Orang-orang di masa moderen ini sulit menerima bahwa kebahagiaan hanya di dalam Tuhan; mereka menyangkal kebenaran itu dengan mengatakan bahwa pernyataan itu hanyalah ungkapan iman dan tidak bisa didemonstrasikan kebenarannya. Penyangkalan ini tidak lain adalah hasil dari lumpuhnya pendidikan modern yang memandang sebelah mata pendidikan klasik, padahal pemikiran dari orang-orang seperti Homer, Aristoteles, St. Augustine, dan St. Thomas Aquinas lah yang membentuk dunia sekarang ini. Tanpa mempelajari Aristoteles dan St. Thomas Aquinas, seseorang akan sulit menerima bahwa sesungguhnya artikel-artikel iman memiliki fondasi rasional yang begitu kokoh, termasuk mengenai “kebahagiaan hanya di dalam Tuhan.”
Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles (384–322 BC) mendiskusikan tentang Etika, yaitu bagaimana seseorang itu harus hidup dan mengapa ada cara hidup yang lebih sempurna dari yang lainnya. Karya ini, walaupun seringkali dilupakan oleh pendidikan modern, adalah fondasi bagi perkembangan filosofi, politik, dan teologi sejak abad pertengahan. Dalam beberapa buku-buku awalnya dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles mempertanyakan hal-hal fundamental, dan tema yang paling besar adalah mengenai tujuan akhir manusia (atau semua aktivitas manusia). Seperti yang biasa diterapkannya, Aristoteles menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar dengan argumen yang kokoh dan logis. Namun, ketika membahas tentang tujuan akhir manusia yang ia mengerti sebagai “kebahagiaan,” ia hanya berhenti di satu titik abstrak di mana tanpa pewahyuan Allah argumen tersebut sulit dikembangkan lebih jauh. St. Thomas Aquinas kemudian menyempurnakan pencarian jawaban dari pertanyaan “apakah tujuan akhir manusia” dalam karyanya Summa Theologica dengan jawaban yang lebih konkrit, tentunya dibantu oleh keuntungan yang ia dapatkan dari pewahyuan Allah.
Dalam kesempatan ini, logika dan argumen Aristoteles dalam menjelaskan tujuan akhir manusia akan dijabarkan ke dalam enam poin singkat.
Semua aktivitas mengarah kepada suatu tujuan ((Aristoteles, Nicomachean Ethics I:1))
Aristoteles selalu memulai argumennya dengan pernyataan yang kebenarannya dapat diterima semua orang: semua aktivitas mengarah kepada suatu tujuan. Tampaknya, pertanyaan tersebut tidak bisa dibantah kebenarannya. Tumbuhan bertumbuh untuk suatu tujuan: menghasilkan buah. Sapi memakan rumput untuk suatu tujuan: bertahan hidup. Manusia berolahraga untuk tujuan tertentu: menjaga kesehatan. Semua aktivitas mengarah pada tujuan tertentu dan tidak ada aktivitas yang dilakukan tidak untuk mencapai sesuatu, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Tujuan-tujuan tidak mungkin berjumlah tak terhingga ((NE I:2))
Suatu tujuan itu mengarah pada tujuan lain. Manusia bekerja, misalkan, untuk mencari uang, dan uang digunakan untuk memeroleh makanan, dan seterusnya. Namun, tujuan-tujuan manusia tidak mungkin berjumlah tak terhingga karena, bila manusia memunyai tujuan-tujuan yang tak terhingga, maka manusia tidak memunyai tujuan apapun, dan itu adalah tidak masuk akal. ((Pembuktian pernyataan ini menggunakan metode reductio ad absurdum, yaitu dengan menunjukkan bahwa penyangkalan pernyataan tersebut akan menghasilkan implikasi yang salah atau tidak masuk akal. Contohnya, pernyataan “semua manusia itu bisa meninggal” itu benar karena bila “ada manusia yang tidak bisa meninggal,” maka sekarang ada manusia yang berumur ribuan tahun, dan pernyataan itu adalah tidak masuk akal (absurd).)) Penjelasan argumen tersebut adalah sebagai berikut.
A –> B, B –> C, C –> D
A = tujuan awal
B, C = tujuan pertengahan
D = tujuan akhir
Bila tujuan-tujuan manusia itu tak terhingga, maka tidak ada tujuan akhir (tujuan yang tidak mengarah pada hal lain). Tanpa tujuan akhir (misalkan D), maka tidak mungkin ada tujuan-tujuan pertengahan (misalkan B, C) dan, maka, tidak mungkin ada tujuan awal (misalkan A): pernyataan ini tidak masuk akal karena dengan demikian tidak ada yang pernah terjadi. Maka dari itu, tujuan-tujuan manusia pasti mengarah pada satu tujuan akhir, dan bukan berjumlah tak terhingga.
Tujuan akhir manusia adalah sesuatu yang setelah dicapainya, ia tidak lagi mencari tujuan lain, atau tujuan akhir manusia adalah sesuatu yang dicari demi hal itu sendiri dan tidak demi hal lain. ((NE I:2))
Apa itu “tujuan akhir”? Tujuan dari suatu aktivitas itu berbeda-beda, dan nampaknya, ada tujuan yang lebih penting dan sempurna dari yang lainnya. Tujuan yang paling penting dan sempurna adalah tujuan yang dicari demi tujuan itu sendiri. Uang bukanlah tujuan manusia yang paling penting karena uang digunakan untuk mencari tujuan lain, seperti makanan. Makanan juga bukan tujuan manusia yang paling penting karena makanan digunakan untuk mencari tujuan lain, yaitu bertahan hidup. Bila telah dibuktikan bahwa manusia pasti memiliki tujuan akhir, tujuan akhir tersebut tidak akan dicari demi tujuan lain, melainkan demi tujuan itu sendiri.
Kebahagiaan adalah tujuan akhir manusia ((NE I:2))
Kebahagiaan (Gk. eudaimonia), nampaknya, adalah tujuan akhir manusia, karena kebahagiaan tidak digunakan untuk mencari tujuan lain; kebahagiaan dicari demi kebahagiaan itu sendiri. Sebagai experimen, andaikan kita mengetahui cara langsung untuk mendapatkan kabahagiaan yang sempurna dan abadi; pasti kita tidak ragu untuk menggunakan cara itu, dan uang, kenikmatan, kekuasaan, dan hal-hal lain menjadi tidak penting karena semuanya pun dicari demi kebahagiaan. Namun, apakah kebahagiaan itu? Istilah ini harus dijelaskan sebelum kita bisa memahami apakah tujuan akhir manusia.
Macam-macam kebahagiaan (pendapat orang-orang mengenai kebahagiaan) ((NE I:5))
Aristoteles menganalisa dengan bertanya: apakah pendapat orang-orang mengenai kebahagiaan? Setidaknya ada tiga pendapat umum mengenai apa kebahagiaan itu. Pertama, seseorang mengira bahwa kebahagiaan adalah gratifikasi, atau kesenangan (gratification/pleasure). Namun, tampaknya ini bukanlah kebahagiaan yang sebenarnya dicari manusia; kehidupan yang hanya mencari hal tersebut tidaklah berbeda dengan kehidupan sapi atau binatang-binatang lainnya yang hanya mencari rumput demi kepuasan dirinya. Manusia seharusnya memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi.
Ada pula yang berpikir bahwa kebahagiaan terletak di kekuasaan politik, yaitu menjalani hidup yang berkebajikan. Ada pula yang berpikir bahwa kebahagiaan terletak di aktivitas intelektual (Gk. theorein). Kepemilikan uang sudah jelas bukanlah kebahagiaan yang dicari manusia karena uang hanyalah alat untuk mendapatkan hal-hal di atas: kesenangan, kekuasaan, dan kecerdasan. Untuk mencari kebahagiaan yang sebenarnya dicari manusia, kita harus melihat apakah fungsi manusia itu yang membedakan dia dari makhluk-makhluk lain karena setiap aktivitas bergantung pada fungsinya.
Kebahagiaan itu harus dicari berdasarkan fungsi unik manusia ((NE I:7))
Ada tiga tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, fungsi manusia adalah sebagai makhluk hidup (living being). Sebagai makhluk hidup, manusia selalu mencari cara untuk mempertahankan eksistensinya, baik dengan makanan ataupun keturunan. Fungsi ini, nampaknya, bukanlah fungsi unik manusia karena semua tumbuhan juga memiliki disposisi atau kecenderungan yang serupa. Pohon berusaha tumbuh ke atas untuk mencari sinar matahari yang akan mempertahankan hidupnya.
Kedua, fungsi manusia adalah sebagai makhluk perasa (sensing being). Selain berusaha mempertahankan hidupnya, manusia juga dapat merasakan sakit dan senang, buruk dan baik, suka dan tidak suka terhadap sesuatu. Namun, ini juga bukanlah fungsi manusia yang paling sempurna karena setiap binatang juga memiliki kecenderungan yang sama: mencari yang baik dan menjauhi yang buruk. Seekor domba akan menjauhi serigala dan mencari gembalanya.
Ketiga, fungsi manusia adalah sebagai makhluk berakal budi (rational being). Tampaknya, inilah fungsi manusia yang paling sempurna karena hanya manusialah yang memiliki kekuatan untuk berakal budi, yaitu kekuatan yang terletak pada aktivitas jiwa/roh manusia. Maka dari itu, bila fungsi utama seorang nahkoda adalah membawa kapalnya sampai di tujuannya, aktivitas itulah yang harus menjadi tujuan utama oleh nahkoda tersebut—selama ia adalah nahkoda (a sailor insofar as a sailor). Sama halnya seperti manusia: bila fungsi utama manusia adalah aktivitas dalam berakal budi, maka tujuan akhir dari manusia, atau kebahagiaan, seharusnya adalah kesempurnaan dalam aktivitas berakal budi.
Kesimpulan: Kebahagiaan menurut Aristoteles
Hidup di abad keempat BC, Aristoteles, tanpa mendapatkan pewayhuan Allah, berhasil mencari tujuan akhir manusia sampai pada pengertian kebahagiaan sebagai penyempurnaan dalam aktivitas berakal budi, dan penyempurnaan ini yang dia mengerti sebagai kebajikan. ((Kebajikan (virtue), dalam hal ini, adalah penyempurnaan aktivitas berakal budi (NE I:7), dan akal budi adalah bagian dari jiwa (NE I:8). Maka, definisi kebahagiaan menurut Aristoteles: Happiness is a sort of activity of the soul expressing virtue (cf. NE I:9,10), dan definisi orang bahagia menurut Aristoteles: “the one who expresses complete virtue in his activities, with an adequate supply of external goods, not for just any time but for a complete life” (NE I:10).)) Namun, pencarian tujuan akhir manusia ini tentu belum sempurna. Selama tujuan akhir manusia belum ditemukan dalam kesempurnaannya, dan karena setiap aktivitas itu dilakukan berdasarkan tujuan akhirnya, Etika masih diselimuti ketidakpastian: bagaimana seseorang harus hidup dan berperilaku? St. Thomas akan melanjutkan pencarian ini, dan dengan bantuan pewahyuan Allah, ia berhasil memberikan jawaban yang lebih pasti mengenai apakah kebahagiaan itu yang sebenarnya dicari manusia.
Dear Bro Kevin Ang,
Salam kenal.
Terima kasih banyak untuk sharing pengetahuan yang meneguhkan dan melengkapi khasanah als.
Sungguh perlu pemaparan hal macam ini untuk memberikan fondasi kuat dalam iman dan perbuatan nyata sebagai manusia yang dipilih Kristus Tuhan menjadi sahabat dan teman perjalanan menuju keabadian.
Sekali lagi terima kasih banyak.
Marilah senantiasa berjuang menjadi sempurna… (bdk Mat 5,48)
Salam positif,
als
.vince in bono malum. (Rom 12, 21b)
Comments are closed.