I. Sudah kawin berarti tidak usah menjaga kemurnian?

Sering orang berpikir bahwa setelah seseorang menikah artinya sudah tidak perlu menjaga kemurnian lagi sebab sudah ‘terlanjur tidak murni’. Ini adalah pemikiran yang keliru. Sebab kebajikan kemurnian tidak terbatas pada orang- orang yang tidak ataupun belum menikah, tetapi pada semua orang. Mereka yang menikah dipanggil untuk melaksanakan kemurnian dalam perkawinan (conjugal chastity). Kemurnian di sini tidak untuk diartikan keperawanan secara fisik, namun lebih secara rohani. Artinya, setiap pasangan dipanggil untuk dengan setia memberikan dirinya secara total kepada pasangannya, sebagai gambaran kasih Kristus kepada Gereja-Nya (lih. Ef 5:22-33). Suami harus mengasihi istrinya seperti mengasihi tubuhnya sendiri dan istri harus tunduk kepada suaminya. Sesuai dengan teladan Kristus yang menyerahkan nyawa-Nya untuk menguduskan jemaat, maka suami harus rela berkorban demi kasih kepada istrinya, demikian pula sebaliknya, istri terhadap suaminya. Sebab, baik suami maupun istri dipanggil untuk hidup saling mengasihi dan saling menguduskan.

Jadi kini pertanyaan seputar kemurnian di dalam perkawinan adalah:

Sejauh mana saya telah mengikuti teladan kasih Kristus yang total, dalam mengasihi pasangan saya? Apakah kasih saya kepada pasangan adalah kasih yang murni, atau kasih yang sesungguhnya tertuju kepada diri sendiri? Apakah hubungan seksual antara kami sebagai pasangan sudah mencerminkan kemurnian kasih?

II. Kasih yang murni dalam perkawinan

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa kasih suami istri haruslah merupakan kasih yang total, yang melibatkan tubuh jasmani, perasaan dan kerohanian. Kasih persekutuan antara suami istri sifatnya pribadi sekali, sehingga tidak bisa melibatkan pihak ketiga. Sebab persatuan jasmani antara keduanya harus menghantar kepada persatuan rohani yang tak terceraikan. Persatuan yang melibatkan penyerahan diri yang total antara suami dan istri ini, harus terbuka terhadap kemungkinan penciptaan kehidupan baru. Kasih yang lengkap inilah yang menjadi gambaran dari kasih Allah sendiri.

KGK 1643, “Cinta kasih suami istri mencakup suatu keseluruhan. Di situ termasuk semua unsur pribadi: tubuh beserta naluri-nalurinya, daya kekuatan perasaan dan afektivitas, aspirasi roh maupun kehendak. Yang menjadi tujuan yakni: kesatuan yang bersifat pribadi sekali; kesatuan yang melampaui persatuan badani dan mengantar menuju pembentukan satu hati dan satu jiwa; kesatuan itu memerlukan sifat tidak terceraikan dan kesetiaan dalam penyerahan diri secara timbal balik yang definitif, dan kesatuan itu terbuka bagi kesuburan. Pendek kata: itulah ciri-ciri normal setiap cinta kasih kodrati antara suami dan isteri, tetapi dengan makna baru, yang tidak hanya menjernihkan serta meneguhkan, tetapi juga mengangkat cinta itu, sehingga menjadi pengungkapan nilai-nilai yang khas Kristen”. (Familiaris Consortio 13).

Jadi kita ketahui bahwa sebenarnya ada tiga jenis pengalaman persatuan dalam hubungan kasih yang murni antara suami istri. Yang pertama adalah persatuan rohani; yaitu bahwa suami dan istri mengalami kesatuan hati dan jiwa di dalam Tuhan. Kedua adalah persatuan perasaan: aliran kasih antara seorang dan yang lainnya begitu kuatnya, sehingga seolah- olah ia dapat mendengarkan detak jantung pasangannya. Ketiga ialah persatuan jasmani, yaitu ketika secara seksual suami istri bersatu dalam satu tubuh. ((lihat. Johann Christoph Arnold, A Plea for Purity, (Farmimgton: The Plough Publishing House of the Bruderhof Foundation, 1998, reprint), 18-19)).

Maka hubungan suami istri yang murni sesuai dengan rencana Tuhan adalah hubungan yang sampai kepada persatuan rohani di dalam Tuhan. Dengan perkataan lain, tanpa persatuan rohani, hubungan suami istri tidak sampai pada kepenuhannya, sehingga mudah tergoyahkan. Hal ini sangatlah sesuai dengan kenyataan, sebab survey sendiri menyatakan bahwa perbedaan agama merupakan salah satu penyebab perceraian di Indonesia. Survey menunjukkan bahwa 90% dari pernikahan beda agama berakhir dengan perceraian (sumber: klik di sini). Walau tidak enak untuk didengar, tetapi sesungguhnya data ini merupakan fakta yang menunjukkan bahwa pengalaman kesatuan rohani merupakan sesuatu yang terpenting dalam kasih suami istri. Karena kasih suami istri harus menggambarkan kasih Allah itu sendiri, maka tanpa kesatuan rohani antara suami istri, akan sulitlah bagi mereka untuk terus bertahan di dalam kesatuan perkawinan. Karena tanpa kesatuan rohani, baik suami ataupun istri mempunyai gambaran sendiri- sendiri tentang perkawinan, dan ini dapat menimbulkan ketidakcocokan dalam hal- hal lainnya. Padahal persatuan rohani suami istri merupakan dasar bagi kesatuan kasih suami istri. Dalam kesatuan kasih inilah suami istri mengambil bagian dalam kehidupan kasih ilahi Allah sendiri; yaitu pada saat suami dan istri saling memberikan kasih yang total di dalam Kristus, dan kasih timbal balik ini terbuka kepada kemungkinan penciptaan kehidupan baru.

III. Hubungan seksual dalam Perkawinan

Dengan demikian, hubungan seksual dalam perkawinan merupakan sesuatu yang luhur dan suci, karena tidak hanya melibatkan tubuh tetapi juga jiwa. Sudah seharusnya, suami dan istri yang melakukan hubungan seksual menghayatinya tidak semata untuk kesenangan jasmani, tetapi lebih daripada itu: untuk menghayati makna kasih Allah yang telah mempersatukan mereka dan menggabungkan mereka dengan daya ilahi-Nya, baik dalam kasih-Nya maupun dalam rencana penciptaan-Nya.

Sudah seharusnya, suami istri mempunyai kesadaran akan makna yang luhur ini, dan dengan demikian menyadari bahwa tempat tidur adalah sebuah tempat yang kudus: “holy ground“, karena di sanalah secara khusus persatuan mereka sebagai suami istri diperbaharui, secara jasmani dan rohani. “Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur….. (Ibr 13:4) Hubungan suami istri selayaknya merupakan pengulangan janji perkawinan, “Ya, saya bersedia untuk mengasihi engkau, dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit….. dan saya bersedia mengasihi dan menghormati engkau seumur hidup….

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian tentang hubungan seksual dalam perkawinan:

KGK 2362 “Maka dari itu tindakan-tindakan, yang secara mesra dan murni menyatukan suami-isteri, harus dipandang luhur dan terhormat; bila dijalankan secara sungguh manusiawi, tindakan-tindakan itu menandakan serta memupuk penyerahan diri timbal-balik, cara mereka saling memperkaya dengan hati gembira dan rasa syukur” (Gaudium et Spes 49). Seksualitas adalah sumber kegembiraan dan kesenangan:

“Sang Pencipta sendiri telah menentukan bahwa di dalam fungsi perkembangbiakan, pasangan mengalami kesenangan dan kepuasan tubuh dan jiwa. Oleh karena itu, pasangan tidak melakukan kejahatan dalam mencari kesenangan ini dan menikmatinya. Mereka menerima apa yang dimaksudkan oleh Pencipta mereka. Pada saat yang sama, pasangan harus tahu bagaimana untuk memperhatikan batas-batas pengekangan diri yang baik” (Pius XII, wejangan 29 Okt. 1951).

KGK 2363 Melalui persatuan suami isteri terlaksanalah tujuan ganda perkawinan: kesejahteraan suami isteri dan penyaluran kehidupan. Orang tidak dapat memisahkan kedua arti dan nilai perkawinan ini satu dari yang lain, tanpa merugikan kehidupan rohani pasangan suami isteri dan membahayakan kepentingan perkawinan dan masa depan keluarga.
Dengan demikian cinta suami isteri antara pria dan wanita berada di bawah tuntutan ganda yakni kesetiaan dan kesuburan.

Jadi selama kedua tujuan perkawinan (kesejahteraan suami istri/union dan kemungkinan kelahiran baru/procreation) dipenuhi, tentu dengan penghayatan akan kasih Allah yang mempersatukan, maka suami istri melakukan kemurnian kasih dalam perkawinan. Namun jika kedua tujuan itu dipisahkan, dan hanya dilakukan salah satu saja, maka motivasi kemurnian kasihnya patut dipertanyakan. Jika pasangan tetap memisahkan kedua tujuan ini maka sebenarnya mereka mempertaruhkan kebahagiaan perkawinan mereka sendiri.

IV. Komitmen untuk hidup dalam kemurnian dalam perkawinan

Mengingat akan makna yang luhur ini, maka kita tidak dapat atas kehendak sendiri memaknai hubungan seksual suami istri di luar makna yang telah direncanakan oleh Allah. Hubungan seksual antara suami dan istri memiliki dua tujuan yang tak terpisahkan, yaitu untuk mempersatukan suami istri dan untuk mengajak keduanya terbuka dalam karya penciptaan-Nya. Maka hubungan seksual yang benar dan sesuai dengan rencana Allah tidak dapat memisahkan keduanya: jangan dianggap sebagai sarana mempersatukan suami istri saja, atau sarana mendapatkan keturunan saja. Sebab jika demikian, maka menjadi tidak sesuai dengan rencana Allah yang menciptakannya.

Jika suami istri berkomitmen untuk memaknai hubungan seksual sesuai dengan prinsip kemurnian ini -sesuai dengan rencana Allah pada awalnya- maka mereka tidak perlu merasa kotor dan berdosa selama berhubungan seks. Yang menjadi masalah adalah jika kedua tujuan tersebut tidak dilakukan bersama- sama, apalagi jika fokus utamanya adalah mencari kepuasan jasmani sendiri, dan dengan demikian tidak dilakukan sesuai dengan rencana Tuhan.

V. Hubungan kasih suami istri berakar pada persamaan martabat keduanya

Walaupun dikatakan bahwa suami adalah kepala istri, namun itu bukan untuk diartikan bahwa martabat pria lebih tinggi dari martabat wanita. Tuhan menjadikan Hawa dari tulang rusuk Adam, dan ini berarti bahwa keduanya diciptakan setara martabatnya.

KGK 2393 Dengan menciptakan manusia laki- laki dan perempuan, Tuhan memberikan martabat pribadi yang sama antara satu dengan lainnya. Setiap dari mereka harus mengenali dan menerima identitas seksualnya.

Persamaan martabat ini harus mendasari hubungan suami istri. Penghayatan akan hal ini mengakibatkan suami dan istri saling memperhatikan kehendak dan kebutuhan pasangan. Di samping istri perlu memahami kebutuhan suami, namun suami juga harus memperhatikan keadaan istrinya. Saling pengertian ini perlu, sebab jika tidak ada, salah satu pihak akan merasa hanya dipergunakan sebagai alat pelampiasan saja. Ini tentu tidak dikehendaki dalam perkawinan.

Maka tidak benar bahwa Gereja mengajarkan bahwa tujuan perkawinan adalah hanya untuk melepaskan hasrat seksual saja. Jika Rasul Paulus mengatakan, “Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu,” (1 Kor 7:9) selayaknya dimengerti bahwa melalui perkawinan pasangan suami istri dikuduskan, dengan latihan pemberian diri secara timbal balik dengan pasangannya. Pemberian diri ini melibatkan pengendalian diri dalam penyampaiannya. Dan dengan melatih pengendalian diri ini, maka mereka dikuduskan.

VI. Makna kesuburan dalam Perkawinan

Adalah suatu persepsi yang umum didengar sekarang, bahwa hadirnya anak identik dengan biaya. Walaupun pandangan ini tidak salah total, namun sesungguhnya pandangan ini menyedihkan, sebab dapat mengakibatkan suami dan istri tidak lagi memaknai hubungan kasih suami istri seperti yang dikehendaki oleh Tuhan. Akibatnya kadang kehadiran anak lebih dianggap sebagai beban daripada berkat. Padahal, Katekismus mengajarkan:

KGK 2366     Kesuburan adalah suatu karunia, sebuah tujuan perkawinan, sebab kasih suami istri secara kodrati cenderung berbuah. Seorang anak tidak datang dari luar sebagai sesuatu yang ditambahkan kepada kasih timbal balik antara pasangan suami istri, tetapi lahir dari inti kasih yang saling memberi, sebagai buahnya dan kepenuhannya. Oleh sebab itu, Gereja, yang berpihak kepada kehidupan, mengajarkan bahwa “setiap dan masing- masing tindakan hubungan suami istri tetap ditujukan kepada penciptaan (procreation).” (Humanae Vitae 11). “Ajaran ini, yang diajarkan dalam banyak kesempatan oleh Magisterium, berdasarkan atas hubungan yang tak terpisahkan, seperti yang ditentukan oleh Tuhan, yang tidak dapat dilanggar oleh manusia atas inisiatifnya sendiri, antara makna persatuan (unitive) dan penciptaan (procreative) yang keduanya melekat pada tindakan hubungan suami istri.” (Humanae Vitae 12, lih. Paus Pius XI, Casti Connubii).

KGK 2367    Dipanggil untuk memberikan kehidupan, pasangan suami istri mengambil bagian di dalam kuasa penciptaan dan kebapa-an Tuhan (lih. Ef 3:14; Mat 23:9). Pasangan suami istri harus menganggapnya sebagai panggilan mereka untuk menyalurkan kehidupan manusia dan untuk mendidik anak- anak mereka; mereka harus menyadari bahwa dengan demikian mereka bekerjasama dengan kasih Allah Pencipta dan dalam arti tertentu, menjadi penerjemahnya. Mereka akan memenuhi tugas ini dengan cara manusiawi dan tanggungjawab Kristiani.” (Gaudium et Spes 50)

Tanggungjawab Kristiani di sini berkaitan dengan pengaturan kelahiran. Tentang hal ini, Katekismus mengajarkan:

KGK 2368 Satu aspek khusus dari tanggung jawab ini menyangkut pengaturan kehamilan [keluarga berencana]. Karena alasan-alasan yang sah suami isteri dapat mengusahakan jarak antara kelahiran anak-anaknya. Terserah kepada mereka untuk menguji, apakah kerinduan mereka itu bukan berdasarkan pada egoisme, melainkan pada kebesaran jiwa yang sesuai dengan tugas orang-tua yang bertanggung jawab. Di samping itu mereka akan mengatur sikap mereka sesuai dengan ukuran kesusilaan yang obyektif:

Maka, bila soalnya bagaimana menyelaraskan cinta kasih suami isteri dengan penyaluran kehidupan secara bertanggung jawab, moralitas cara bertindak tidak hanya tergantung dari maksud yang tulus atau penilaian alasan-alasannya saja. Moralitas itu harus ditentukan berdasarkan norma-norma yang obyektif, yang diambil dari kodrat manusia dan tindakan- tindakannya, dan norma-norma itu menghormati arti sepenuhnya yang ada pada saling penyerahan diri (mutual self-giving) dan pada penciptaan manusia (human procreation), dalam konteks cinta kasih sejati. Itu semua tidak mungkin, kalau keutamaan kemurnian dalam perkawinan tidak diamalkan dengan tulus hati.” (Gaudium et Spes 51)

VII. Cara konkret untuk melaksanakan kemurnian dalam perkawinan

Untuk menerapkan kemurnian dalam perkawinan, diperlukan rasa saling pengertian, saling menghormati antara suami dan istri; dan di atas semua itu adalah pengendalian diri. Namun hal ini tidaklah mustahil, jika pasangan mengandalkan pertolongan Roh Kudus sebab salah satu buah Roh Kudus adalah pengendalian diri (Gal 5:23). Cara untuk menerapkan secara praktis kemurnian dalam perkawinan adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan KB alamiah:

Artinya, jika untuk alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, pasangan tidak menginginkan tambahan kelahiran anak, maka keduanya dapat pantang berhubungan seksual pada saat masa subur istri. Cara pengamatan masa subur istri yang dianjurkan adalah metoda Billings, yang dapat diamati dengan metoda Creighton. Hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

Di luar masa pantang, suami dan istri dapat mengekspresikan kasih yang penuh, sesuai dengan yang dikehendaki Allah yaitu yang melibatkan aspek union dan procreation.

2. Menggunakan waktu pantang, untuk memusatkan perhatian kepada Tuhan.

Rasul Paulus menasehati, “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak.” (1 Kor 7:5)

3. Mengusahakan ungkapan kasih yang tulus yang bukan hubungan seksual.

Suami dan istri harus mengusahakan komunikasi yang baik dan berusaha mengungkapkan kasih yang tulus, yang tidak terbatas pada hubungan seksual. Gunakan waktu yang ada untuk lebih mengenal pasangan ataupun menyenangkan hati pasangan dengan cara- cara sederhana.

VIII. Mengapa kita mengikuti kehendak Tuhan dalam hal kemurnian?

Kita perlu hidup murni adalah karena kemurnian berhubungan dengan panggilan kita sebagai umat beriman untuk hidup kudus. Sebab tanpa kekudusan tak seorangpun dapat melihat Allah (Ibr 12:14). Kita harus mengingat bahwa setelah kita semua dibaptis, kita semua menerima Roh Kudus, dan tubuh kita menjadi tempat kediaman Roh Kudus (lih. 1Kor 3:16; 6:19). Akibatnya tubuh kita ini bukan lagi milik kita sendiri, namun adalah milik Kristus. “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1 Kor 6:20). Selayaknya kita mengikuti kehendak Tuhan yang telah menebus segala dosa kita, dengan memperlakukan tubuh kita ini sesuai dengan kehendak-Nya, agar dengan demikian, kita memuliakan Tuhan dengan tubuh kita, bukan saja dengan hati dan jiwa kita. Bagi para suami dan istri, menjaga kemurnian tubuh pertama- tama adalah dengan melakukan hubungan seksual  sesuai dengan rencana Tuhan: yaitu untuk mempersatukan suami istri (union) dan untuk menyalurkan kehidupan (pro-union). Dengan menerapkan kedua tujuan ini,  suami istri melaksanakan panggilan hidup mereka sesuai dengan kehendak Tuhan.

IX. Pelanggaran terhadap martabat perkawinan

Pada bagian ini, kita akan membahas tentang beberapa penyimpangan dan pelanggaran terhadap martabat perkawinan, seperti: 1) perzinahan, 2) perceraian, 3) poligami, 4) incest, 5) pelecehan seksual, 6) kumpul kebo, 7) dan penggunan kontrasepsi – yang akan dibahas secara tersendiri.

1. Perzinahan/ perselingkuhan

a. Perzinahan menurut Kitab Suci:

Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.” (Luk 16:18, lih. Mrk 10:11)

Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat 5:27-28)

b. Perzinahan menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK):

KGK 2380     Perzinahan, artinya ketidaksetiaan suami isteri. Kalau dua orang, yang paling kurang seorang darinya telah kawin, mengadakan bersama hubungan seksual, walaupun hanya bersifat sementara, mereka melakukan perzinahan. Kristus malah mencela perzinahan di dalam roh (Bdk. Mat 5:27-28). Perintah keenam dan Perjanjian Baru secara absolut melarang perzinahan (Bdk. Mat 5:32; 19:6; Mrk 10:11; 1 Kor 6:9-10). Para nabi mengritiknya sebagai pelanggaran yang berat. Mereka memandang perzinahan sebagai gambaran penyembahan berhala yang berdosa (Bdk.Hos 2:7;Yer 5:7; 13:27).

KGK 2381    Perzinahan adalah satu ketidakadilan. Siapa yang berzinah, ia tidak setia kepada kewajiban-kewajibannya. Ia menodai ikatan perkawinan yang adalah tanda perjanjian; ia juga menodai hak dari pihak yang menikah dengannya dan merusakkan lembaga perkawinan, dengan tidak memenuhi perjanjian, yang adalah dasarnya. Ia membahayakan martabat pembiakan manusiawi, serta kesejahteraan anak-anak, yang membutuhkan ikatan yang langgeng dari orang-tuanya.

2. Perceraian

Tuhan Yesus mengajarkan bahwa pada awal mula penciptaan Allah menghendaki agar perkawinan menjadi tak terceraikan (lih. KGK 2382, Mt 5:31-32;19-3-9; Mrk 10:9; Luk 16:18; 1 Kor 7:10-11). Jika karena alasan yang sangat mendesak (misalnya hal- hal yang mengancam keselamatan, dst.) seperti yang telah diatur dalam hukum kanon, dapat saja diperbolehkan adanya perpisahan antar pasangan; namun ikatan perkawinan tetap ada (lih. KGK 2383). Kekecualian hanya dapat diberikan jika ikatan perkawinan dapat dibuktikan sebagai tidak sah dari awalnya, sehingga dalam hal ini, Tribunal keuskupan dapat memberikan ijin pembatalan perkawinan.

Tentang perceraian katekismus mengajarkan:

KGK 2384 Perceraian merupakan pelanggaran besar melawan hukum kodrat. Ia menyatakan pengrusakan perjanjian yang melaluinya pasangan secara bebas telah berjanji untuk hidup bersama sampai mati. Perceraian melukai perjanjian keselamatan, yang ditandai oleh perkawinan yang sakramental itu. Memasuki ikatan perkawinan yang baru, meskipun itu diakui oleh hukum sipil, menambah parah kerusakan itu: pasangan yang menikah tersebut kemudian berada di dalam keadaan perzinahan yang sifatnya publik dan permanen.

Jika seorang suami, berpisah dari istrinya, menghapiri perempuan lain, ia menjadi seorang pezinah, sebab ia membuat perempuan itu berzinah; dan perempuan yang hidup dengannya menjadi pezinah, sebab ia telah mengambil suami orang lain menjadi miliknya. (St. Basil, Moralia 73, 1 PG, 849-852)

3. Poligami

Poligami bertentangan dengan persekutuan perkawinan yang direncanakan Allah, sebab poligami menentang persamaan martabat laki-laki dan perempuan yang harus saling memberikan diri secara total kepada pasangannya (KGK 2387). Menarik untuk diamati, walaupun diperbolehkan oleh suatu agama/ adat tertentu, adalah tak seorang wanitapun yang senang dimadu.

KGK 2387 Orang dapat membayangkan, betapa besar konflik batin bagi seorang yang hendak bertobat kepada Injil, karena ia harus melepaskan satu atau beberapa isteri, yang dengannya ia telah hidup bertahun-tahun lamanya sebagai suami isteri. Tetapi poligami tidak dapat diperdamaikan dengan hukum susila, karena ia “melanggar secara radikal” persatuan perkawinan. “Poligami secara langsung mengingkari rencana Allah, yang diwahyukan sejak awal mula; sebab berlawanan dengan kesamaan martabat pribadi pria maupun wanita; karena dalam perkawinan mereka menyerahkan diri dalam cinta kasih yang menyeluruh, maka dari itu juga unik dan eksklusif” (FC 19; Bdk. GS 47,2.) Seorang Kristen, yang sebelum Pembaptisan mempunyai beberapa isteri berada di bawah kewajiban keadilan yang berat untuk memenuhi kewajiban finansialnya terhadap mantan isteri-isterinya dan anak-anaknya.

4. Incest

Perkawinan antar sesama saudara yang masih berada dalam tingkatan tertentu dilarang oleh Gereja (lih. KGK, 2388), karena tidak sesuai dengan rencana Allah. Yang dilarang adalah hubungan darah lurus (misal bapak dengan anak ataupun ibu dengan anak- lih. Kan. 1091 – § 1) dan hubungan kolateral menyamping sampai tingkat ke-4 (Kan. 1091 – § 2).

KGK 2388 Perbuatan sumbang ialah hubungan intim antara sanak-saudara atau ipar, baginya perkawinan dilarang (Bdk. Im 18:7-20.). Santo Paulus mengecam pelanggaran yang sangat besar ini: “Memang orang mendengar bahwa ada percabulan di antara kamu… yaitu bahwa ada orang yang hidup dengan isteri ayahnya… Dalam nama Yesus Tuhan kita, kami hendak menyerahkan orang ini kepada iblis, sehingga binasa tubuhnya” (1 Kor 5:1.4-5). Perbuatan sumbang itu merusak hubungan di dalam keluarga dan merupakan satu langkah mundur menuju tingkah laku hewani.

5. Pelecehan seksual

Pelecehan seksual yang dimaksud di sini adalah tindakan tak senonoh yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak- anak yang dipercayakan kepada mereka.

KGK, 2389.    Bersama perbuatan sumbang itu perlu dihubungkan juga pelanggaran seksual dari orang dewasa terhadap anak-anak atau kaum muda yang dipercayakan kepada pemeliharaan mereka. Dalam hal ini ditambah lagi satu pelanggaran berat terhadap keutuhan badani dan moral dari anak-anak muda itu, yang dengan demikian tetap dibebani sepanjang hidupnya. Dalam kasus ini terkandung juga satu pelanggaran berat terhadap tanggung jawab pendidikan.

6. “Kumpul kebo”

Kumpul kebo yang merupakan hubungan bebas antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan perkawinan, yang melibatkan keintiman seksual. Tindakan ini merendahkan martabat perkawinan, karena mereka merusak konsep keluarga, melemahkan nilai kesetiaan, dan demikian melawan hukum moral. Termasuk di sini adalah tindakan mempunyai ‘simpanan’, menolak ikatan perkawinan, menolak untuk membuat komitmen (lih. KGK 2390); ataupun membuat situasi ini sebagai semacam “perkawinan coba- coba” (lih. KGK 2391).

KGK 2390 Suatu hubungan liar terbentuk, kalau seorang pria dan seorang wanita menolak untuk memberi satu bentuk hukum yang resmi kepada hubungan mereka yang menyangkut juga keintiman seksual. Ungkapan “cinta bebas” itu bersifat menyesatkan: apakah artinya jalinan cinta, di mana kedua belah pihak tidak mempunyai komitmen satu sama lain dan dengan demikian memberikan kesaksian, bahwa mereka tidak percaya sepenuhnya kepada mitranya atau diri sendiri atau masa depan?
Ungkapan “hubungan liar” menggambarkan berbagai macam situasi: konkubinat, penolakan perkawinan sebagai lembaga resmi dan ketidakmampuan mengikat diri pada kewajiban-kewajiban jangka panjang (Bdk. Familiaris Consortio 81). Semua situasi ini menodai martabat perkawinan; mereka merusakkan pikiran dasar mengenai keluarga; mereka memperlemah pengertian benar tentang kesetiaan. Mereka melanggar hukum moral: persetubuhan secara eksklusif hanya boleh dilakukan di dalam perkawinan; di luar perkawinan ia [persetubuhan] selalu merupakan dosa berat dan mengucilkan dari penerimaan komuni kudus.

KGK 2391 Dewasa ini banyak orang yang bermaksud untuk kawin, menuntut semacam hak bisa mencobainya. Walaupun kehendak untuk kawin itu pasti, namun suatu kenyataan ialah bahwa hubungan seksual yang terlalu awal “tidak menjamin sama sekali kejujuran dan kesetiaan hubungan antar manusia yakni pria dan wanita, apalagi melindungi mereka dari tindakan sesuka hati dan dari nafsu berahi” (CDF, Perny. Persona humana 7). Persatuan badani hanya dapat dibenarkan secara moral, apabila antara pria dan wanita telah diciptakan satu persekutuan hidup yang definitif. Cinta kasih manusiawi tidak membiarkan yang hanya “coba-coba”. Ia menghendaki penyerahan diri timbal balik yang tetap dan utuh dari kedua belah pihak (Bdk. Familiaris Consortio 80)

IX. Bolehkah menggunakan alat kontrasepsi?

Penggunaan alat kontrasepsi adalah merupakan bentuk pelanggaran terhadap martabat perkawinan. Gereja Katolik, berpegang teguh pada Tradisi Suci, menolak penggunaan segala bentuk alat kontrasepsi, karena penggunaannya memisahkan kedua tujuan perkawinan, dengan hanya menginginkan persatuan suami istri namun menolak kemungkinan penciptaan kehidupan baru. Maka kontrasepsi menyalahi makna kasih yang kreatif, dan menyerang arti sebuah perkawinan.

1. Dasar dari Magisterium Gereja:

a. Casti Connubii, surat ensiklik Paus Pius XI (1930)

Any use whatever of matrimony, exercised in such a way that the act is deliberately frustrated in its natural power to generate life, is an offense against the law of God and of nature, and those who indulge in such acts are branded with the guilt of grave sin.” (Casti Connubii, 56), terjemahannya:

“Tindakan apapun dari perkawinan, yang dilakukan sebagai suatu tindakan yang disengaja menelantarkan kodrat dari kekuatan untuk memberikan kehidupan, adalah bertentangan dengan hukum Tuhan dan hukum kodrat, dan kepada yang melakukan perbuatan tersebut dicap dengan kesalahan dosa berat.”

b. Humanae Vitae, surat ensiklik Paus Paulus VI (1968)

Penggunaan metoda pengendalian kelahiran yang tidak dapat dibenarkan

14. Oleh karena itu, Kami mendasarkan perkataan Kami atas prinsip- prinsip pertama dari kemanusiaan dan ajaran Kristiani tentang perkawinan ketika Kami diharuskan sekali lagi untuk menyatakan bahwa pemutusan secara langsung dari proses pembuahan/ generatif yang sudah dimulai, dan di atas semua itu semua tindakan aborsi, bahkan untuk alasan- alasan terapi, sama sekali tidak termasuk sebagai cara- cara yang dapat dibenarkan untuk pengaturan jumlah anak- anak. Demikian juga untuk ditolak, seperti telah ditegaskan berkali- kali oleh Magisterium Gereja, adalah sterilisasi langsung, baik di pihak laki- laki maupun perempuan, baik bersifat permanen/ tetap selamanya atau sementara.

Juga tidak termasuk adalah segala perbuatan, baik sebelum, pada saat, ataupun sesudah hubungan seksual, yang secara khusus dimaksudkan untuk mencegah kelahiran/prokreasi, apakah sebagai tujuan ataukah sebagai cara.

Juga tidak perlu dipertanyakan, sebagai pembenaran bagi hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif, bahwa kejahatan yang lebih kecil adalah untuk dipilih jika dibandingkan dengan kejahatan yang lebih besar, atau bahwa suatu hubungan seksual adalah untuk digabungkan dengan tindakan prokreasi dari kejadian lampau ataupun yang akan datang sebagai satu kesatuan, dan untuk dinilai memenuhi syarat dengan kebaikan moral seperti ini. Walaupun itu benar, bahwa seringkali dibenarkan untuk mentolerir kejahatan moral yang lebih kecil untuk menghindari kejahatan yang lebih besar ataupun untuk mendorong kebaikan yang lebih besar, adalah tidak pernah dibenarkan, bahkan untuk alasan- alasan yang besar, untuk melakukan kejahatan agar kebaikan dapat dihasilkan darinya- dengan perkataan lain, untuk melakukan sesuatu secara langsung dengan sengaja, yang dengan sendirinya secara kodrati bertentangan dengan hukum moral, dan karena itu harus dinilai sebagai sesuatu yang tidak layak bagi manusia, meskipun maksudnya adalah untuk melindungi ataupun memajukan kesejahteraan individu, keluarga ataupun masyarakat secara umum. Akibatnya, adalah sebuah kesalahan serius untuk menganggap bahwa sebuah kehidupan berkeluarga yang tidak menjalani hubungan- hubungan normal dapat membenarkan hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif dan karena itu salah secara mendasar.

2. Dasar dari Tradisi Suci / Tulisan para Bapa Gereja:

a. The Letter of Barnabas [70-90 AD] Epistle of Barnabas

“Lebih lanjut, Musa telah dengan benar membenci tikus (menurut konteks teks dalam Im. 11:29). Karena dia bermaksud, “Engkau tidak boleh menyerupai mereka yang kita dengar melakukan kejahatan dengan mulut mereka, dengan tubuh mereka melalui ketidakmurnian (hubungan seksual secara oral); juga engkau tidak diperkenankan bergabung (bersatu/ berhubungan seksual) dengan para wanita yang tidak kudus yang telah melakukan perbuatan tak bermoral dengan mulut, dengan tubuh, melalui ketidakmurnian.” (Surat Barnabas 10:8 [74 M] )

b. Clement of Alexandria [150-215 AD] Who is the Rich Man That Shall Be Saved?

“Hubungan sanggama yang dilakukan dengan tujuan di luar tujuan untuk melahirkan anak-anak adalah perbuatan yang melukai alam.” (ibid., 2:10:95:3).

c. Clement of Alexandria [150-215 AD] Exhortation to the Heathen (Chapter 10)

“Oleh karena berketurunan adalah institusi ilahi, maka benih kehidupan (sperma) tidak untuk diejakulasikan dengan sia-sia, tidak untuk dirusak, dan tidak untuk dibuang.” (The Instructor of Children 2:10:91:2 [A.D. 191]).

d. Caius [180-240 AD] Fragments

“Siapakah dia yang tidak dapat memperingatkan bahwa tak seorang wanita pun diperbolehkan mengkonsumsi suatu cairan atau ramuan tertentu supaya ia tidak dapat mengandung atau mengutuk dalam dirinya sendiri suatu kodrat alam di mana Tuhan menghendaki supaya ia menjadi subur dan produktif? Dari banyaknya jumlah kemungkinan ia mengandung dan melahirkan, maka sebanyak itulah juga ia akan dinyatakan bersalah, dan kecuali dia menjalani suatu pertobatan yang sungguh-sungguh, dia akan dikutuk dengan kematian kekal di neraka. Jika seorang wanita tidak ingin mempunyai anak, biarlah ia mengikat suatu kesepakatan religius dengan suaminya, karena tidak berhubungan seksual adalah satu-satunya cara untuk menjadi steril bagi seorang wanita Kristen.” (Sermons 1:12 [A.D. 522]).

e. Lactantius [290-350 AD] Divine Institutes, Book I

“Tuhan telah mengaruniai kita mata bukan untuk melihat dan menginginkan kenikmatan, tetapi untuk melihat perbuatan-perbuatan yang dilakukan demi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup, demikian juga alat kelamin (atau dalam bahasa Inggrisnya adalah ‘genital’ yang akar katanya adalah ‘generating’ yaitu ‘menciptakan’] sebagai bagian tubuh, seperti diajarkan kepada kita dari namanya, telah kita terima bukan untuk tujuan yang lain selain untuk menciptakan /melahirkan keturunan.” (ibid., 6:23:18).

f. Lactantius [290-350 AD] Divine Institutes, Book VI

“Beberapa orang mengeluh terhadap ketidakmampuan ekonomi / pemenuhan kebutuhan hidup, dan menganggap bahwa mereka tidak cukup mampu secara ekonomi untuk membesarkan lebih banyak anak, walaupun sebenarnya, kecukupan kebutuhan hidup sesungguhnya ada dalam kemampuan mereka….atau Tuhan tidak setiap hari membuat yang kaya menjadi miskin dan yang miskin menjadi kaya. Maka dari itu, jika seseorang atas dasar alasan-alasan kemiskinan menjadi tidak mampu untuk membesarkan anak, adalah lebih baik baginya untuk pantang melakukan hubungan seksual dengan istrinya.” (Divine Institutes 6:20 [A.D. 307]).

g. John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 28 on the Gospel of Matthew

“Dalam kebenaran, semua orang tahu bahwa mereka yang berada di bawah cengkeraman penyakit ini (penyakit dosa menginginkan milik orang lain dengan iri hati] mengalami kelelahan spiritual, bahkan terhadap usia lanjut ayah mereka [mengharap ayah mereka meninggal supaya mereka memperoleh warisan], dan hal-hal yang manis dan secara umum merupakan dambaan, yaitu mempunyai anak, mereka nilai sebagai sesuatu yang menyedihkan dan bukan sesuatu yang layak disambut dengan gembira. Banyak orang yang setidaknya memiliki pandangan semacam itu dalam hatinya, bahkan telah mengeluarkan uang untuk bisa menjadi tidak punya anak, dan telah memutilasi alam, tidak hanya membunuh bayi-bayi yang akan / baru lahir, tetapi bahkan berbuat hal-hal yang menghambat / mencegah terjadinya awal dari kehidupan bayi-bayi tersebut.” (Homilies on Matthew 28:5 [A.D. 391]).

h. John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 62 on the Gospel of Matthew

“Orang yang telah memutilasi dirinya sendiri, pada kenyataannya, menanggung resiko kutukan, seperti Rasul Paulus mengatakan, “Baiklah mereka yang menghasut kamu itu mengebirikan saja dirinya!” (Gal 5:12). Dan adalah sangat beralasan, sebab orang seperti itu sebenarnya sedang mencoba untuk melakukan perbuatan seorang pembunuh, dan memberi kesempatan kepada mereka yang menjelek-jelekkan ciptaan Tuhan, dan membuka mulut para Manicheans, dan bersalah atas perbuatan yang melawan hukum seperti mereka yang memutilasi dirinya sendiri di antara orang-orang Yunani. Karena memotong anggota-anggota tubuh kita sendiri adalah sejak semula suatu pekerjaan agen-agen kegelapan dan sarana dari si Setan, sehingga mereka dapat membawa ke permukaan suatu laporan yang buruk terhadap pekerjaan-pekerjaan Tuhan, sehingga mereka dapat menodai mahluk hidup, membebankan kesalahan bukan kepada pilihan, tetapi kepada sifat-sifat alamiah anggota tubuh kita, bagian yang lebih besar dari mereka dapat berdosa dalam rasa aman sebagai tidak bertanggung jawab, sehingga dua kali lipat menodai mahluk hidup ini, baik melalui pemotongan/ mutilasi anggota-anggota tubuh maupun melalui penghambatan/ perintangan dorongan pilihan bebas atas nama perbuatan-perbuatan baik” (ibid., 62:3).

i. John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 24 on Romans

“Mengapa kamu menabur di mana ladangnya ingin memusnahkan buahnya, di mana terdapat obat-obat untuk sterilisasi [kontrasepsi oral], di mana terdapat pembunuhan sebelum kelahiran? Engkau bahkan tidak ingin membiarkan seorang pelacur tetap menjadi pelacur, tetapi engkau menjadikannya seorang wanita pembunuh pula. Sesungguhnya, itu adalah lebih buruk daripada pembunuhan, dan aku tidak tahu bagaimana harus menyebutnya, karena ia tidak membunuh yang telah terbentuk, melainkan mencegah pembentukannya. Lalu apakah itu namanya? Apakah engkau mengutuk karunia Tuhan dan melawan hukum-hukum alam-Nya? Tetapi kejahatan itu….persoalan itu masih nampak diacuhkan/ diabaikan oleh banyak pria lajang bahkan juga oleh pria-pria beristri. Di dalam pengabaian oleh para pria yang menikah ini, masih ada kejahatan yang lebih besar, karena kemudian racun dipersiapkan, bukan untuk melawan rahim dari seorang pelacur, tetapi melawan istrimu yang terluka. Berhadapan dengan dia adalah tipuan-tipuan yang tak terhitung banyaknya ini” (Homilies on Romans 24 [A.D. 391]).

j. John Chrysostom, St [347-407 AD] Homily 5 on Galatians

“Amatilah betapa pahitnya Paulus berbicara menentang penipu-penipu mereka….” Baiklah mereka yang menghasut kamu itu mengebirikan saja dirinya’ [Gal. 5 : 12]…Terhadap perbuatan ini dia mengutuk mereka, dan maksudnya adalah sebagai berikut: ‘Untuk mereka aku tidak punya keprihatinan khusus, “Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasihati, hendaklah engkau jauhi” [Titus 3:10]. Jika mereka mau, biarlah mereka tidak hanya disunat tetapi dimutilasi. ‘Lalu di mana mereka yang berani memutilasi dirinya sendiri, melihat bahwa mereka mewarisi kutukan para rasul, dan menuduh karya tangan Tuhan, dan mengambil bagian bersama para Manichees?” (Commentary on Galatians 5:12 [A.D. 395]).

k. Jerome, St [347-420 AD] Against Jovinianus (Book I)

“Tetapi aku heran mengapa dia [bidat Jovinianus] menyajikan kepada kita Yehuda dan Tamar sebagai contoh, kecuali kemungkinan bahkan pelacur memberikan dia kesenangan; atau Onan, yang dibunuh karena dia membenci benih kakaknya. Apakah dia membayangkan bahwa kita menyetujui berbagai hubungan seksual kecuali sebagai prokreasi keturunan?” (Against Jovinian 1:19 [A.D. 393]).

l. Jerome, St [347-420 AD] Against the Pelagians (Book I)

“Kamu mungkin melihat sejumlah wanita yang sudah menjadi janda sebelum mereka menjadi istri. Wanita-wanita lainnya meminum minuman pembuat steril dan membunuh manusia yang belum sempat dilahirkan, [dan beberapa lagi melakukan aborsi]” (Letters 22:13 [A.D. 396]).

m. Augustine of Hippo, St [354-430 AD] On the Good of Marriage

“Sebab aspek hubungan seksual yang diperlukan untuk memperoleh keturunan saja sudah menjadikan sebuah perkawinan berharga. Namun jika hubungan itu berlanjut ke hal-hal yang melampaui keperluan untuk memperoleh keturunan, maka hal itu tidak lagi mengikuti alasan yang benar tetapi mengikuti hawa nafsu. Dan hal itu berkaitan dengan karakter sebuah perkawinan…..untuk melakukan hal-hal itu kepada pasangannya supaya ia tidak melakukan dosa yang terkutuk [perselingkuhan di luar perkawinan]….Mereka tidak boleh memalingkan diri dari belas kasihan Allah…..dengan mengubah cara-cara alamiah kepada cara-cara yang melawan alam, yang menjadi lebih terkutuk ketika itu dilakukan dalam relasi antara suami dan istri. Karena, jika cara-cara alamiah ketika itu dilakukan melampaui batas tujuan perkawinan, yaitu bila, melampaui alasan keperluan untuk menghasilkan keturunan, adalah masih bisa diampuni bila dilakukan pada seorang istri, dan menjadi dosa yang dikutuk bila dilakukan kepada seorang pelacur; bahwa hal yang melawan alam itu adalah sangat buruk bila dilakukan kepada pelacur, tetapi menjadi lebih buruk lagi bila dilakukan kepada istri. Begitu besarnya kuasa ketentuan hukum Sang Pencipta, dan hukum alam mahluk ciptaan…sehingga, ketika seorang pria ingin menggunakan bagian tubuh dari istrinya, hal itu tidak diperkenankan untuk tujuan ini [hubungan seksual secara oral atau anal], sang istri akan merasa lebih dipermalukan, jika ia menderita karena mengalami hal itu pada dirinya sendiri, daripada jika itu terjadi pada wanita lain.” (The Good of Marriage 11–12 [A.D. 401]).

n. Augustine of Hippo, St [354-430 AD] On the Morals of the Manichaeans

“Hal ini membuktikan kepadamu bahwa kalian [para Manicheans] setuju untuk mempunyai istri, bukan sebagai sarana prokreasi untuk melahirkan keturunan, tetapi sebagai sarana pemuasan nafsu. Dalam perkawinan, seperti yang dinyatakan dalam hukum perkawinan, pria dan wanita bersatu untuk menghasilkan keturunan. Oleh karena itu, barangsiapa membuat kegiatan prokreasi menjadi suatu dosa yang lebih besar daripada persetubuhan, menolak perkawinan dan membuat wanita pasangannya bukan menjadi seorang istri tetapi seorang wanita simpanan, yang untuk sejumlah imbalan yang diberikan kepadanya disatukan dengan pria pasangannya itu untuk memuaskan nafsunya.” (The Morals of the Manichees 18:65 [A.D. 388]).

o. Augustine of Hippo, St [354-430 AD] The City of God (Book XXII)

“Karena hukum abadi, yaitu kehendak Allah Pencipta segala mahluk, yang menganjurkan konservasi tatanan alam, tidak untuk melayani hawa nafsu, melainkan untuk memperhatikan kelangsungan ras manusia, mengijinkan kesenangan tubuh fana untuk dilepaskan dari kontrol nalar di dalam hubungan seksual, hanya demi tujuan prokreasi untuk melahirkan keturunan.” (ibid., 22:30).

p. Augustine of Hippo, St [354-430 AD] Tractate 8 (John 2:1-4)

“Kalian para Manicheans membuat para pengawasmu menjadi pelaku-pelaku perselingkuhan dari istri-istri mereka sendiri, ketika mereka berlaku sedemikian agar jangan sampai para wanita dengan siapa mereka melakukan hubungan seksual, menjadi mengandung. Mereka mengambil istri menurut hukum perkawinan dengan surat peringatan yang mengumumkan bahwa perkawinan diikat dalam sebuah kontrak untuk menghasilkan keturunan, dan kemudian, takut akan hukummu [yang menentang hal mengasuh dan membesarkan anak]….mereka berhubungan seksual dalam sebuah hubungan yang terlarang dan memalukan hanya untuk memenuhi nafsu terhadap para istri mereka. Mereka tidak ingin mempunyai anak, di mana sebuah perkawinan mendasarkan tujuannya. Bagaimana selanjutnya, bahwa kamu adalah bukan mereka yang menentang perkawinan, seperti yang sudah diramalkan para rasul tentang kamu sejak dahulu [1 Tim. 4:1-4], ketika kamu mencoba menghilangkan dari perkawinan, arti perkawinan itu sendiri? Ketika hal mendasar itu dihilangkan dari sebuah perkawinan, maka suami-suami menjadi para pencinta yang memalukan, dan istri-istri menjadi pelacur, kamar pengantin menjadi rumah pelacuran, dan para ayah mertua menjadi gigolo.” (Against Faustus 15:7 [A.D. 400]).

X. Apa resikonya jika alat kontrasepsi tetap digunakan?

1. Mengakibatkan adanya resiko ketidaksetiaan dan melemahkan ikatan kasih antara suami istri

Mungkin ada banyak orang yang tidak menyadari, bahwa penggunaan alat kontrasepsi sedikit banyak melemahkan kasih suami istri. Sebab penggunaan alat kontrasepsi mengakibatkan suami istri tidak lagi memberikan diri yang total satu sama lain, dan hal ini akan mempengaruhi sikap keduanya di sisi kehidupan yang lain. Selain itu jika alat kontrasepsi digunakan semata untuk memenuhi dorongan seksual, maka resikonya adalah keduanya baik suami dan istri tidak terbiasa mengendalikan diri secara seksual. Jika suami dominan dalam hal ini, maka istri dapat merasa dipergunakan sebagai “alat/ obyek” daripada sebagai manusia. Jika ini terus berlanjut maka lama kelamaan hubungan antara suami istri dapat menjadi tawar.

2. Membuat nilai-nilai moral menurun dalam masyarakat, terutama pada generasi muda

Selain membahayakan keutuhan keluarga, penggunaan alat kontrasepsi juga dapat berakitab buruk bagi moralitas masyarakat, terutama kaum muda. Paus Paulus VI mengajarkan tentang hal ini demikian,

17. “Orang- orang yang bertanggungjawab dapat menjadi benar- benar meyakini kebenaran dari ajaran yang dijabarkan Gereja dalam hal ini, jika mereka merenungkan akibat- akibat dari metoda- metoda dan rencana- rencana pengontrolan kelahiran secara artifisial. Pertama- tama, biarlah mereka mempertimbangkan bagaimana tindakan- tindakan ini dapat membuka lebar- lebar jalan kepada ketidaksetiaan dalam perkawinan dan pemerosotan standar moral secara umum…. secara khusus generasi muda, yang sangat terekspos pada godaan ini… Efek lain yang mengkhawatirkan adalah seorang laki- laki yang tumbuh terbiasa dengan penggunaan metoda kontraseptif dapat melupakan penghormatan yang selayaknya diberikan kepada seorang wanita, dan, tidak menghiraukan keseimbangan fisik dan emosinya, pria itu merendahkannya menjadi sebuah alat semata untuk pemuasan hasratnya sendiri, tidak lagi meanggapnya sebagai pasangan yang seharusnya ia lingkupi dengan perhatian dan kasih sayang (Humanae Vitae 17).

Betapa ‘nubuat’ ini telah terpenuhi di jaman sekarang ini, dengan kenyataan meningkatnya jumlah perceraian, hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Menurut penelitian di link ini, silakan klik, di tahun 2000, tingkat perceraian di Indonesia mencapai 12 % (masih lebih rendah jika dibandingkan dengan di  Amerika yang mencapai sekitar 50 %); dan 70% alasan gugatan cerai adalah perselingkuhan/ ketidaksetiaan dalam perkawinan. Ditambah lagi situasi sekarang ini di mana banyak terjadi kehamilan di luar nikah, yang disebabkan karena hubungan seksual sebelum perkawinan.

3. Memberikan efek yang buruk terhadap kesehatan

Selanjutnya, alat kontrasepsi tertentu, seperti pil KB, spiral ataupun sterilisasi dapat mengakibatkan resiko penyakit serius pada istri. Silakan anda klik di link ini untuk membacanya, http://onemoresoul.com/contraception/risks-consequences/what-a-woman-should-know-about-birth-control.html. Contohnya, seperti disebutkan dalam link tersebut:

Pil KB meningkatkan resiko kanker payudara sebesar 40 %, jika pil dikonsumsi sebelum wanita melahirkan anak yang pertama. Resiko akan naik sebesar 70 % jika pil dikonsumsi empat tahun atau lebih sebelum anak pertamanya lahir. Efek negatif lainnya adalah tekanan darah tinggi, penggumpalan darah, stroke, serangan jantung, depresi, bertambahnya berat badan, dan migraine. Bagi pengidap sakit gula, maka kadar gula dalam darah dapat naik. Seorang yang stop minum pil KB tidak segera memperoleh kesuburannya, dapat menunggu setahun atau lebih. Pil KB meningkatkan resiko kanker payudara, kanker hati dan kanker leher rahim…..”

Spiral/ IUD dapat mengakibatkan uterine perforation (pelubangan saluran kencing), hysterectomy (pembuangan rahim), infeksi pelvic atau tubo-ovarian abscess. Dan jika terjadi kehamilan di kemudian hari, maka terdapat resiko bayi terbentuk bukan di rahim tetapi di tuba fallopi.

Sterilisasi permanen pada wanita dapat mengakibatkan perdarahan, turunnya libido, meningkatnya resiko hysterectomy, dan penyesalan telah melaksanakan sterilisasi. Pada pria, sterilisasi/ vasektomi dapat meningkatkan antibodi anti-sperma, artinya tubuh mereka dapat mengenali sperma sebagai “musuh”, sehingga ada resiko penyakit auto immune, dan kanker prostat…..

Agaknya prinsip yang diajarkan oleh St. Agustinus dapat kita ingat, yaitu: “Jika kamu berontak melawan alam maka alam akan berontak melawan kamu.”

XI. Kesimpulan

Kemurnian merupakan penggabungan seksualitas di dalam kepribadian seseorang, dan ini melibatkan pengendalian diri ((lih. KGK 2395)). Dalam perkawinan, kemurnian hubungan suami istri dinyatakan dengan menjaga kesatuan esensial antara persatuan suami istri (union) dan kemungkinan penciptaan (procreation), sebab hanya dengan cara demikian hubungan suami istri dapat sampai pada kepenuhannya dalam hal kasih sejati yang timbal balik, dan orientasinya kepada panggilan mulia sebagai orang tua ((lih. KGK 2369)) yang menyalurkan kehidupan kepada anak- anak mereka dan mendidik anak- anak mereka. Hanya dengan melaksanakan hubungan kasih dalam kemurnian inilah, suami istri dapat menemukan arti panggilan hidup mereka dan menemukan kebahagiaan mereka yang sejati di dalam Tuhan.

Pada akhirnya, makna akhir dari penciptaan kita sebagai laki- laki dan perempuan ditemukan di dalam panggilan kita untuk menyatakan dalam di dalam tubuh kita, persekutuan kita dengan Allah Trinitas di dalam Kristus dan melalui Kristus. Perkawinan bukan merupakan tujuan akhir persekutuan manusia, tetapi hanya persiapan untuk perkawinan/ persatuan ilahi kita dengan Allah di akhir nanti. Hubungan kasih suami istri di dunia ini hanya merupakan gambaran samar- samar akan persekutuan antara kita manusia dengan Allah, yang akan mencapai kesempurnaannya di surga kelak.

XII. Appendix: Beberapa pertanyaan praktis:

1. Oral seks, bolehkah?

Hal ini sudah pernah dibahas di sini, Apakah Oral Sex yang Dilakukan Suami Istri Merupakan Perbuatan Dosa? (silakan klik).

Prinsipnya, walau tidak ada aturan secara eksplisit, hal ini kemungkinan masih dapat dilakukan, asalkan jika dilakukan tidak dengan paksaan oleh baik istri maupun suami, dan setelah dilakukan tetap hubungan tetap terbuka kepada kemungkinan kelahiran (pro-creation). Untuk melakukan ini, maka dibutuhkan persetujuan antara suami dan istri, sehingga kedua belah pihak tetap merasa dihormati dan dikasihi. Memaksa salah satu pihak untuk melakukan hal ini adalah bertentangan dengan prinsip prounion.

2. Anal seks, bolehkah?

Jika hubungan seksual suami istri dilakukan atas dasar kewajaran, dan menjaga martabat masing- masing dengan memperhatikan juga hal kesehatan jasmani keduanya, maka pasangan suami istri tidak akan melakukan anal seks.

3. Coitus interruptus, bolehkah?

Berdasarkan atas kisah Onan (lih. Kej 38), maka kita ketahui bahwa coitus interruptus tidak berkenan di hadapan Allah. Dan berdasarkan prinsip kasih – yaitu memberikan diri secara total serta menerima kasih secara total – maka coitus interruptus melanggar prinsip ini. Dan kalau kita menerapkan prinsip prounion dan procreation, maka coitus interruptus sendiri telah menutup terjadinya procreation, serta dipertanyakan aspek prounion – karena seolah-olah tidak memberikan diri secara total.

Fr. John Hardon, SJ dalam Catholic Catechism pada bagian “sixth and ninth commandments – Church’s teaching authority.” menuliskan “The list of such declarations would be interminable. In country after country and in every century, bishops and councils forbid “contraceptive potions,” “herbs or other agents so you will not have children,” “spiring the seed in coitus,” “coitus interruptus,” “poisons of sterility,” “avoiding children by evil acts,” “putting material things in the vagina,” and “causing temporary or permanent sterility.” These and similar statements occur in ecclesiastical documents before the end of the thirteenth century.

4. Posisi hubungan seks?

Gereja tidak mengatur sampai kepada posisi hubungan seks. Posisi apapun asalkan memperhatikan martabat pasangan dapat diperbolehkan, dan asalkan pelaksanaannya tidak memisahkan kedua aspek union dan procreation. Namun, kembali, kita harus juga mengingat sikap modesty, sehingga martabat suami istri dapat tetap terjaga, dan seks tidak hanya dilihat sebagai suatu alat untuk memuaskan kesenangan namun juga sebagai ungkapan kasih.

5. Bolehkah ada variasi dalam hubungan seks?

Suami dan istri boleh saja melaksanakan variasi dalam hubungan seksual, asalkan terbuka terhadap kemungkinan kelahiran (procreation), serta menjaga agar hubungan seksual dapat benar-benar menjadi ungkapan kasih (prounion), dan tidak melanggar martabat yang begitu tinggi terhadap masing-masing individu dan martabat perkawinan – yang digabarkan sebagai Kristus dan Gereja-Nya.

6. Kondom, bolehkah?

Tidak, karena pemakaian kondom pada dasarnya menolak adanya kemungkinan kelahiran anak (pro-creation) dan sesungguhnya tidak sepenuhnya menggambarkan kesatuan suami istri (union). Pemakaian kondom tidak menggambarkan kasih Allah yang total dan tidak “without reservation.

Catatan: Bahan ini diberikan untuk session 5 (tanggal 9 November 2010) dari 9 session, seminar tentang “kabar baik tentang seks dan perkawinan” yang diselenggarakan oleh Seksi Kerasulan Keluarga Paroki Stella Maris.

59 COMMENTS

  1. Salam berkah dalem…
    Dear pak Stef, bu Ingrid dan bu Triastuti.Saudara jauh kita memiliki aturan main sebelum berdoa dengan cara membersihkan badan apbila setelah mlkukan hub suami istri. Apakh kita sbg umat Katolik jg memiliki aturan tsb. Mohon bntuannya.
    Term kasih.
    Berkah dalem

    • Shalom Satriakarisma,

      Katekismus Gereja Katolik menganjurkan umatnya untuk berdoa dengan hati setiap saat. Namun untuk dapat berdoa setiap saat, kita harus pertama-tama membiasakan diri mengkhususkan waktu untuk berdoa.

      KGK 2697    Doa adalah kehidupan hati yang baru. Ia harus tetap menjiwai kita. Tetapi kita cenderung melupakan Dia, yang adalah kehidupan dan keseluruhan kita. Karena itu bapa-bapa rohani – dalam kaitan dengan buku Ulangan dan para nabi – menuntut doa sebagai “satu peringatan akan Allah”, satu pembangkitan kembali “ingatan hati”. “Kita harus lebih sering mengenangkan Allah, daripada bernapas” (Gregorius dari Nasianse, or. theol. 1,4). Tetapi kita tidak dapat berdoa “setiap saat”, kalau kita tidak berdoa dengan sadar pada waktu tertentu. Saat-saat ini merupakan puncak doa Kristen, karena kedalamannya dan lamanya.

      Dengan demikian, yang lebih penting dalam doa memang adalah sikap batin, walaupun tentu, sikap tubuh yang menunjang juga akan membantu kita untuk berdoa dengan lebih khusuk. Demikian pula persiapan kebersihan batin untuk berdoa menjadi lebih penting daripada persiapan kebersihan tubuh. Maka hal pembasuhan/ pembersihan tubuh tidak menjadi hal yang disyaratkan untuk berdoa, walaupun jika hal ini diinginkan, untuk alasan agar dapat semakin mendukung sikap batin, tentu hal ini baik dilakukan. Dengan prinsip ini, kita ketahui bahwa membersihkan badan setelah melakukan hubungan suami istri, tidaklah menjadi persyaratan yang harus dilakukan sebelum berdoa, bagi umat Katolik. Namun tentu jika hal pembersihan/ pembasuhan ini dilakukan untuk membantu sikap batin yang lebih baik untuk berdoa, maka tentu ini baik untuk dilakukan. Pada dasarnya, kita dapat berdoa kapan saja dan dalam keadaan apapun, karena Tuhan melihat kepada kedalaman dan kerendahan hati kita kepadaNya pada saat kita datang di hadiratNya di dalam doa. Hubungan suami istri -pun sebenarnya dapat dihayati sebagai sebuah doa ketaatan kepada Tuhan, sebab melalui hubungan tersebut pasangan saling memberikan diri tanpa syarat, dan mempersembahkan tubuh mereka kepada Allah dan menyerahkan  ke dalam tangan Tuhan, akan apakah Allah berkenan memberikan anugerah kehidupan yang baru sebagai buah cinta kasih mereka.

      Sebagaimana dalam Kitab Suci, Yesus mengatakan bahwa apa yang berasal dari dalam hati yang menajiskan kamu dan bukan yang dari luar. Dalam Matius 15:18 dan Markus 7:23 (silakan klik), Yesus jelas mengajarkan bahwa yang selalu penting dijaga setiap waktu agar tetap bersih dan murni adalah hati kita, oleh karena dari hati itulah keluar segala hal yang menimbulkan berbagai perbuatan, baik yang jahat maupun baik. Jika hati selalu bersih dan dijaga kemurniannya dalam terang kasihNya, maka perbuatan kita juga akan baik dan berkenan pada Tuhan. 

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Caecilia Triastuti dan Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Terima kasih bu Ingrid, semoga kita dapat bertemu lagi di ruangan ini. Jumpa lagi..:)+

    [Dari Katolisitas: Sama-sama Esther, semoga Tuhan memberkati Anda.]

  3. Shalom, saya berkahwin(kahwin kampung) tahun 2003 dengan seorang lelaki beristeri(kahwin sah katolik). Mereka punya 3 orang anak dan terus berpisah sampai sekarang. Saya tinggal dengannya dan punya rumah sendiri dan dikurniakan seorang anak berumur 10 tahun.

    Tapi sekarang saya membuat keputusan untuk menceraikan dia bila bila masa sahaja dari sekarang kerana sebab tertentu.

    1.Dia tidak akan dapat menceraikan isterinya yang sah.
    2.Dia seorang pemabuk sampai subuh.
    3.Tidak mahu menerima teguran dan panas baran.
    4.Kuat cemburu, suka mengawal dan kadang berperasangka buruk.
    5.Cubaan menghalang saya mengambil bahagian dalam pelayanan gereja seperti pembimbing sunday school, dll..(katanya semua itu tugas orang2 muda)
    6.Saya mahu bertobat.
    7. Saya mahu mengambil bahagian dalam ekaristi dan lain lain sakramen tetapi terhalang.(Saya cuma dibaptis dr kecil)
    8.Tidak rela disentuh, tidur di ranjang bersama(Tidak suka dipaksa)

    Sebelum ini dia pernah memukul saya(memang orangnya begitu sebelum bersama saya), oleh kerana saya mengugut dia untuk bercerai dan mengesahkan perbuatannya di balai polis, dia sudah tidak berani terus terhadap saya.

    Sekarang saya perlukan nasihat,kekuatan, keyakinan dan berkat doa.

    Terima kasih

    .

    • Shalom Bambangan,

      Sejujurnya saya prihatin membaca surat Anda. Apakah sebelum menikah Anda sudah mengetahui bahwa pasangan Anda itu sudah pernah menikah sebelumnya? Dari informasi sekilas yang Anda beri, nampaknya ‘perkawinan’ Anda belum diberkati di hadapan Tuhan, dan kalau benar pasangan Anda dulunya sudah pernah menikah secara sah di Gereja Katolik, maka memang Anda tidak dapat memberkati perkawinan Anda dengannya di Gereja Katolik, sebab ia masih terikat perkawinan dengan istrinya yang terdahulu.

      Dengan pertimbangan di atas, maka walaupun mungkin berat bagi Anda, namun keputusan Anda untuk berpisah dengannya, dan dengan demikian memberikan kesempatan kepadanya untuk kembali kepada istrinya yang sah, adalah keputusan yang benar. Yang menjadi masalah adalah apabila ternyata pihak istri yang terdahulu sudah tidak bisa diketahui keberadaannya, atau ia sudah menikah lagi dengan orang lain. Jika ini keadaannya, Anda memutuskan untuk tetap hidup bersama dengan pasangan Anda maka memang keadaannya menjadi tidak ideal, karena tidak mencerminkan pelaksanaan perkawinan menurut perintah Kristus. Oleh karena itu, dalam keadaan ini, Anda tidak dapat menerima Komuni kudus. Tentang hal ini sudah pernah diulas di sini, silakan klik.

      Paus Yohanes Paulus II dalam surat Apostoliknya Familiaris Consortio, pernah menulis tentang keadaan pasangan yang bercerai kemudian menikah lagi, demikian terjemahannya:

      “Sayangnya, kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa orang-orang yang bercerai umumnya berkeinginan untuk menjalin hubungan yang baru, yang tentunya tidak dapat disahkan secara Katolik. Karena hal yang salah/ ‘evil’ ini mempengaruhi orang-orang Katolik, maka masalah ini juga harus diberi jalan keluarnya. Sinode Uskup telah mempelajari hal ini. Gereja, yang didirikan untuk memimpin semua orang untuk mencapai keselamatan, terutama mereka yang tealh dibaptis, tidak dapat mengabaikan mereka yang telah dibaptis namun yang telah menikah yang kedua kali. Maka, Gereja akan terus mengadakan usaha yang tidak mengenal lelah untuk menyediakan bagi mereka sarana untuk mencapai keselamatan.
      Para imam harus mengetahui bahwa, demi kebenaran, mereka harus dengan bijaksana menyikapi keadaan ini. Ada perbedaan antara mereka yang dengan tulus telah berusaha untuk menyelamatkan perkawinan yang pertama dan yang telah disingkirkan dengan tidak adil, dengan mereka yang oleh kesalahan mereka yang besar telah merusak sebuah perkawinan yang sah. Akhirnya, ada pula orang-orang yang menikah kedua kali demi membesarkan anak-anak, dan yang kadang-kadang di dalam hati nurani mereka yakin secara subyektif bahwa perkawinan mereka yang terdahulu dan yang tak terselamatkan itu bukan merupakan perkawinan yang sah.
      Bersama dengan Sinode para Uskup, saya menganjurkan pada para imam, dan seluruh komunitas umat beriman untuk membantu mereka yang telah bercerai, dan dengan perhatian yang sungguh untuk meyakinkan mereka bahwa mereka tidak terpisah dari Gereja, sebab sebagai orang-orang yang telah dibaptis, mereka dapat dan bahkan harus turut serta di dalam hidup Gereja. Mereka harus didorong untuk mendengarkan Sabda Tuhan, menghadiri Misa Kudus, bertekun di dalam doa, tergabung dalam kegiatan kasih dan usaha komunitas dalam hal menegakkan keadilan, dalam mendidik anak-anak di dalam iman Kristiani, menerapkan semangat dan pertobatan, dan dengan demikian hari demi hari memohon rahmat Tuhan. Biarlah Gereja mendoakan mereka, mendorong mereka, dan menjadi bagi mereka seperti seorang ibu yang berbelas kasih, yang menopang mereka dalam iman dan pengharapan.
      Walaupun demikian, Gereja menegaskan kembali praktek pelaksanaannya yang berdasarkan Kitab Suci, yaitu tidak memperbolehkan mereka yang telah bercerai dan menikah lagi untuk menerima Komuni Kudus. Mereka tidak dapat menerima Komuni, berdasarkan kondisi kehidupan mereka yang secara objektif bertentangan dengan kesatuan kasih antara Kristus dan Gereja-Nya yang ditandai dan diakibatkan oleh Ekaristi. Di samping itu, ada pula alasan pastoral lain: Jika orang-orang seperti ini diperbolehkan menerima Ekaristi, umat beriman yang lain dapat dipimpin pada kesalahan dan kebingungan mengenai hal ajaran Gereja tentang Perkawinan yang tak terceraikan.
      Sakramen Tobat, yang membuka jalan kepada Ekaristi, hanya dapat diberikan kepada mereka, yang menyesal telah menghancurkan tanda Perjanjian dan kesetiaan Kristus, dan secara tulus siap untuk menjalankan cara hidup yang tidak lagi bertentangan dengan [prinsip] perkawinan yang tak terceraikan. Hal ini, dalam pelaksanaannya, adalah, ketika untuk alasan yang serius, misalnya demi membesarkan anak-anak, seorang laki-laki dan seorang perempuan tidak dapat menjalankan keharusan untuk berpisah, maka mereka dapat menjalankan hidup di dalam kesucian yang penuh, yaitu dengan berpantang terhadap segala perbuatan yang layak dilakukan oleh suami istri. [Sehingga dalam hal ini pasangan tidak hidup sebagaimana layaknya suami istri melainkan sebagai kakak dan adik. Sebab di mata Tuhan, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang pertama. Untuk kemurnian kasih sebagai kakak dan adik inilah, maka pasangan diharapkan untuk memohon rahmat dari Tuhan. Namun, hal ini bukannya sesuatu yang tidak mungkin, sebab kepada orang-orang tertentu, seperti kepada para imam dan biarawati, Tuhan telah memberikan rahmat untuk hidup kudus yang seperti ini].
      Demikianlah, demi  menghormati makna Sakramen Perkawinan, untuk pasangan tersebut, dan keluarga mereka, dan juga semua komunitas umat beriman, maka para imam dilarang, dengan alasan apapun juga, bahkan dengan alasan pastoral, untuk memimpin upacara dalam bentuk apapun juga kepada mereka yang telah bercerai dan menikah lagi. Upacara semacam itu akan memberikan kesan akan perayaan Perkawinan sah yang baru, dan akan memimpin orang-orang kepadaanggapan yang salah tentang sifat Perkawinan sah yang tidak terceraikan.
      Dengan bertindak demikian [seperti yang disebutkan di dalam keseluruhan perikop di atas], Gereja menyatakan kesetiaannya kepada Kristus, dan kepada kebenaran-Nya. Pada saat yang sama ia menyatakan perhatian kasih keibuannya kepada anak-anaknya, terutama mereka yang bukan karena kesalahannya sendiri, telah disingkirkan oleh pasangan mereka yang sah.
      Dengan keyakinan yang teguh, ia [Gereja] percaya bahwa mereka yang telah menolak perintah Tuhan dan tetap hidup dalam keadaan ini, akan tetap dapat memperoleh dari Tuhan rahmat pertobatan dan keselamatan, asalkan mereka tetap bertekun di dalam doa, tobat, dan kasih.” (Familiaris Consortio, 84)

      Keterangan: […] perkataan yang di dalam tanda kurung adalah penegasan saya.

      Semoga Tuhan memberikan rahmat kebijaksanaan kepada Anda untuk membuat keputusan, dan untuk berjuang melakukan yang terbaik sesuai dengan kehendak Tuhan yang menjunjung tinggi kesakralan perkawinan.

      Teriring doa dari kami di Katolisitas.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Shalom bu Ingrid,

        Terima kasih kerana membalas surat saya.

        Ya, saya memang sudah tahu bahawa dia telah beristeri. Saya akui dahulu saya tidak ada pegangan hidup dalam belum mengenal Kristus sepenuhnya makanya saya tidak pernah mempersoalkan hukum-hukum di dalam ajaran katolik yang mana dalam beberapa tahun mengalami hal rumahtangga bersamanya telah buat saya mengerti dan buat saya rasa tobat. Saya percaya juga Tuhan telah banyak kali menolong membebaskan saya dari kemelut2 hidup mula dari cara pemikiran saya kepada cara pemikiranNya, dari berasa diri terkurung datang kepada gerejaNya, dari membenci kepada mengasihi, dari takut kepada berani dan banyak pengalaman lagi yang bagiku Tuhan sungguh menakjubkan.

        Saya dan isterinya ada beberapa kali bertemu dan dapat bersembang. Orangnya kelihatan penyabar, lemah lembut dan memahami.Dia tidak pernah berkahwin dengan sesiapa hingga sekarang. Anak-anaknya sudah remaja dan yang sulung berumur 18 tahun.

        Dengar kisah, perkahwinan pertama “suami” bernikah ketika umur 19 tahun dan isterinya 29 tahun. Ibunya agak keberatan menerima bakal menantu kerana umurnya namun diteruskan juga perkahwinan itu. Pertanyaan saya, apakah gereja katolik dapat merestui/ membantah perkahwinan seperti ini?

        Walaupun dalam keadaan “berpantang” saya masih melakukan kerja kerja rumah secara rutin, memasak, mencuci, mengurus anak dan dapat makan malam bersama sekeluarga.

        Saya tidak tahu bagaimana kesudahan kami dan tidak tahu bagaimanakah pula penerimaan isterinya suatu hari. Saya hanya dapat berdoa agar Tuhan Yesus Kristus terus membimbing saya ke seluruh KebenaranNya dan berdoa untuk mereka kerana saya tidak mungkin dapat hidup seperti dahulu.

        Saya berfikir untuk berjumpa dengan seorang rektor di paroki terdekat kami di sini untuk menyelesaikan perkara kami.

        Salam dari Sabah,

        Esther

        • Shalom Esther Bambangan,

          Salah satu persyaratan perkawinan Katolik adalah konsensus (kesepakatan) dari pasangan itu sendiri dan bukan dari orang tua pasangan. Maka walaupun restu orang tua merupakan faktor penting, namun tidak menjadi persyaratan mutlak dalam perkawinan anaknya.

          Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

          KGK 1625    Perjanjian Perkawinan diikat oleh seorang pria dan seorang wanita yang telah dibaptis dan bebas untuk mengadakan Perkawinan dan yang menyampaikan kesepakatannya dengan sukarela. “Bebas” berarti:
          – tidak berada di bawah paksaan;
          – tidak dihalang-halangi oleh hukum kodrat atau Gereja.

          KGK 1626    Gereja memandang kesepakatan para mempelai sebagai unsur yang mutlak perlu untuk perjanjian Perkawinan. “Perkawinan itu terjadi” melalui penyampaian kesepakatan (KHK, kan. 1057 ? 1). Kalau kesepakatan tidak ada, Perkawinan tidak jadi.

          Maka, kalau sebelum menikah dulu, pasangan Anda telah sepakat menikah dengan istrinya, tanpa paksaan dari pihak manapun, artinya, tidak ada cacat konsensus dalam perkawinannya itu. Adanya fakta bahwa ia memiliki  beberapa anak dari istrinya itu, juga memperlemah argumen adanya cacat konsensus pada saat perkawinan diteguhkan. Sedangkan dengan keadaan pasangan Anda yang masih terikat perkawinan dengan istrinya itu, malah Anda yang terhalang oleh hukum Gereja (atas perintah Kristus dalam Mat 19:5-6) untuk menikah secara sah di Gereja Katolik, dengan pasangan Anda itu.

          Memang keadaan Anda tidak mudah, Esther, tetapi dengan niat tulus Anda untuk membiarkan Tuhan memimpin hidup Anda, maka, saya percaya bahwa Tuhan akan menunjukkan jalannya kepada Anda. Silakan berbicara dengan Romo paroki Anda, dan dengarkanlah nasehat beliau.
          Semoga Tuhan memberikan kekuatan dan kebijaksanaan bagi Anda dalam menghadapi keadaan yang tidak mudah ini.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

  4. Dear Romo dan Ibu Ingrid,

    Pagi hari ini saya sungguh merasa diarahkan hidup serta perhatian saya oleh TUHAN pada permasalahan tentang artikel-artikel yang dimuat di sini.

    Jujur saja sebenarnya saya sendiri sebagai orang katolik yang sejak lahir telah dibesarkan serta dibaptis sebagai iman Katolik sangat menyayangkan benar bila melihat orang-orang katolik hancur dalam komitmen perkawinan mereka karena masalah-masalah klasik duniawi yang selalu tersajikan di depan mata kita sehari-harinya.

    Saya sendiri memiliki pengalaman pribadi dalam hidup saya tentang hal ini hingga peristiwa yang mengkhawatirkan itu juga sedang menimpa diri saya juga.
    Kedua orang tua saya iman mereka sama yaitu Katolik, ketika saya masih berusia 6 tahun hingga 10 tahun kehidupan perkawinan mereka sangat dipenuhi keributan-keributan sehari-harinya…hingga saya bersama adik-adik saya sempat terpisahkan hidupnya.
    Semua peristiwa itu sangat-sangatlah membekas di dalam hidup saya bersama adik-adik hingga kami dewasa dan berkeluarga.
    Puji Tuhan, semua peristiwa hidup yang berat dan yang telah terjadi itu semua sudah terlewatkan hingga kini orang tua saya Bapak sudah memasuki usia di Delapan puluh dua dan Ibu di usianya yang ke Enam puluh sembilan tahun. Mereka berdua rukun-rukun serta sangat menikmati hidup ini menjadi anugerah yang tak terkira serta rasa syukur yang sangat mendalam terpanjatkan kepadaNYA. Demikian pula anak-anak mereka semua sangat rukun satu sama dengan yang lainnya.
    Dibalik peristiwa ini semua saya mungkin adik-adik saya juga memetik pelajaran yang sangat berguna buat motivasi hidup khususnya dalam memaknai artinya sebuah “Komitmen Perkawinan”.
    Saya mempondasikan keinginan saya dari sejak awal dan seolah-olah berjanji kepada diri sendiri bila suatu hari saya menikah maka saya akan utamakan masalah komitmen pernikahan saya ini tidak terjadi hal-hal yang buruk dan hanjur di perjalanan hingga membuahkan hasil perceraian bukan karena terpisahkan oleh maut.
    Singkat cerita, saya justru sekarang menuju masuk ke sana…..
    Biasanya seorang istri sering diselingkuhi oleh para suami ini justru terbalik keadaannya saya yang terselingkuhi.
    Saya sebenarnya tidak ingin mendengar atau melihat kenyataan ini namun TUHAN berkehendak lain justru sebaliknya TUHAN memberitahukan kepada saya secara jelas bahwa istri saya telah berselingkuh dengan orang lain…
    Saya berusaha menahan rasa dan saya berupaya menegurnya dari yang baik-baik hingga sampai membawanya ke jalur hukum untuk memberikannya pelajaran bahwa apa yang dia perbuat itu sangatlah melanggar hukum agama juga hukum negara.
    Walau saya telah membawa kasus ini ke jalur hukum namun bukan tujuan saya untuk memberi hukuman kepada istri sekali lagi untuk membukakan mata hatinya dimana ia sempat berucap kepada saya.. “Apa bedanya kawin dengan secarik kertas dengan tidak ? ” yang dia maksud di sini perkawinan yang di catat agama maupun sipil dengan yang tidak. Maklum selingkuhan dia adalah orang Eropa.
    Upaya saya tersebut bukan disikapi dengan baik serta penuh permohonan maaf justru ditantang olehnya dan diajukan ke pengadilan negeri untuk perceraian. Seolah seperti bermain catur pada saat posisi seperti itu sehingga saya harus memakan siapa dan mengorbankan siapa bila ingin menang. Saya berdoa kepada TUHAN untuk mengambil sikap..Jawabannya saya dituntun oleh TUHAN untuk mencabut gugatan saya walau dengan cara saya juga meminta kepada istri agar ia mencabut gugatan cerainya ditolak.
    Saya ingat kepada anak,….
    Kalau sampai memang harus ada yang terkorbankan saya melihat kepada pengorbanan YESUS KRISTUS sendiri sedemikian rupa telah berkorban kepada kita semua maka mengapa saya tak dapat mengikuti jejak-NYA.
    Namun sebagai manusia tetap saya terus bertahan memperjuangkan keutuhan rumah tangga saya dengan menghadiri persidangan-persidangan dan akhirnya saya kalah sidang di pengadilan negeri sipil,Hukum agama serta aturan-aturannya secara Katolik sangat lemah keberadaannya di negeri terlebih dikarenakan kita masuk golongan minoritas maka hukum agama hanya berlaku pada kelompok mayoritas sedang minoritas masuk ke pengadilan sipil, pengadilan agama tak dapat dipergunakan haknya.
    Saya akhirnya banding hingga sampai saat ini belum menerima keputusan.
    Pertanyaan saya,…mengapa pada proses-proses atau moment seperti ini khususnya di saat di dalam persidangan yang berkaitan dengan masalah persidangan tuntutan perceraian umat Katolik gereja tidak dapat hadir di dalamnya atau dihadirkan ? Seberapa penting gereja melihat perjuangan umat-umatnya yang sedang bergumul serta bertahan untuk menegakkan komitmen sakramen perkawinan ketimbang hanya berkata ….”yah apa boleh buat semua sudah terjadi dan memang kita tidak dapat berbuat apa-apa di jalur hukum di negri ini dan yang terpenting jadilah Bapak yang baik untuk anak-anaknya ? ”

    Terima kasih atas perhatian serta kesempatannya yang sudah diberikan kepada saya.
    Salam damai dalam KRISTUS.
    Amin.

    • Paulus Yth,

      Perkawinan di dalam Gereja Katolik bersifat rohani-spiritual karena kedua insan yang berjanji di hadapan Allah dan saksi menerima ikatan rohani yang tidak terputuskan karena keduanya terbaptis atau salah satu terbaptis. Perkawinan urusan duniawi namun oleh Gereja diangkat menjadi rohani karena sakramen, di mana Allah hadir dan memepersatukan mereka secara rohani. Gereja dapat dimintai bantuan dalam kasus hukum umat Katolik. Gereja juga memiliki perangkat pengadilan gerejawi yakni Tribunal perkawinan. Dalam kasus sipil Gereja tidak memiliki hubungan, seperti misalnya perceraian sipil tidak serta merta diakui oleh Gereja sebagai perpisahan. Karena Gereja memiliki kewenangan tersendiri. Dalam kasus anda, bisa saja Gereja mendampingi anda di muka hukum sipil dengan meminta ke Tribunal. Semoga di mana anda berdomisili keuskupan memiliki perangkat tersebut. Demikian penjelasan saya semoga dapat dipahami.

      salam
      Rm Wanta

  5. Bu Inggrid dan Pak Stef, kami baru kehilangan anak pertama kami yang baru berumur 6 bulan sebulan yang lalu karena sakit dan operasinya gagal.Karena dulu istri saya menjalani operasi cesar, demi alasan kesehatan disarankan agar kami memprogram kehamilan sekitar tiga tahun setelah kelahiran anak pertama kami, namun ada juga yang bilang setahun setelah kelahiran anak pertama kami juga sudah boleh. Setelah membaca artikel ini saya sedih dan menyesal telah melakukan dosa berat karena sudah beberapa kali kami menggunakan kondom agar istri saya tidak hamil sebelum sampai jarak setahun setelah kelahiran anak pertama kami. Bagaiman baiknya cara saya mengajak dan meyakinkan istri saya agar kami tidak menggunakan kontrasepsi. Latar belakang istri saya adalah Kristen Protestan. sebelumnya saya pernah mengalami dilema ketika saya mengajak iatri saya untuk mengakukan dosa dan dia meminta saya agar tidak terlalu memaksakan pendapat saya tentang hubungan pribadi dengan Tuhan. Saya khawatir kalau hal tidak menggunakan kontrasepsi ini saya sampaikan kepada istri saya akan ditanggapi bahwa saya tidak menyayangi istri saya. Mohon bantuan bapak ibu. Terima kasih

    • Syukur kepada Allah, istri saya akhirnya menyetujui KBA. Terima kasih atas banyak artikel mengenai hal ini yang saya jadikan sebagai referensi untuk istri saya.

    • Shalom Peter,

      Pertama-tama, kami turut berduka cita atas meninggalnya anak anda dua bulan yang lalu. Semoga Tuhan Yesus berkenan menerima jiwa anak Anda itu dalam kebahagiaan kekal.

      Selanjutnya, memang dapat dimengerti jika Anda berdua menghendaki jarak kehamilan berikutnya. Namun cara yang dapat diterima oleh Gereja Katolik adalah pelaksanaan KB Alamiah, bukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi. Silakan membaca lebih lanjut tentang metoda Creighton, sebagai salah satu metoda KB Alamiah yang cukup akurat, silakan klik di sini.

      Jika Anda tadinya menggunakan kondom, karena tidak mengetahui bahwa Gereja Katolik melarang penggunaan alat kontrasepsi -termasuk kondom, maka Anda tidak melakukan dosa berat (karena Anda tidak tahu). Namun jika Anda sudah mengetahui bahwa hal itu dilarang oleh Gereja, namun Anda melakukannya juga, baru itu dapat dikatagorikan sebagai dosa berat. Silakan Anda mengakuinya dengan rendah hati di hadapan imam dalam sakramen Pengakuan Dosa. Nah, perihal istri Anda yang non- Katolik, mungkin ia tidak memiliki pemahaman yang sama dengan Anda, tetapi setidaknya silakan Anda membicarakan hal ini secara terbuka dengannya, tentu atas dasar kasih. Kemungkinan fakta statistik yang menunjukkan bahwa kelanggengan perkawinan akan lebih mungkin tercapai dengan penggunaan metoda KB alamiah, akan membuka wawasannya. Dewasa ini, ketidaksetiaan pasangan dalam perkawinan, dapat dipicu oleh penggunaan kondom, sebab mentalitas mencegah pembuahan yang dilakukan terhadap pasangan, dapat ternyata dilakukan juga terhadap seseorang yang bukan pasangannya di hadapan Tuhan. Maka seharusnya, istri Anda yang berterima kasih kepada Anda, jika Anda tidak ingin menggunakan kondom, sebab itu merupakan salah satu tanda kasih Anda yang total kepadanya dan niat yang tulus untuk tetap setia kepadanya.

      Di atas semua itu, silakan membawa hal ini di dalam doa-doa pribadi Anda. Mohonlah agar Tuhan sendiri membuka hati istri Anda untuk menerima kebenaran ajaran Tuhan ini, yang pertama-tama ditujukan untuk kesejahteraan dan kesetiaan perkawinan pasangan suami istri, yaitu Anda berdua sendiri.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  6. shallom, Bu,

    Saya sudah setahun bernikah dengan suami secara katolik. Di awal perkenalan dan pernikahan dengan suami segalanya baik-baik sahaja( masa itu kami masih study di universiti) saya sangat senang dan menyintai suami saya kerana suami saya menyintai Yesus ( aktif terlibat dalam hal-hal gereja, malah keluarganya juga). Tetapi di pertengahan pernikahan dan hingga kini, suami saya seolah-olah berubah, sejak dia berkerja ( habis study dan mula berkerja) dia begitu sibuk dengan pekerjaannya ( kami sama-sama kerja guru tapi tempat berkerja berlainan tempat. hanya hujung minggu sahaja kami ketemu). Dari pagi hingga ke malam dia sibuk sangat, sampai kalau saya menghantar sms, hanya akan dibalas sepatah dua kata atau pun mengiyakan saja. saya kadang kala kecewa, kerana bersendirian dan kurang berbicara atau luang masa bersama. saya cuba untuk menerima cara hidup suami saya.

    pernah sekali saya benar-benar tidak tertahan sedih dalam hati, saya luahkan kepada suami, kami gaduh sebentar dan akhirnya suami meminta maaf kerana kesibukannya dan berjanji untuk tidak ulangi. Hal sama berulang lagi dan saya cuba terima dan sabar. saya sangat heran kenapa suami saya begitu sibuk sekali, seolah-olah dia orang yang sangat penting dalam sekolah sampai wajib kehadirannya ada.saya sampai mengelar suami saya itu jenis “SKEMA atau penurut bos”..kami sering gaduh kerana hal ini.sudahlah kami berjauhan, suami kadang kala jarang balik kerana tuntutan kerja dan kadangkala tidak punya masa untuk saya malah untuk Tuhan, sebab suami jarang berdoa. Mengapa saya katakan begitu , sebab saya pernah datang ke tempat tinggal kerja suami saya, selama saya tinggal disana ( saya ambil cuti) saya lihat suami saya secara totalnya masanya banyak di luang di luar rumah, maksudnya dia kerja berterusan, saya tidak tahu, mengapa dia begitu banyak kerja.bila saya tanya, guru-guru senior atau pengetua memberinya kerja.saya kadang jadi marah dengan rakan guru suami kerana membebankan suami. saya kadang kesian melihat suami saya, waktu untuk diri sendiri pun tidak ada. Bila saya bawa berdoa rosary atau doa jam kerahiman ilahi, suami saya seolah-olah berat hati, kadang dia bagi alasan, ada kerja mau dibuat di bengkel. saya tetap mengajak dia berdoa buat seketika, saya pujuk suami, berdoa tidak lama.kadang suami minta doa rosary dilangsungkan 2peristiwa sahaja kerana mengantuk.

    saya juga pernah menangis kerana terlalu sedih dengan suami. saya hanya mampu mendoakan untuk suami.

    Bu, saya benar sedih dengan suami saya.mengapa dia begitu obses kerjanya, mengapa dia tidak berbincang dengan rakan lain untuk berbagi kerja? mengapa dia perlu “IYA” untuk setiap kerja tanpa memikirkan tanggungjawab lain yang dia pikul..saya kecewa,dan saya sangat kecewa bila dia semakin kurang atau tidak punya waktu bersama-sama TUHAN. kerana bagi saya, bila suami saya sudah kurang bersama TUHAN dan tidak ada waktu untuk TUHAN itu maknanya, dengan saya juga, suami tidak akan punya waktu.

    Bu, apa patut saya buat?

    ( saya minta maaf kalau cerita saya ini berbelit-belit, saya tidak tahu dimana harus mula untuk di cerita, terlalu panjang dan banyak)

    • Shalom Fonny,

      Pertama-tama, perlu disadari dan disyukuri terlebih dahulu rahmat perkawinan yang telah mempersatukan Anda dengan suami Anda. Sebab dengan menyadari dan mensyukuri akan rahmat Allah yang mempersatukan Anda berdua, Anda akan senantiasa dikuatkan dalam kehidupan perkawinan dan untuk selalu mengusahakan kerukunan di antara Anda berdua.

      Sekilas Anda mengatakan bahwa suami Anda adalah seorang yang sangat rajin bekerja, sehingga hampir tidak dapat menyediakan waktu lagi untuk Tuhan, untuk Anda maupun untuk dirinya sendiri. Walaupun “terlalu” rajin kerja yang sedemikian tentunya membuat hidup menjadi tidak seimbang, dan mungkin juga berbahaya bagi kesehatannya, namun harus pula diterima bahwa keadaan ini mempunyai peluang yang lebih baik untuk diatasi jika dibandingkan dengan seorang suami yang malas dan tidak mau bekerja sama sekali untuk menghidupi istri/ keluarganya. Maka dalam hal ini, Anda selayaknya tetap bersyukur, bahwa suami Anda giat bekerja, sebab dengan demikian ia tidak menelantarkan kewajibannya sebagai suami yang mencari nafkah bagi keluarga Anda. Nah, bahwa memang ada hal yang dapat diperbaiki sehubungan “terlalu giat”-nya ia mencari nafkah, dan mungkin memang Anda dapat membantunya untuk membuatnya hidup dengan lebih seimbang, itu benar. Namun ada baiknya Anda mengingat bahwa ada orang yang semakin dilarang, semakin ia menjadi. Artinya, Anda perlu mencari cara yang bijaksana untuk memberitahu suami Anda, dan bukan hanya sekedar melarang, apalagi memarahinya; sebab dapat terjadi ia bukannya mendengarkan Anda, malah menjadi sebaliknya. Maka saran saya, bawalah hal ini di dalam doa-doa Anda setiap hari, mohonlah pertolongan Tuhan dan dukungan doa dari Bunda Maria, agar Anda diberi kebijaksanaan sebagai seorang istri, agar dapat mengarahkan suami dan mendukungnya dalam hal iman.  Singkatnya, agar Anda dapat menjadi ‘penolong’ bagi suami Anda (lih. Kej 1:20). Ingatlah selalu akan makna sakramen perkawinan Anda, yaitu bahwa Anda menjadi tanda kehadiran Allah bagi suami Anda (dan juga sebaliknya).  Maka tiap-tiap hari, tanyakanlah kepada diri Anda sendiri, apakah yang dapat Anda lakukan untuk menyampaikan kasih Allah kepadanya? Sebab jika ia telah mengalami kasih Allah dari Anda, harapannya adalah ia dapat mengingat bahwa Allah hadir dalam perkawinannya, dan ia akan mensyukurinya, entah dalam doa-doanya, maupun dalam perayaan Ekaristi.

      Mungkin jika suami Anda sungguh sibuk, ada baiknya Anda memperkenalkan kepadanya doa singkat di dalam hati untuk dinaikkan ke hadirat Tuhan, seperti “Tuhan Yesus, aku mengasihi-Mu” atau “Tuhan Yesus kasihanilah aku dan bantulah aku dalam tugas-tugasku hari ini”, atau “Tuhan Yesus kupersembahkan tugasku hari ini untuk memuliakan Engkau”, dan seterusnya, mungkin ini dapat lebih mengena di hati suami Anda. Anda dapat mengingatkannya dengan SMS, pesan yang sederhana saja, yang mengingatkan suami akan kasih dan kesetiaan Tuhan kepadanya, “Semoga Tuhan Yesus menyertaimu hari ini dan doaku juga menyertai kamu.”

      Di atas semua itu, jangan lupa, “kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kol 3:14), sebab yang terutama bagi Anda adalah Anda mengasihinya, sebab demikianlah tugas panggilan Anda sebagai istri, yaitu untuk mengasihi suami Anda, dan tunduk kepadanya sebagaimana jemaat kepada Kristus (lih. Ef 5:22-33). Semoga dengan kasih yang tulus, Anda memperoleh kembali hubungan yang baik dengan suami Anda, dan Anda dapat membawanya lebih dekat kepada Tuhan, dan Anda berdua dapat saling mendukung untuk bertumbuh dalam kekudusan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Shalom Bu,

        Terima kasih, hati saya jadi senang mendengar nasihat ibu. Yah saya akan cuba bu,

        Saat saya membalas komentar ini, saya dengan suami bergaduh. saya kecewa dengan suami saya kerana dia lebih memilih pergi memancing dari balik kampung di tempat saya, padahal kami sudah lama tidak ketemu sebab tempat dia berkerja berjauhan dengan saya. kebetulan hari ini cuti, tapi dia tidak segera balik kampung, malah sudah rancang dengan teman-temannya pergi memancing sehingga hari minggu ini. saya sedih bu..saya kecewa..sudah 3 minggu dia tidak ke gereja, ada sahaja aktiviti dia lakukan. saya sudah ingatkan dia, tapi dia cuma menjawab dengan mudah ” nanti kita ke gereja”. Yah, bagus kalau memang dia punya niat seperti yang ia katakan, tapi saya tidak tahu kenapa hati saya sangat risau dan sedih. selama 2 hari kami dingin, berbincang hal ini sehingga la hari ini, dia tetap pada pendirian dia untuk pergi bersama teman-temannya.

        sungguh saya kecewa dengan ketetapan dia, sebab dia telah merancang bersama temannya tanpa pengetahuan saya, saya cuma dapat tahu beberapa hari sebelum hari ini dia ingin pergi memancing ikan.Bu, dia sudah rancang lebih awal aktivitinya, lebih dulu rancang dengan teman tanpa minta pendapat saya. saya kecewa bu. maknanya saya tidak ada apa-apa fungsi lagi untuk meminta dia tidak pergi, sebab dia sudah tetapkan sendiri. sakit hati saya bu, saya tahan!tapi saya tidak kuat, saya sendirian di rumah. tanpa ada sesiapa, saya lemah. setiap kali saya rasa sesak, sakit dan ingin menangis, saya akan terus berdoa kerana dengan berdoa sahaja saya dapat tenangkan perasaan saya. saya tidak mahu emosi dengan suami sebenarnya. Terima kasih Bu, saya minta maaf kalau saya tidak sepatutnya menceritakan semua ini disini, tapi saya perlu meluahkan apa yang ada dalam hati saya, sebab saya rasa sesak bila tanggung sendiri-sendiri, bila berbincang dengan suami dia cepat naik marah. Bila luahkan semua saya rasa kurang sedikit beban.

        • Shalom Fonny,
          Semoga keadaan Anda sudah lebih baik sekarang, berkat penghiburan dan kekuatan yang Tuhan berikan, melalui doa-doa Anda.
          Dalam keadaan sulit, kita tidak boleh berputus asa, sebab Tuhanlah penolong dan penopang kita. Bawalah segala pergumulanmu ke hadirat Tuhan dalam doa-doamu setiap hari dan sepanjang hari, dan semoga melalui ini semua Anda juga dibawa untuk semakin dekat dan berserah kepada Tuhan.  Seringkali dengan mendoakan orang lain, kita dibawa untuk menjadi semakin akrab dengan Dia, dan semoga ini yang terjadi pada Anda. Silakan, sebelum berusaha mendekatkan suami kepada Tuhan, Anda juga mendekatkan diri kepada-Nya dengan tekun berdoa, membaca dan merenungkan Sabda Tuhan, menerima sakramen-sakramen, terutama Ekaristi dan Pengakuan dosa.
          Dengan semakin dekatnya Anda dengan Tuhan, semoga Anda juga diberi rahmat untuk mengasihi dan memiliki kebijaksanaan untuk dapat mengetahui cara yang tepat yang dapat Anda lakukan untuk membawa suami Anda kembali mendekat kepada Tuhan.
          Teriring doa dari kami di Katolisitas.
          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,Ingrid Listiati- katolisitas.org

    • Shalom bu Fonny,

      kalau boleh saya ingin memberikan pendapat.. Saya belum menikah tapi kurang lebih saya tahu bagaimana rasanya bila orang yang dekat dengan kita kelihatannya menjauh dari Tuhan. Kita pasti akan merasa sedih.

      Tapi suatu saat saya sadar bahwa bisa saja yang sedang dialami oleh orang tersebut merupakan suatu proses agar di masa mendatang ia bisa lebih dekat lagi dengan Tuhan. Bisa jadi Tuhan mengizinkannya tenggelam dalam kesibukan lain agar suatu saat ia menyadari bahwa Tuhan juga perlu diberi tempat dalam kehidupannya yang baru (dalam hal ini pernikahan dan dunia kerja).

      Saya yakin suami ibu ingin memberikan yang terbaik untuk keluarga, namun caranya tidak seperti yang ibu harapkan. Menurutnya bekerja sepanjang waktu adalah cara terbaik, namun menurut ibu meski sibuk bekerja juga perlu berdoa dan memperhatikan keluarga. Jika demikian, hal ini juga merupakan proses yang akan menuntun ibu dan suami ibu untuk mengetahui cara terbaik dalam hidup berkeluarga.

      Selain itu, kita juga dapat menyadari bahwa Tuhan mengalami kesedihan yang lebih besar dari kesedihan kita apabila Ia melihat ada anakNya yang menjauh dariNya. Karena kita tahu, kasihNya terhadap suami ibu jauh melebihi kasih ibu kepadanya. Dan kita juga tidak perlu ragu-ragu atau kuatir karena usaha Tuhan untuk membawa suami ibu kembali mendekat kepadaNya juga pasti jauh lebih besar daripada usaha manusiawi kita.

      Saya setuju dengan bu Inggrid bahwa ibu dapat mendoakan suami ibu. Antara lain mendoakan agar dalam kesibukannya, ia selalu ingat untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Tidak harus rosario atau doa lain yang panjang, tapi berbicara dengan Tuhan dalam hati yang bisa dilakukan setiap saat bahkan saat kita sedang sangat sibuk.

      Semoga membantu. Tuhan memberkati.

      • shalom Agung,

        Terima kasih atas sokongan dan nasihat. Memang ada benarnya nasihat kamu.Saya akan cuba dan saya mohon dukungan doa juga buat kami berdua. Terima kasih saya ucapkan.

  7. Salam Damai bagi Pak Stef dn Bu Inggrid,

    Saya mohon bantuan Pak Stef dan Bu Inggrid, apakah bisa diadakan retret suami isteri di Kupang Provinsi NTT?Saya dan suami saya sudah 1,5 tahun menikah dan belum dikaruniai anak…namun terkadang banyak masalah datang yang membuat kami merasa tak kuat sebagai suami isteri…kami masing-masing punya kelebihan dan kekurangan namun semua itu menjadi batu sandungan untuk kami..Kami saling mencintai namun tak kuat untuk mempertahankan pernikahan kami…masalah pekerjaan saya selalu membuat suami saya curiga dan tidak mempercayai saya..
    Saya mohon tolonglah saya dan keluarga saya…Semoga retret keluarga ini dapat menolong kami dan pernikahan kami…

    • Shalom Rosa,

      Berikut ini adalah informasi jadwal retret/ Week-end pasangan suami istri Marriage Encounter (WE-ME) yang akan diadakan di Surabaya:

      1. Jadwal WE ME Surabaya thn 2012 :
      7-9 Sept
      26-28 Okt
      23-25 Nop di Pacet
      14-16 Des di Poh Sarang

      Karena WE ME untuk usia perkawinan diatas 3 tahun, sedangkan usia perkawinan Anda baru 1,5 tahun maka silakan menghubungi team Surabaya yaitu membicarakan hal ini. Silakan menghubungi pasutri YUYUN- DIDIK : 0888-6535 216 / 0888-3232 955.

      2. Menurut informasi dari Rm. Yance, WE-ME di Atambua diadakan tanggal 31 Agustus – 2 september 2012.

      Kalau Anda berdomisili di Kupang, silakan menghubungi Pasutri Servas-Atiek (team Kupang) alamat email mereka: pareiraS@who.or.id
      No telp rumahnya: 0380825717
      No hp: 08123776457

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  8. salam
    adakah artikel/tulisan khusus dari katolisitas ttg poligami?sayah belum memperoleh pandangan resmi yg mewakili katolik secara utuh.
    mhn maaf dan salam

    [dari katolisitas: Silakan melihat link ini – silakan klik]

  9. Shalom …
    Saya amat senang sekali dengan adanya website ini yang amat membantu dalam pengetahuan dan pendalaman iman.
    Ada hal yang ingin saya tanyakan yang membuat keraguan saya.
    Apakah rasa sayang terhadap orang lain yang bukan pasangan kita merupakan suatu perasaan yang salah dan bisa dikategorikan perzinahan (dalam hati) atau mengingini milik sesama?
    Lalu, sejauh mana batasan rasa sayang yang diperbolehkan?
    Jika memang merupakan suatu dosa, mohon sarannya agar bisa terlepas dari perasaan tersebut dan bisa mengubah menjadi rasa yang tidak menjerumuskan ke dalam dosa.
    Terimakasih.

    • Shalom Yustina,

      Silakan Anda membaca tanya jawab kami dengan Pipit mengenai pertanyaan yang serupa di halaman ini juga, silakan klik.

      Rasa sayang kepada sesama merupakan karunia Tuhan, dan bahkan merupakan kewajiban kita sebagai orang beriman untuk terus menumbuhkannya, dengan kasih yang tulus dan tanpa pamrih sebagaimana teladan kasih-Nya kepada kita (kasih agape). Lebih jauh, rasa sayang kepada lawan jenis umumnya melibatkan kasih yang menginginkan (kasih eros), penjelasannya lebih lanjut dapat dibaca di artikel mengenai eros, philia, agape, silakan klik.

      Karena di dalam ikatan perkawinan kudus kita wajib memelihara komitmen kita untuk setia seutuhnya kepada pasangan, rasa sayang yang bersifat eros harus diarahkan dan dikendalikan agar tidak menjadi batu sandungan bagi kesetiaan perkawinan dan kemudian membawa kita kepada dosa. Jadi rasa sayangnya sendiri tidak salah, tetapi bagaimana kita menyikapi rasa sayang itu dan mengolahnya di dalam hati kita, akan menentukan apakah rasa sayang itu akan menjadi sarana berkat Tuhan atau justru kendaraan bagi si jahat untuk merusak kebahagiaan perkawinan. Maka kita harus bersikap hati-hati dan bijak sehingga rasa sayang yang melibatkan janji setia kita kepada pasangan kita dalam untung dan malang tetap utuh dan tidak dibagi-bagi.

      Saran saya, bawalah semua rasa perasaan yang Anda alami kepada Tuhan di dalam doa-doa Anda. Mintalah rahmat Tuhan agar dengan kuasa kasih-Nya yang lembut, Ia yang adalah sumber segala kasih, menolong Anda untuk mengasihi sesama dengan kasih yang tepat dan sesuai dengan tujuan-Nya, dan menjaga kasih sayang Anda kepada pasangan hidup Anda agar selalu murni dan utuh serta tahan terhadap segala cobaan. Jika kita datang kepada-Nya dengan niat yang tulus dan sungguh-sungguh, lebih dari separuh doa kita sebenarnya sudah terjawab, karena Tuhan juga memerlukan kerjasama dan niat teguh kita untuk mengabulkan doa kita. Kemudian usahakanlah dengan semua daya yang ada untuk memelihara kasih Anda kepada pasangan Anda, semaksimalnya, dan biarkan sisanya Tuhan yang akan bekerja dan menjaga cinta Anda berdua. Semoga Tuhan senantiasa menguatkan dan menyertai Anda dan keluarga.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan

      Triastuti – katolisitas.org

  10. Syalom, saya ingin menanyakan, dalam agama Katolik, tindakan2 seperti apakah yang dikategorikan sebagai tindakan perselingkuhan? Lalu pernah disinggung dalam artikel mengenai bayi tabung, bahwa bayi tabung bisa dilakukan juga dengan adanya pihak donor, apakah dengan menggunakan sperma atau sel telur dari donor yang jelas-jelas bukan pasangan kita, itu termasuk dalam tindakan perselingkuhan? Walaupun saya tahu bayi tabung tidak dianjurkan untuk dilakukan, tapi saya ingin tahu saja, untuk membantu tugas kuliah saya. Mohon bantuannya.Terima kasih.
    anas

    • Shalom Anas,

      Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai perselingkuhan, silakan membaca kembali artikel di atas, “Kemurnian di dalam Perkawinan”, silakan klik, khususnya di bagian tentang perzinahan/perselingkuhan.

      Bayi tabung bukan merupakan tindakan perselingkuhan, melainkan lebih kepada mengingkari prinsip prokreasi (terbuka terhadap kehidupan) dan prinsip persatuan (pemberian diri) secara total antara suami dan isteri yang telah dikuduskan oleh Tuhan sendiri melalui Sakramen Perkawinan. Untuk lebih jelasnya silakan membaca kembali di artikel “Tentang bayi tabung”, silakan klik.

      Semoga dapat membantu. Salam kasih dalam Kristus Tuhan,

      Triastuti – katolisitas.org

  11. Dear Katolisitas yang terkasih.

    Saya ingin bertanya apakah dalam ajaran Katolik dinyatakan berdosa jika seseorang yang sudah menikah secara Katolik menyatakan cinta dan sayangnya kepada orang lain (lawan jenis) selain pasangannya meskipun ungkapan itu hanya sebatas ungkapan hati tanpa ungkapan fisik?

    • Shalom Pipit,

      Prinsip ajaran iman Katolik dalam perkawinan adalah kesetiaan yang mutlak dan tunggal sampai maut memisahkan, yaitu komitmen cinta dan hidup hanya kepada pasangan yang sudah menjadi suami atau isteri yang telah dipersatukan Tuhan dalam Sakramen Perkawinan kudus di hadapan Gereja-Nya (pernikahan Katolik). Kesetiaan dan komitmen tunggal  kepada pasangan itu meliputi semua aspek: jiwa dan raga, lahir dan batin.  Maka menjaga kemurnian cinta dan kesetiaan kita kepada pasangan tidak hanya ditunjukkan melalui kata-kata fisik / perbuatan ragawi, tetapi juga komitmen jiwa dan hati secara keseluruhan. Di dalam pernikahan Katolik, suami dan isteri saling memberikan diri secara total dan utuh, sehingga yang disebut sebagai kesetiaan itu adalah kesetiaan fisik, hati, pikiran, maupun jiwa. Oleh karenanya, menyatakan rasa cinta dan sayang kepada orang lain selain pasangan kita, walaupun tidak diungkapkan secara fisik, secara hakiki telah melanggar komitmen kesetiaan itu. 

      Kadang-kadang dalam perjalanan hidup, memang bisa saja terjadi kita mempunyai perasaan simpati/kagum kepada orang lain, perasaan semacam itu sifatnya netral dan alamiah. Namun komitmen kesetiaan kepada pasangan hidup kita harus menjadi kendali atas munculnya perasaan-perasaan tersebut. Maka hendaklah perasaan seperti itu dicegah untuk berkembang lebih lanjut,  dihindari segala bentuk perwujudannya, apalagi pernyataannya, sekalipun hanya dalam hati. Karena cinta yang sejati tidak hanya mengenai perasaan, tetapi juga mengenai komitmen dan tanggung jawab.

      Jika kita tahu bahwa perasaan mengasihi orang lain yang bukan pasangan kita dapat menghantar kita kepada dosa ketidaksetiaan dalam perkawinan, namun kita tidak melakukan apa- apa untuk menolaknya, maka kita sudah mulai masuk ke dalam perbuatan dosa, sebab kita gagal melakukan apa yang baik yang seharusnya kita lakukan (lih. Yak 4:17), yaitu menjaga kesetiaan janji perkawinan kita di hadapan Tuhan.

      Pemahaman bagaimana dosa ringan yang tidak ditepis akan berpotensi membawa kita kepada dosa berat, dapat dibaca di dalam artikel Masih Perlukah Pengakuan Dosa, bagian 1, silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,

      Triastuti dan Ingrid Listiati – katolisitas.org

  12. Baru 1 tahun lbh saya menikah..saya sangat mencintai suami saya, dan awalnya saya sangat percaya terhadap dia.Namun kepercayaan saya ternodai, berawal dari saya buka bb dan sms dia. Saya baca sms dia ke seorang wanita  dengan panggilan sayang, beib. Hati saya benar2 terenyuh membacanya, benar2 sulit untuk dipercaya. Awalnya suami saya tidak mau terus terang, tapi setelah saya desak akhirnya dia mau mengakui klo dia ternyata mencintai saya dan wanita itu (wanita tsb sudah menikah dan punya anak). Dia mengaku hanya sebatas sms, bbm, telp, dan pernah ngajak makan bareng krn mereka 1 kantor. Saya minta ke dia untuk memilih salah satu, tapi dia tidak bisa memutuskan, dia malah jawab nggak mau kehilangan salah satu klo mau dua duanya. Saya sangat kecewa atas jawaban itu. Jika saya masih pacaran mungkin saya sudah putusin, tapi saya bertahan karena janji pernikahan saya terhadap Tuhan dan keluarga. Saya nggak rela hanya mendapatkan separuh cinta dia..saya ingin cintanya seutuhnya. Selama ini saya selalu berpura pura untuk tegar di hadapan dia, berusaha untuk menerima meskipun sebenernya berat dan sakit. Sikap suami saya terhadap saya sih sudah biasa,seolah tidak pernah terjadi apa2. Apa yang harus saya lakukan sekarang? Jika suami saya masih memendam perasaan terhadap wanita lain. Apa saya tetap harus setia atau haruskah saya ceritain terhadap suami wanita itu? atau saya caci maki wanita itu? Mohon sarannya. Terimakasih.

    • Shalom Titi,

      Kami ikut bersimpati kepada Anda dalam permasalahan yang Anda alami ini. Bagaimanapun perasaan suami Anda, ia perlu diingatkan kembali arti dari janji pernikahan yang telah dibuatnya sendiri dengan sadar di hadapan Tuhan dan umat GerejaNya, bahwa ia dan Anda akan menjaga pernikahan itu dengan setia sampai akhir. Kesadaran akan keputusan dan tanggung jawab itu harus terus dipegang dalam situasi apapun sepanjang hidup pernikahan, sampai maut memisahkan. Dengan mengingat kembali betapa pentingnya tanggungjawab tersebut, selayaknyalah suami Anda menepikan kepentingan pribadinya dan meletakkan janji pernikahannya di atas kesenangan pribadi.

      Walaupun Anda merasa sakit, kami tidak menyarankan Anda membuang energi dan mungkin membahayakan diri sendiri dan orang lain dengan mencaci maki wanita tersebut, atau menceritakannya kepada suaminya. Hal itu bisa saja mengundang masalah baru dan mungkin membuat Anda justru merasa semakin tertekan, selain hal itu juga bukan sikap yang baik sebagai anak-anak Tuhan. Sebaiknya energi Anda digunakan untuk mencoba mengevaluasi dan memperbaiki dari dalam, hal-hal apa yang bisa Anda dan suami upayakan untuk menguatkan pilar-pilar hubungan kasih Anda berdua sebagai suami istri, karena pada dasarnya Anda berdua saling mencintai. Inisiatif bisa datang dari pihak Anda. Ajaklah suami Anda kembali menyadari arti pernikahan Kristiani dan carilah kesempatan yang baik dan menyenangkan untuk menyegarkan kembali hubungan cinta berdua. Carilah waktu-waktu dalam suasana hati yang baik, misalnya untuk membahas kekurangan apa yang mungkin ada dalam hubungan Anda berdua dan diskusikan cara terbaik untuk memperbaikinya bersama-sama. Kembangkan kebiasaan berkomunikasi yang penuh keterbukaan kasih dan itikad baik. Lakukanlah semua itu dalam suasana hati yang tenang dan tidak dalam keadaan emosi. Jangan lupa selalu menyerahkan kepada Tuhan dalam doa-doa dan persembahan Ekaristi semua kerinduan, kegelisahan, dan kesukaran yang Anda alami dalam pernikahan. Karena Tuhan tidak pernah meninggalkan Anda. Ajaklah suami untuk berdoa dan membaca Firman Tuhan secara rutin setiap hari.

      Usaha yang juga bisa sangat membantu, carilah saran dari penasehat pernikahan, atau ajaklah suami berbicara dengan konselor perkawinan di paroki Anda. Mengikuti retret Tulang Rusuk (yang dipimpin oleh Rm Yusuf Halim, SVD) atau weekend Marriage Encounter (ME) juga akan sangat berguna. Sudah amat banyak pasutri mendapat pertolongan dan kekuatan melaluinya, dan diselamatkan pernikahannya dari ancaman perpisahan. Informasinya dapat dicari dari link berikut :
      Untuk retret Tulang Rusuk http://www.renungan.com/tulangrusuk.php
      Untuk ME http://www.renungan.com/marriageencounter.php atau di situs lain misalnya http://v2.me-indonesia.org/relasi/?cat=29

      Semoga Tuhan menyertai Anda memilih langkah-langkah yang tepat, membuka dan menyadarkan hati suami Anda, serta menyertai Anda berdua melewati pencobaan ini, bertahan dalam pernikahan yang langgeng dan membahagiakan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan
      Triastuti – katolisitas.org

  13. Bu Ingrid dan Pak Stef
    Benarkah di masa lalu ada suatu dogma Gereja katolik yang mendefinisikan umur minimum perkawinan bagi anak perempuan ialah 12 tahun dan Seorang gadis yang hamil di bawah usia 12 bisa mendapatkan dispensasi oleh Gereja untuk masuk ke dalam pernikahan Kudus ?
    Kemudian sikap tersebut berubah karena tekanan dari pengaruh pemikiran sekuler di tahun 1700 ketika masa kanak-kanak secara bertahap didefinisikan sebagai kategori sosial khusus dengan aturan sendiri untuk melindungi anak. Mohon keterangannya

    Terima kasih

    • Berto yth,

      tidak ada dogma yang mengatakan demikian, bahwa umur perkawinan perempuan 12 tahun, itu pun bukan dogma. Apa artinya dogma? Pada umumnya yang anda katakan batas minimum umur perkawinan perempuan 16 tahun pada sipil, sedangkan Gereja sesuai Kan 1083 umur 14 tahun untuk perempuan dan laki laki 16 tahun. Hukum ini melulu gerejawi dan bisa diubah jika di kemudian hari tidak sesuai realita perkembangan manusia cq kedewasaan maturitas calon pengantin.

      Salam,
      Rm Wanta

  14. Syalom,
    Saya dan istri saya menikah secara katholik, sudah dikaruniai 2 orang anak, namun beberapa tahun yang lalu kami masing-masing jatuh dalam pencobaan, dan kemudian kami bercerai secara sipil (tidak pernah mengurus pembatalan pernikahan), dan saya menikah lagi dengan orang lain. Istri saya yang pertama tidak menikah lagi.

    Namun karena kuasa Tuhan, akhirnya saya dan istri saya yang pertama di persatukan hatinya kembali olehNya. dan saya meninggalkan istri kedua.(belum memiliki anak) dan dalam proses perceraian sipil.
    Masing-masing dari kami sudah bertobat dan menerima sakramen tobat dari Romo.

    Saya ingin menanyakan apakah jika saya saat ini berhubungan intim dengan istri saya yang pertama dianggap berdosa dan berzina meskipun saya belum resmi bercerai dengan istri yang kedua secara sipil ?
    Apakah nanti saya harus menikah kembali secara sipil dengan istri saya yang pertama?
    Ada 1 hal pernyataan yg mengganggu dari salah satu orang bahwa saya tidak boleh menyambut komuni lagi karena sudah bercerai dan menikah lagi dengan orang lain. Apakah benar demikian? Namun saya telah bertobat dan mengakui seluruh dosa saya di hadapan Romo dan Gereja.

    Terimakasih dan Salam Damai.

    • Anthony yth.

      Allah tidak menolak umat-Nya yang bertobat dan menerima dengan senang hati penuh kegembiraan. Bacalah Injil Lukas 15 tentang Anak yang hilang, betapa sang ayah itu menerima dengan sukacita anaknya yang bungsu yang kembali pulang. Demikianlah kiranya Allah kita yang maha rahim. Karena itu kembali ke jalan yang benar adalah pilihan terbaik. Apa yang harus anda lakukan? Pertama tentu mengaku dosa di hadapan Imam katolik, kemudian menyatakan silih atas dosa, membarui janji perkawinan di depan Imam dalam ekaristi, kemudian anda dapat menerima Komuni kudus. Perceraian sipil sebaiknya terus dilanjutkan hingga mendapatkan kepastian hukum. Putus komunikasi dengan mantan WIL, dan setialah pada pembaruan janji perkawinanmu.

      Semoga Tuhan memberkati dan menerima buah sakramennya.

      salam
      Rm Wanta

  15. shalom bu ingrid dan pak stef,
    sya ingin menanyakan 2 hal:
    1. dosa karena berhungan seksual termasuk dosa besarkah? apakah berfantasi seks, masturbasi/onani,aksi berciuman, necking, petting, dan bercumbu dengan pacaran juga merupakan dosa besar?
    2. dalam pernikahan suami istri, apakah memakai kondom dalam berhubungan seks merupakan dosa besar? saya menghadiri kursus perkawinan beberapa waktu yang lalu dan membahas mengenai KB, mengapa jika yang hanya diperbolehkan Gereja Katolik hanyalah KB alami, gereja katolik memberi tingkatan-tingkatan (saya lupa jumlahnya) diantaranya KB yang dianjurkan yaitu KB alami, KB yang dapat dipertimbangkan seperti pil KB, kondom, dsb dan ada kesimpulan yang menyatakan tidak perlu merasa berdosa jika diputuskan bersama suami istri menggunakan kondom/pil KB dalam berhubungan? saya kecewa dgn penjelasan tsbut dan menjadi bingung karena tidak sesuai dengan yang pernah saya baca di katolisitas?
    3. KB apa yang bisa dipakai jika suami istri terpaksa tidak tggal serumah selama 5 tahun karena tuntutan pekerjaan di luar pulau dan dapat bertemu 6 bulan sekali..? Jika jawabannya tetap KB alamiah, bagaimana jika saat bertemu istri pada saat masa subur? apakah suami istri tersebut tidak perlu melakukan hubungan intim? bagaimana bisa mempersatukan cinta (union) secara utuh?
    Trims banyak atas penjelasan bapak ibu.. GBU

    • Shalom Lopre,

      Terima kasih atas pertanyaannya. Berikut ini adalah jawaban singkat yang dapat saya berikan:

      1. Hubungan seksual di luar konteks pernikahan (percabulan) adalah merupakan dosa berat. Katekismus Gereja Katolik (KGK, 2353)mengatakan “Percabulan adalah hubungan badan antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak menikah satu dengan yang lain. Ini adalah satu pelanggaran besar terhadap martabat orang-orang ini dan terhadap seksualitas manusia itu sendiri, yang dari kodratnya diarahkan kepada kebahagiaan suami isteri serta kepada turunan dan pendidikan anak-anak. Selain itu ia juga merupakan skandal berat, karena dengan demikian moral anak-anak muda dirusakkan.

      Fantasi seks atau juga masuk dalam kategori pornografi. Kalau orang tersebut tahu bahwa perbuatan ini adalah berdosa dan dia tetap melakukannya, maka dapat menjadi dosa berat. KGK 2354 menuliskan “Pornografi mengambil persetubuhan yang sebenarnya atau yang dibuat-buat dengan sengaja dan keintiman para pelaku dan menunjukkannya kepada pihak ketiga. Ia menodai kemurnian, karena ia meyimpangkan makna hubungan suami isteri, penyerahan diri yang intim antara suami dan isteri. Ia sangat merusak martabat semua mereka yang ikut berperan (para aktor, pedagang, dan penonton), karena mereka ini menjadi obyek kenikmatan primitif dan sumber keuntungan yang tidak diperbolehkan. Pornografi menenggelamkan semua yang berperan di dalamnya dalam sebuah dunia semu. Ia adalah suatu pelangaran berat. Pemerintah berkewajiban mencegah pengadaan dan penyebarluasan bahan-bahan pornografi.

      Masturbasi yang terus menjadi kebiasaan dan dilakukan secara sadar dapat menjadi dosa besar, karena penyimpangan akan hakekat seksualitas. KGK 2352 menuliskan “Masturbasi adalah rangsangan alat-alat kelamin yang disengaja dengan tujuan membangkitkan kenikmatan seksual. “Kenyataan ialah bahwa, baik Wewenang Mengajar Gereja dalam tradisinya yang panjang dan tetap sama maupun perasaan susila umat beriman tidak pernah meragukan, untuk mencap masturbasi sebagai satu tindakan yang sangat bertentangan dengan ketertiban”, karena penggunaan kekuatan seksual dengan sengaja, dengan motif apa pun itu dilakukan, di luar hubungan suami isteri yang normal, bertentangan dengan hakikat tujuannya”. Kenikmatan seksual yang dicari karena dirinya sendiri tidak mempunyai “tujuan susila yang dituntut oleh hubungan seksual, yaitu yang melaksanakan arti sepenuhnya dari penyerahan diri secara timbal balik dan juga satu pembuahan manusiawi yang sebenarnya di dalam cinta yang sebenarnya” (CDF, Perny. “Persona humana” 9).Supaya membentuk satu penilaian yang matang mengenai tanggung jawab moral dari mereka yang bersalah dalam hal ini, dan untuk menyusun bimbingan rohani supaya menanggapinya, orang harus memperhatikan ketidakmatangan afektif, kekuatan kebiasaan yang sudah mendarah daging, suasana takut, dan faktor-faktor psikis atau kemasyarakatan yang lain, yang dapat mengurangkan kesalahan moral atau malahan menghilangkannya sama sekali.

      Bercumbu, necking, petting adalah perbuatan yang berdosa dan dapat menjadi satu godaan serta merupakan penghianatan terhadap kodrat hubungan seks. Hal-hal tersebut dapat mengarah kepada suatu pelanggaran serius, yang dapat berakibat pada seks di luar nikah, dan dapat mengarah juga kepada dosa yang lain, seperti aborsi – karena tidak menginginkan anak yang dikandungnya. Silakan membaca artikel tentang kemurnian di luar perkawinan – silakan klik.

      Pemakaian kondom dalam konteks suami istri juga  merupakan penghianatan terhadap hakekat hubungan seksual yang mempunyai dua dimensi: unitive – persatuan suami istri dan procreation – terbuka terhadap kelahiran. Dalam kursus perkawinan, mungkin ditekankan bahwa kontrasepsi dapat dilakukan asal sesuai dengan hati nurani. Namun, yang harus ditekankan di sini adalah bukan mengikuti sekedar hati nurani, namun mengikuti “hati nurani yang benar“, karena hati nurani kita dapat salah kalau tidak dijaga dan dipupuk dengan benar. Karena hati nurani kita dapat salah, maka sikap paling baik adalah dengan mengikuti arahan yang diberikan oleh Gereja. Kami telah menjabarkannya dalam artikel kemurnian di dalam perkawinan – silakan klik dan juga Humanae Vitae itu benar – silakan klik. Silakan melihat dasar-dasar argumentasi yang diambil dari dokumen Humanae Vitae (Paus Pius VI) dan juga Casti Conubi (Paus Pius XI). Sebelum tahun 1930, agama Kristen, baik Katolik maupun non-Katolik menyetujui bahwa kontrasepsi adalah berdosa. Namun, sekarang hanya Gereja Katolik yang terus bertahan untuk menyatakan kebenaran bahwa kontrasepsi adalah berdosa. Jadi, sudah seharusnya, dalam hal pelarangan kontrasepsi, kita berpegang pada ajaran Gereja Katolik, yang telah dinyatakan dalam berbagai dokumen Gereja.

      Sekarang kita melihat tentang kasus yang anda berikan, yaitu suami istri yang berpisah dan hanya bertemu 6 bulan sekali. Dalam moral teologi, orang mempunyai tendensi untuk mengajukan kondisi-kondisi yang ekstrem. Sebagai contoh, orang sering memberikan justifikasi pada kasus aborsi, karena hal ekstrem, seperti: karena (1) kasus pemerkosaan, (2) hubungan sesama saudara (incest), (3) melindungi hidup sang ibu. Menurut data di Amerika, yang masuk dalam kategori 1 dan ke dua adalah 0,03% dan yang ketiga adalah 0,02%. Ini berarti dalam 1,000 kasus, ada 3 orang yang masuk dalam kategori 1, 3 orang kategori 2, dan 2 orang kategori 3. Saya tidak bermaksud untuk meniadakan fakta ini. Namun, jangan sampai adanya fakta yang ekstrem ini menghilangkan esensi dari masalah, bahwa aborsi adalah berdosa. Demikian juga dengan kontrasepsi. Selama kita dapat melihat bahwa kontrasepsi adalah berdosa, maka dalam kasus sulit sekalipun, kita mencoba dengan segenap hati dan kekuatan kita untuk tidak melakukannnya. Memberikan segenap apa yang ada dalam diri kita demi mengikuti perintah Allah sebenarnya merupakan bukti kasih kita kepada Allah (1Yoh 2:3) Jadi, jawaban yang dapat saya berikan adalah dalam kasus ekstrem tersebut adalah tetap memakai KB Alamiah, karena pemakaian kontrasepsi adalah berdosa. Kalau mereka hanya bertemu 6 bulan sekali dan istri dalam keadaan subur, maka mereka tetap tidak boleh memakai kontrasepsi. Mengapa? Karena kontrasepsi adalah berdosa.

      Jadi, kalau memang istri dalam kondisi subur dan mereka belum dikaruniai anak atau baru mempunyai dua anak, seharusnya ini tidak menjadi halangan. Namun, kalau sampai telah mempunyai lima orang anak dan pasangan ini merasa bahwa mereka tidak mampu membesarkan anak lebih dari 5 anak, maka memang sudah seharusnya dipikirkan untuk melakukan KBA. Untuk meningkatkan persatuan suami istri dapat dilakukan hal-hal lain selain seksual. Kalau ini dirasa berat, maka sudah seharusnya pasangan ini membawa hal ini dalam doa, dan kemudian minta pekerjaan yang memungkinkan mereka dapat hidup bersama sebagaimana layaknya sebuah keluarga yang normal dan bukan sebagai pelaut. Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa kita tidak boleh memilih dosa, karena kita ingin memilih kebenaran dan menjalankan kebenaran tersebut, walaupun hal tersebut sungguh berat. Dan dalam kondisi sulit seperti ini, rahmat Tuhan diperlukan untuk memberikan kekuatan bagi pasangan ini. Semoga jawaban ini dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

      • Terimakasih atas jawabannya yang sangat memberikan banyak pengetahuan iman..
        Bu/bapak, kenapa pemberi materi (seorang dokter malah) di KPP tidak menjelaskan sedetail dan tegas seperti tersebut? bahkan ketika saya mendekati seorang romo secara pribadi bertanya tentang KB…justru pendapatnya terkesan mendukung alat kndom..(terlebih para suami yang bekerja sebagai pelaut).. memang dibilang sesuai hati nurani (damai atau tidak). Ditambah lagi penjelasan “namun secara karya pastoral tidak setegas itu, tapi secara moral memang iya dilarang mentah-mentah. Gereja Katolik Indonesia lebih melihat ke karya pastoral.”

        Saya tidak mengerti maksud romo tersebut. Saya sedikit kecewa dengan jawaban beliau. Karena banyak teman saya d KPP akhirnya akan memutuskan akan menggunakan alat kontrasepsi jika berjauhan karena tuntutan profesi. Trims untuh sharenya. Tuhan memberkati, semoga kita selalu dapat berjuang dalam peziarahan kita.. :)

        • Shalom Lopre,

          Memang yang menjadi tantangan adalah bagaimana menerapkan doktrin yang benar dalam karya pastoral. Dapat saja terjadi, seseorang menekankan aspek pastoral dengan mengesampingkan doktrin. Namun, yang benar adalah aspek doktrin dan aspek pastoral dapat berjalan beriringan tanpa mengorbankan salah satu aspek. Hal ini dipertegas oleh beato Paus Yohanes Paulus II dalam pidato pada penutupan Sinode Para Uskup di Kapel Sistina, 25 Oktober 1980. Disebutkan bahwa Gereja menolak adanya dikotomi antara pengajaran yang menekankan penerapan kebenaran secara bertahap dan kebenaran yang didefinisikan oleh Gereja. lebih lanjut, beato Paus Yohanes Paulus II menuliskan bahwa Hukum gradualitas (lex gradualitatis) mensyaratkan bahwa seseorang menerima terlebih dahulu hukum Allah dengan hati yang tulus. Dengan demikian lex gradualitatis bukanlah suatu diskon dari kebenaran yang telah ditetapkan oleh Gereja Katolik.

          Jadi, dalam konteks pastoralpun, Gereja Katolik di Indonesia harus tetap berpegang pada kebenaran seperti yang telah ditetapkan oleh Magisterium Gereja Katolik. Hal ini dapat dilihat juga dalam pedoman pastoral keluarga dari KWI, hal. 59-60 (art.61), yang secara tegas menyatakan bahwa “metode KBA adalah satu-satunya metode pengaturan kelahiran anak yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral Katolik.” Dengan demikian, sudah seharusnya pengajar Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) harus mengikuti pegangan yang telah diberikan oleh KWI dan juga dokumen-dokumen Gereja seperti Humanae Vitae dan Casti Connubii. Semoga dapat membantu.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          stef – katolisitas.org

  16. Dear Katolisitas, saya ada pertanyaan mengenai keluarga, secara spesifik mengenai family planning

    1. Sebuah keluarga berekonomi kecukupan memutuskan untuk hanya punya 2 anak, karena 1 dan lain hal di usia 40an usaha mereka berkembang pesat. Di usia tsb kalo ada kehamilan tentunya kuang baik bagi kesehatan sang ibu, bolehkah mereka mengadopsi anak saja ? atau lebih baik bila mereka rajin donasi ke panti asuhan ? ataukah sebaiknya mereka mencoba untuk kehamilan lagi ?

    2. Sebuah keluarga berkecukupan seharusnya bisa dan mampu memiliki 2 orang anak, namun karena ketakutan sang istri, mereka memutuskan untuk mengadopsi saja. Apakah hal ini sesuai dengan ajaran gereja ?

    Terima kasih.

    • Shalom Anonymous,

      1. Panggilan hidup berkeluarga harus diartikan sebagai panggilan untuk membentuk keluarga, atas dasar kasih, sesuai dengan rencana Allah. Jadi intinya di sini, pasangan harus mempunyai keterbukaan terhadap kehendak Allah dalam perkawinan, yaitu 1) pasangan bersedia untuk menjadi gambaran persatuan antara Kristus dengan Gereja-Nya yang setia dan tak terceraikan sampai mati, 2) bersedia menerima keturunan yang Tuhan percayakan kepada mereka. Kedua hal ini merupakan inti perjanjian suami istri di hadapan Tuhan.

      Jadi pasangan memang berhak untuk merencanakan jumlah anak, namun pada saat yang sama mereka tetap harus terbuka kepada rencana Tuhan jika Ia merencanakan sesuatu yang berbeda dari rencana mereka. Sesungguhnya, pasangan tidak dapat memberi “kartu mati” pada Tuhan, bahwa “kami hanya mau dua anak saja, titik”, lalu kemudian, misalnya mengadakan sterilisasi, atau lebih parahnya aborsi. Ini adalah sikap yang tidak sesuai dengan kehendak Allah (lih. Humanae Vitae 14). Pasangan harus pertama- tama melihat bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas hidup dan penciptaan manusia, dan manusialah yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk “mengambil bagian” dalam hal meneruskan kehidupan/ penciptaan seorang manusia yang baru; dan bukannya manusia merencanakan, dan Tuhan harus ‘nurut’. Ini pola pikir yang terbalik.

      Jadi usaha/ pekerjaan yang berkembang pesat, bukanlah alasan yang dapat dibenarkan untuk membatasi jumlah anak. Sedangkan dalam hal kesehatan ibu, memang patut diperhatikan. Namun pola pikir kita yang harus diubah, menjadi bagaimana agar tetap dapat sehat meskipun melahirkan di usia 40 tahun. Sebab walaupun tidak umum, tetapi tetap saja ada ibu usia 40-an yang melahirkan anak- anak dalam keadaan sehat. Jadi tidak berarti bahwa semua ibu yang melahirkan di usia 40 pasti anaknya/ ibunya sakit.

      Jika memang diputuskan untuk adopsi, itu juga adalah perbuatan yang mulia, tentu berkenan kepada Tuhan, sebab itu adalah perbuatan kasih yang menolong sesama yang membutuhkan. Namun jika ini dilakukan, tetaplah tidak menghapuskan tujuan perkawinan yang tetap harus terbuka terhadap kemungkinan kelahiran, jika itu dikehendaki Tuhan.

      2. Sebuah keluarga berkecukupan, dan seharusnya mampu memiliki dua orang anak tetapi karena ketakutan istri lalu mengadopsi, apakah sesuai dengan ajaran Gereja?

      Ajaran Gereja sudah jelas, silakan anda membaca di sini (klik di judul berikut):

      Kemurnian dalam Perkawinan Katolik
      Indah dan dalamnya makna Sakramen Perkawinan Katolik

      Humanae Vitae itu benar!

      Tujuan persatuan suami istri dalam perkawinan adalah “kesejahteraan suami istri dan penyaluran kehidupan” (KGK 2363).

      KGK 2363 Melalui persatuan suami isteri terlaksanalah tujuan ganda perkawinan: kesejahteraan suami isteri dan penyaluran kehidupan. Orang tidak dapat memisahkan kedua arti dan nilai perkawinan ini satu dari yang lain, tanpa merugikan kehidupan rohani pasangan suami isteri dan membahayakan kepentingan perkawinan dan masa depan keluarga. Dengan demikian cinta suami isteri antara pria dan wanita berada di bawah tuntutan ganda yakni kesetiaan dan kesuburan.

      Maka jika sejak awal pasangan memutuskan untuk tidak mau melahirkan anak, sesungguhnya itu tidak sesuai dengan maksud persatuan suami istri seperti yang dikehendaki oleh Tuhan. Lain halnya, jika secara medis kemudian diketahui bahwa pasangan tersebut tidak dapat melahirkan anak, sehingga mereka memutuskan adopsi. Namun jika tidak ada kelainan apapun, selayaknya pasangan terbuka terhadap kehendak Tuhan jika Ia berkehendak menyalurkan kehidupan baru melalui persatuan kasih di antara mereka. Jika di samping sikap ini, mereka tetap melakukan adopsi, tentu diperbolehkan, sebab tujuan/ makna persatuan suami istri tidak dilanggar.

      Silakan jika ingin merencanakan pembatasan jumlah anak, untuk alasan- alasan yang bertanggung jawab, agar pasangan menerapkan KB Alamiah, dengan metoda Creighton, yang cukup akurat, yang caranya dapat dibaca di sini, silakan klik.

      Demikian semoga berguna.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  17. syalom ibu inggrid, sy mau bertanya, sy sdh berkeluarga menika secara katolik di gereja katolik. bagaimana gereja memandang hubungan sex dg berfantasi dengan orang lain yang bukan pasangan resminya dengan perantara media elektronik (chatting,cybersex ) sampai mengalami orgasme/ejakulasi, apakah ini juga sudah disebut berzina, meskipun tanpa sentuhan fisik, berfantasi?

    terimaksih, salam dalam kasih kristus

    [Dari Katolisitas: silakan anda membaca artikel berikut ini terlebih dahulu, silakan klik, dan tanya jawab di bawahnya, semoga anda menemukan jawaban pertanyaan anda]

  18. Shalom Romo pembimbing / Ibu Ingrid,

    Mohon tanya, bagaimana dengan pasangan suami istri yang istrinya memiliki siklus haid tidak teratur? Saya memiliki siklus yang tidak teratur, 2-3 bulan sekali baru haid dan tanggalnya pun tidak bisa ditebak. Sementara kami berencana hanya ingin memiliki 2 orang anak saja supaya kami bisa bertanggung jawab secara ekonomi juga.

    Bagaimana saran Romo / Bu Ingrid?

    Terima kasih

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca tentang Metode Creighton, Metoda KB Alamiah yang cukup akurat, silakan klik di sini. Silakan mencoba untuk menerapkan metoda itu, karena metoda ini tidak mensyaratkan siklus haid yang teratur. Anda dapat mengamati siklus anda dengan cara ini, dan mengetahui masa kesuburan/ ketidaksuburan anda dengan cara ini].

  19. Dear Ibu Ingrid,
    Terima kasih atas tulisannya. Sya akhir-akhir ini membaca banyak berita tentang pernyataan Puas Benediktus XVI tentang pemakaian kondom, yang katanya Vatican sudah mulai fleksibel dengan pemakaian kondom. saya baca banyak berita di situs berita katolik indonesia tentang sambutan gegap gempita di berbagai negara misalnya filipina, korea, india. Indonesia sih belum ada kabar. bnerita terkahir yg sya dapat di link ini http://www.cathnewsindonesia.com/2010/11/26/umat-katolik-korea-sambut-baik-ide-paus/

    pertanyaan sya, apakah ini artinya vatikan stuju pemakaian kondom oleh suami-istri.

    terima kasih. yoseph

    • Shalom Yoseph,

      Berita yang dikemukakan dalam link tersebut merupakan salah satu dari berita- berita mass media yang menunjukkan kesalahpahaman akan perkataan Paus Benediktus XVI dalam buku Light of the World.

      Mengenai hal ini Vatikan telah menyatakan klarifikasinya, silakan klik, dan juga pembahasan tentang hal ini, silakan klik.

      Jadi Gereja Katolik tidak mengubah ajarannya. Pemakaian kondom untuk suami istri tetap tidak dibenarkan secara moral (lihat Humanae Vitae 14), karena mencegah prokreasi, dan tidak juga mengungkapkan persatuan (union) antara suami istri yang sesungguhnya, yang seharusnya yang melambangkan penyerahan diri yang total kepada pasangan. Padahal union dan procreation adalah dua tujuan hubungan seksual antara suami dan istri dalam perkawinan.

      Semoga dipahami.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  20. Syalom.

    Baru-baru ini Paus Benediktus XVI mengeluarkan pernyataan penggunaan kondom dibolehkan atas beberapa kasus untuk mencegah penyebaran AIDS.
    ketika seseorang menggunakan kondom, hal itu tidak dimaksud mencegah lahirnya kehidupan baru namun mencegah penyebaran penyakit
    http://health.kompas.com/read/2010/11/21/18322522/Paus.Benediktus.XVI.Kondom.Dibolehkan..

    Pernyataan tersebut adalah kasus-kasus tertentu dan merupakan celah yang menjadi alasan pemakaian kondom.
    Hal tersebut mengingatkan pada saya dalam Mat 19:8 Kata Yesus kepada mereka: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian”. Pernyataan dua hal yang berbeda namun sama dalam pengertian.

    Pada artikel yang disampaikan “kemurnian di dalam perkawinan” diatas, ajaran gereja pada dasarnya pemakaian kondom menolak adanya kemungkinan kelahiran anak dan sesungguhnya tidak sepenuhnya menggambarkan kesatuan suami istri serta tidak menggambarkan kasih Allah.

    Yang menjadi pertanyaan saya :
    1. Bagaimanakah hal tersebut dapat dilaksanakan (memakai kondom), khususnya kepada pasangan yang salah satunya mengidap penyakit AIDS ?. Karena masa inkubasi penyakit AIDS tertular beberapa tahun yang lalu dan baru diketahui serkarang.
    2. Pernyataan Paus tersebut apakah sebagai lampu hijau (memakai kondom), secara tidak langsung ditujukan kepada mereka yang senang dengan sek bebas?. Karerna sek bebas awal tertularnya penyakit tersebut.

    Demikian pertanyaan saya
    Dari :: Yulius Santoso.

    • Shalom Julius Santoso,
      Silakan membaca ulasan kami tentang wawancara Paus Benediktus XVI yang menyangkut soal kondom, di sini, silakan klik.
      1. Pernyataan Paus Benediktus XVI tersebut tidak merupakan pernyataan persetujuan akan pemakaian kondom. Maka untuk kasus pasangan suami istri yang salah satunya mengidap HIV, Gereja tetap menganjurkan pantang hubungan seksual dan kesetiaan dalam perkawinan. Saya pernah menjawabnya di sini, silakan klik.
      2. Maka tidak benar Paus memberikan lampu hijau untuk penggunaan kondom, apalagi menyetujui adanya seks bebas.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  21. Salam Monika,

    Saya setuju dengan penjelasan Inggrid. Penyangkalan diri memang mutlak dilakukan bila kita ingin menjadi murid X’tus. Kehendak Allah haruslah menjadi prioritas dalam hidup kita.

    Setiap orang harus berjuang untuk mampu melewati jalan yang sempit dan dapat masuk melalui pintu yang sesak itu.

    • Dear Bu Ingrid..

      Saya sangat tersentuh dengan artikel yang Ibu tulis..setiap kata membuat saya merasa begitu rendah dan hina, karena saya telah melakukan pelanggaran terhadap semua itu. Saya berdosa Ibu..karena telah mengkhianati Tuhan, saya tidak bisa keluar dari rasa bersalah saya. Keluarga saya dan masa depan saya sudah hancur..Suami saya tidak dapat memaafkan saya, Dia menceraikan saya secara sipil..kami telah menikah secara Katolik.

      Saat ini saya sudah mengakui segala dosa saya kepada suami saya dan kepada Tuhan..saya bertekad untuk meninggalkan kehidupan saya di masa lalu & kembali kepada Keluarga..tetapi sekarang keadaan kami sudah beda Bu…
      Saya hanya bisa kembali kepada Anak saya, karena suami saya sudah memutuskan untuk menikah lagi dengan teman kami sendiri..Dia melakukan proses hubungan itu di depan saya. Jujur Dia katakan, bahwa Dia melakukan itu atas dasar dendam..

      Saya mengalami pergumulan saat ini Ibu..disatu sisi, saya mengakui bahwa suami saya adalah yang terbaik, selama ini saya sudah salah dalam menilai Dia..itulah yang membuat saya untuk kembali kepada Keluarga. Tapi keadaan sudah berbeda, jadi saya memutuskan untuk tetap mencintai, mengasihi dan menghormati Dia sepanjang hidup saya..walaupun Dia sudah menceraikan saya, tetapi saya tetap menganggap Dia adalah suami saya, karena secara Gereja dia memang suami saya.

      Tetapi di sisi lain, saya tidak tau apakah saya bisa kuat, hidup tanpa Dia dan menyaksikan Dia bercumbu dengan teman saya didepan mata saya. Dia memang melakukan itu di depan saya, karena Dia sakit hati dengan saya.Dia sudah berkomitmen dengan wanita itu, bahwa wanita itu akan dia jadikan istrinya..

      Untuk informasi bahwa hingga saat ini kami masih serumah demi putra kami..apakah saya salah dengan sikap saya untuk tetap melayani Dia sebagai suami saya, karena dia sudh berkomitmen dengan wanita lain..
      Terus terang suami saya sangat mencintai keluarganya, itu yang membuat Dia saat ini sering bimbang dengan keputusannya..

      Mohon sekali tanggapan Ibu..terima kasih.

      • Shalom Antonia,

        Pertama- tama saya mohon maaf karena terlambat membalas pesan anda. Ya, mendengar kisah anda saya sungguh prihatin. Memang berat kenyataan yang anda hadapi, namun bersandarlah sepenuhnya kepada Tuhan Yesus. Jika memang benar suami anda melakukan semuanya ini hanya atas dasar dendam, semoga suatu saat ia menyadari bahwa pelampiasan dendam tidaklah menyelesaikan masalah. Saya mengasumsikan perkawinan anda dengannya adalah perkawinan Katolik yang sah, sehingga tidak terbatalkan, meskipun oleh perceraian sipil, dan meskipun suami anda telah menikah lagi. Jika demikian halnya, sebenarnya di hadapan Tuhan, anda tetaplah istrinya yang sah.

        Adalah sesuatu yang terdengar tidak lazim bagi saya, yaitu anda masih tinggal serumah dengan suami anda, apakah ini berarti teman anda yang menjadi ‘istrinya’ itu tinggal serumah juga dengan anda? Jika demikian, memang sungguh berat bagi anda, walaupun sebenarnya juga dapat menjadi kesempatan yang baik untuk menunjukkan pertobatan anda, kesetiaan dan kasih anda yang tulus kepadanya. Sebab, sebenarnya suami anda juga terbeban dengan keluarga dan masa depan anak anda, dan tidak ingin meninggalkannya.

        Maka saran saya, tekunlah berdoa dan berpuasa. Mohon ampun pada Tuhan atas segala kesalahan dan dosa anda di masa lalu (Sudahkah anda mengaku dosa dalam Sakramen Pengakuan Dosa? Jika belum, lakukanlah itu), dan selanjutnya mulailah kehidupan baru bersama Kristus. Yakinlah bahwa Kristus dapat bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi anda sekeluarga, jika anda sendiri terus menerus berada dalam keadaan tobat yang sejati, dan ketulusan hati dalam mengasihi suami dan anak- anak, dan di atas semua itu, mengasihi Tuhan. Mohonlah pertolongan Tuhan, agar Ia menyinari wajah anda, dan memimpin semua tutur kata dan sikap anda. Jangan menyerah dalam hal mengasihi, terutama karena ia tetaplah suami anda, yang kepadanya anda berjanji setia seumur hidup di hadapan Tuhan. Mohonlah kekuatan dari Tuhan untuk mengampuni suami dan teman anda itu, atas dasar andapun memerlukan pengampunan dari Tuhan: “Ampunilah kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami”.

        Akhirnya, Nia, janganlah berputus asa. Tetaplah berdoa, dan mulai dari sekarang, syukurilah apa yang anda miliki: anak, kesehatan, tempat tinggal, rejeki sehari- hari, dll, dan di atas semua itu karunia iman. Dan semoga dengan hati yang dipenuhi ucapan syukur anda dapat menghadapi hari- hari dengan sikap yang lebih positif, sehingga sikap anda terhadap suami dan anak anda juga dapat memancarkan kasih yang berasal dari Tuhan. Semoga, pada saat-Nya, suami dan anda dapat bersatu kembali, dan semoga teman anda yang menceraikan anda dengan suami anda dapat menyadari kekeliruannya, sebab biar bagaimanapun ikatan yang ada di hadapan Tuhan, adalah perkawinan anda dengan suami anda.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- katolisitas.org

        • Dear Ibu Ingrid,
          Terima kasih, apa yang Ibu sampaikan sungguh sangat menguatkan.
          Saat ini memang, penyerahan kepada Jesus melalui ikhtiar Doa dan Puasa yang Saya jalankan.
          Saya percaya Tuhan mengerti dan mengetahui bagaimana perasaan Saya saat ini.
          Betul yang Ibu sampaikan, bahwa ketulusan dan keikhlasan untuk hidup dalam pertobatan adalah salah satu jalan menuju kedamaian. Dan saya berharap apa yang saya lakukan di dalam nama Tuhan Jesus, akan berdampak kepada Suami saya (saat ini dia belum menikah Bu, tetapi Dia sudah merencanakannya)
          Ibu, saya percaya Kuasa Tuhan itu besar dan Dia yang berkuasa atas hidup saya & suami saya. Sehingga saya percaya bahwa Dia akan memberikan Damai Sejahtera kepada kami. Saya percaya Mujizat Tuhan itu selalu ada, walaupun dalam keadaan yang sudah tidak ada harapannya sekalipun, saya percaya Kasih Tuhan itu besar dan Dia akan menjadikan segala sesuatunya baik..

          • Syalom buat Katolisitas
            Terimakasih atas artikel ini, saya ingin curhat atas apa yang saat ini saya alami dalam rumah tangga saya. Sudah 16 tahun kami menikah menikah secara katolik kami berdua katolik sejak kecil. Istri saya dalam pergumulan hidupnya dari kecil yang menderita merasa bahwa Tuhan itu ada tetapi tidak dapat berbuat apa-apa atas penderitaan hidupnya akhirnya istri saya menjadi seorang agnostik, hal ini baru saya ketahui 5 tahun yg lalu saat dia mengaku telah selingkuh dan mengakuinya saat selingkuhannya sudah meninggal. dengan melalui banyak diskusi akhirnya saya dengan kasih memaafkan istri saya, tetapi banyak pertengkaran dan perselisihan yang terjadi karena salah paham dalam kata-kata maupun sikap yang menurut saya tidak menjadi masalah karena merupakan hal yang sepele, tetapi istri menyikapinya secara berlebihan, akhirnya setelah kelahiran anak ke-4 istri saya minta pisah ranjang tanpa saya tahu sebabnya, akhirnya setelah Paskah yang lalu setelah berkali-kali saya ajak komunikasi akhirnya istri mau diajak diskusi bersama seorang pastor kami bertiga diskusi, intinya adalah bahwa istri saya sejak awal pernikahan tidak cocok dengan keluarga besar saya karena dicap sombong,sehingga tidak bisa mencintai saya dan menemukan perasaan cinta yang sesuai harapannya dari laki2 lain dan memutuskan selingkuh selama 5 tahun,dan saat ini sudah 2 tahun sejak pisah ranjang selingkuh dengan pria lain, atas pengakuannya istri saya siap bila saya menceraikannya atau tetap seperti sekarang hidup serumah tanpa anak-anak tahu akan kondisi ayah ibunya tapi kita berdua hidup sendiri-sendiri. Pastor yang menjadi mediator kami berdua hanya bisa memberi nasehat dan berkat agar istri saya mau memaafkan masa lalunya dan kembali kepada ikatan perkawinan suci, tetapi dia tetap keukeuh pada pilihannya. Saya sungguh hancur lebur menghadapi sikap istri saya, walaupun saya kembali tetap mau memaafkan istri saya tetapi dia tetap tidak goyah dengan pilihannya. Walaupun demikian saya tetap percaya akan penyelenggaraan Ilahi akan memberikan berkat yang terbaik bagi keluarga kami. Mohon doa dari Tim Katolisitas agar istri saya dapat kembali kepada kasih karunia dan belas kerahiman Tuhan Yesus, Amin

            [dari Katolisitas: posting berikut ini digabungkan]

            Submitted on 2013/04/09 at 4:18 pm | In reply to Nia.

            Syalom katolisitas dan Bu Nia,
            Pengalaman Bu Nia mirip dengan saya, saya seorang suami dengan 4 anak, dari awal perkawinan kami timbul banyak kesalahpahaman dan pertengkaran karena sikap istri yang keras dan dari segi iman (karena pergumulan hidupnya dari kecil hingga hidup perkawinan kami)memahami bahwa Tuhan itu ada tetapi Dia tidak pernah ada dalam semua penderitaan hidupnya hingga dia memutuskan menjadi bersikap agnostik walau masih ke gereja tapi tidak mau menerima komuni. kehidupan perkawinan kami naik turun kadang baik/mesra kadang bertengkar sampai akhir nya istri saya selingkuh dan dia merasa mendapat soulmate yang sesuai dengan harapannya. tapi itu tidak berlangsung lama hingga pada akhirnya selingkuhannya meninggal, lalu 4 tahun setelah itu baru istri saya mengaku dengan jujur atas apa yang telah ia perbuat, saat itu hati saya hancur tetapi dengan komunikasi intensif saya menyadari saya juga andil dalam bencana tersebut. Saya memaafkan istri saya dan kami mencoba untuk memulai hidup baru perkawinan kami (5tahun yg lalu) tetapi berjalannya waktu itu masalah lagi karena kami berdua tidak bisa saling memahi kemauan masing-masing, akhirnya sejak dua tahun yg lalu kami pisah ranjang dalam satu rumah karena kami tidak tega dengan 4 anak kami yang masih kecil bila kami bercerai. Saya coba untuk mengajak istri saya untuk rekonsiliasi dan melibatkan Pastor untuk mediasi tetapi jalan itu sudah tertutup karena istri saya sudah memiliki laki-laki lain dalam hidupnya dan sudah tidak ada lagi perasaan apapun bahkan cinta sekalipun pada saya, Pastor kami juga sudah tidak dapat membantu lebih terakhir hanya memberi berkat supaya bila Tuhan berkenan campur tangan dan memberikan mujizat agar perkawinan kami dapat utuh kembali. Selama dua tahun ini saya tidak putus-putusnya berdoa baik dengan adorasi, rosario, novena, mengaku dosa dan ekaristi, memohon supaya Tuhan menyembuhkan luka batin istri saya, tetapi sampai saat saya menuliskan ini harapan saya belum terkabul. Maaf kadang saya juga sering tergoda dengan ungkapan istri saya di depan pastur, “kalau Tuhan ada mengapa Dia tidak menolong kita yang setia dan tekun dalam doa memohon pertolongannya”, yang membuat istri saya memutuskan menjadi agnostik/Katolik KTP. Walau begitu saya sampai saat ini saya tetap melambungkan harapan saya kepada Tuhan bahwa Dia tidak akan pernah diam suatu saat ada berkat Tuhan yang boleh terjadi indah pada waktunya karena belas kerahimanNYa saja, Amin

          • Shalom Satria,

            Kami ikut prihatin dengan pergumulan yang Anda alami dalam kehidupan perkawinan Anda. Dan jika saya boleh sekedar berbagi, pertama-tama saya merasa kagum atas ketabahan dan kesetiaan Anda kepada istri dan anak-anak. Di tengah suasana perkawinan yang guncang karena perselingkuhan istri, Anda tetap mengampuni dia dan masih terus mendoakannya dan menantikan dia kembali sepenuhnya pada Anda. Tentu kasih dan rahmat Tuhan Bapa di Surga yang selalu menjadi andalan utama Anda, telah mengaruniakan kekuatan yang luar biasa ini, syukur pada Tuhan. Anda telah melakukan bagian Anda dengan tetap mengampuni dan mendoakan dan juga berusaha untuk mengusahakan mediasi, sehingga tidak menambah berat persoalan. Semoga kesetiaan, pengampunan, dan harapan Anda menjadi penyembuh atas luka batin yang dialami istri Anda karena penderitaan hidupnya di masa lalu. Luka batin itu memang perlu untuk disembuhkan terlebih dahulu. Doa-doa Anda dan keteladanan Anda kiranya dipakai Tuhan untuk menyembuhkan luka hati yang dialami istri Anda. Semoga Tuhan membuka hatinya untuk melihat dan mengalami cinta Anda yang teruji, yang berakar dari cinta Anda kepada Tuhan. Kami berdoa agar Anda terus diberikan kekuatan untuk memberikan teladan kesetiaan dan pengampunan ini kepada keluarga, serta kiranya Tuhan membuka jalan supaya istri Anda menyadari cinta sejati Anda dan kembali kepada janji pernikahan berdua dalam sakramen perkawinan di hadapan Tuhan.

            Bagaimanapun juga, doa dan niat setia Anda yang tulus masih perlu terus didukung dengan upaya mediasi yang dapat membantu Anda mempertahankan perkawinan ini. Perjuangkanlah saat-saat yang masih bisa diupayakan untuk membangun kembali rasa percaya dan cinta di antara Anda berdua. Terutama jika Anda berdua masih tinggal serumah. Lanjutkanlah ketekunan Anda dalam mengusahakan komunikasi yang intensif dengan istri Anda, walau mungkin dengan cara yang baru. Usaha yang tetap proaktif menunjukkan bahwa Anda masih tetap menghargai keutuhan perkawinan dan mengusahakannya. Misalnya apakah setidak-tidaknya masih bisa diusahakan menikmati hiburan di akhir minggu sekeluarga? Paling tidak demi kegembiraan anak-anak, mungkin istri Anda bersedia. Pakailah waktu-waktu kebersamaan itu sebaik-baiknya. Misalnya membangkitkan kembali kenangan yang mendasari keputusan Anda berdua dulu untuk menikah. Kalau berbicara secara langsung belum memungkinkan, bisakah misalnya Anda mulai menyatakannya secara tertulis untuk disampaikan kepadanya? Uneg-uneg apa yang dirasakan satu sama lain yang kiranya bisa dicoba untuk diperbaiki, misalnya dengan merefer kepada pengalaman keberhasilan Anda berdua di waktu yang lalu dalam mengatasi konflik. Bila keluarga besar merupakan salah satu hal yang membuat istri tidak bahagia, dapatkah hal itu diluruskan misalnya dengan meminta bantuan keluarga besar untuk sesekali datang sebagai ungkapan kasih persahabatan atau melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama Anda sekeluarga.

            Mungkinkah merupakan ide yang baik untuk melibatkan anak-anak demi membuat suasana di rumah tetap hidup dan usaha-usaha Anda untuk menyadarkan kembali arti perkawinan Anda berdua kepada istri menjadi lebih efektif? Bukankah anak-anak sempat menjadi motivasi istri Anda untuk tetap tinggal bersama Anda dan memang selayaknya menjadi dasar yang kuat bagi Anda berdua untuk tetap bersama. Apabila ada anak yang dekat dengan istri Anda, Anda bisa mengajaknya memberikan kejutan yang menyenangkan bagi ibunya misalnya di hari ibu atau hari ulang tahunnya. Anak-anak sering mempunyai hikmatnya tersendiri di usianya yang masih belia dan bekerja sama dengan mereka secara kondusif bisa sangat meneguhkan kebersamaan dalam perkawinan. Saya turut berdoa bahwa melalui usaha dan kesabaran Anda, hati istri Anda sungguh terketuk dan diubahkan oleh Bapa di Surga. Akhirnya dalam rangka berusaha, Anda juga bisa berkonsultasi dengan konselor ahli dan tetap mohon bantuan doa dari Pastor untuk menguatkan perjuangan Anda. Selalulah menimba kekuatan dari Ekaristi dan Sakramen Tobat, dan juga baik jika sesekali mengiringi doa dengan berpuasa. Yakinlah Tuhan tidak pernah diam melihat kepedihan umat-Nya. Kita hanya kadang tidak mampu melihat bagaimana Dia bekerja dengan indah lewat berbagai peristiwa hidup, termasuk peristiwa yang sedih, untuk membentuk kita. Tetapi Dia adalah setia, dan Dia terus bekerja untuk kebaikan kita, apalagi bila kita terus mengandalkan Dia. Berilah kesempatan kepada Tuhan bekerja dan yakinlah bahwa tidak ada usaha baik yang sia-sia bila kasih setia Tuhan bersama Anda, Dia mendengarkan doa-doa Anda dan Dia pasti memberikan pertolongan yang terbaik pada waktuNya.

            Salam kasih dan doa dalam Kristus Tuhan
            Triastuti – katolisitas.org

          • Syalom Katolisitas,
            Terimakasih Bu Triastuti atas dukungan moral dan doa anda, sungguh saya sangat menghargainya karena itu menyentuh hati saya, saya percaya apa yang anda sampaikan salah satu jawaban dari Tuhan Yesus atas doa-doa saya. Baik saya akan tetap lakukan bagian saya dengan doa, matiraga dan apapun juga, hari ini adalah hari ke-9 saya melambungkan Novena kepada Bunda Maria disertai puasa, saya niatkan untuk berpuasa sampai 40 hari menjelang hari ultah saya bulan depan, semoga bagian yang lainnya Tuhan Yesus yang akan menyempurnakannya. Saya sungguh percaya bahwa Allah Bapa akan memberi yang terbaik bagi kami sekeluarga karena dia Allah Yang Maha Kasih dan Maha Rahim. Terimakasih GBU Katolisitas

      • Shalom ibu antonia,
        Saya kbtln pernah melihat kasus mirip (tdk 100% sama) spt ini pd keluarga teman, boleh saya ikut membagikan pendapat saya? Jika ada yg menyimpang dari ajaran gereja mohon ibu Inggrid bantu mengkoreksi. :
        1. Secara pribadi setiap kita masing2 punya relasi dan tanggung jawab transedental vertikal dgn Allah. Setiap kita akan mempertanggungjawabkan secra pribadi dosa2 kita. Suami ibu dgn alasan apapun tidak bisa melanggar hukum Allah, misalnya seorg istri berselingkuh, tdk membenarkan suami utk membalas dendam dgn main wanita lain. Saya salut ibu sdh bertobat dan kembali pada rel benar, yang sdg ibu alami sekarang mungkin fase “memanggul salib” yg MUNGKIN Tuhan mau ibu jalani, bertahanlah ibu agar tetap hidup kudus, tdk mau lagi jatuh dlm dosa. Suami bukan alasan yg berharga utk mengorbankan keselamatn jiwa kita nanti. Maaf kata ini agak keras tapi menurut saya saat ini ibu memrlukan pegangan prinsip iman yg keras dan orthodox. Dari tulisan ibu saya bersyukur tdk banyak membaca ungkapan kemarahan dan kutukan pd suami, mgkn ibu secara spiritual ibu sdh lebih pasrah menjalani salib.
        2. Suami ibu hrs mengatasi pergumulannya sendiri. Ia punya kebebasan memilih. Ibu tentu bisa membantu, bahkan wajib, tapi tdk bisa menjadi penentu atau prasyarat pertobatannya atau menjadi tumbal atas kesalahannya. Dlm cerita teman saya ia bahkan hidup hampir 20 thn dalam situasi gonta ganti istri. Hanya baru2 ini saat ia mengalami keterpurukan hidup dan konflik dgn anak2nya, baru ia mau mengerti dan mengubah jalan hidupnya, meskipun sekarang salib yg ia hrs panggul menjadi amat berat. Sesama pria dan suami saya mendoakan mudah2an suami ibu cukup bijak utk tidak menenpuh jalan skenario yg sama. Menurut saya rahmat Allah sdh tersedia setiap saat bagi keluarga ibu, tinggal siapa yg
        mau merespon, memilih yang benar, bukan yg mudah dan nyaman.
        Mudah2an pandangan saya ada yg bermanfaat.
        Antonius H

        • Dear Pak Antonius,
          Terima kasih atas sharing Bapak..saya sangat menghargainya.
          Memang betul saat ini kondisi saya sudah pada tingkat kepasrahan pada keadaan. Saya sudah tidak tau mau berbicara apa atau berbuat apa. Tapi dalam kepasrahan ini, saya memiliki harapan besar kepada Tuhan, karena semua sudah diluar batas kemampuan saya.
          Saya berdoa, semoga kejadian teman Bapak tidak terjadi kepada suami saya..tak putus-putusnya saya selalu berdoa untuk keselamatan keluarga kami.
          Sekali lagi terima kasih Pak, semoga Tuhan Jesus memberkati Bapak dan media komuniksi akan semakin luas menjamah setiap orang yang memerlukan pencerahan..

  22. Dear pak Stef dan bu Inggrid,

    Bagaimana dengan pasangan suami-istri yang salah satunya mengidap HIV? Tidak bolehkah melindungi pasangannya supaya tidak tertular dengan menggunakan kondom pada saat berhubungan intim? Menurut saya pribadi sie, untuk kasus ini tujuannya untuk mencegah penularan penyakit dan bukan menolak karya Allah dalm kehidupan suami-istri jadi boleh saja. Mohon pencerahannya.

    Terimakasih

    • Shalom Monika,

      Memang hal yang anda tanyakan tidak sederhana dan telah mengundang banyak perdebatan. Namun kami di Katolisitas tidak dapat memberikan ulasan yang berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemimpin Magisterium Gereja Katolik, dalam hal ini adalah Bapa Paus Benediktus XVI. Paus Benediktus XVI tidak dapat menyatakan pengajaran yang berbeda dari apa yang telah ditetapkan oleh pendahulunya yaitu Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya Humanae Vitae, yang konsisten dengan ajaran Tradisi Suci, yaitu: menolak penggunaan alat kontrasepsi dalam kondisi apapun.

      Pada tahun 2005 dan Maret 2009, Paus Benediktus XVI membuat suatu pernyataan kepada media massa bahwa cara untuk memerangi penyebaran HIV adalah menjaga kemurnian (chastity), kesetiaan kepada pasangan dan usaha- usaha memerangi kemiskinan. Namun ia menolak penggunaan kondom. Pesan ini hampir sama dengan ajaran yang disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada saat kunjungannya ke Afrika pada bulan September 1990.

      Berikut ini adalah kutipan perkataan Paus Benediktus XVI (Maret 2009):

      “Jika tidak ada dimensi manusia, jika orang- orang Afrika tidak menolong diri mereka [dengan tingkah laku yang bertanggung jawab], maka masalah tidak dapat diatasi dengan pembagian kondom (prophylactics): sebaliknya, hal itu malah meningkatkannya [penyebaran HIV]….. Solusi harus mempunyai dua elemen: pertama, memperhatikan dimensi manusia dalam seksualitas, yaitu pembaharuan rohani dan menusiawi yang dapat mengakibatkan cara yang baru dalam bersikap terhadap orang lain, dan kedua, persahabatan sejati yang dilakukan pertama- tama kepada mereka yang menderita, keinginan untuk berkorban dan untuk melakukan penyangkalan diri, untuk berada bersama- sama dengan yang menderita.” (Paus Benediktus, dalam wawancara 17 Maret 2009)

      Pernyataan ini mengundang reaksi keras dari banyak pihak, seperti para aktivis AIDS, dan para pemimpin pemerintahan di dunia, yang mempromosikan penggunaan kondom terutama untuk negara- negara di Afrika. Walaupun demikian, harus diakui bahwa Paus juga berbicara bukannya tanpa dasar. Grafik menyatakan kenaikan yang hampir paralel antara jumlah kondom yang didistribusikan dan kenaikan penyebaran HIV/AIDS dari tahun 1984- 2003 oleh USAID, dalam majalah Population Research Institute Review, (May- June 2003) h. 10, data diperoleh dari penelitian the Harvard School of Public Health, UNAIDS dan the Kaiser Family Foundation.

      Seorang peneliti independen yang beraliran liberal, dari the Harvard School of Public Health, Mr. Edward C. Green, menuliskan artikel berjudul, “The Pope May Be Right“, di mana ia mengatakan, “….. secara teoritis, promosi kondom harusnya berhasil di mana- mana…. [tetapi] bukan itu yang diperlihatkan pada penelitian di Afrika…..” Strategi yang berhasil di Afrika adalah “strategi- strategi yang menghentikan banyaknya jaringan seksual yang terjadi bersama- sama — atau, dalam bahasa sederhana, monogami yang setia timbal balik, atau setidaknya pengurangan jumlah pasangan (pasangan) terutama yang berlangsung bersama- sama.” (Washington Post, Edward Green, “The Pope may be right.” 29 Maret 2009)

      Menarik juga untuk disimak adalah pernyataan dari Kardinal Alfonso Trujillo, head the Pontifical Council for the Family yang mengatakan, “Dalam kasus virus AIDS, yang ukurannya 450 kali lebih kecil dari sel sperma, maka bahan kondom latex kelihatannya memberikan tingkat keamanan yang tidak banyak…. untuk mengatakan bahwa kondom sebagai ‘seks yang aman’ adalah seperti bentuk permainan judi roullete Rusia.” Selanjutnya Kardinal Trujillo menuliskan refleksi tentang topik nilai- nilai keluarga vs ‘safe sex‘ di link ini, silakan klik, Silakan membaca di sana mengapa kondom tidak dapat dikatakan ‘aman’/ dijamin tidak menularkan HIV. Yang secara obyektif dapat terjadi adalah fakta bahwa pemakaian kondom dapat mengurangi tingkat penularan HIV tetapi bukan meniadakan penularan. Namun karena pemakaian kondom secara mendasar adalah salah (‘intrinsically evil‘- seperti disebutkan dalam Humanae Vitae 14) maka apapun kondisinya, tetap dilarang oleh Gereja Katolik.

      Melihat hal ini, Gereja kembali mengingatkan bahwa cara yang paling efektif untuk memerangi HIV adalah dengan menerapkan abstinence/ pantang hubungan seks dan kesetiaan dalam perkawinan.

      Kami di Katolisitas tidak dapat mengatakan hal yang berlainan dengan apa yang telah disampaikan oleh Magisterium Gereja Katolik. Walaupun kemungkinan besar anda tidak menyetujuinya, namun kami tidak dapat mengubahnya. Adalah suatu permenungan yang mendalam bagi pasangan yang salah satunya mengidap HIV. Mengapa hal itu sampai terjadi? Apakah itu disebabkan karena ada dosa seksual sebelumnya dari pasangan yang terkena HIV? Sudahkah ia bertobat? Walaupun sulit dan mungkin sekilas terlihat mustahil, namun jalan pantang/ abstinence tetap harus dicoba. Hal ini menjadi bentuk penyangkalan diri (lih. Mat 16:24), ungkapan tobat dan suatu masa pemurnian kasih, baik kepada Allah maupun kepada pasangan (dan anak- anak, jika sudah mempunyai anak-anak). Betapapun sulitnya, namun dengan mengandalkan kekuatan yang dari Tuhan, maka tiada sesuatupun yang mustahil.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Shalom Ibu Ingrid…

        Saya baca di Jawa Pos terbitan hari minggu tgl 21 Nopember 2010 disitu ada berita bahwa Paus Benedictus XVI menyetujui penggunaan kondom untuk kasus-kasus tertentu. Menyambung dari pertanyaan sdri Monica di atas maka pertanyaan saya adalah :

        1. Benarkah berita yang diditulis di Jawa Pos tersebut?
        2. Jika benar yang dimaksud kasus-kasus tertentu itu apa saja? Apakah dalam kasus yang ditanyakan sdri Monica tersebut termasuk dalam kasus tertentu?

        Terimakasih dan TUHAN memberkati.

        Salam Damai Kristus

        Bernardus Aan

        • Shalom Bernardus Aan,
          Tentang ulasan topik wawancara Paus Benediktus yang menyangkut soal kondom, telah dibahas di sini, silakan klik.
          Agaknya terlalu tergesa- gesa untuk mengatakan bahwa Paus menyetujui penggunaan kondom untuk kasus- kasus tertentu. Karena pada wawancara itu Paus tidak mengatakan bahwa Gereja menyetujui akan adanya penggunaan kondom untuk mengurangi kasus penularan HIV. Tetapi yang dikatakan anda pengakuan Paus bahwa pada kasus tertentu, seperti pada kasus pemakaian kondom oleh pelacur pria (homoseksual) merupakan suatu langkah awal untuk kesadaran tanggungjawab moral untuk tidak mencelakai orang lain. Kesadaran ini dapat mengarah kepada kesadaran yang lebih besar, yaitu untuk hidup sesuai dengan seksualitas yang sesuai dengan kodrat manusia, yaitu antara seorang pria dan seorang wanita.

          Jadi, sebenarnya tidak ada perubahan ajaran Gereja Katolik dalam hal kondom ini. Jika sampai ada perubahan, tentunya Vatikan akan memberikan penjelasan resmi secara tertulis.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

Comments are closed.