“Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!”
(1 Kor 11: 24b)
Suatu hari saya mendapat kartu undangan pernikahan seorang kerabat. Undangan itu hadir dalam warna dan format yang menawan, berhias ornamen mengesankan. Karena si pengundang adalah kerabat dekat, saya segera bersiap untuk meluangkan waktu, merencanakan buah tangan/hadiah yang sesuai, dan memikirkan pakaian pesta yang terbaik untuk dikenakan.
Demikian juga saya melihat Ekaristi sebagai sebuah kartu undangan berhias pita emas yang diletakkan di meja saya setiap hari, dan setiap Minggu. Hanya bedanya, undangan itu dari Yang Mempunyai Hidup, lebih dari sekedar kerabat dekat. Dan seperti halnya saya membayangkan betapa senangnya “yang punya acara” jika saya hadir dengan sepenuh hati untuk memenuhi undangannya, saya sedih kalau membayangkan saya mengabaikan begitu saja undangan Tuhan melalui Gereja-Nya, atau hadir dengan persiapan ala kadarnya, seperti yang masih sering saya lakukan.
Undangan Tuhan dalam perayaan Ekaristi merupakan wujud cinta dan kerinduan-Nya supaya saya bisa merasakan hadirat-Nya secara lebih khusus, supaya Ia bisa bersama-sama saya secara spesial. Pikir saya, Tuhan yang mestinya sibuk luar biasa dengan berbagai keperluan alam semesta, ternyata selalu punya waktu yang khusus untuk saya, hadir secara nyata dalam perayaan Ekaristi, buat saya. Sayangnya, saya yang manusia ciptaan ini kadang justru merasa sok sibuk, tidak punya waktu, kadang memutuskan melakukan kegiatan-kegiatan lain di hari Minggu, hari yang sebenarnya dimaksudkan Tuhan supaya saya berjumpa dengan-Nya, mengucap terima kasih atas karunia hidup yang diberikan Dia, Sang Empunya Waktu itu sendiri. Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatNya itu (Kej 2: 3). Waktu bukan milik saya, Ada Pihak yang menciptakan dan memberikannya kepada saya, walau karena cinta-Nya, Ia membebaskan saya memakainya sekehendak hati saya.
Beberapa kenalan dan saudara saya sudah lama berhenti merayakan Misa di gereja, karena merasa kering, merasa tidak menemukan apa-apa di sana, merasa semua itu tidak mengubah apa-apa dalam hidupnya. Mereka memutuskan bahwa merasa mencintai dan menghormati Yesus, hidup baik, tidak menyakiti sesama, beramal, itu saja sudah cukup. Tidak perlu merayakan Misa di gereja dan berjumpa saudara-saudara seiman untuk bersekutu memuji Tuhan. Tidak ada pengaruhnya. Saya hanya manggut-manggut dalam hati, oh, ….merasa kering dan tidak menemukan apa-apa. Ya, dulu saya pun merasa demikian.
Walau sudah menjadi Katolik sejak bayi, tidak dalam sekejap mata pengalaman saya merayakan Ekaristi bertumbuh dari sekedar kewajiban, menjadi suatu kerinduan yang menumbuhkan iman. Perkenalan pertama saya dengan Ekaristi adalah melalui rutinitas hari Minggu di masa kecil, di mana saya hadir di gereja karena disuruh oleh orangtua, dan bersama dengan mereka. Ketika menginjak usia remaja dan dewasa awal, ada perkembangan sedikit, tidak banyak, di mana saya mengikutinya lebih karena sekedar kepatuhan kepada agama saya. Semua motivasi awal itu belum membuat saya menghayati makna terdalam dari Perayaan Ekaristi dan mengalaminya sebagai sumber kehidupan saya sebagai pengikut Kristus. Tetapi motivasi awal karena kebiasaan keluarga dan sekedar kepatuhan itu dipakai Tuhan untuk menuntun saya perlahan-lahan, sehingga akhirnya saya mengalami keindahan Ekaristi sebagaimana Tuhan menginginkan saya mengalaminya.
Bagaikan seuntai kalung yang indah yang disusun dari butir demi butir manik-manik tunggal yang membentuknya, pengalaman merayakan Ekaristi karena kewajiban itu teruntai perlahan-lahan, menjadi sebuah untaian penuh makna di mana Tuhan Yesus membimbing saya merangkai semua pengalaman saya bersama-Nya menjadi pengalaman yang menumbuhkan iman dan kasih saya kepada-Nya. Sampai akhirnya saya menemukan bahwa kehadiran saya di gereja bersama umat beriman mengenangkan kurban kasih-Nya adalah jawaban bagi sebuah kerinduan yang mengisi hati.
Salah seorang kakak saya menemukan dalam permenungannya, bahwa hadir dalam Misa adalah all about HIM, it’s not about me. Seperti halnya ketika saya datang memenuhi undangan pesta pernikahan atau ulang tahun sahabat, semua itu adalah mengenai yang punya acara, bukan mengenai saya. Fokus perhatian, kasih, atensi kita, diberikan demi kepentingan yang mengundang, bukan kepentingan saya yang diundang. Yang mengundang pasti juga telah menyiapkan penyambutan dan hidangan yang terbaik. Ketika saya berfokus pada apa yang saya inginkan, saya merasa kering dan tidak menemukan apapun. Ketika saya berfokus pada Tuhan yang ingin saya sembah dan puji, saya merasakan kerelaan dan kegembiraan. Semakin saya aktif mencari apa yang diinginkan Tuhan dalam Ekaristi, semakin Ia membiarkan diri-Nya ditemukan.
Sekalipun merayakan Misa setiap Minggu atau setiap hari sekilas nampak sebagai sebuah rutinitas belaka, sesungguhnya perayaan Ekaristi adalah suatu sarana yang Tuhan berikan supaya saya bisa selalu berada dalam perlindungan kerahiman-Nya, untuk memastikan bahwa anak-anak-Nya tidak kekurangan rahmat-Nya yang Maha Memelihara. Di sana, Ia bahkan memberikan Diri-Nya secara nyata dalam Tubuh dan Darah-Nya supaya Ia bersatu sepenuhnya dengan kita dan memastikan kita tetap aman bersama-Nya, walau kita sedang dalam berbagai tantangan hidup dan aneka pencobaan yang tak hentinya kita alami dalam kehidupan ini. Aktif mencari dan tidak pasif menunggu sampai kita menemukan sesuatu, membuat undangan Tuhan dalam Ekaristi mencapai sasarannya, karena reaksinya dua arah, timbal balik. Cinta Tuhan yang tanpa pamrih dan selalu mengampuni, kubalas dengan sembah dan puji yang menyenangkan hati-Nya. Ekaristi adalah sebuah ungkapan penuh kesungguhan dan keindahan untuk mengucapkan syukur atas kurban salib-Nya yang memberiku hidup yang penuh makna, yaitu hidup yang bermakna kasih dan pengurbanan.
Ekaristi mengubah cara saya memandang hidup dan menjalani hidup. Saya hampir tidak menyadari prosesnya, tetapi menyadari buahnya. Ketika Allah yang Maha Tak Terbatas dan Tak Terselami merendahkan diri-Nya begitu bersahaja dalam rupa roti dan anggur supaya Darah-Nya menjadi satu dengan darah saya, dan Tubuh-Nya menyatu dengan tubuh saya, perlahan-lahan dan dengan lembut, hati saya diubahkan, keinginan-keinginan duniawi saya dimurnikan menjadi selaras dengan keinginan untuk menemukan hidup yang sejati di dalam Dia. Saya mulai merasakan kerinduan akan kekekalan bersama Tuhan, walaupun saya masih menjalani hidup badaniah di dunia yang fana, dan masih dibanjiri dengan berbagai persoalan, kepedihan, kekecewaan, maupun urusan dan tawaran dunia yang serba menyenangkan namun sementara.
Inilah mutiara-mutiara Ekaristi, sebuah pesta penebusan Tuhan bagiku, puncak hidupku sebagai seorang Kristiani. Ekaristi mengajar saya untuk:
Terus menerus “in tune” (sinkron) dengan Allah dan menyelaraskan diri dengan apa yang menjadi kehendak-Nya dalam hidupku.
Mengucap syukur secara khusus dan indah sambil mengenangkan dengan istimewa kurban kasih Kristus bagi hidupku.
Belajar diam dan mendengarkan, karena sehari-hari saya sudah terlalu banyak bicara.
Mengenali bagaimana Tuhan berbicara kepada manusia melalui bacaan Firman-Nya, dan menjadi semakin mengenal jalan-jalan-Nya.
Menguji diri sendiriku apakah aku sungguh mencintai Tuhan dan rela menyisihkan semua urusan duniaku untuk sungguh-sungguh meluangkan waktuku bersama Dia, dan hanya buat Dia.
Menambah rasa cinta kepada Tuhan Yesus dan memperkuat rasa engganku untuk berbuat dosa, karena takut melukai hati-Nya yang lemah lembut dan sabar luar biasa.
Mengenali Tuhan yang selalu bisa diandalkan, melalui anak-anak Tuhan yang selalu Ia siapkan untuk menyelenggarakan Misa, setiap hari, dengan tata perayaan yang selalu konsisten dan sama, di manapun aku berada, di desa, kota, atau negara yang berbeda di berbagai belahan bumi ini.
Menyadari bahwa Tuhan adalah inti dan tujuan hidupku, menyadari kerinduanku yang terdalam, untuk berada di hadirat kebijaksanaan-Nya yang kudus.
Berada bersama-Nya, di hadirat-Nya, adalah sebuah pengalaman surgawi di dunia, memberi secercah “sampel” dari pengalaman yang akan kualami sepenuhnya di dalam kekekalan nanti.
Mengalami secara nyata apa yang dinyatakan dalam Mazmur 34:9, “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan !”
Menyadari lagi bahwa hidup adalah suatu perayaan, suatu karunia yang indah, dan Ekaristi mengingatkanku akan hadiah istimewa yang bernama hidup.
Membuatku belajar untuk tidak cepat mengadili situasi yang buruk dan sesama yang bersalah.
Merenungkan bahwa di tengah berita tentang kematian yang selalu kudengar di sekitarku, Ekaristi menyemangatiku bahwa hidup tidak berakhir dengan kematian, tapi ada kelanjutannya, dan justru itulah saat dimulainya kehidupan yang kekal bersama Tuhan.
Mengingatkanku bahwa penderitaan, kepahitan, penolakan, adalah bukanlah kekalahan, karena bersama Kristus yang mengalah kepada penderitaan, aku memenangkan peperangan melawan ego. Penderitaan bukan akhir segalanya.
Membawa tanda sengsara Kristus dan keteladanan Kristus di dalam diriku, melalui Ekaristi, sehingga hidup Kristus terus menerus dinyatakan dalam hidupku.
Lapar dan hausku disegarkan secara rohani.
Mengingatkanku di tengah berbagai urusan dunia, bahwa ” what life is all about”, apa sesungguhnya hidup itu, yaitu suatu perjalanan pulang kepada Bapa.
Mengalami bahwa bukan aku yang mencari Bapa, tetapi Bapalah yang mencariku, setelah aku kelelahan mencari kedamaian dan capai bergumul dengan berbagai persoalan hidup.
Merasakan cinta Tuhan, yang mendorongku mencintai Tuhan yang tak kelihatan di dalam diri sesamaku yang kelihatan.
Menyadari pengurbanan Kristus mengatasi semua kerapuhan dan keraguanku, cinta-Nya mengatasi segala ketakutan dan keterbatasanku.
Mengerti bahwa berkurban itu indah, bukan kalah. Ekaristi memberi makna baru pada pengurbanan dan penderitaan manusia.
Mengajakku memikirkan hal-hal yang di atas, dan bukan yang fana semata di dunia ini.
Mengalami persekutuan dengan sesama umat beriman, sebuah persekutuan roh untuk menimba sukacita dan semangat dalam mengikuti jejak teladan Kristus. Aku diajak sehati sepikir bersama sesama umat beriman untuk membuat imanku kepada Kristus hidup dan berbuah.
Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala hal; dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan, sesuai dengan kesaksian tentang Kristus, yang telah diteguhkan di antara kamu (1 Kor 1 : 5-6)
Doa: Terima kasih Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus, atas keindahan Ekaristi dan kurban cinta Tuhan kami Yesus Kristus, yang membuat hidupku disegarkan dan diteguhkan secara nyata. Ajarilah diriku menghargai dan mensyukurinya dengan segenap hidup dan hatiku. Ampunilah aku bila aku belum menghargai Ekaristi dengan pantas dan belum mengusahakan persiapan yang terbaik untuk berjumpa denganMu di dalam Ekaristi Kudus. Dengan kerendahan hati, kuserahkan juga kepadaMu saudara-saudara dan sahabatku yang tidak lagi mempunyai gairah untuk hadir dalam perayaan Ekaristi bersama umat seiman, atau memilih melakukan kegiatan lain di hari Minggu. Sudilah Engkau melawati mereka dan menyentuh hati mereka, agar mereka kembali menyadari keindahan undangan peringatan kurban kudusMu di kayu salib, kurban yang telah menebus hidup kami dan mengisinya dengan rahmatMu yang berlimpah. Ajarilah diriku yang tak pantas ini untuk ikut memberikan teladan hidup kasih dan pengurbananMu yang indah kepada mereka. Hingga kelak kami semua layak memasuki Pesta Abadi dalam KerajaanMu yang tak berkesudahan. Semua ini kami mohon dalam nama Yesus Kristus Tuhan dan Juruselamat kami, Amin. (Triastuti)
Selamat sore Pengasuh Katolisitas, Terima kasih atas artikel di atas dan doa penutup yang indah. Saya juga ada doa favorit (selain Jiwa Kristus dari Puji Syukur 212); lembar doa komuni ini bisa dibeli di toko rohani OBOR, Jakarta Pusat. Demikian kutipannya: DOA KOMUNI Tuhanku dan Penyelamatku, Yesus Kristus, Berkat cinta-Mu kepada kami, Engkau hadir siang dan malam dalam Sakramen Mahakudus. Semua orang yang datang menyambut-Mu di sini, telah Kaunantikan dengan penuh cinta. Aku percaya bahwa Engkau sungguh hadir dalam rupa roti dan anggur, memberikan diri-Mu sendiri sebagai santapan pemuas jiwa-ragaku. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku bersyukur atas kesempatan yang… Read more »
Salam Fransiskus,
Dalam artikel berbahasa Inggris tersebut sudah jelas, bahwa itu bukan ritus resmi yang baru. Itu hanya cara lain bagi kelompok khusus untuk menghayati ritus yang resmi.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Bu … terimakasih … mungkin sekarang saya bisa mengerti arti dari “sehati dan sepikiran” Dulu saya pikir mengasihi seseorang adalah dengan mengorban-kan nyawa supaya ia dapat hidup (kalo gombal ke cewe kan biasa ngomong:”saya akan mengorbankan nyawa saya demi kamu”), sekarang menurut saya mengasihi seseorang adalah memperkenalkan mereka dengan Ekaristi, mempertemukan mereka dengan Yesus sendiri, walaupun saya harus menderita bahkan kehilangan nyawa …. Ketika seseorang mau merendahkan diri, dan membuka pintu hati nya sedikit saja terhadap Ekaristi, ia bagaikan setetes air yg jatuh di tengah samudra cinta (mengutip dari kata-2 St.Yohanes Vianney)… inilah yg memberikan kehidupan yg sejati … Pax… Read more »
Salam Damai untuk tim Katolisitas.org
Saya mau tanya tata cara perayaan Ekaristi yang resmi apa saja? Soalnya saya baru baca ini:
rorate-caeli.blogspot.com/2012/01/neocatechumenal-rite-approved.html?m=1
Trimakasih.