Metode Pelayanan Bagi Penderita Sakit Terminal (Pelayanan/Perawatan Palliative)
Selama menjadi pastor di Keuskupan Agung Jakarta, saya mempunyai banyak pengalaman dalam mendampingi umat yang sakit terminal dan para kerabat yang merawatnya. Baik orang yang sakit dan kerabatnya itu sama-sama mengalami keletihan jiwa. Banyak orang sakit itu mengalami kegelisahan, kemarahan, dan ketakutan menjelang ajalnya. Keadaan itu membuat kelelahan di jiwanya. Banyak di antara mereka akhirnya sulit meninggal dan meninggal tidak dalam keadaan damai. Kegelisahan itu bisa disebabkan oleh dosa-dosa di masa lampau. Dosa-dosa itu membuat mereka merasa bahwa penyakitnya itu merupakan hukuman atau kutukan. Kemarahan mereka bisa disebabkan oleh kebencian dan kekecewaan, terutama terhadap pasangannya. Saya mempunyai pengalaman ketika mengunjungi seorang ibu yang sakit. Ketika suaminya datang, ia menunjuk muka suaminya itu sambil berteriak “Aku benci loe“. Setelah mengatakan hal itu, ibu itu meninggal dengan bibir menahan marah. Ketakutan bisa disebabkan oleh kekuatiran terhadap kehidupan orang-orang yang dicintainya setelah kepergiannya. Ketakutan itu bisa juga disebabkan oleh kekuatiran akan kehilangan cinta dari orang-orang yang dikasihinya, terutama terhadap pasangannya. Pada suatu hari saya mendampingi seorang bapak yang sudah terbaring selama tiga tahun. Menurut perhitungan medis, ia seharusnya sudah meninggal dunia. Jiwa istrinya itu mengalami kelelahan karena terus disalahkan dalam merawatnya. Dengan lembut saya berbisik kepada bapak itu: “Pak, apa yang bapak takuti?” Jawabannya di luar dugaan saya: “Saya takut istriku menikah lagi”. Ketakutannya itu diungkapkan di hadapan istrinya. Istrinya itu langsung memeluk lehernya sambil menangis: “Ko, aku tidak akan menikah lagi. Aku akan membesarkan anak-anak kita sendirian”. Mendengar kata-kata istrinya itu, bapak itu mengangguk dan meninggal dengan tenang dalam pelukan istrinya.
Dari pengalaman tersebut, saya yakin bahwa kekuatan cinta memulihkan keletihan jiwa si sakit dan kerabatnya. Karena besarnya kekuatan cinta dalam derita jiwa, saya berusaha menghadirkan Allah yang Maharahim. Di sini saya menyadari betapa pentingnya pengakuan dosa. Pengakuan dosa yang bukan hanya formalitas, tetapi sungguh-sungguh menjadi pendampingan sampai si sakit merasakan kasih Allah, yang mengampuninya, yang menerima dia seburuk apapun kehidupannya, dan yang menjaga orang-orang yang dicintainya. Setelah pengakuan dosa, saya meminta orang-orang yang berada di sekitarnya untuk membuat tanda salib di dahinya sambil mengucapkan kata-kata “Maafkan aku. Aku mencintaimu….”. Saya mengiringinya dengan menyanyikan lagu-lagu syahdu. Si sakit dan orang-orang di sekitarnya menangis. Tangisan haru itu terjadi karena hatiya dipenuhi dengan cinta. Si sakit pun mengalami ketenangan jiwa dan meninggal dengan damai karena diiringi dengan cinta. Cinta yang ada dalam dirinya dengan sendirinya juga memulihkan jiwa kerabatnya dari keletihan. Semua pengorbanan terasa tidak sia-sia. Cinta telah mengalahkan kekecewaan. Ada sebuah pengalaman. Setelah memberikan Sakramen Pengampunan Dosa dan Sakramen Perminyakan Suci kepada seorang ibu yang menderita sakit terminal, ia ingin bertemu dengan suaminya. Suaminya itu telah meninggalkan keluarganya sejak anak-anaknya masih kecil dan hidup dengan perempuan lain. Ketika suaminya itu datang, saya pikir ibu itu akan memakinya. Dugaan saya salah. Ibu itu justru mencium tangan suaminya: “Engkau mempunyai perempuan lain karena kesalahan saya sebagai istri. Maafkan aku”. Mereka pun menangis haru.
Cinta yang memulihkan itu terus dialami oleh anggota keluarga yang dtinggalkannya. Pengalaman dukacita terolah menjadi kenangan manis yang meneguhkan keluarga. Pengalaman itu memberikan kekuatan untuk melanjutkan kehidupan sepeninggal orang yang dicintainya. Pendamping si sakit itu pun pasti dianggap sebagai bagian keluarganya yang menguatkan seperti yang saya alami: “Romo, terimakasih sudah menjadi kekuatan bagi keluarga kami”.
Kekuatan cinta sungguh luar biasa bagi jiwa. Cinta membuat hidup menjadi lebih hidup. Cinta membuat si lemah menjadi kuat. Kekuatan cinta menggungah harapan dan menguatkan jiwa. Ketika cinta telah membelenggu jiwa, hidup terasa indah.
Kekuatan cinta dalam pemulihan bagi jiwa yang letih ini ternyata terangkum dalam metode pelayanan/perawatan Palliativ. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan bahwa pelayanan paliatif berpijak pada pola dasar berikut ini:
1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang normal.
2. Tidak mempercepat atau menunda kematian.
3. Menghilangan nyeri dan keluhan yang menganggu.
4. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.
5. Berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya.
6. Berusaha membantu dalam mengatasi dukacita pada keluarga.
Dari keenam pola itu, terangkumlan tujuan dari pelayanan paliatif, yaitu mengurangi penderitaan pasien, meningkatkan kualitas hidupnya, tidak stress menghadapi penyakit yang dideritanya, dan memberikan dukungan kepada keluarganya.
Metode pelayanan paliatif ini sangat baik kalau dijalankan oleh para pelayan Gereja, seperti para imam, para suster, para prodiakon, legioner, komunitas peregrinus (Komunitas Para Penderita Kanker), karismatik, dan siapa saja, terutama yang sedang merawat anggota keluarganya dan teman-temannya yang sakit. PDPKK Santo Lukas (Para Medis) Jakarta menawarkan metode pelayanan paliatif ini dalam Kebangunan Rohani Katolik (KRK) pada tanggal 14 Mei 2016. Semoga dengan pelayanan paliatif ini, sukacita Injili, yaitu membangun Kerajaan Allah yang Maharahim (Ardas KAJ 2016-2020), terlaksana: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Matius 11:28).
Tuhan Memberkati
Oleh Pst Felix Supranto, SS.CC