggal 16 Agustus 1986, saya dan Romo Hardiyanta ditahbiskan menjadi imam. Ada kebahagiaan tersendiri ketika saya diperkenankan menerima tahbisan. Penugasan pertama saya adalah menjadi pastor pembantu di paroki Boro, membantu Romo Natawardaya. Saya menggantikan Romo Padmaka Sigit yang mendapat penugasan baru di lingkungan militer. Baru setahun menjadi pastor pembantu, Romo Nata dipindah ke Kebondalem, Semarang. Pastor pengganti Romo Nata tidak segera datang, sehingga saya sempat bekerja sendirian selama 5 bulan di paroki Boro. Periode bekerja sendirian waktu itu memang amat melelahkan. Jadwal Misa terpaksa dikurangi, dan banyak waktu habis untuk menerima tamu yang datang dengan berbagai urusan.
Akhirnya, Romo M. Supriyanto yang baru beberapa bulan di Ganjuran dipindah ke Boro. Saya sempat setahun lebih bersama Romo Pri Midul di Boro. Romo Pri dengan pola hidupnya yang sederhana, akrab dan memberdayakan umat sungguh menjadi inspirasi berguna bagi saya. Hanya satu setengah tahun bersama Romo Pri, saya mendapat tugas baru, yaitu studi lanjut Kitab Suci di Roma. Semua urusan pendaftaran berjalan lancar. Tanggal 27 Juli 1989, saya berangkat ke Roma, hanya dengan berbekal tekad, nekad, dan taat. Ada rasa kekosongan yang cukup lama di hati saya ketika masuk ke dunia yang baru. Ingatan akan paroki Boro masih belum hilang, tetapi kehidupan tak pernah berjalan mundur. Saya pun harus melakukan adaptasi dengan lingkungan hidup yang baru dan tugas yang baru pula. Lama-lama, saya mulai biasa dengan semua hal yang baru tersebut. Rasa kerasan terbantu karena di asrama ada banyak teman dari Indonesia. Bahkan dari KAS masih ada Romo Gitowiratmo dan Romo Purwatma.
Menempuh Studi Kitab Suci
Periode studi di Roma adalah periode yang cukup berat bagi saya. Terus terang, saya tidak cukup brilian untuk studi Kitab Suci yang menuntut pengetahuan berbagai bahasa. Karena berbagai alasan, pada tahun ketiga saya pindah sekolah dari Biblicum ke Universitas Gregoriana. Karena pindah sekolah, waktu studi saya jadi lebih lama. Seharusnya 4 tahun selesai tetapi temyata baru 5 tahun saya selesaikan studi lisensiat. Pada masa menempuh studi lisensiat, ibu dipanggil Tuhan dalam usia 63 tahun. Saya dan kakak saya tidak dapat melayat ibu karena dia sedang studi Antropologi di Amerika. Saya mohon ijin pulang, dan saya sampai di rumah setelah dua hari ibu dimakamkan.
Setelah selesai lisensiat, saya mohon diperkenankan pulang. Sebenarnya saya berharap riwayat studi saya selesai dengan lisensiat, namun Mgr. Darmaatmadja mengatakan: “Kamu boleh pulang tetapi nanti harus kembali lagi untuk menempuh doktorat”. Saya pun menyanggupi, dan pulanglah saya ke Indonesia selama tiga tahun. Rupanya, Bapak Uskup masih ingat janji saya. Beliau menagihnya setelah tahun ketiga saya mengajar di Kentungan. Dengan taat, saya pun memenuhi janji saya untuk kembali belajar lagi di Roma. Bapak mengantar saya sampai bandara Adisucipto, karena temyata kami bisa terbang ke Roma lewat Bali. Itulah saat terakhir saya melihat bapak. Menjelang studi saya selesai, pada tahun 2002 bapak dipanggil Tuhan. Di saat yang sama, kakak saya juga sedang hampir selesai studinya. Jadi sekali lagi, kami tidak dapat melayat orang tua kami.
Saya masih ingat, kabar meninggalnya bapak saya terima ketika saya sedang mengetik baris-baris terakhir tesis saya. Akhirnya studi doktorat selesai juga setelah menghabiskan waktu lima tahun. Sebenarnya Mgr I. Suharyo yang menggantikan Bapak Kardinal sebagai Uskup Agung Semarang telah meminta saya pulang ke Kentungan, selesai atau tidak selesai sekolah. Syukurlah, email Mgr. Suharyo saya terima ketika kepastian ujian tesis sudah dijadwalkan. Saya sadar, masa studi saya terlalu lama, sehingga cukup merepotkan Keuskupan dan FTW yang sangat membutuhkan dosen Kitab Suci. Kalau akhirnya saya selesai sekolah, itu pasti karena rahmat Tuhan yang berlimpah. Cocok dengan moto tahbisan kami: “Cukup sudah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2Kor 12:9).
Epilog
Kini saya tinggal di Kentungan, menjadi teman seperjalanan bagi para romo dan para frater dalam menapaki jalan panggilan. Jika mengingat kembali jalan panggilan imamat, saya merasa amat berhutang budi pada banyak orang. Semuanya telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menuntun hidup saya. Rasanya saya begitu dimanja dengan diberi kesempatan studi yang begitu lama. Karena faktor kelambanan otak, sayalah satu-satunya imam diosesan KAS yang studinya paling lama. Malu juga rasanya, tetapi apa boleh buat karena saya telah berupaya sebisa mungkin menjalankan tugas. Layaklah jika pada saat ini, saya merasa berhutang budi pada berbagai pihak. Saya berhutang budi kepada Uskup, Keuskupan, para donatur, para romo dan seluruh umat. Sisa hidup saya akan saya isi untuk membayar hutang budi, meskipun jelas tidak akan pernah lunas. Sampai sekarang saya masih sibuk dengan tugas-tugas pokok, dan rasanya belum sempat berbuat banyak untuk Keuskupan Agung Semarang. Belum ada buku yang saya tulis. Meskipun begltu, menjadi niat saya untuk menekuni tugas ini sebisa mungkin.
Tidak terasa usia imamat saya sudah 25 tahun. Setelah melewati jalan panjang dan berliku, sekarang saya sungguh mencintai dan menikmati Kitab Suci. Rupanya inilah cara yang dipilihkan Tuhan bagi saya untuk mengabdi pada Gereja, yaitu lewat pelayanan Kitab Suci.
Pada kesempatan ini, saya mengucapkan beribu terimakasih kepada para Bapa Uskup, yaitu Kardinal J. Darmaatmadja, SJ, Mgr I. Suharyo, dan Mgr. J. Pujasumarta, yang telah mempercayakan tugas-tugas pada saya. Saya berterimakasih kepada para romo KAS yang telah menjadi rekan imamat yang meneguhkan pada saat suka maupun duka. Paguyuban imam-imam praja KAS terasa menyejukkan, apalagi kita sekarang bisa saling berkomunikasi lewat milis UNIO KAS. Ada banyak hal yang dapat dibagikan lewat milis, kita dapat saling mengejek akrab dan mengutarakan hal-hal yang lucu. Hanya ada rasa syukur tak terhingga dalam hati saya atas kehadiran para romo Unio KAS yang senantiasa menawarkan ruang persahabatan yang penuh makna. Mohon maaf kalau fungsi saya sebagai Ketua III Unio amat minim.
Saya berterimakasih kepada seluruh umat yang telah berjasa bagi panggilan saya, termasuk para donatur dari dalam maupun luar negeri yang membantu pendidikan saya. Terimakasih kepada rekan- rekan semua, termasuk alumni Merto 1975. Terimakasih kepada para romo, frater, suster, bruder di Seminari Tinggi, yang telah setia menjadi teman hidup saya. Terimakasih kepada para romo KAS. Terimakasih kepada para devosan Kerahiman lIahi. Terimakasih kepada semua pihak yang tidak saya bisa saya sebut satu-persatu.
Terimakasih kepada bapak-ibu almarhum yang telah membentuk saya dengan teladan dan pengorbanan hidup yang tuntas. Terimakasih kepada kakak-adik, keponakan, prunan dan cucu, yang sampai sekarang menjadi kekuatan saya dalam panggilan. Terimakasih kepada Romo Hari Kustanta, SJ yang saat ini sedang sakit. Semoga mas Tanto segera sembuh dan kembali bekerja untuk Gereja. Terimakasih dan syukur kepada Tuhan yang telah mengasihi saya dengan karunia berlimpah-limpah.
TONGGAK-TONGGAK IMAMAT
1. Nama: Antonius Hari Kustono
2. Tempat tgl lahir: Yogyakarta 11 April 1959
3. Anak ke: Lima dari tujuh bersaudara
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Pendidikan SD- 1965-1971 di SD Pangudi Luhur, Yogyakarta
2. Pendidikan SMP- 1972-1974 di SMP Pangudi Luhur, Yogyakarta
3. Pendidikan SMA – 1975-1979/1980 di Seminari Menengah Mertoyudan
4. Masuk Pendidikan Seminari Tinggi St. Paulus, Kentungan pada tahun 1979/1980.
5. Tugas pastoral: 1983-1984 di Sragen
6. Tahbisan Imam: 16 Agustus 1986
RIWAYAT KARYA
1. Tugas imam: 1986 – 1989 menjadi pastor pembantu di paroki Boro.
2. Studi lanjut: 1989/1990 – 1994 studi lisensiat Teologi Kitab Suci di Roma
3. Tugas mengajar: 1994 – 1996 mengajar Kitab Suci di Fakultas teologi Wedabhakti, Kentungan
4. Studi lanjut: 1996/1997 – 2002 studi doktorat Teologi Kitab Suci di Roma
5. Tugas mengajar: 2002 sampai sekarang di Fakultas Teologi Wedabhakti, Kentungan.
Dikutip dari BERNIO edisi khusus 2011
Sedih mendengar kabar Rm. Hari Kustono wafat. Saya begitu kagum ketika saya diajar beliau saat ikut KUBINA di Sanatha Darma dulu…. Selamat Jalan Romo
Comments are closed.