St. Thomas menjelaskan tentang kehadiran Tuhan di mana-mana (the omnipresence of God), yaitu bahwa Tuhan ada di dalam semua ciptaan-Nya sebagai Penyebab dari keberadaan mereka (lih. Summa Theology, I, q.8, a.1). Jika Tuhan tidak hadir di dalamku sebagai Penyebab keberadaanku yang Dia pertahankan dan pelihara setiap waktu, maka aku akan tenggelam dalam ketiadaan, sebab keberadaanku bukan milik hakekatku, tetapi sebagai sesuatu yang diterima [dari Sang Pencipta].

Demikianlah yang ditulis oleh St. Thomas Aquinas:

… Sesuatu ada di mana ia bekerja. Sedangkan Tuhan bekerja di dalam segala sesuatu, menurut Yes 26:12, “Ya Tuhan, … sebab segala sesuatu yang kami kerjakan, Engkaulah yang melakukannya bagi kami.” Oleh karena itu Tuhan ada di dalam segala sesuatu.

Aku menjawab bahwa, Tuhan ada di dalam segala sesuatu; memang tidak sebagai bagian dari hakekat segala sesuatu itu, tidak juga sebagai bagian dari ciri-ciri mereka, tetapi sebagai Penyebab yang hadir pada tempat di mana Ia berkarya…Nah karena Tuhan adalah Diri-Nya sendiri dalam hakekat-Nya, maka mahluk ciptaan adalah akibat langsung dari-Nya, sebagaimana bernyala adalah akibat langsung dari api. Tuhan menyebabkan akibat ini, sebagaimana terang disebabkan di dalam udara oleh matahari, sepanjang udara tetap diterangi. Maka, sepanjang sesuatu itu ada, Tuhan harus ada di dalamnya, menurut cara ketentuan keberadaan. Keberadaan (being) adalah sesuatu yang ada di tempat yang paling dalam di dalam segala sesuatu, dan secara paling mendasar tak terpisahkan dari segala sesuatu itu…. Oleh karena itu, Tuhan ada di dalam segala sesuatu, dan di tempat yang paling dalam.

… Tuhan ada di atas segala sesuatu oleh keistimewaan kodrat-Nya; namun demikian, Ia berada di dalam segala sesuatu sebagai penyebab keberadaan segala sesuatu; seperti telah disebutkan di atas. (Summa Theology, I, q.8, a.1)

Dan seperti Tuhan hadir di dalam segala sesuatu dan memberikan keberadaan mereka, Ia hadir di semua tempat, memberikan keberadaan kepada segala sesuatu yang mengisi tempat itu.

St. Thomas Aquinas juga mengajarkan bahwa kehadiran Tuhan di mana-mana (omnipresent) dengan hakekatnya, kehadiran dan  kuasanya (lih. Summa Theology I, q.8, a.3): 1) Tuhan ada dengan hakekat-Nya di dalam segala sesuatu, dalam artian bahwa Ia memberikan keberadaan kepada segala sesuatu; 2) Tuhan ada di dalam segala sesuatu dengan kehadiran-Nya, dalam artian bahwa segala sesuatu diketahui/ dikenal secara sempurna oleh-Nya. Setiap tindakan dan gerakan hati kita diketahui/ dikenal oleh Tuhan lebih sempurna daripada kita mengenalinya sendiri. Maka kita selalu ada di dalam kehadiran Tuhan. Ini penting disadari dalam kehidupan rohani, yaitu bahwa kita selalu mengingat bahwa kita selalu berjalan di dalam kehadiran Allah. 3) Allah hadir di dalam segala sesuatu dengan kuasa-Nya, dalam artian bahwa segala sesuatu tunduk pada pengaturan dan kuasa-Nya. Keberadaanku terpampang di hadapan Tuhan dan Ia dapat melakukan apa saja seturut kehendak-Nya. Kuasa ini nyata secara khusus di dalam mukjizat Tuhan dan intervensi-intervensi adikodrati. Sebab dikatakan, “tiada yang mustahil bagi Tuhan” (lih. Luk 1:37).

Namun demikian, walaupun Tuhan hadir di mana-mana (omnipresent), Tuhan hadir di dalam mahluk rohani yang dalam keadaan rahmat, dengan cara yang istimewa, yang lain dengan kehadiran-Nya pada segala sesuatu dengan ketiga macam kehadiran itu. Tuhan hadir dalam jiwa orang benar melalui kebijakan ilahi sebagai tujuan/ sasaran dari iman, pengharapan dan kasih orang tersebut. Jadi dengan cara ini, Tuhan hadir dalam jiwa kita, sebagai Kekasih jiwa kita. Inilah maksud dari pernyataan bahwa Allah Trinitas tinggal di dalam kita seperti tinggal di dalam bait-Nya.

St. Thomas Aquinas menjelaskan tentang perbedaan antara kehadiran Tuhan dalam segala sesuatu dan kehadiran dalam orang-orang yang mengimani-Nya, hal ini demikian:

“Dikatakan Tuhan ada di dalam sesuatu dengan dua cara: 1) cara yang pertama, menurut ketentuan Penyebab yang mengakibatkan terjadinya sesuatu; dan karena itu Tuhan ada di dalam segala sesuatu yang diciptakan oleh-Nya. 2) cara lainnya adalah, Ia ada di dalam segala sesuatu seperti tujuan/ sasaran pekerjaan ada di dalam orang yang mengerjakannya; dan ini sesuai dengan cara kerja jiwa, [yaitu] seperti halnya apa yang dikenal berada di dalam diri orang yang mengenal; dan apa yang diinginkan ada di dalam diri orang yang menginginkannya. Dengan cara yang kedua ini, Tuhan ada secara istimewa di dalam diri mahluk yang berakal budi yang mengenal dan mengasihi Dia, secara nyata dan secara tetap. Dan karena mahluk yang berakal budi memperoleh hak istimewa ini oleh karena rahmat Tuhan…. maka dikatakan bahwa Allah berada di dalam para kudus-Nya oleh karena rahmat.” ( Summa Theology, I, q.8, a.3)

Melalui Baptisan, kita memperoleh rahmat Tuhan yang membersihkan kita dari dosa, dan yang memberikan hidup ilahi kepada kita. Maka melalui Baptisan, derajat kita diangkat oleh Tuhan, dari keadaan kodrati sebagai manusia mahluk ciptaan-Nya, kepada keadaan adikodrati sehingga kita dapat menjadi anak-anak angkat-Nya, menerima hidup ilahi (digabungkan dalam kehidupan Allah sendiri) sehingga kelak berhak memperoleh warisan kehidupan kekal dalam Kerajaan Surga. Dalam kehidupan kekal di Surga inilah kita mengalami kesempurnaan hidup di dalam Allah, dalam kehadiran-Nya yang melingkupi kita dan menjadikan kita serupa dengan Dia (lih. 1 Yoh 3:2).

Betapa kita perlu mensyukuri rahmat Allah ini, yang memang dicurahkan kepada kita yang percaya kepada-Nya. Adalah menjadi tugas kita, untuk menjaga keadaan rahmat yang kita terima di saat Pembaptisan ini, agar kita sungguh didapati-Nya setia beriman sampai akhir, dengan selalu bekerja sama dengan rahmat Tuhan, yaitu dengan mewujudkan iman dalam perbuatan kasih, supaya kelak Tuhan berkenan menggenapi janji keselamatan kekal itu bagi kita.

 

36 COMMENTS

  1. Shalom,

    beberapa waktu lalu Bu Ingrid pernah memberikan sebuah site yang waktu itu ditulis oleh Rev. Alexander Roberts, D.D, apakah dia seorang Katolik?

    Lalu yang kedua, Saya pernah membaca di The First Epistle of Clement to the Corinthians. Di sana tertulis ‘The Church of God which sojourns at Rome, to the Church……’. Setahu saya, kata sojourns itu menetap sementara. Apakah Gereja Katolik pernah berpindah selain di Vatican/Roma? Sepanjang sepengetahuan saya, Gereja Katolik sejak didirikan di Roma oleh St. Petrus, ya terus masih tetap di sana sampai sekarang ini. Atau saya yang salah baca / info. Mohon bantuannya, Pak Stef / Bu Ingrid.

    Terima kasih banyak Pak Stef & Bu Ingrid atas bantuannya. Mohon doakan saya agar saya selalu diberi kedamaian di hati oleh Roh Kudus.AMIN

    Salam kasih dalam Kristus.

    Johnny.

    • Shalom Jonny,

      Pertanyaan Anda yang pertama, Alexander Roberts, D.D kelihatannya bukan seorang Katolik, namun presbyterian minister. Namun hal ini tidak menjadi masalah, karena yang kami berikan sebagai referensi adalah karyanya sebagai editor dalam menterjemahkan tulisan-tulisan para bapa Gereja awal.

      Pertanyaan yang kedua, dalam pembukaan “The First Epistle of Clement to the Corinthians”, St. Clement menuliskan “The church of God which sojourns at Rome, to the church of God sojourning at Corinth, to them that are called and sanctified by the will of God, through our Lord Jesus Christ: Grace unto you, and peace, from Almighty God through Jesus Christ, be multiplied.” Memang “sojourn” maksudnya adalah tinggal sementara (stay somewhere temporarily). Jadi, yang dimaksud oleh St. Clement adalah Gereja yang ada di Roma, di Korintus, dan di belahan manapun di dunia ini memang tinggal sementara di dunia ini. Pada akhirnya semuanya akan disatukan oleh Tuhan dalam Gereja yang satu, yaitu Gereja yang berjaya di Surga. Gereja di dunia ini adalah Gereja yang sedang dalam pengembaraan untuk menuju tujuan akhir, yaitu Surga.

      Semoga dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  2. Kepada Pak Stef / Bu Ingrid,

    Nama saya Johnny dan saya masih SMUK. Mohon maaf kalau saya memiliki pertanyaan & filosofi yang aneh. Saya sering punya imajinasi dan pikiran terliar (bukan pornofgrafi pak Stef, hehehe). Dan saya berusaha menjawab pikiran saya sendiri. Saya cuman ingin konfirmasi dari Pak Stef atau Bu Ingrid apakah JAWABAN pemikiran ini saya sudah benar dan sesuai ajaran Yesus. Maaf ya pak Stef / Bu Ingrid kalau pikiran ini kayak orang gila, tapi pertanyaan ya tetaplah sebuah pertanyaan. Tapi kalau anda repot dan tidak menjawab, saya sangat paham dan maaf mengganggu anda.

    PERTANYAAN 1

    Saya sering berusaha mendalami alias berfikir sampai seberapa hebatkan Tuhan itu dan saya dapatkan pikiran yang cukup mbulet, yaitu pernyataan di bawah ini :

    God is infinite ALL, infinite in-beyond-above ALL [The word ‘ALL’ à Infinite state beyond ALL (even beyond the ALL & the ALL themselves) including no things, a thing, somethings, anythings, everything, all things, all, even every infinity itself], can’t be limited / measured by ANY & God is even beyond above-in-out-beyond with (infinite distance) any or all languanges, any or all writings (reality of this complete answer), any or all measurements, any or all minds or brains, any or all comprehensions, any or all realities-non realities, any or all things, any or all respects, any of ALL (including every infinities, every nothingnesses & ALL), ANY & ALL

    JAWABAN :

    Sedangkan berdasarkan Efesus 3 : 20 dari kitab suci, berarti Tuhan kita itu sebenarnya jauh melebihi & mengatasi (dengan jarak tak terbatas & bahkan dari ketidakterbatasan itu sendiri) dari semua apa yang saya tulis di atas ya Pak Stef (pernyataan)?

    ————————————————————————

    PERTANYAAN 2

    Pak, saya punya filosofi seperti Yin & Yang, alias kebalikan, jadi kalau ada baik berarti ada jahat, contoh :

    BAIK X BURUK

    PRIA X WANITA

    TAMBAH X KURANG

    TUHAN (ADA) X ‘TUHAN’ (KETIADAAN)

    Nah yang menjadi pertanyaan saya bahwa kita tahu kalau Tuhan itu ada, maka lawannya adalah KETIADAAN, dan saya melihat KETIADAAN ini adalah juga sebuah ‘Tuhan’ juga karena seakan-akan punya derajat yang seimbang dengannya. Sehingga Tuhan tidak bisa mengutak-atik / berkuasa atas ketiadaan.

    JAWABAN :

    Tapi saya berusaha meyakinkan diri dengan ajaran alkitab Bu Ingrid, yaitu di ayat Efesus 4 : 6. Menurut ayat itu, berarti segala sesuatu yang ada, maupun segala sesuatu yang tidak ada dan bahkan ke-ada-an serta ketiadaan (nothingness) itu sendiri adalah milik Kristus dan di bawah kendali Kristus (dengan kata lain Kristus juga mengatasi semua / segala ke-ada-an dan semua / segala ketiadaan). Karena di sana dituliskan SEMUA, berarti termasuk ketiadaan (nothingness) itu sendiri. Betulkah pemikiran saya ini sesuai dengan ajaran Yesus, Bu Ingrid / Pak Stef?

    ————————————————————————

    PERTANYAAN 3.

    Pak Stef, saya tahu kalau Tuhan itu satu. Di alkitab dituliskan God of Gods (Mazmur 136 : 2), lalu saya mencoba berpikir banyak Allah. Anggap saja bahwa pemikiran saya ini adalah sebuah kenyataan dan kebenaran :

    Di alkitab dituliskan God of Gods (Mazmur 136 : 2), kalau diterjemahkan ke Bahasa Indonesia maka akan menjadi Allah DARI Allah-Allah. Nah kata ‘Allah-Allah’ ini kan belum tentu merujuk semua Allah, jangan-jangan hanya merujuk pada dua atau tiga Allah saja, sedangkan masih banyak Allah yang lain yang lebih hebat dari Allah kita. Kemudian muncullah pikiran ‘mbulet’ saya :

    Seharusnya di Alkitab ditulis God of Gods of Gods of Gods of Gods of ∞ Gods of ∞ Gods of ∞
    Ket : ∞ = infinity and all / every infinities)

    Sehingga memastikan bahwa Tuhan itu memang mengatasi segala Tuhan dan segala-galanya / semuanya.

    JAWABAN :
    Misalnya pikiran ‘mbulet’ saya yang diatas adalah SEBUAH KENYATAAN. Saya berusaha meyakinkan diri saya bahwa melalui Yohanes 1:3 & Wahyu 22 : 13 = KRISTUS adalah yang awal dan terakhir DARI SEGALA SESUATU. Sehingga kalau ada tingkatan Allah mulai dari ketidakterbatasan sampai dengan ketidakterbatasan (atau bahkan melebihi ketidakterbatasan itu sendiri) dan SEGALA Allah, SEMUANYA itu tetap adalah milik dan dalam kendali KRISTUS dan KRISTUS sendiri mengatasi SEMUAnya dengan jarak tak terbatas & bahkan dari semua ketidakterbatasan itu sendiri. Benarkan pemikiran saya ini sesuai dengan ajaran Yesus, Bu Ingrid / Pak Stef?

    Terima kasih atas jawabannya Bu Ingrid & Pak Stef. Mohon maaf sebelumnya kalau merepotkan. Thank you & JBU

    • Shalom Johnny,

      Terima kasih atas pertanyaan Anda yang sebenarnya merupakan cermin dari kerinduan hati Anda untuk mencari kebenaran. Berikut ini adalah beberapa prinsip untuk menjawab beberapa pertanyaan yang Anda ajukan:

      1. Secara prinsip Allah memang tak terbatas; keberadaan-Nya tidak bergantung dari lainnya, bahkan sebaliknya keberadaan yang lain tergantung dari Allah; Dia melampaui segala sesuatu dan segala sesuatu yang baik diciptakan-Nya. Namun demikian, kita harus berpegang pada prinsip bahwa semua yang diciptakan Tuhan adalah baik. Dengan demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan dosa atau kejahatan (evil). Evil adalah ketidakberadaan kebaikan, di mana Tuhan adalah kebaikan itu sendiri. Sama seperti Tuhan tidak menciptakan kegelapan, karena kegelapan adalah ketidakberadaan terang. Dan Tuhan adalah terang itu sendiri.

      2. Filosofi kebalikan seperti yang Anda gambarkan haruslah dimengerti seperti yang saya jelaskan dalam point sebelumnya bahwa kejahatan adalah ketidakberadaan kebaikan. Dengan demikian, ketidakberadaan bukanlah sesuatu yang positif, namun adalah ketidakberadaan dari sesuatu yang ada. Tuhan berkuasa terhadap kegelapan, sehingga Dia dapat menjadikan segala yang gelap menjadi terang, yaitu dengan memberikan terang kepada kondisi yang tanpa terang (gelap). Ketika manusia berdosa, maka Tuhan juga memberikan rahmat-Nya, sehingga terjadi pertobatan.

      3. Mazmur 136:2 menuliskan “Bersyukurlah kepada Allah segala allah! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” “Segala Allah” di dalam Mazmur tersebut adalah merujuk kepada semua raja, penguasa, malaikat, maupun segala sesuatu yang dihormati dan dipuja. Dengan demikian, Mazmur tersebut ingin mengungkapkan bahwa Allah adalah melampaui segala sesuatu, termasuk segala kekuasaan di Surga dan di bumi. Jadi, kalau kita berpegang bahwa Allah adalah unmoved mover dan uncaused cause, yang keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh yang lain, maka tidak menjadi masalah ada berapa banyak tingkatan maupun gradasi, karena Alllahlah yang menyebabkan segala sesuatu terjadi. Semoga jawaban singkat ini dapat memberikan kejelasan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

      • Shalom Pak Stef,

        terima kasih atas jawabannya. Saya ada pemikiran lagi, mohon diberi masukan.

        Pikiran saya yang ke-1 :

        Ketika saya membaca daftar dogma dari Dr. Ludwig, saya seperti sudah mengetahui semua tentang Tuhan sendiri (maksudnya memahami dia secara keseluruhan). Jadi kalau bahasa jawanya :’Tuhan ya mek paling ngono-ngono tok, paling-paling omnipotent, omniscience, omnipresent, good, eternal, just, gak ono seng laene maneh seng nggarakno aku kaget’. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Tuhan sendiri dapat dipahami secara penuh melalui analogi kita, bahasa kita, otak kita & dengan semua daftar dogma Dr. Ludwig. Alias daftar dogma itu ‘membatasi’ Tuhan sendiri.

        Penyelesaian Saya (apakah benar?) :

        Tapi sebenarnya cara berpikir seperti ini bukannya saya sedang mengukur Tuhan dengan sebuah ukuran, yaitu dengan SEMUA JUMLAH dogma tentang Tuhan . Disisi lain, menurut dogma Gereja Katolik, dikatakan bahwa Tuhan itu tidak terukur. Jadi sebenarnya memang semua jumlah poin-poin dogma tentang Tuhan dari Dr. Ludwig sendiri tidak cukup menggambarkan Tuhan sendiri. Dengan kata lain, tentang Tuhan sendiri masih sangat amat banyak (dalam jumlah TIDAK TERBATAS & TIDAK TERPAHAMI) hal-hal lain & dogma-dogma lain yang tidak kita mampu ketahui, karena jarak antara kita dengan Tuhan adalah ketidaterbatasan dalam segala-galanya. Dan 1 hal yang perlu diketahui, Dogma itu tidak membatasi Tuhan, melainkan Dogma sendiri ‘tunduk’ padaNYA.

        Benarkah pemikiran penyelesaian saya ini?

        Terima kasih, Pak Stef atas bimbingannya

        • Shalom Budi,

          Terima kasih atas pertanyaannya. Daftar dogma yang diberikan oleh Ludwig Ott sebenarnya merupakan pengelompokan dan ringkasan yang sebelumnya telah didefinisikan oleh Gereja, baik melalui konsili-konsili maupun ex-cathedra, yang berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi Suci. Dengan demikian, semua dogma adalah berdasarkan Firman Allah, yang diformulasikan sedemikian rupa sehingga ajaran ini dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi lain tanpa ada penyimpangan maupun distorsi.

          Semua dogma yang didefinisikan dengan kata-kata manusia, tentu saja tidak dapat menangkap keseluruhan dari Allah, karena kata-kata kita terbatas untuk menggambarkan Allah yang tak terbatas. Namun, apa-apa yang diperlukan oleh manusia untuk mengenal Allah dan menuju kepada tujuan akhir – yaitu Surga – telah difirmankan oleh Allah dan telah diformulasikan dalam dogma-dogma. Oleh karena itu, mempercayai dogma-dogma ini tentu saja akan lebih baik daripada mempercayai pemikiran sendiri, yang dapat dan sering salah.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          stef – katolisitas.org

          • Shalom Pak Stef,

            kalau begitu, apakah juga dapat dikatakan bahwa meskipun dengan semua macam-macam dan jenis dogma Gereja Katolik, kita tetap hanya dapat mengetahui SECERCAH dari Tuhan yang amat sangat tidak terbatas itu?

            Terima kasih

          • Shalom Budi,

            Terima kasih atas pertanyaannya. Apa yang kita ketahui tentang Tuhan melalui dogma dan doktrin Gereja Katolik yang berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi Suci, sesungguhnya telah sangat banyak dan luar biasa. Hal ini hanya mungkin tercapai karena Allah sendiri yang menyatakan diri-Nya kepada manusia, terutama ketika Allah menjadi manusia dan berbicara secara langsung kepada manusia, memberikan teladan dalam perkataan dan perbuatan. Dengan kata lain, apa yang dituliskan dalam Kitab Suci serta dogma Gereja telah cukup untuk menuntun manusia kepada keselamatan. Namun, apakah dengan demikian, melalui dogma dan doktrin, kita telah mengerti dan mengetahui sebagaimana adanya Allah? Tentu saja kita mengetahui dan mengerti Allah sejauh Dia menyatakan diri-Nya dan sejauh kata-kata dapat menuangkan kebenaran tersebut. Karena kata-kata kita terbatas untuk menuliskan Allah yang adalah tak terbatas, tentu saja semua itu menjadi gambar yang samar-samar. Rasul Paulus menuliskan demikian, “Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.” (1 Kor 13:12). Namun, sesungguhnya, kita harus mensyukuri bahwa dogma dan doktrin dari Gereja Katolik menjadi warisan iman yang dapat kita yakini kebenarannya dan akan menuntun kita kepada kehidupan kekal. Dalam kehidupan kekal di Surga, maka kita dapat mengenal dan mengasihi Allah dengan lebih sempurna.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            stef – katolisitas.org

          • Syalom Pak Stef,

            Terima kasih atas jawabannya.

            PAK STEF BERKATA :
            ‘Namun, apakah dengan demikian, melalui dogma dan doktrin, kita telah mengerti dan mengetahui sebagaimana adanya Allah? Tentu saja kita mengetahui dan mengerti Allah sejauh Dia menyatakan diri-Nya dan sejauh kata-kata dapat menuangkan kebenaran tersebut. Karena kata-kata kita terbatas untuk menuliskan Allah yang adalah tak terbatas’

            RESPON SAYA :
            Soalnya saya sering berpikir apakah Tuhan itu dapat dijelaskan apa adanya oleh semua jumlah, semua jenis & semua macam dogma? Contohnya Tuhan itu baik, kuat, mulia, ‘DAN SEBAGAINYA’. Nah kata-kata ‘DAN SEBAGAINYA’ ini sering kali saya berpikir ada berapa banyak yah (macamnya, jenisnya & jumlahnya)?

            KESIMPULAN SAYA (apa yang saya tangkap menurut penjelasan Pak Stef) :
            Jumlahnya TIDAK TERBATAS di semua aspek, segala sisi, semua segi, disegala-galanya dan bahkan melebihi semua ketidakterbatasan (karena Allah pada prinsipnya -dogma- memang tidak terbatas & tak terukur). Itulah artinya SECERCAH yang kita ketahui dari Tuhan.

            TAMBAHAN KETERANGAN
            Memang, saya tidak berniat menyelidiki ada apa saja macam-macamnya, (karena itu tergantung dari Tuhan yang menunjukkan diriNYA pada kita). Cuman saya ingin tahu apakah TIDAK TERBATAS DI SEGALA-GALANYA (seperti di kesimpulan) atau TERBATAS. Hanya itu saja yang ingin saya tahu Pak Stef. Jadi bukan kualitas dari baiknya Tuhan, dll. TAPI jumlah macamnya, jumlah jenisnya dan jumlah lain-lainnya saja.

            PERTANYAAN :
            Saya harap Pak Stef bisa memahami ‘pikiran’ saya. Berarti KESIMPULAN saya sudah benar ya Pak Stef? (butuh konfirmasi saja Pak Stef)

            Terima kasih Pak Stef, maaf merepotkan anda.
            Tuhan Yesus memberkati
            Johnny

          • Shalom Johnny,

            Secara prinsip, pembagian atribut Allah (attributes of God) bukanlah membagi Allah menjadi bagian, karena Allah adalah simple dan tak terbagi. Jadi semua atribut tersebut adalah esensi dari Allah sendiri – sebagai contoh Allah adalah kasih, Allah adalah adil, dll. Pada saat kita mengatakan Allah adalah kasih, Allah adalah adil, kita tidak membagi Allah menjadi beberapa bagian, namun seperti melihat dalam kaca prisma, dan melihat bayangan Allah dari berbagi sudut, namun yang kita lihat adalah keseluruhan Allah. Kalau Anda ingin mendalami pembagian atribut Allah, maka Anda juga dapat membaca beberapa artikel dalam New Advent – silakan klik dan klik ini. Ada beberapa macam cara pembagian atribut Allah, seperti : negatif dan positif, tidak dapat dikomunikasikan dan dapat dikomunikasikan, tidak aktif dan aktif, absolut dan relatif. Pada akhirnya semua pembagian atribut ini tidaklah membagi Tuhan menjadi beberapa bagian, namun semua atribut dan masing-masing atribut adalah esensi dari Allah yang satu dan tak terbagi. Di Konsili Lateran (1215) dituliskan:

            The Holy Catholic Apostolic Roman Church believes and professes that there is one living and true God, Creator and Lord of heaven and earth, omnipotent, eternal, immense, incomprehensible, infinite in intellect and will and in all perfection Who, being One, singular, absolutely simple and unchangeable spiritual substance, is to be regarded as distinct really and in essence from the world most blessed in and from Himself, and unspeakably elevated above all things that exist, or can be conceived, except Himself.

            Semoga dapat memperjelas.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            stef – katolisitas.org

          • Syalom Pak Stef,

            Terima kasih atas jawabannya. Maaf, menurut saya website New Advent terlalu lama & belum up to date (walaupun memang masih bisa dipelajari). Lagipula saya kesulitan dengan bahasa inggrisnya yang terlalu rumit. hehehehe. Maap ya Pak Stef.

            JAWABAN ANDA :
            “….Jadi semua atribut tersebut adalah hakekat Allah sendiri – sebagai contoh Allah adalah kasih, Allah adalah adil, DAN LAIN-LAIN….”

            RESPON SAYA :
            Saya memang setuju dan mengetahui bahwa Tuhan itu tidak terbagi-bagi / simple. Kata ‘DAN LAIN-LAIN’ inilah yang buat saya penasaran apakah atribut Tuhan hanya itu-itu saja (kalau di web yang Pak Stef beri, cuman beberapa saja). Apakah Tuhan memang terbatas dengan cuman ‘punya’ atribut itu-itu saja?

            Karena setahu saya, bahwa Tuhan itu memiliki jumlah atribut yang TIDAK TERBATAS (seperti jawaban prinsip ‘KESIMPULAN SAYA’ di email sebelumnya). Sehingga memang pada akhirnya, jumlah atribut Tuhan adalah AMAT SANGAT TIDAK TERBATAS (melampaui semuanya / segala-galanya), namun atribut ini adalah simple.

            PERTANYAAN :
            Inilah yang mau saya konfirmasi ke Pak Stef / Bu Ingrid.

            Terima kasih Pak Stef
            Salam damai dalam Kristus Tuhan.

            [dari katolisitas: NewAdvent adalah sumber yang baik, walaupun lama. Kita harus mengingat bahwa kebenaran adalah absolut. Kembali ke atribut Allah, maka semua atribut Allah memang tidak dapat menggambarkan Allah “sebagaimana adanya Dia secara absolut dan sempurna”, karena analogi dan kata-kata kita terbatas. Rasul Paulus mengatakan “Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna.” (1Kor 13:9). Namun, atribut Allah yang telah diberikan dalam dogma dan doktrin Gereja Katolik, sesungguhnya telah memadai untuk menuntun umat manusia pada pengetahuan akan kebenaran.]

          • Syalom Pak Stef,

            Saya cukup terkejut dengan jawaban anda yang cepat.

            PERKATAAN ANDA :
            Kembali ke atribut Allah, maka semua atribut Allah memang tidak dapat menggambarkan Allah “sebagaimana adanya Dia secara absolut dan sempurna”, karena analogi dan kata-kata kita terbatas sedangkan Allah tidak terbatas.

            RESPON SAYA :
            Nah, itulah maksud saya selama ini Pak Stef. Bahwa apa yang kita ketahui tentang Tuhan itu cumanlah SECERCAH (seperti & sama persis dengan jawaban prinsip dogma ‘KESIMPULAN SAYA’ di email sebelumnya).Tapi memang ini sudah cukup menuntun kita ke surga. Dan kita tidak perlu mencari-cari atribut yang lain karena ini di luar kemampuan kita sebagai manusia yang terbatas dan Yesuspun tidak menunjukkannya kepada kita.

            PERNYATAAN :
            Terima kasih banyak Pak Stef atas konfirmasi kebenaran jawaban prinsip dogma ‘KESIMPULAN SAYA’.

            Tuhan Yesus memberkati
            Johnny

      • Shalom Paf Stef,

        Terima kasih atas prinsip-prinsip yang telah anda berikan. Sebenarnya Pak Stef, dengan prinsip-prinsip yang sudah anda berikan, saya melihat jawaban saya itu kelihatannya sesuai dengan perkataan anda.

        Di bawah ini, saya menuliskan kesimpulan saya dengan melampirkan pula jawaban Pak Stef dan jawaban romo. Kalau JAWABAN SAYA ini sudah sesuai dengan Dogma Gereja Katolik, maka Pak Stef cukup konfirmasi saja bahwa sudah benar. Sehingga saya tidak terjebak pada sebuah jawaban yang berasal dari pemikiran saya sendiri, bukan dari Dogma Gereja Katolik.

        JAWABAN DARI PERTANYAAN 1

        · Jawaban Pak Stef :

        Secara prinsip Allah memang tak terbatas; keberadaan-Nya tidak bergantung dari lainnya, bahkan sebaliknya keberadaan yang lain tergantung dari Allah; Dia melampaui segala sesuatu dan segala sesuatu yang baik diciptakan-Nya.

        · Jawaban romo :

        BUDI : Romo, kapan hari saya mengirimkan email pada anda tentang Tuhan yang tidak terbatas. Mohon bantuan jawabannya. Kalau romo bingung, mungkin romo bisa saya telepon untuk menjelaskan.

        ROMO : Ok, saya sudah terima email anda. Dan ini jawaban yang anda berikan :

        God is infinite ALL, infinite in-beyond-above ALL [The word ‘ALL’  Infinite state beyond ALL (even beyond the ALL & the ALL themselves) including no things, a thing, somethings, anythings, everything, all things, all, even every infinity itself], can’t be limited / measured by ANY & God is even beyond above-in-out-beyond with (infinite distance) any or all languanges, any or all writings (reality of this complete answer), any or all measurements, any or all minds or brains, any or all comprehensions, any or all realities-non realities, any or all things, any or all respects, any of ALL (including every infinities, every nothingnesses & ALL), ANY & ALL.

        ROMO : Ketika saya periksa jawaban anda kata demi kata secara hati-hati ditambah dengan penjelasan lisan anda, akhirnya saya memahami maksud anda. Jawaban anda sudah sangat benar, bahwa Tuhan itu tidak terukur & tidak terbatas disegala-galanya (secara atas, dalam, luar, jenis kesempurnaannya, dsb [benar-benar semuanya] – seperti yang anda tulis), bahkan sebenarnya melebihi dari jawaban anda sendiri ataupun bahasa apapun juga. Dia mengatasi ketiadaan maupun keberadaan, dia mengatasi segala-galanya dalam skala yang tidak terbatas bahkan ketidakterbatasan itu sendiri. Namun perhatikan kata yang saya beri tanda merah. Harap hati-hati, bukan berarti Tuhan itu ‘no things’, ya, Tuhan memang mengatasi ketiadaan, tapi bukan berarti dia bisa lenyap. Ini yang perlu kamu perhatikan.

        · Jawaban saya :

        Setelah mendapatkan jawaban dari romo maupun Pak Stef, saya simpulkan bahwa jawaban saya, romo + Pak Stef SUDAH SESUAI dengan Dogma Gereja Katolik. Namun yang perlu diperhatikan bahwa Tuhan tidak menciptakan hal buruk maupun dia bisa lenyap (ketiadaan), melainkan Tuhan mengatasi hal-hal itu. Kalaupun ada hal-hal buruk terjadi (bencana alam) semua itu pasti punya GREATER GOOD yang mungkin masih kita belum bisa pahami.

        JAWABAN DARI PERTANYAAN 2

        Pak Stef, saya baru sadar sekarang dari penjelasan anda (terutama dari Jawaban 1). Di bawah ini adalah hasil kesimpulan saya :

        Sebenarnya, ketika saya membandingkan antara :

        Tuhan (yang ada) X ‘Tuhan’ (ketiadaan) itu sebenarnya pola pikir yang salah. Kenapa? Karena ternyata bahwa kedua hal itu TIDAK sederajat. Mereka BERBEDA derajat, sehingga saya TIDAK BOLEH membandingkan mereka di posisi yang sama. Jadi boleh diibaratkan MALAIKAT dengan MANUSIA. Secara struktur, malaikat statusnya lebih tinggi dari manusia, sehingga saya tidak boleh membandingkan antara manusia dengan malaikat. Hal ini sama dengan Tuhan (yang ada) & ‘Tuhan’ (ketiadaan), karena dengan bukti bahwa Kristus MENGATASI ketiadaan (dan ketiadaan TIDAK mengatasi Kristus), maka hal ini berarti ketiadaan DIBAWAH Kristus dan kedua hal ini TIDAK SEDERAJAT.

        JAWABAN DARI PERTANYAAN 3

        · Jawaban Pak Stef :

        “….maka tidak menjadi masalah ada berapa banyak tingkatan maupun gradasi, karena Alllahlah yang menyebabkan segala sesuatu terjadi”

        · Jawaban Saya :

        Pak Stef, saya menemukan jawaban dari pertanyaan saya sendiri di alkitab, yaitu di Daniel 2 : 47, disana dikatakan bahwa Allah kita itu benar-benar mengatasi SEGALA allah, sehingga kalau saya memberikan jawaban yang kapan hari :

        Seharusnya di Alkitab ditulis God of Gods of Gods of Gods of Gods of ∞ Gods of ∞ Gods of ∞

        Dengan Daniel 2:47, maka jawaban saya diatas SUDAH TERMASUK didalam Daniel 2:47 itu sendiri. Sehingga jawaban diatas termasuk dalam penopangan & kendali Tuhan sendiri.

        Lalu saya ada pertanyaan lagi pak. Semoga tidak keberatan menjawabnya:
        PERTANYAAN si X (satu)

        Saya tahu kalau Tuhan itu sempurna dan seharusnya juga lengkap. Namun dengan filosofi kebalikan yang saya berikan pada pertanyaan ke-2. Saya merasa Tuhan itu tidak lengkap dan tidak sempurna karena DIA tidak memiliki segala-galanya atau kelengkapan itu sendiri. Saya akan memberikan beberapa contoh di bawah ini :

        POSITIF: kaya, baik,kuat

        NEGATIF: miskin, jahat, lemah

        Tentunya Tuhan pasti memiliki kaya, baik dan kuat yang sempurna, tapi Tuhan tidak lengkap karena DIA tidak memiliki miskin, jahat dan lemah. Sehingga hal ini membuat Tuhan menjadi tidak sempurna karena DIA tidak lengkap.

        JAWABAN si Z

        Saya melihat bahwa anda memiliki pola pikir yang salah, karena anda melihat kaya dan miskin itu pada 2 golongan yang berbeda [sehingga ketika anda merasa Tuhan memiliki hanya 1 golongan saja(contoh:kuat), DIA tidak lengkap karena DIA tidak memiliki golongan yang lainnya (contoh:lemah)], padahal mereka sebenarnya dari GOLONGAN YANG SAMA. Untuk mempermudah, saya akan kasih ilustrasi sebuah vas bunga merek C.

        Vas bunga C yang cantik = Kaya, sedangkan vas bunga C yang rusak / pecah = Miskin. (Ingat, ini statusnya adalah vas bunga yang sama)

        Tuhan pasti memiliki vas bunga C yang sangat & paling cantik. Sehingga ketika Tuhan memiliki vas bunga C yang sangat & paling cantik tersebut, pada saat yang sama Tuhan TIDAK PERLU vas bunga C yang rusak. Dan jika anda (si – X) menganggap bahwa ketika Tuhan tidak memiliki vas bunga C yang rusak berarti Tuhan tidak lengkap. Anda salah BESAR. Kenapa? Karena Tuhan TETAP memiliki vas bunga C tersebut, bahkan dalam kondisi paling sempurna. Sehingga hal ini membuktikan bahwa Tuhan itu sempurna & lengkap. Justru kalau Tuhan memiliki vas bunga C yang rusak, Tuhan malahan tidak lengkap dan tidak sempurna.

        Jadi kalau anda sadar, bahwa bentuk kesempurnaan dari miskin itu adalah kaya, bentuk kesempurnaan yang lemah itu adalah kuat. Sehingga ketika Tuhan sempurna kaya secara tak terhingga, DIA tidak memerlukan miskin, karena Tuhan sudah memiliki bentuk kesempurnaan dari miskin itu sendiri, yaitu kaya. Sama seperti ilustrasi vas bunga C, bentuk sempurna dari vas bunga C yang rusak adalah vas bunga C yang masih utuh, cantik dan indah.

        Dan ini saya akan memberikan jawaban yang paling absurd, tapi paling tidak bisa memuaskan anda.

        Sehingga kalau ditelaah secara bahasa, anda berkata bahwa Tuhan tidak memiliki miskin, maka coba perhatikan jawaban saya di atas (yang saya copy di bawah ini) :

        bentuk kesempurnaan dari miskin itu adalah kaya

        Anda bisa perhatikan bahwa disana ada kata-kata ‘miskin’.

        Justru dengan ilustrasi yang saya berikan itu, Tuhan malah sangat & paling lengkap. Dan Tuhan bahkan mengatasi hal-hal negatif di atas dalam skala tak terhingga. Sehingga secara prinsip, Tuhan itu paling lengkap dan mengatasi segala-galanya.

        ____________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________

        PERTANYAAN si X (dua)

        Ada berapa hal-hal positif (seperti tabel di atas) yang Tuhan miliki?

        JAWABAN si Z

        Tidak terbatas bahkan melebihi ketidakterbatasan itu sendiri.

        ____________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________

        PERTANYAAN si X (tiga)

        1) Kalau Tuhan memiliki hal positif secara tak terhingga, berarti saya bisa menulis semua hal yang Tuhan miliki secara negatif pula dengan tak terhingga. jadi pikiran saya dengan mudah bisa’mengalahkan’ Tuhan sendiri / membuat pemikiran yang berlawanan dengan Tuhan (alias Tuhan tersaingi dengan pikiran saya).

        2) Tambahan pertanyaan 1, kalau pikiran saya tidak bisa menuliskan semua kebalikan dari Tuhan (mengalahkan Tuhan), paling tidak pikiran saya bisa berpikir bahwa ‘Tuhan sendiri bisa menuliskan semua kebalikan dari dirinya sendiri karena Tuhan mengetahui semuanya’. Sehingga sekali lagi saya bisa membuat ‘anti-Tuhan’ dengan pikiran saya untuk menyaingi Tuhan sendiri.

        JAWABAN si Z

        1) Ini adalah pola pikir yang cukup rumit, karena anda terkesan berusaha ‘menyaingi’’ Tuhan dengan kemampuan berpikir anda. Tapi tetap akan saya jawab. Pada dasarnya anda juga masih memiliki pola berpikir yang salah. Kenapa? Karena anda memaksakan Tuhan dengan batasan-batasan manusia. Anda memahami Tuhan sebagai manusia biasa dan memaksa DIA masuk dalam lingkup berpikir sebagai manusia dan membuat anda merasa bisa menyaingi dia dengan menggunakan bahasa & pemikiranmu sendiri.

        Kesempurnaan Tuhan itu TIDAK SEPERTI kesempurnaan manusia, karena kita sempurna sebagai ciptaan. Tapi DIA adalah Sang kesempurnaan segala-galanya MELEBIHI pemahaman dan bahasa kita atau apapun dalam skala tidak terbatas. Ini adalah kesempurnaan yang BERBEDA TOTAL jauh tak terhingga dibandingkan kita (ilustrasinya anda membandingkan manusia dengan alat bor à alias kagak ada hubungannya sama sekali). Maka kalau anda menuliskan hal-hal di dalam tabel seperti di atas (positif & negatif tentang baik, kuat, dll) maka itu hanya SEBAGIAN KECIL dari KETIDAK TERBATASAN KESEMPURNAAN Tuhan sendiri (bahkan kalau perlu ditekankan ya melebihi ketidakterbatasan dan kesempurnaan itu sendiri). Maka dari pertanyaan pertama, anda TIDAK MUNGKIN BISA menuliskan kebalikan dari kesempurnaan Tuhan, karena kesempurnaan Tuhan itu tak terhingga melebihi pemahaman kita maupun bahasa kita, dan kesempurnaannya berbeda secara tak terhingga pula dibandingkan kita. Ilustrasi paling indah untuk menjawab pertanyaan ‘unik’ anda adalah ketika di alkitab dikatakan bahwa Allah kita itu adalah Allah segala allah. Anggap saja ada allah X punya standart atau spesifikasi A, B, C, dll yang jauh tak terhingga melebihi kita. Maka Allah kita itu malah lebih jauh tak terhingga lagi melebihi semua itu, bahkan sebuah allah masih kalah tak terhingga dengan Allah kita. (ini cuman ilustrasi kehebatan Allah kita dibandingkan kita sendiri, sehingga kalau kita dibandingkan dengan allah X saja tidak ada apa-apanya, apalagi kita dengan Allah kita. Hal ini bukan berarti bahwa Allah itu ada banyak, ingat ini cuman perbandingan saja)

        2) Pertanyaan yang kedua ini anda seolah-olah menggunakan nama Tuhan untuk menciptakan ‘anti’-Tuhan. Sehingga anda bisa merasa ‘mengalahkan’ Tuhan. Tapi akan saya beri beberapa jawaban untuk ‘melawan’ pikiran anda sendiri (agak sedikit membingungkan tapi cermati baik-baik supaya anda paham):

        ü Tuhan memiliki kesempurnaan yang utuh, sehingga di dalam DIA tidak ada kebalikan-kebalikan seperti yang anda bayangkan. Karena DIA melampaui kebalikan-kebalikan tersebut. Dan kebalikan-kebalikan tersebut adalah hal yang rendah (ingat tanya-jawab dari pertanyaan 1).

        ü Tuhan memiliki hal-hal yang berlawanan dari kebalikan-kebalikan (yang anda sebutkan) tersebut dengan skala yang tak terhingga sehingga kebalikan-kebalikan tersebut TIDAK BISA MENYAINGI hal-hal yang dimiliki Tuhan. Jika anda tanya berapa banyak bedanya kok bisa tidak tersaingi? Maka bedanya adalah ketidakterbatasan itu sendiri.

        ü Ketika anda berkata ‘kebalikan-kebalikan’, itu hanyalah bahasa manusia, sedangkan Tuhan sendiri melampaui bahasa manusia secara tidak terhingga, sehingga arti kata dan wujud sesungguhnya dari ‘kebalikan-kebalikan’ TIDAK ADA BANDINGANNYA dengan Tuhan. (seolah-olah anda membandingkan antara paku dengan roh manusia à alias tidak ada hubungannya sama sekali)

        ü Ketika anda berkata bahwa ‘Tuhan pasti bisa menuliskan kebalikan-kebalikan’, maka seolah-olah anda mengharapkan Tuhan untuk mengkhianati dirinya sendiri Tuhan. Karena kesempurnaan Tuhan yang utuhlan itu maka ‘kebalikan-kebalikan’ Tuhan itu tidak ada.

        ü Untuk ‘mengalahkan’ pikiran anda secara mutlak, perhatikan dari jawaban pertanyaan ke-3 bagian 1 di atas. Di sana dikatakan bahwa Kesempurnaan Tuhan itu JAUH MELAMPAUI PEMAHAMAN APAPUN DAN JAUH BERBEDA TOTAL DALAM SKALA TIDAK TERBATAS, sehingga pertanyaan anda justru tidak ‘mampu’ untuk bertanya tentang kesempurnaan Tuhan maupun kebalikan-kebalikannya. Kesempurnaan Tuhan itu bukan seolah-olah hanya permainan plus minus atau kebalikan-kebalikan doang (karena semua ini lenyap tak tidak bisa menggambarkan apa-apa dari Tuhan). Karena Tuhan itu JAUH MELAMPAUI SECARA TAK TERHINGGA, JAUH BERBEDA SECARA ABSOLUT, TAK TERUKUR & SEMPURNA TAK TERBATAS.

        ü Penutupan paling indah adalah ketika ada sebuah allah X yang tentunya memiliki standart seperti di Efesus 3:20 maka Allah kita tentunya jauh melampaui Efesus 3:20, sehingga ‘anti’-Tuhan yang anda ciptakan itu worthless apalagi pertanyaan-pertanyaan anda.

        PENUTUP

        Mohon maaf kalau terlalu panjang. Terima kasih banyak Pak Stef atas waktu Anda untuk menjawab saya. Tuhan memberkati

        • Shalom Budi,

          Saya akan menjawab secara prinsip saja. Semoga prinsip dasar ini dapat menjawab pertanyaan Anda. Dari awal, saya mencoba untuk menekankan bahwa prinsip kebalikan versi Anda – yang menempatkan kebaikan dan keburukan secara sejajar dan menganggap keduanya adalah sesuatu yang positif – justru tidak tepat. Dan menjadi kesalahan fatal, kalau Anda melihat bahwa kelengkapan atau kesempurnaan dilihat dari memiliki kedua unsur kebalikan tersebut. Tuhan adalah sempurna dalam segala yang baik, karena di dalam Tuhan tidak ada yang tidak baik. Tuhan adalah kudus. Itu berarti kekudusan di dalam Tuhan adalah sempurna, bahkan Tuhan sendiri hakekatnya adalah kudus. Namun, kita tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan tidak sempurna karena tidak mempunyai kebalikan dari kekudusan – yaitu dosa. Tuhan adalah kebenaran dan tidak boleh ada pertentangan dalam kebenaran. Itulah sebabnya Tuhan tidak dapat mempertentangkan diri-Nya sendiri. Jadi tidak mungkin bahwa Tuhan yang adalah kudus justru dia berdosa. Kalau Dia berdosa, maka Dia tidak sempurna dalam kekudusan, yang berarti hakekat-Nya bukan lagi kudus, dan berarti Dia bukan Tuhan.

          Jadi, kalau Anda dapat melihat bahwa hal-hal negatif tersebut bukanlah sesuatu yang positif, namun merupakan ketidakadaan sesuatu yang positif, maka akan lebih mudah untuk memikirkannya. Sebagai contoh, kemiskinan adalah ketidakadaan kekayaan; kejahatan adalah ketidakadaan kebaikan, dan seterusnya. Semoga jawaban singkat ini dapat membantu.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          stef – katolisitas.org

  3. Kalau Allah ada di dalam segala sesuatu sebagai sebab dari keberadaan sesuatu itu, apakah itu berarti Allah ada di dalam iblis dan neraka?

    [dari katolisitas: Ya, dalam konteks Ia memberikan keberadaan kepada segala sesuatu. Namun, kehadiran Tuhan dalam diri orang yang dalam kondisi rahmat adalah kehadiran yang sungguh spesial, yaitu sebagai kekasih (the beloved) jiwa kita.]

    • Mungkinkah Allah yang Maha Kudus dapat bercampur dengan iblis dan neraka?

      [dari katolisitas: Maksudnya Allah hanya menjaga keberadaan mereka, seperti jiwa manusia dan iblis yang kekal adalah tetap kekal. Namun, mereka mengalami keterpisahan untuk selamanya dengan Allah]

  4. Shalom.. Katolisitas.
    Maaf, saya mau bertanya, jika Tuhan hadir dalam segala sesuatu dalam kehidupan manusia, mengapa masih ada orang yang tidak percaya dengan adanya Tuhan.
    Kemudian saya percaya pada Tuhan, tapi jujur kadang sulit untuk merasakan bahwa Tuhan hadir dalam diri saya, sulit merasakan bahwa Tuhan memang sangat peduli pada saya. Kira-kira apa yang harus saya lakukan agar saya semakin tahu dan sadar bahwa Tuhan ada dalam diri saya ini.
    Terima kasih. Semoga kasih Tuhan semakin nyata dalam hidup saya.

    [Dari Katolisitas: Mungkin artikel ini dapat membantu?, silakan klik. Sebab masalahnya ada pada manusia, bukan pada Tuhan. Tuhan selalu siap sedia menyatakan kehadiran-Nya, namun hati manusia seringkali tertutup atau terhalang dengan banyak hal, sehingga kurang dapat menyadarinya.]

    • Maaf, tapi di link tersebut dijelaskan usaha manusia dalam lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Dalam kehidupan nyata saat ini, terlihat sepertinya Tuhan enggan menunjukkan keberadaan-Nya.

      Teman saya bertanya pada saya seperti ini,
      “Untuk apa Tuhan menciptakan dunia ini ? Memberikan kehidupan pada manusia, hingga sampai semua hal, sampai Tuhan sendiri menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus, dan mati di kayu salib demi menyelamatkan manusia yang diciptakan-Nya tersebut.Memberikan kehidupan pada manusia, kemudian mematikan manusia tersebut, mengadili untuk dimasukkan ke surga atau ke neraka. Untuk apa semua itu ? Bukankah lebih baik Tuhan santai-santai tanpa perlu mengurusi dan mengatur hidup manusia yang diciptakan-Nya. ”

      Kira-kira seperti itu pertanyaannya. Saya tidak bisa menjawabnya dengan jelas, jika di lihat dari ayat Alkitab yang menjelaskan tentang awal mula penciptaan manusia, sepertinya manusia Diciptakan untuk menjaga ciptaanNya yang lain. Apakah memang hanya untuk itu ? Mohon pencerahannya.

      Untuk mencari jawabannya, saya menyuruh teman saya tersebut untuk mencari jawabannya pada Tuhan, saya pikir Tuhan punya rencana yang lebih besar daripada menciptakan manusia untuk sekedar “menjaga ciptaanNya yang lain”.

      Tapi teman saya menjelaskan bahwa dia juga telah lama mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Sejak mulai dari SMP, atau sudah sekitar 5 tahun yang lalu. Dia mengaku sudah sering mencari jawabanNya melalui doa pada Tuhan, tapi sampai saat ini dia tidak memperoleh jawabannya. Saat ini dia sudah bosan, dia tidak mau mencari tahu tentang jawaban tersebut, dia lebih memilih hidup biasa, tanpa perduli tentang keberadaan Tuhan. Itu jugalah alasan kenapa saya yang menanyakan pertanyaan itu di katolisitas ini. Dia sudah tidak mau mencari Tuhan, dan lebih memilih bahwa Tuhan itu tidak ada. Karena menurutnya sangat ribet dalam berhubungan dengan Tuhan.

      Apa yang harus saya lakukan sebagai teman yang baik ? Atau bisakah Bapak/Ibu dari katolisitas membantunya memberi jawaban ?
      Maaf, dan terimakasih banyak sebelumnya.
      Semoga kasih dan kehadiran Tuhan dalam hidup tiap orang semakin nyata. Amin

      • Shalom Donny,

        Allah adalah Kasih (1Yoh 4:8), dan dan hakekat kasih itu adalah memberi. Kesempurnaan kasih dalam diri Allah, nyata dalam pemberian diri yang timbal balik dalam kehidupan Pribadi-Nya yang ilahi: Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus, sebagaimana pernah dijabarkan di artikel ini, silakan klik.

        Hakekat dari kebaikan itu adalah memancar/ menyebar ke luar dengan sendirinya, Bonum est difussivum sui. Karena Allah itu baik dan Allah itu kasih; maka sudah menjadi sifat Allah untuk menyebarkan kasih dan kebaikan-Nya. Untuk menyebarkan kebaikan-Nya inilah, Allah menciptakan dunia, yang mencapai puncaknya pada penciptaan manusia yang diciptakan-Nya menurut gambar dan rupa-Nya. Namun Allah tidak berhenti di situ. Setelah manusia yang diciptakan-Nya itu memilih untuk menolak Dia dengan berbuat dosa, Allah mengusahakan agar manusia dapat kembali kepada-Nya dan memperoleh kehidupan ilahi-Nya. Sabda Tuhan mengatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16)

        Nah, maka memang kasih Allah-lah yang begitu besar, yang membuat Ia mau ‘repot-repot’ melakukan semuanya itu. Bukankah hal yang sama kita lihat pada kasih orang tua di dunia ini? Orang tua yang sungguh mengasihi anak-anaknya, akan rela melakukan yang ‘repot-repot’ demi kebaikan anaknya. Mereka rela membanting tulang untuk mencari nafkah agar anak-anak dapat sekolah, berkorban waktu dan tenaga untuk mendidik dan membesarkan anak-anak mereka? Jika tidak demikian, nampaknya perlu dipertanyakan apakah orang tua itu peduli dan mengasihi anak-anaknya. Jika prinsip ini berlaku untuk orang tua kita di dunia, betapa ini juga berlaku untuk Bapa kita di Surga. Maka tidak mungkin Allah, ‘santai-santai’ saja, dan tidak memperhatikan mahluk ciptaan-Nya. Juga tidak mungkin, Allah yang Maha kasih itu, berinisiatif untuk memasukkan manusia yang diciptakan-Nya itu ke dalam neraka. Sebab sejak awalnya, Allah menghendaki semua orang diselamatkan (lih. 1 Tim 2:4). Namun jika nyatanya sejumlah manusia masuk neraka, itu adalah karena kehendak mereka sendiri untuk memisahkan diri dari Allah; dan karena kasih Allah tidak memaksa, maka Ia mengizinkan hal ini terjadi.

        Selanjutnya jika Anda tertarik dengan topik ini, silakan membaca artikel-artikel berikut ini:

        Apakah Tujuan Penciptaan?
        Mengapa Tuhan menciptakan manusia?

        Maka Tuhan menciptakan manusia, bukan hanya ‘untuk menjaga ciptaan-Nya yang lain’. Tuhan menciptakan manusia agar dapat mengalami kebaikan Tuhan, atau kata singkatnya, agar kita bahagia. Dan karena kita berasal dari Allah, maka kebahagiaan yang sejati ini, hanya dapat kita temukan di dalam Allah. Demikianlah kata St. Agustinus, “My heart is restless, until it rests in Thee“, Hati kita gelisah, sampai hati kita beristirahat di dalam Tuhan.

        Silakan membaca artikel berikut ini:

        Kebahagiaan manusia hanya ada di dalam Tuhan
        Jadi untuk apa aku hidup di dunia ini?

        Akhirnya, silakan membawa teman Anda itu dalam doa-doa pribadi Anda setiap hari. Semoga Tuhan berkenan menyatakan diri-Nya sendiri kepada teman Anda itu, dan Tuhan juga memampukan Anda, untuk menjadi saluran kasih-Nya kepada teman Anda itu. Semoga suatu hari kelak, teman Anda dapat mengalami dan merasakan bahwa Tuhan sungguh ada dan mengasihinya, sehingga hati teman Anda itu boleh terbuka untuk percaya kepada Tuhan.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- katolisitas.org

        • Terima kasih Bu, atas jawabannya.

          Saya mengerti bahwa hidup dengan kasih akan sangat luarbiasa. Saya setuju itulah mungkin alasan mengapa Tuhan menciptakan semuanya, termasuk manusia(saya hanya tidak yakin itu yang sebenarnya karena itu tidak tertulis dengan jelas di Alkitab dan pertimbangan pribadi saya yang lain). Secara pribadi menurut saya, hidup seperti itulah yang nanti akan ada di surga.

          Tapi jika memang pada mulanya alasan “kasih” lah yang menyebabkan Tuhan menciptakan dunia ini, mengapa itu tidak disebutkan di Alkitab ? Mengapa dalam perjanjian lama tertulis, sepertinya manusia diciptakan hanya untuk sekedar menjaga ciptaanNya yang lain ?

          Jika memang untuk alasan “kasih” , mengapa dalam perjanjian lama terlihat “sepertinya” Allah tidak mengasihi ? Tidak hanya sekedar kejam seperti di (https://katolisitas.org/?p=1815/) tapi menurut saya lebih dari itu. Allah “sepertinya” hanya mengasihi manusia yang mengasihiNya juga. Kalau misalnya Nabi Nuh dan keluarga bukan orang yang mengasihi Allah, maka semua dunia saat itu akan dihancurkan, dan saat ini tidak ada lagi yang namanya manusia. Secara tidak sopan saya akan bilang bahwa karena Nabi Nuh-lah maka kita dapat hidup sekarang ini. Saya pribadi tidak dapat melihat Allah yang penuh kasih ketika dalam kisah Nabi Nuh dan dalam penghancuran kota Sodom dan Gomora. Itu merupakan hal yang sangat berbeda dengan Perjanjian baru, dimana Allah mati di kayu salib untuk membuktikan kasihNya yang besar.

          Mengenai kehadiran Tuhan, bagaimana kalau saya menganggap bahwa saat ini Tuhan memang tidak lagi menunjukkan keberadaanNya. Ini karena kita telah hidup di zaman akhir dimana Tuhan tidak akan mengirim Nabi lagi untuk menunjukkan keberadaanNya pada manusia. Saya berpedoman dari Lukas 16:29,31. Sesuai ayat tersebut, untuk dapat mengenal Allah kita manusia harus belajar dari kisah para Nabi terdahulu. Ini mutlak tergantung pada orangnya untuk mencari dan menemukan Tuhan. Ketika orang tersebut tidak mau untuk percaya pada Tuhan dengan belajar dari kisah para nabi, maka orang yang bangkit dari matipun tidak dapat meyakinkannya bahwa Tuhan itu ada. Lebih jelasnya saya tulis di (https://www.facebook.com/notes/donny-ambarita/dimana-tuhan-/223442267803685). Apakah pemikiran saya ini salah ? Apakah saya salah dengan menulis dan share pendapat seperti itu di facebook ? Karena ada kemungkinan saya terlihat sok-sokan menulis hal seperti itu di facebook.

          Saya yakin dengan pendapat tersebut karena keberadaan Tuhan memang kadang sulit dirasakan manusia di dunia modern serba canggih saat ini, bukan untuk menjadi manusia yang pesimis, tapi Alkitab juga telah menuliskan bahwa dunia akan semakin jahat. Iblis akan bekerja lebih keras, sehingga manusia tidak akan sekedar menjadi manusia yang atheis tapi akan tercipta manusia yang anti-Kristus. Jika Tuhan selalu menunjukkan keberadaanNya secara nyata dan jelas kepada manusia, maka tidak mungkin akan ada manusia yang atheis bahkan anti Kristus.

          Terima kasih, semoga Ibu berkenan memberikan tanggapan yang merupakan pembelajaran berarti kepada saya. Maaf pertanyaannya banyak. hehe

          • Shalom Donny,

            1. Kita diciptakan dalam kasih Allah untuk menjadi anak-anak Allah yang dikasihi-Nya.

            Bahwa Tuhan menciptakan kita untuk maksud kasih, itu disebutkan secara eksplisit maupun implisit dalam Kitab Suci. Salah satu penjabaran rencana Tuhan sejak awal mula terhadap kita manusia yang diciptakannya, itu disebutkan dalam surat Rasul Paulus demikian:

            “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya. Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian. Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.” (Ef 1:3-10)

            Jadi di ayat- ayat tersebut disebutkan bahwa Tuhan, dalam kasih-Nya telah merencanakan sejak semula agar kita menjadi anak-anak-Nya di dalam Kristus. Artinya kita diciptakan dalam kasih Tuhan, untuk menjadi anak-anak-Nya yang dikasihi-Nya.

            Juga ayat-ayat berikut ini secara implisit menunjukkan bahwa kita diciptakan untuk Kasih, sebab hanya kasih-lah yang akan tetap ada dalam kekekalan, sementara segala yang lain akan berhenti.

            Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap. Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” (1 Kor 13:8-13).

            2. Apakah Allah hanya mengasihi manusia yang mengasihi-Nya juga?

            Kitab Suci menyatakan bahwa Allah tidak pilih kasih. Artinya, dari pihak Allah, Ia telah melakukan segalanya untuk mengasihi semua manusia.

            “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat 5:45)

            “Allah yang menghendaki semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim 2:4).

            “Aku tidak akan membatalkan perjanjian-Ku dengan kamu untuk selama-lamanya…” (Hak 2:1)

            Yesus menggambarkan kasih Allah itu sebagaimana kasih seorang bapa yang menantikan anaknya yang hilang (lih. Luk 15:11-32). Sang bapa tidak langsung menolak anak bungsunya yang sudah jelas tidak mengasihinya dengan meminta warisan sebelum bapanya wafat, dan kemudian pergi meninggalkannya dan menghambur-hamburkan pemberian bapanya itu. Bapa itu tetap menantikan anak itu dan menyambutnya kembali ketika anak itu pulang.

            Allah yang mengajarkan agar kita mengasihi musuh-musuh kita (Mat 5:44), Ia-lah yang pertama kali melaksanakan ajaran ini, sebagaimana dinyatakan dengan jelas oleh Kristus, ketika Ia mengampuni orang-orang yang menyerahkan-Nya dan menyalibkan Dia (Luk 23:34). Kristus tidak menolak orang yang pernah mengkhianati-Nya, sebagaimana Ia menerima Rasul Petrus setelah Petrus menyangkal-Nya tiga kali (lih. Yoh 21:15-19), asalkan ia bertobat. Inilah yang membedakan keadaan Petrus dan Yudas. Sebab kepada siapapun, bahkan yang telah demikian jahat kepada-Nya, asalkan bertobat, Tuhan akan mengampuni dan menerimanya dengan kasih. Kristus mengasihi Saulus, walaupun saat itu Saulus menganiaya Dia, dengan memburu dan menganiaya para pengikut-Nya (lih. Kis 9). Kristus memberi kesempatan kepada Saulus untuk bertobat, dan tidak serta merta menolak Saulus karena ia terbukti telah berbuat jahat kepada-Nya.

            Maka kata kunci bagi kita manusia untuk mengalami kasih Allah adalah: pertobatan. Sebab yang memisahkan kita dari kasih Allah adalah dosa-dosa kita.

            3. Apakah saat ini Allah tidak mau lagi menyatakan keberadaan-Nya?

            Jika kita menghayati iman Katolik, maka kita tidak akan berpandangan demikian. Kristus hadir secara nyata, Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan-Nya dalam Ekaristi. Maka Kristus hadir secara nyata dalam kepenuhan-Nya dalam setiap tabernakel dalam setiap gedung gereja Katolik, dan Ia hadir secara nyata dalam Komuni Kudus yang kita terima setiap kali mengikuti perayaan Ekaristi.

            Maka memang benar kita dapat mengenal Tuhan melalui ajaran dan nubuat para nabi Perjanjian Lama, tetapi pada akhirnya, semua nubuat dan pengajaran itu digenapi di dalam Kristus. Dan kepenuhan kebenaran Kristus itulah yang terus diajarkan dan dilestarikan oleh Gereja Katolik sampai sekarang.

            4. Keberadaan Tuhan sulit dirasakan?

            Keberadaan Tuhan itu adalah suatu kebenaran fakta, maka bukan untuk dinilai semata dengan perasaan. Sebab perasaan manusia itu berubah-ubah, sedangkan keberadaan Tuhan itu adalah sesuatu yang tetap, tidak berubah tergantung dari perasaan manusia.

            Sesungguhnya dari alam ciptaan ini saja, kita sudah dapat mengenali adanya Sang Pencipta, namun mereka yang mengeraskan hati memang dapat saja menolak menerima kenyataan ini. Jika dengan akal budinya seseorang dapat menerima bahwa sebuah bangunan ataupun sebuah kota yang indah dan teratur itu ada arsitek/ perancangnya; maka adalah sesuatu yang aneh, jika ia tidak mau menerima bahwa seluruh dunia dan alam semesta dengan keteraturan dan kompleksitasnya yang mengagumkan itu juga ada Penciptanya. Maka benarlah Rasul Paulus, ketika ia mengatakan bahwa keberadaan Allah dapat nampak dari segala karya ciptaan-Nya, sehingga sesungguhnya orang tidak dapat berdalih:

            “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.” (Rom 1:19-21)

            Demikianlah Donny, tanggapan saya atas pertanyaan/ pernyataan Anda. Sungguh Allah itu hadir dan menyertai kita, hanya saja mata hati kita yang sering dibutakan oleh banyak hal sehingga kurang dapat merasakan/ mengalaminya.

            Mungkin doa Bartimeus dapat juga menjadi doa kita sepanjang hari, “Tuhan, kumohon supaya aku dapat melihat…. bahwa Engkau sungguh ada dan mengasihi aku.” (lih. Mrk 10:51, Luk 18:41)

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Sekali lagi Terima kasih banyak Bu.

            Tapi saya akan mencoba memperjelas pertanyaan/pernyataan saya yang sepertinya kurang jelas.

            -Saya bisa berterima bila kita diciptakan untuk merasakan kasih Allah. Saya juga paham bahwa Allah itu tidak pilih kasih. Pertanyaan saya adalah; jika memang pada mulanya Allah menciptakan semuanya karena kasih, mengapa dalam perjanjian lama tidak disebutkan dengan jelas, bahwa alasannya adalah kasih? Kisah Nabi Nuh dan Penghancuran Kota Sodom dan Gomora, menurut saya tidak mencerminkan Allah yang penuh kasih. Dalam perjanjian lama tersebut, terlihat “sepertinya” Allah hanya mengasihi manusia yang mengasihiNya juga. Atau secara kesuluruhan, saya meragukan bahwa Allah penuh kasih dalam cerita menurut Perjanjian Lama. Apa bukti bahwa Allah mempunyai kasih yang besar dalam Perjanjian Lama? Kesemuanya pertanyaan saya ini adalah tentang isi dari Perjanjian Lama.

            -Keberadaan Allah
            Maksud saya, Allah tidak lagi Menunjukkan keberadaanNya bagi orang yang tidak mau mencari tahu tentang keberadaan Tuhan. Ini sejalan dengan yang ditulis oleh Rasul Paulus(Rom 1:19-21). Allah telah dengan jelas dan nyata menunjukkan keberadaanNya dan tidak ada alasan bagi manusia untuk berdalih. Nyata melalui kesaksian Para Nabi dan Rasul yang tentu masih nyata/lekat pada ingatan umat pada waktu itu. Hal ini pastilah sangat nyata, karena Rasul Paulus adalah orang yang secara nyata mendapat teguran dari Allah. Tapi untuk saat ini, Allah tidak lagi menunjukkan keberadaanNya secara nyata seperti zaman dulu. Ketika saat ini kita memilih untuk tidak percaya pada Kesaksian Nabi dan para Rasul, maka Allah tidak akan memperingatkan kita secara nyata dan jelas lagi. Tapi hukuman Allah di akhir zaman nantilah yang akan menyadarkan kita bahwa Tuhan itu ada dan Nyata. Saya berpikiran demikian karena melihat dari situasi dan kondisi yang kita temui saat ini di lingkungan masyarakat yang serba modernisasi dan dari ayat Alkitab juga. Yang saya tulis lebih jelas di catatan saya di link facebook tersebut.

            Saya percaya bahwa Tuhan hadir dalam perayaan Ekaristi, tapi itu tergantung seberapa besar saya percaya dan menghormati perayaan tersebut. Jika memang pada dasarnya hanya saya tidak terlalu percaya pada Tuhan, dan saya menerima komuni hanya untuk melihat apa yang akan terjadi bila saya makan Roti Kudus itu, maka tidak akan terjadi apa-apa.
            Menurut saya, orang yang dapat merasakan kasih Tuhan dengan nyata dan jelas adalah mereka yang mau belajar percaya dan mengasihi Allah. Ketika saat ini kita tidak percaya akan adanya Tuhan, dan kita hanya diam menunggu Tuhan menunjukkan keberadaanNya, maka kita tidak akan menemukan Tuhan. Apakah saya salah dengan pendapat seperti itu ? Apakah baik jika saya menulis catatan seperti itu di facebook ?

            Terima kasih.

          • Shalom Donny,

            1. Tentang keadilan dan belas kasih Allah

            Pertama-tama mari dipegang dulu prinsipnya, bahwa untuk memahami makna ajaran dalam Kitab Suci, kita perlu melihat Kitab Suci secara keseluruhan. Artinya, sekalipun kita membaca sebuah perikop Kitab Suci, kita perlu melihatnya dalam kesatuan dengan ayat-ayat yang lain, dan tidak untuk mempertentangkannya dengan ayat-ayat yang lain. Atas prinsip dasar ini, kita dapat membaca kisah-kisah dalam Perjanjian Lama dalam perspektif yang benar. Kisah-kisah Perjanjian Lama yang menekankan sifat keadilan Allah tidak untuk dipertentangkan dengan sifat belaskasih-Nya yang nampak jelas dalam kisah-kisah Perjanjian Baru. Sebab kedua sifat Allah ini sudah selalu ada bersama-sama sejak awal mula. Maka kisah-kisah tertentu dalam Perjanjian Lama yang menampakkan keadilan Tuhan tidak untuk dibaca terpisah dari kisah-kisah lainnya dalam Kitab Suci yang menampakkan belas kasihan Tuhan. Sebab sejak dalam Perjanjian Lama, juga sudah dikisahkan tentang kasih Tuhan. Ini nampak dari bagaimana Allah menciptakan manusia pertama seturut rupa-Nya sendiri (lih. Kej 1:26) dan memberikan kuasa kepada manusia atas ciptaan yang lain. Allah menjadikan taman Eden, untuk manusia (lih. Kej 2:8). Dikatakan bahwa baru setelah berdosa, manusia bersembunyi terhadap Tuhan, (Kej 3:8) maka ini mengisyaratkan bahwa sebelum itu, Allah dan manusia dapat bercakap-cakap sedemikian akrab, manusia tidak bersembunyi terhadap Tuhan.

            Dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, yang sarat dengan kisah Tuhan menegakkan keadilan dengan menghukum orang-orang yang bersalah, juga didapati ayat-ayat yang menyatakan belas kasih Tuhan:

            Didapati-Nya dia [umat-Nya] di suatu negeri, di padang gurun, di tengah-tengah ketandusan dan auman padang belantara. Dikelilingi-Nya dia dan diawasi-Nya, dijaga-Nya sebagai biji mata-Nya. (Ul 32:10)

            TUHAN itu berpanjangan sabar dan kasih setia-Nya berlimpah-limpah, Ia mengampuni kesalahan dan pelanggaran…. (Bil 14:12, Bil 15:18)

            Sebab biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setia-Ku tidak akan beranjak dari padamu dan perjanjian damai-Ku tidak akan bergoyang, firman TUHAN, yang mengasihani engkau… (Yes 54:10)

            Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya… (Rat 3:22)

            Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN.” (Yer 9::24)

            Dan masih banyak ayat lainnya dalam Perjanjian Lama yang menyatakan kasih setia Tuhan. Pernyataan kasih setia Tuhan bahkan banyak sekali dijumpai dalam kitab Mazmur. Sebab Allah itu tetap setia kepada janji-Nya menyelamatkan umat pilihan-Nya, meskipun umat-Nya itu berkali-kali tidak setia. Allah memang mempersiapkan umat-Nya untuk menerima janji-Nya itu, dengan memurnikan mereka dari pengaruh bangsa-bangsa lain, yaitu dari berhala-berhala mereka, yang mengalihkan perhatian mereka dari Allah Penyelamat mereka. Sungguh, isi kitab Perjanjian Lama itu kalau diringkas, merupakan kisah jatuh bangunnya umat Allah- lebih banyaknya tentang kisah ketidaksetiaan umat Allah, namun Allah tetap setia.

            Sejak awal dikisahkan tentang perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Allah memberitahukan kehendak-Nya kepada orang-orang pilihan-Nya, dan umat-Nya menanggapi. Para patriarkh bangsa Israel dan para nabi berusaha menaati kehendak Allah, dan memimpin umat Israel agar menaati-Nya juga. Namun seringnya orang-orang Israel itu sulit diberitahu dan keras kepala. Sudah diberi perintah dengan baik-baik tetapi kerap kali dilanggar. Maka Allah kemudian mengajar mereka dengan keras, dengan menerapkan hukuman kepada orang-orang yang bersalah. Ini adalah seperti cara orang tua mendisiplinkan anak-anak, di masa muda mereka, untuk membentuk karakter anak itu. Sesudah karakter anak terbentuk, orang tua tidak akan memerlukan cara mendisiplinkan lagi dengan keras. Dalam keadaan ini, yang ada tinggal saling pengertian dan kasih, antara orang tua dan anak dan sebaliknya.

            Demikian juga yang terjadi dengan Allah dan umat pilihan-Nya. Allah mendisiplinkan umat-Nya, yaitu untuk mengenal prinsip-prinsip keadilan, (yang secara umum dinyatakan dalam hukum sepuluh perintah Allah), agar siap untuk menerima penyempurnaannya dalam prinsip hukum kasih yang akan diajarkan dan digenapi oleh Kristus. Seseorang yang menutup matanya terhadap keseluruhan kisah penyelamatan Allah ini, dan hanya berkutat pada sebagian kisah Perjanjian Lama saja, akan sampai kepada pemahaman yang keliru tentang Allah.

            Sebab sifat kasih dan keadilan Allah itu tidak dapat dipisahkan. Kasih itu hanya dapat ada jika sudah ada keadilan, atau kasih itu tidak mungkin diberikan dengan sah kalau keadilan itu belum ada. Ini adalah prinsip umumnya. Itulah sebabnya misalnya, kasih yang luhur dan kudus antara suami istri baru dapat diberikan secara benar, kalau ikatan perkawinan itu sendiri sudah diberkati dan maknanya dijunjung tinggi. Ada ketentuan moral yang harus dipenuhi terlebih dahulu, baru kasih dapat diterapkan. Maka sulitlah untuk bicara tentang makna keluhuran kasih antara suami dan istri, jika misalnya yang ada adalah hubungan tak bermoral antara pria dan wanita. Tanpa prinsip keadilan yang dipenuhi terlebih dahulu, hukum kasih yang sesuai dengan kehendak Allah itu tidak dapat dengan benar diterapkan. Serupa dengan ini adalah bahwa pengampunan Tuhan kepada manusia hanya dapat diberikan ketika manusia itu telah mengakui dosanya terlebih dahulu. Maka Perjanjian Lama yang sarat mengisahkan jatuh bangunnya umat-Nya dalam dosa, merupakan persiapan agar umat-Nya dapat sungguh bertobat dan membenci dosa. Dengan sikap tobat inilah, manusia dapat melihat betapa besar kasih Allah yang tercurah di dalam Kristus yang datang ke dunia untuk menghapuskan dosa-dosa manusia.

            Jadi Perjanjian Lama diperlukan untuk mempersiapkan umat manusia menerima Kristus dalam Perjanjian Baru. Belas kasih Tuhan yang mencapai puncak-Nya di dalam Kristus, diberikan Allah kepada umat-Nya, setelah prinsip keadilan Tuhan diakui terlebih dahulu: yaitu bahwa dosa itu membawa akibat kepada manusia (maut) dan karena itu, untuk sampai kepada kehidupan kekal, manusia membutuhkan belas kasih dari Allah.

            Berikut ini adalah beberapa artikel terkait dengan topik yang Anda tanyakan:

            Tentang hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, klik di sini.
            Tentang kasih dan keadilan Allah yang dinyatakan melalui pengorbanan Kristus, klik di sini.
            Tentang prinsip keadilan dan kasih, diulangi oleh Paus Benediktus XVI dalam surat ensikliknya, Caritas in Veritate, klik di sini.

            2. Keberadaan Tuhan

            Justru ayat Rom 1:19-20 adalah ayat yang relevan bagi semua orang secara umum, termasuk orang-orang yang tidak mencari Tuhan. Sebab sesungguhnya manusia tak perlu jauh-jauh mencari Tuhan, karena keberadaan-Nya itu sudah begitu gamblangnya terpampang di alam ciptaan-Nya. Sesungguhnya orang tak bisa berdalih, “Aku tidak bisa menemukan Tuhan”, sebab kemanapun dia memandang, kalau dia tidak mengeraskan hatinya, ia dapat menemukan Tuhan yang hadir. Sebab kalau ia dapat menerima bahwa bangunan yang indah itu ada arsiteknya, makanan yang enak itu ada pemasaknya, lagu yang indah dan harmonis itu ada pengarangnya, dst, maka seharusnya tidak sulit baginya untuk menerima bahwa segala keindahan dan keteraturan alam semesta ini ada Perancangnya. Jika untuk hal-hal indah yang kompleksitasnya lebih rendah saja, ada pembuatnya, apalagi alam semesta yang demikian indah dengan kompleksitas yang sangat tinggi. Orang yang setia pada akal budinya akan dapat menerima prinsip dasar ini.

            Tentang bahwa Allah membiarkan diri-Nya ditemukan bahkan oleh orang yang tidak mencari-Nya, itu bahkan disebut secara eksplisit dalam Kitab Suci:

            “Aku telah berkenan memberi petunjuk kepada orang yang tidak menanyakan Aku; Aku telah berkenan ditemukan oleh orang yang tidak mencari Aku. Aku telah berkata: “Ini Aku, ini Aku!” kepada bangsa yang tidak memanggil nama-Ku.” (Yes 65:1)

            Ini menunjukkan bahwa sebenarnya manusia hanya perlu membuka hatinya sedikit saja, maka ia akan dapat menemukan bahwa Tuhan itu ada. Masalahnya sekarang adalah, banyak orang yang sejak awal sudah menutup hatinya, berkeras pada pendiriannya bahwa Allah itu tidak ada, dan baru kemudian mencari-cari alasannya. Padahal seharusnya, orang itu harus mencari dahulu, dengan akal budi dan tuntunan hati nuraninya, apakah Allah itu ada atau tidak. Nah, jika ia melakukan hal ini, Sabda Tuhan mengatakan, ia tidak akan menemui kesulitan untuk menemukan keberadaan Allah.

            Jika kita memahami prinsip ini, kita akan mengetahui bahwa yang berubah itu adalah mahluk ciptaan, namun bukan Allah. Sebab Allah tetap sama (lih. Ibr 1:10-12), Ia tetap adalah Allah yang adil dan penuh kasih setia (Mzm 145:17). Maka Allah itu tetap sama, baik dalam Perjanjian Lama atau Baru, namun karena keterbatasan manusianya, entah karena faktor peradabannya atau perkembangan akal budinya, maka pemahaman akan Allah seolah tidak sama dari masa ke masa. Di samping itu, memang sudah menjadi kebijaksanaan Allah bahwa Ia mewahyukan diri-Nya secara bertahap kepada umat manusia, sejak masa Penciptaan, zaman para nabi, sampai memuncak pada zaman Kristus, yaitu saat Sang Sabda yang adalah Allah, mengambil rupa manusia, untuk menyelamatkan umat manusia.

            Selanjutnya tentang bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada, klik di sini.

            3. Tentang kehadiran Tuhan dalam perayaan Ekaristi.

            Hal kehadiran Allah dalam Ekaristi itu merupakan sesuatu yang terjadi secara obyektif, yaitu karena kuasa Roh Kudus, melalui perkataan Sabda Tuhan. Maka kehadiran Tuhan tidak bersifat subyektif, ataupun tergantung dari “seberapa besar saya percaya”, seperti anggapan Anda. Sejujurnya, pemahaman Anda itu keliru.

            Katekismus mengajarkannya demikian:

            KGK 1373    Kristus hadir di dalam Sakramen ini oleh perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah-Nya. Bapa-bapa Gereja menekankan dengan tegas iman Gereja, bahwa Sabda Kristus dan kuasa Roh Kudus bekerja begitu kuat, sehingga mereka dapat melaksanakan perubahan ini. Santo Yohanes Krisostomus menjelaskan:
            Bukan manusia yang menyebabkan bahwa bahan persembahan menjadi tubuh dan darah Kristus, melainkan Kristus sendiri yang telah disalibkan untuk kita. Imam yang mewakili Kristus, mengucapkan kata-kata ini, tetapi daya kerjanya dan rahmat datang dari Allah. Inilah tubuh-Ku, demikian ia berkata. Kata-kata ini mengubah bahan persembahan itu” (prod. Jud. 1,6).

            Jadi kehadiran Kristus dalam Ekaristi itu tidak tergantung dari kita manusia, tapi dari kuasa Sabda-Nya dan kuasa Roh Kudus-Nya. Bahwa ada perbedaan efek secara rohani antara mereka yang menerima Ekaristi dengan sikap batin yang benar, dan mereka yang menerima dengan sikap batin yang seadanya, itu benar. Tetapi sikap batin orang tidak menjadi faktor penentu apakah Kristus sungguh hadir atau tidak dalam Ekaristi. Kristus hadir dalam Ekaristi, karena Sabda-Nya dan kuasa Roh Kudus-Nya. Hanya saja, efeknya kepada orang-orang yang menerimanya, tergantung dari sikap batin tiap-tiap orang itu. Tanpa sikap batin yang sesuai, maka dapat terjadi orang itu menerima Ekaristi, namun sepertinya tidak ada efeknya/ sia-sia saja. Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci mengatakan, “Akan tetapi supaya hasil guna itu [dari peryaan liturgi] diperoleh sepenuhnya, Umat beriman perlu datang menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaklah mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta bekerja sama dengan rahmat surgawi, supaya mereka jangan sia-sia saja menerimanya…” (Sacrosanctum Concilium, 11).

            Demikian Donny, tanggapan saya. Semoga menjawab pertanyaan Anda.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Terima kasih banyak Bu.., atas penjelasannya. Tapi mohon maaf, saya tidak terlalu puas dengan jawaban Ibu. Saya pikir Bu Inggrid tidak mempertimbangkan fakta yang ada di masyarakat saat ini, yang sebagian sudah saya sebutkan diatas.
            Perlu Ibu ketahui, teman saya yang saya ceritakan diatas, dia dulu SMP di sekolah katolik, dan tinggal di asrama sekolah katolik tersebut. Dia mengaku sering ikut misa. Dia ikut ibadat rutin tiap hari. Dalam bahasanya dia bilang bahwa dia berdoa seratus kali tiap hari. Tapi dia merasa bahwa dia belum menemukan sesuatu yang membuatnya bisa percaya pada Tuhan.

          • Shalom Donny,

            Saya sudah berusaha menjawab pertanyaan Anda dengan mengambil dasar dari ayat-ayat Kitab Suci dan dari dokumen Gereja Katolik. Kalau Anda tidak puas, ya itu adalah hak Anda, tapi dari pihak saya, saya tidak dapat mengubah jawaban saya. Sebab saya tidak dapat menjawab dengan maksud untuk memuaskan pembaca, tetapi pertama-tama, saya mempunyai komitmen untuk menyampaikan apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik, tentang topik yang ditanyakan.

            Anda menyampaikan fakta, bahwa ada banyak orang sekarang yang tidak dapat mengalami kehadiran Tuhan. Ya, saya juga mengetahui akan hal itu. Tetapi keadaan ini tidak untuk dijadikan dasar bagi kita untuk mengatakan bahwa memang Tuhan memutuskan demikian, yaitu untuk tidak lagi menunjukkan kehadiran-Nya di dunia (ataupun di tengah umat-Nya). Ini bukan ajaran Gereja Katolik maka saya tidak mungkin dapat setuju dengan Anda, jika Anda berpandangan demikian.

            Donny, kita sudah berdialog lebih dari dua kali putaran, dan ini adalah tanggapan saya yang terakhir untuk topik ini, dengan Anda. Mohon pengertian Anda, karena masih ada banyaknya pertanyaan yang lain yang perlu juga untuk ditanggapi. Izinkan saya menutup percakapan kita sampai di sini.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Eh ga jadi deh… Maklum Bu, masih muda jadi agak labil. hehe

            Untuk ketidaktahuan saya akan pertentangan yang ada dalam alkitab tersebut, saya baru-baru ini telah menemukan jawabannya di 1 Petrus 3: 18-20. Memang Allah terlihat tidak memiliki kasih yang besar dalam kisah Nabi Nuh,tapi Allah telah menebusnya dengan mengirimkan Roh Yesus untuk memberitakan Injil kepada roh mereka. Ini berarti Allah masih mungkin untuk mengampuni dan memberikan kehidupan yang kekal kepada roh orang yang tidak taat pada Allah dalam kisah Nabi Nuh.

            Tuhan memang Maha besar dan Maha Mengasihi. Ajari kami untuk selalu mengasihi sepertiMu Bapa. Amin
            Tuhan memberkati kita semua.

            [dari katolisitas: Kalau orang pada zaman nabi Nuh bertobat sebelum meninggal, maka dia akan mendapatkan pengampunan. Kita harus ingat, bahwa selain maha kasih, Allah juga maha adil.]

  5. Hello Katolisitas.org

    Saya ingin tanya tentang kemaha hadiran Allah (omnipresence of God).

    Apakah Allah bisa memutuskan untuk tidak hadir di suatu tempat?

    Jika jawabannya ‘tidak’ maka berarti Allah tidak mahakuasa karena bagaimana Allah disebut mahakuasa tetapi tetapi faktanya tidak mampu melakukannya?

    Jika jawabannya ‘ya’ maka berarti Allah tidak maha hadir

    Salam kasih Tuhan Yesus

    • Shalom Djawari,

      Agaknya prinsip yang harus dipahami adalah apa yang dinyatakan Allah dalam Kitab Suci tentang Diri-Nya, sebagaimana disampaikan oleh Rasul Paulus, “…. Dia [Allah] tidak dapat menyangkal diri-Nya” (2 Tim 2:13). Artinya, kalau Allah menyatakan diri-Nya sebagai Maha besar dan Maha kuasa (Mzm 96:4; Neh 9:32; 2 Mak 1:25), dan bahwa Allah juga adalah Kasih (1 Yoh 4:8), maka Ia tidak mungkin menjadi Kejahatan. Walaupun Allah Maha kuasa artinya dapat melakukan apa saja, tetapi tidak mungkin Allah menjadi jahat, sebab kejahatan itu bertentangan dengan kasih; karena Allah tidak mungkin menyangkal diri-Nya sendiri. Sebab tidak ada pertentangan dalam diri Allah.

      Dengan prinsip ini, maka kita tahu bahwa pertanyaan, “Apakah Allah bisa memutuskan untuk tidak hadir di suatu tempat?” itu adalah pertanyaan yang keliru. Karena pertanyaannya salah, maka tidak perlu dijawab.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  6. Hallo Ingrid,

    Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu.

    Saya ingin tanya. Dimanakah Tuhan berada?
    Selama ini saya menjawab ada di hati setiap orang tapi ada yang berpendapat Tuhan berada dimana mana, dan orang ini mengatakan kalau itu benar berarti ada dibenda apa saja?

    Tolong dijelaskan.

    Terima kasih dan salam,
    Frans The

    • Shalom Ko Frans,

      Tentang kehadiran Tuhan dalam mahluk ciptaan, silakan membaca terlebih dahulu artikel di atas, silakan klik.

      Dari prinsip di atas, kita perlu membedakan adanya 3 jenis kehadiran Tuhan:

      1) Kehadiran Tuhan di mana-mana, karena Ia adalah Tuhan yang Maha Hadir (omni-present), yaitu melalui pengetahuan-Nya, kuasa-Nya dan hakikat-Nya, yang memebrikan keberadaan kepada segala sesuatu. “Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia” (Ibr 4:13). “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada …” (Kis 17:28). “Tidakkah Aku memenuhi langit dan bumi? demikianlah firman TUHAN.” (Yer 23:24).

      Kehadiran ini sering disebut dengan “natural presence” of God.

      2) Kehadiran Tuhan secara rohani (spiritual presence), di dalam diri orang-orang yang berada dalam keadaan rahmat.
      “Tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu?” (1 Kor 6:19).

      3) Kehadiran Tuhan Yesus secara nyata (real presence), di dalam Ekaristi. “Inilah Tubuhku… (Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:19; 1Kor 11:24) Inilah darah-Ku… (Mat 26:28; Mrk 14:24; Luk 22:20; 1Kor 11:25)

      Dengan membedakan ketiga macam kehadiran Allah ini, kita dapat melihat bahwa memang Allah itu Maha Hadir: Ia hadir di mana-mana, namun secara rohani, Ia hadir/ berada di dalam diri orang-orang percaya yang setia melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan Allah yang mewahyukan Diri-Nya di dalam Kristus, secara nyata dan seutuhnya (mencakup Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan-Nya) hadir di dalam Ekaristi. Semoga kesadaran kita akan kehadiran Kristus yang nyata dan seutuhnya dalam Ekaristi semakin memperdalam penghormatan kita akan perayaan Ekaristi.

      Selanjutnya tentang kehadiran Kristus dalam Ekaristi, klik di sini.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  7. Shalom Katolisitas
    Saya ingin bertanya, apakah ada tanda-tanda tertentu saat kita tidak dalam keadaan rahmat (state of grace)? Apa saja tanda-tanda jika kita sudah tidak lagi menjadi tempat kediaman Roh Kudus?

    terima kasih

    [Dari Katolisitas: Yang menyebabkan orang tidak lagi dalam keadaan rahmat adalah dosa berat. Silakan membaca terlebih dahulu artikel-artikel berikut:
    Masih Perlukah Pengakuan Dosa (bagian 1), untuk memahami apakah bedanya dosa berat dan dosa ringan
    Dosa berat dalam hubungannya dengan keselamatan
    Mengapa kita perlu tahu dosa berat dan dosa ringan?
    Dosa menghujat Roh Kudus dan dosa berat.]

  8. Shalom Inggrid
    Membaca naskah anda dan tanggapan sdr Fxe, serta jawabannya dari anda timbul pertanyaan dalam hati saya, karena ketidak fahaman tentang keberadaan Tuhan dalam segala hal. Pertanyaan saya dilatar belakangi oleh firman Tuhan mulai dari Kitab Kejadian dalam proses penciptaan, Tuhan menghembuskan RohNya dalam diri kita. Dus berarti ada roh Tuhan dalam diri kita. Yang ke dua sabda Yesus sendiri “Bapa ada dalam Aku dan Aku dalam Bapa, Aku didalam engkau dan engkau dalam Aku. (mohon maaf tidak hafal tempatnya dalam Injil dan tidak hafal persis kalimatnya, mohon koreksi) Kesimpulannya Tuhan di dalam aku. Kalo pemahaman saya ini saya kaitkan dengan pertanyaan saya (belum terjawab) tentang mana yang lebih dominan yang terjadi atas diri kita antara rancangan / kehendak Tuhan dengan kehendak bebas kita, maka apapun yang kita lakukan ini pada hakekatnya adalah kehendak Roh yang ada dalam diri kita dan itu sama dengan kehendak Tuhan sendiri. Kalo demikian halnya maka tidak ada bedanya antara NAM dengan pendapat Santo Thomas diatas. Tolong berikan saya pencerahan agar tidak sesat. Trimakasih GBU.

    • Shalom Frans,

      Prinsipnya adalah, Roh Tuhan ada di dalam diri ciptaan-Nya, namun tidak menjadi satu dan sama dengan hakekat/ kodrat ciptaan-Nya. Keberadaan Allah dalam diri kita manusia, tidak menjadikan kita otomatis adalah Allah juga. Adanya partikel Allah dalam diri ciptaan yang suatu saat akan bersatu menjadi Allah adalah ajaran Panteisme, yang tidak sesuai dengan ajaran Kristiani. Iman Kristiani mengajarkan bahwa Allah melampaui segala ciptaan-Nya dan karena itu, hakekat Allah tidak tercampur baur dengan hakekat manusia. Dalam diri Kristuspun, yang mempunyai dua kodrat (kodrat Allah dan manusia), kedua kodrat tersebut tidak tercampur baur, namun tergabung secara hypostatic, sedemikian, sehingga masing-masing kodrat melakukan bagiannya masing-masing. Hal ini sudah pernah dibahas di artikel Yesus Sungguh Allah Sungguh Manusia, silakan klik.

      Maka Allah hadir dalam hakekat manusia, namun tidak terlebur menjadi satu dalam hakekat manusia. Kehadiran Allah dalam diri manusia adalah untuk memberi kehidupan, menopangnya agar tetap eksis, agar manusia dapat melakukan segala sesuatu untuk dapat mencapai tujuan-Nya. Untuk memahami keberadaan Roh Allah dalam diri manusia, mari mengacu kepada Katekismus Gereja Katolik:

      KGK 300     Allah jauh melampaui segala karya-Nya (Bdk. Sir 43:28). “Ya Tuhan, betapa mulia nama-Mu di seluruh bumi” (Mzm 8:2); “kebesaran-Nya tidak terduga” (Mzm 145:3). Tetapi karena Ia adalah Pencipta yang bebas dan mulia, sebab pertama dari segala sesuatu, yang ada, Ia pun hadir dalam hakikat makhluk ciptaan-Nya: “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada” (Kis 17:28). Menurut santo Agustinus, Allah itu “lebih tinggi daripada diriku yang tertinggi dan lebih dalam daripada diriku yang tedalam” (conf. 3,6,11).

      KGK 308      Dengan demikian kebenaran bahwa Allah bekerja dalam setiap perbuatan makhluk-Nya tidak dapat dipisahkan dari iman akan Allah Pencipta….Diangkat dari ketidak-adaan oleh kekuasaan, kebijaksanaan dan kebaikan Allah, makhluk tidak dapat berbuat apa-apa, kalau ia diputuskan dari asalnya, karena “ciptaan menghilang tanpa Pencipta” (GS 36,3). Lebih lagi, ia tidak dapat mencapai tujuan-Nya tanpa bantuan rahmat (Bdk. Mat 19:26; Yoh 15:5; Flp 4:13).

      KGK 320     Allah, yang menciptakan alam semesta, mempertahankannya dalam keberadaannya oleh Sabda-Nya, Sang Putera, “yang menopang segala yang ada dengan sabda-Nya yang penuh kekuasaan” (Ibr 1:3) dan melalui Roh Pencipta-Nya yang memberi kehidupan.

      Maka adanya Roh Allah di dalam kita tidak menjadikan kita sama dengan Kristus yang adalah Putera Allah. Kitab Suci berkali kali menyatakan bahwa Kristus adalah Anak Allah yang Tunggal (lih. Yoh 3:16; 1 Yoh 1:18; 1 Yoh 4:9), artinya tidak ada duanya, maka kita manusia tidak ada yang dapat menyamai Dia. Namun Allah mengutus Roh-Nya secara khusus melalui Baptisan agar kita menjadi anak-anak angkat Allah di dalam Kristus sehingga dapat diselamatkan dan memperoleh kehidupan kekal.

      Maka keselamatan memang pertama-tama adalah karunia Allah, yang diperoleh pertama-tama oleh karena rahmat karunia Allah, bukan karena usaha manusia. Namun karunia ini memerlukan tanggapan yang merupakan hasil keputusan kehendak bebas manusia. Sejujurnya pergumulan antara rahmat Allah dan kehendak bebas manusia ini merupakan suatu misteri yang tak dapat sepenuhnya disederhanakan. Sebab terlalu menekankan rahmat sampai menihilkan kehendak bebas, itu bukan ajaran iman Katolik, namun sebaliknya, menekankan kehendak bebas di atas rahmat Tuhan, juga bukan ajaran iman Katolik. Gereja mengajarkan adanya peran kerjasama antara keduanya, yaitu rahmat Tuhan dan kehendak bebas manusia, yang dapat menghantar manusia kepada keselamatan.

      Dengan pemahaman ini kita mengakui, bahwa keberadaan manusia ditopang oleh Roh Allah, namun manusia mempunyai kehendak bebasnya sendiri, untuk menanggapi atau tidak menanggapi karunia dari Allah. Maka kehendak bebas manusia tidak otomatis merupakan kehendak Allah, ini terlihat dalam buktinya, bahwa ada orang yang dengan kehendaknya sendiri memilih untuk berbuat jahat. Kehendak jahat ini bukan dari Allah, sebab Allah bukan penyebab kejahatan. Manusia tidak dapat menyalahkan Allah untuk kejahatan yang ia lakukan, sebab hal itu diputuskannya sendiri melalui kehendak bebasnya. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

      KGK 311     Para malaikat dan manusia, ciptaan yang berakal budi dan bebas, harus menyongsong tujuannya terakhir dengan kehendak bebas dan mengutamakan tujuan itu karena cinta. Karena itu mereka juga dapat menyimpang dari jalan dan dalam kenyataannya sudah berdosa. Demikianlah kejahatan moral, yang jauh lebih buruk daripada kebobrokan fisik, masuk ke dalam dunia. Bagaimanapun juga, baik langsung maupun tidak langsung, Allah bukanlah sebab kejahatan moral (Bdk. Agustinus, lib. 1,1,1; Thomas Aquinas. ST. 1-2,79,1). Namun Ia membiarkannya terjadi karena Ia menghormati kebebasan makhluk-Nya, dan dengan cara yang penuh rahasia Ia tahu menghasilkan yang baik darinya:
      “Allah yang maha kuasa… dalam kebaikan-Nya yang tak terbatas tidak mungkin membiarkan kejahatan apa pun berada dalam karya-Nya, kalau Ia tidak begitu maha kuasa dan baik, sehingga Ia juga mampu mengambil kebaikan dari kejahatan” (Agustinus, Enchir. 11,3).

      Selanjutnya tentang ada dua macam kehendak Allah, silakan membaca di artikel ini, silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  9. Dear Katolisitas,
    Saya ingin sharing renungan yang saya kumpulkan dari beberapa sumber, rasanya seperti merangkai sebuah puzzle. Mohon saran-saran bila ada keping-keping puzzle yang belum lengkap, atau malah salah pasang.

    Ayat pertama dari seluruh Kitab Suci adalah: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. Tetapi Allah tidak menciptakan lalu meninggalkannya (seperti seorang pembuat jam), melainkan Allah terus memelihara dan menghidupi ciptaan-Nya. Segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan segala sesuatu ada di dalam Dia, maka Dia ada di dalam segala sesuatu dan tanpa Dia tidak ada sesuatu pun yg sudah dijadikan dapat mempertahankan keberadaannya. Maka dalam konteks manusia, sejak dia diciptakan dalam rahim ibunya, kenyataan bahwa janin itu ada dan hidup artinya Roh Allah telah ada di dalamnya untuk mengalirkan rahmat-rahmat yang memberinya eksistensi dan kehidupan. Jadi di dalam setiap manusia ada tubuh dan jiwa, dan juga ada Roh Allah yg menyebabkan dia eksis dan hidup.
    (*menurut saya, dikotomi atau trikotomi tergantung dari mana kita melihatnya)

    Tetapi mengapa dikatakan bahwa Roh Kudus dicurahkan saat Pembaptisan?
    Roh Allah telah ada bersama tubuh dan jiwa setiap manusia sejak dia diciptakan di dalam rahim. Tetapi pada manusia yang dibaptis, Roh Allah bersemayam dengan cara yang istimewa. Dan karena Allah itu sederhana, maka artinya Allah Tritunggal bertakhta dalam diri manusia yg dibaptis (Indwelling Trinity). Manusia menjadi Bait Allah yg hidup. Ada tiga alternatif pendapat untuk menjelaskan bagaimana Allah Tritunggal tinggal dengan cara istimewa dalam manusia yang dibaptis: 1) secara subjective; 2) secara objective; dan 3) dengan cara gabungan keduanya.

    1). Secara subjective; Sebenarnya kehadiran Allah dalam diri manusia sejak dia diciptakan sampai dengan dia dibaptis adalah sama, tetapi Baptis memberi kemampuan pada kodrat jiwa manusia sehingga jiwa manusia bisa lebih mengalami Allah dalam dirinya. Analogi penjelasan ini: seorang bayi baru lahir dirawat oleh ibunya. Bayi yang baru lahir inderanya belum berfungsi sempurna untuk dapat melihat, mendengar, maupun bersentuhan dengan ibunya. Ketika dia tumbuh dan inderanya semakin sempurna, maka dia dapat melihat, mendengar, dan merasakan sentuhan ibunya dengan lebih baik. Tidak ada yg berubah dari kehadiran ibu, tetapi kemampuan anak mengenali ibunya itulah yang berkembang.

    2). Secara objective; analoginya adalah: seorang anak selalu diberi-tahu oleh ibunya bahwa ayahnya – yang sedang mencari nafkah di tempat jauh – sangat mencintai dia. Bahwa sang ayah sering menulis surat menanyakan keadaan anaknya itu, dan ayahnya selalu memenuhi segala kebutuhan anak itu. Pada suatu waktu, sang Ayah memutuskan pulang ke rumah, lalu memangku anaknya itu, mengelus kepalanya dan mencium pipinya. Dalam cerita ini, secara objective ada perbedaan bentuk kehadiran sang ayah bagi si anak. Bila sebelumnya anak mengalami kasih ayah dari semua pemberian yang diterimanya kini dia merasakan kasih ayah yang hadir memangku dia.

    3). Secara gabungan subjective dan objective (no.1 dan no.2 di atas).

    Ketiga alternatif pendapat di atas masing-masing didukung kelompok teolog dengan argumentasinya sendiri. Tetapi saya merasa alternatif no.3 yaitu secara gabungan objective dan subjective lebih mudah saya pahami.

    Bila pada manusia sebelum dibaptis Roh Allah tinggal di dalamnya untuk mengalirkan rahmat-rahmat (created operations) untuk eksistensi dan kehidupannya, kemudian pada waktunya memberi rahmat agar manusia mempunyai iman, harapan, dan kasih; tetapi sedemikian besar KASIH ALLAH kepada manusia sehingga Allah tidak ingin memberi rahmat-rahmat saja tetapi – lebih daripada itu semua(!!!) – Dia ingin memberikan Diri-Nya sendiri kepada manusia (uncreated grace) agar manusia dapat mengambil bagian dalam kehidupan interior Allah Tritunggal, yaitu kebahagiaan sempurna. Untuk tujuan itu, Allah melahirkan kembali manusia sehingga kodrat manusia diangkat menjadi anak-anak Allah. Inilah rahmat pengudusan, sebuah tindakan istimewa dari Allah bagi manusia, a higher-level of created operation oleh Allah karena Allah lebih dari sekedar “bekerja” menyalurkan rahmat tetapi Allah sendiri “melahirkan” kembali manusia sehingga kodrat manusia diangkat menjadi anak-anak Allah. Agar Allah Tritunggal dapat mencintai manusia secara istimewa, yaitu tinggal dalam diri manusia (Indwelling Trinity) yang telah diangkat menjadi anak Allah, dan agar manusia mampu mengambil bagian dalam kehidupan interior Allah Tritunggal. Sehingga manusia sebagai anak-angkat Allah, menjadikan dirinya Bait Allah, untuk menempatkan kehendak Allah sebagai prioritas di atas kehendaknya sendiri. Dengan cara ini relasi cinta antara Allah Tritunggal dan manusia diangkat ke tingkat yang istimewa. Pembaptisan adalah buah Paskah Kristus. St. Agustinus berkata: “Allah telah menjadi manusia agar manusia dapat menjadi Allah.”.

    Tanpa Rahmat Pengudusan, Allah tidak dapat mengasihi manusia dengan cara istimewa – yaitu memberikan Diri-Nya sendiri kepada manusia dan manusia tidak punya kemampuan untuk mengambil bagian dalam kehidupan interior Allah.

    Tetapi, manusia dapat menerima rahmat-rahmat dari Allah sehingga dia mempunyai iman, harapan, dan kasih, tetapi Allah Tritunggal tidak tinggal di dalam dirinya. Ini terjadi bila manusia itu berdosa berat.

    Tetapi walaupun Allah Tritunggal tinggal di dalam diri kita, tetapi kita tidak dapat melihat Allah apa adanya, muka dengan muka. Karena kodrat kita belum dimuliakan oleh Allah. Hanya nanti di Surga setelah kita menerima cahaya kemuliaan (light of Glory) dari Allah, kita dapat melihat Allah apa adanya, muka dengan muka.

    Di dunia ini, sesuai kodrat manusia, kita menyadari kehadiran Allah lewat terang iman (light of Faith) yaitu menyadari kehadiran Allah lewat pantulan kehadiran-Nya pada keindahan alam, relasi dengan sesama, lewat keindahan seni, dan ciptaan-ciptaan Allah yang lain.

    Tetapi karena Allah Tritunggal tinggal di dalam diri kita berkat Pembaptisan, maka kita membuka diri terhadap rahmat kontemplasi yaitu mengalami Allah Tritunggal di dalam diri kita secara lebih nyata tapi samar-samar, seperti kita menyadari kehadiran seorang kekasih dalam kabut yang pekat. Pengalaman kontemplasi ini mengizinkan kita mencicipi kehadiran Allah yang lebih nyata daripada yang kita dapatkan lewat “light of Faith” tetapi lebih rendah daripada pengalaman definitif di Surga setelah kita menerima “light of Glory”. Persisnya dimana, hanya Allah yang tahu setinggi apa Dia mau mengangkat manusia, disesuaikan dengan tekat dan kekudusan jiwa manusia itu sendiri di dunia ini. St. Theresia dari Avila dan St. Yohanes dari Salib misalnya, telah diangkat oleh Allah begitu tinggi sehingga mengalami kehadiran Allah yg tertuang dalam tulisan-tulisan beliau. Dalam Las Moradas (Puri Batin) St. Theresia menggambarkan perjalanan manusia untuk bertemu dengan Allah yang bersemayan di kedalaman jiwanya yang paling dalam (moradas ke-7). Dan ketika jiwa manusia semakin ditarik oleh Allah, maka jiwa mengalami beberapa krisis untuk memurnikannya yang oleh St. Yohanes dari Salib digambarkan sebagai “malam gelap indera” (dark night of senses) dan “malam gelap jiwa” (dark night of soul). Dalam konteks ini pula Ekaristi jadi istimewa karena Allah – yang hanya bisa kita alami samar-samar di dunia ini – hadir dalam wujud yang bisa dicerap oleh indera kita.

    (maaf terlalu panjang…, kalau Katolisitas berkenan sebenarnya masih ada yang ingin di-sharingkan. Terima kasih. GBU.)

    • Shalom Fxe,

      Terima kasih atas pertanyaan dan sharing pemahaman Anda.

      Izinkan saya menanggapi, bukan atas dasar pandangan saya pribadi, tetapi saya mengutip apa yang diajarkan oleh St. Thomas Aquinas, tentang kehadiran Tuhan, silakan klik di sini.

      Atas dasar ajaran St. Thomas Aquinas ini saya menanggapi pernyataan Anda. Secara umum, kita tidak dapat mengatakan bahwa kehadiran Allah dalam diri kita sebelum dan sesudah dibaptis itu sama, hanya kita saja yang secara subyektif memaknainya berbeda. Kalau menurut St. Thomas Aquinas, terdapat perbedaan antara kehadiran Allah di dalam diri seseorang, sebelum dan sesudah ia dibaptis. Perbedaan ini tidak disebabkan karena perasaannya terhadap kehadiran Tuhan, sehingga sifatnya subyektif, namun karena secara obyektif memang ada perbedaan cara bagaimana Tuhan hadir di dalam jiwa orang-orang yang percaya dan di dalam semua orang (atau segala sesuatu).

      Di dalam diri orang percaya, Tuhan hadir sebagai Penggerak dalam diri orang itu yang mengubahnya ke arah yang ilahi, jadi bukan hanya sebagai Penyebab keberadaan orang itu. Hal ini terlihat dari bagaimana Allah bekerja di dalam diri orang percaya, (mungkin saja tidak dirasakan oleh orang yang bersangkutan), yaitu bahwa oleh karena rahmat-Nya, Allah sendiri membentuk orang itu melalui kebajikan iman, pengharapan dan kasih, sehingga ia dapat bertumbuh semakin hari semakin menyerupai Allah, dalam artian semakin menghendaki yang baik dan menjauhi yang jahat, dan dapat semakin berbuat kasih sampai ke tingkat yang mengagumkan/ heroic, sebagaimana terlihat nyata dalam diri para Santo dan Santa, bukan karena orang-orang itu sendiri yang melakukannya atas kemampuan diri sendiri, tetapi karena Allah turut bekerja di dalam diri mereka, dan memampukan mereka melakukan hal- hal yang baik tersebut. Hal perubahan yang menghasilkan efek sedemikian ini tidak mungkin dapat terjadi jika hanya didasari atas penghayatan subyektif manusia. Kalau bukan Tuhan sendiri yang mengadakan perubahan cara bagaimana Ia sungguh hadir di dalam kita dan menjadikan kita tempat kediaman-Nya sendiri (lih. 1 Kor 3:16, 6:19), sehingga Ia bebas berkarya di dalam diri kita, maka kita tidak mungkin dapat menjadi kudus ataupun bertumbuh dalam kekudusan/ kesempurnaan kasih.

      Oleh sebab itu di sepanjang hidup kita, kita harus mengusahakan agar kita dapat terus mempertahankan keadaan rahmat ini dengan selalu bekerjasama dengan rahmat Tuhan. Jika sampai kita jatuh ke dalam dosa yang berat, sehingga dalam keadaan ini kita tidak lagi menjadi tempat kediaman Roh Kudus, maka perlulah kita bersegera bertobat, memohon rahmat pengampunan Tuhan, agar Ia kembali dapat menguduskan kita dan agar Ia berkenan kembali hadir di dalam diri kita dan tinggal di dalam kita.

      Maka terus terang, menurut hemat saya, ungkapan bahwa kehadiran Tuhan itu dapat diartikan subjective dan objective sebagaimana yang Anda tuliskan (dengan argumen masing-masing), sepertinya kurang tepat, jika kita berpegang pada ajaran St. Thomas Aquinas. Bahwa benar, kita secara subyektif dapat merasakan kehadiran Tuhan, tetapi kebenaran tentang kehadiran Tuhan dalam hidup kita tidak tergantung dari perasaan kita.

      Namun, pemahaman Anda bahwa sebelum dibaptis Tuhan memberikan semacam bantuan untuk membuat kita dapat bertahan hidup, namun setelah kita dibaptis Tuhan memberikan rahmat-Nya yang menguduskan, itu benar. Sebab setelah kita dibaptis, kita tidak hanya ditopang Allah agar bertahan hidup, namun kita diangkat menjadi anak-anak Allah dan dimampukan Allah untuk hidup sesuai dengan panggilan kita sebagai anak-anak Allah. Bantuan Allah yang menguduskan inilah yang sering dikenal dengan istilah “sanctifying grace“: rahmat yang menguduskan. Dengan rahmat Allah ini, kita diangkat menjadi anak-anak Allah, digabungkan ke dalam kehidupan Allah sendiri dalam Trinitas, kita diizinkan mengalami kesatuan dengan Allah di dunia ini, yang secara samar-samar kita terima melalui Komuni Kudus, sambil menantikan penggenapan janji Allah bahwa kita akan sungguh bersatu dengan-Nya dan diubah-Nya menjadi seperti Dia, dalam kehidupan kekal abadi di Surga (lih. 1 Yoh 3:2), saat kita memandang Dia muka dengan muka, dalam keadaan-Nya yang sebenarnya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

Comments are closed.