Nyanyian tentang keagungan kasih berdenting sangat lembut. Ia menggetarkan hati yang pilu. Kasih menghadirkan senyuman di kala kesedihan melanda jiwa. Benang-benang asa yang terputus teruntai kembali dengan nada-nada kasih. Semangat yang patah tersambung berkat kelembutan kasih. Di mana ada nyanyian kasih, di sana ada kekuatan dan pengharapan.
Keagungan kasih dinyanyikan dalam panggung kehidupan sepasang kakek dan nenek yang romantis. Kasih mengikat jiwa dan raga mereka selamanya. Mereka menyambut kedatanganku dengan senyuman lebar yang menghiasi bibir mereka. Tiada menyangka bahwa kakek itu menderita kanker yang telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Tiada yang mengira bahwa nenek tersebut menyimpan luka melihat penderitaan si kakek yang disayanginya. Tiada kerinduan sekarang ini, selain Sakramen Perminyakan Suci, bukan sebagai bekal untuk kembali ke alam baka, tetapi sebagai kekuatan dalam menjalani operasi kankernya. Keharuan menoreh hati mendengarkan ungkapan kasih mereka. Air mata mengalir deras di pipi kakek itu di kala menyampaikan isi hatinya kepada istrinya : “Nek, ketika aku menikahi engkau, aku tidak mempunyai apa-apa, selain cinta di dalam hati dan engkau hanya mengangguk tanda mengamini”. Si nenek diam saja. Si kakek melanjutkan perkataannya : “Ketika aku agak petakilan, engkau sabar dan tidak menghakimi karena engkau yakin bahwa aku akan kembali kepada Tuhan Yesus yang engkau imani. Kini aku bahagia karena engkau memberikan dua cucu dari dua anak yang engkau lahirkan”. Si nenek tetap tak bergeming, tetapi membelai rambutnya yang telah memutih. Si kakek diam sejenak dan meneruskan perkataannya : “Nek, aku tidak takut mati, tetapi apa artinya surga bagiku ketika tanpa dirimu lagi di sisiku”. Sang nenek pun menjawab dengan cepat : “ Kek, tunggu aku …. aku pasti akan menyusulmu di surga nanti agar aku tetap berada di sisimu selamanya kalau Tuhan memang memanggilmu”. Si kakek pun menyandarkan kepalanya pada bahu sang nenek untuk melepaskan keresahan jiwanya. Ia pun menjadi tegar menghadapi meja operasi karena harapan akan kesatuan dengan bongkahan jiwanya di surga ketika itu terjadi. Lebih-lebih dia percaya bahwa Tuhan selalu mendampinginya melalui istrinya yang telah dianaugerahkanNya kepadanya. Di dalam Tuhan, tidak ada yang perlu ditakuti dalam kehidupannya. Karena itu, ia memilih untuk menjalani operasi pada Hari Kamis Putih yang lalu karena ia ingin bersama-sama dalam penderitaan Tuhan Yesus agar bangkit bersamaNya pula pada Hari Raya Paskah. Aku yakin, bahwa, ia benar-benar menghayati Sabda Tuhan melalui Nabi Yesaya karena telah terbiasa membaca Kitab Suci setelah mengikuti Kursus Evangelisasi Pribadi dan Emmaus Journey berkat ajakan Bapak Ismail, aktivis Katolik : “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan” (Yesaya 41:10).
Hangatnya mentari pagi tak dapat menggantikan hangatnya kasih. Indahnya matahari terbenam di celah-celah pegunungan tak sebanding dengan keindahan lagu kasih yang bergendang di hati. Suara gemericik air sungai tak semerdu sepenggal bait nyanyian kasih. Keagungan kasih Tuhan nyata dalam dendangan kasih kita : “Aku hendak menyanyikan kasih setia TUHAN selama-lamanya, hendak memperkenalkan kesetiaan-Mu dengan mulutku turun-temurun” (Mazmur 89:2). Sepengggal nyanyian tentang keagungan kasih yang kita lantunkan mentahtakan keagungan kasih Tuhan di dalam jiwa : “Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama-lamanya; kesetiaan-Mu tegak seperti langit” (Mazmur 89:3). Membiasakan diri berbuat kasih merupakan jalan mengalirkan kasih dari Takhta Sang Pemilik Kasih yang agung secara otomatis. Istilah Jawa “Witing Trisno Jalaran Soko Kulino/ mengasihi karena biasa” membuat hidup kita menjadi nyanyian kasih yang agung dari Sang Raja Kasih. Mengasihi berarti siap menerima luka. Tiada kasih yang agung jika tiada perasaan terluka. Tuhan Yesus sendiri rela menerima luka yang sangat menyakitkan karena kasih-Nya kepada manusia sampai berteriak : “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku ? “ (Markus 15:34). Tuhan memberkati.
Oleh Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC