[Hari Raya Tritunggal Mahakudus: Kel 34:4-9; Kid Dan 3:52-56; 2Kor 13:11-13; Yoh 3:16-19]
Hari ini kita merayakan Misteri Allah yang menjadi inti ajaran iman Kristiani kita, yaitu Allah Tritunggal Mahakudus. Telah ada banyak khotbah tentang Allah Tritunggal Mahakudus, namun tetap menarik bagi kita untuk mendengarkannya kembali dan merenungkannya, mengingat betapa dalamnya makna yang terkandung di dalamnya. Di hari istimewa ini, mari kita meresapkan apa yang disampaikan oleh Fr. Raniero Cantalamessa, pengkhotbah kepausan, yang mengatakan bahwa Allah Trinitas adalah contoh bagi seluruh umat manusia sebab menunjukkan bagaimana kasih itu menciptakan kesatuan dari perbedaan.
“Injil hari ini mengisahkan suatu waktu Yesus berkata kepada Nikodemus: ‘Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya. Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; tetapi barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak tunggal Allah.’ (Yoh 3:16-18)
Bacaan Kedua dalam liturgi hari ini, yang diambil dari Surat kedua Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, adalah salah satu bacaan yang paling langsung menunjukkan adanya misteri Allah Tritunggal yang Mahakudus: ‘Rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, kasih Allah dan persekutuan dengan Roh Kudus beserta kita.’ Tetapi, mengapa kita umat Kristen percaya akan Trinitas? Tidak-kah itu cukup sulit untuk percaya bahwa Allah itu ada, sehingga kita juga harus menambahkan padanya, istilah yang membingungkan, bahwa Ia adalah ‘satu dan tritunggal’? Ada banyak orang dewasa ini yang bukannya tidak dengan senang hati untuk mengesampingkan Trinitas, supaya dapat berdialog dengan lebih baik dengan umat Yahudi dan Muslim, yang mengakui iman akan satu Allah yang secara kaku dipahami sebagai Allah yang satu.
Umat Kristen percaya akan Allah yang Tritunggal, karena mereka percaya bahwa Allah adalah kasih! Adalah wahyu Allah sebagai Kasih, yang dinyatakan oleh Yesus, yang mengharuskan kita untuk menerima Trinitas. Ini bukan penemuan manusia. Tidak ada kasih yang ditujukan kepada kekosongan, tak ada kasih yang tidak ditujukan kepada seseorang. Maka kita mesti bertanya: siapakah yang dikasihi Allah, agar Ia disebut sebagai Kasih? Jawaban pertama mungkin: Ia mengasihi umat manusia. Tetapi keberadaan kita manusia adalah sekitar jutaan tahun, tidak lebih. Dan sebelum itu, siapa yang Allah kasihi? Sesungguhnya, Ia tak bisa mulai disebut kasih pada titik tertentu di dalam waktu, sebab Allah tidak dapat berubah.
Jawaban kedua: sebelumnya Ia mengasihi kosmos, alam semesta. Tetapi keberadaan alam semesta adalah sekitar ribuan juta tahun. Sebelumnya, siapa yang dikasihi Allah untuk menyebut diri-Nya sendiri sebagai kasih? Kita tak dapat berkata bahwa Ia mengasihi diri-Nya sendiri sebab untuk mengasihi diri sendiri itu bukan kasih tetapi egoisme atau, kata psikolog, narcisisisme.
Inilah jawaban dari wahyu Kristiani. Allah adalah kasih di dalam diri-Nya sendiri, sebelum adanya waktu, sebab Ia telah selalu memiliki dalam diri-Nya sendiri seorang Putra, yaitu Sang Sabda, yang Ia kasihi dengan sebuah kasih yang tak terbatas, yaitu di dalam Roh Kudus. Di dalam semua kasih selalu ada tiga realitas atau subyek: pihak yang mengasihi, pihak yang dikasihi dan kasih yang mempersatukan mereka.
Allah umat Kristen adalah satu dan tritunggal sebab Ia adalah persekutuan kasih. Teologi telah menggunakan istilah ‘kodrat’ atau ‘hakikat’ untuk menyatakan kesatuan di dalam Allah, dan istilah ‘pribadi’ untuk menyatakan perbedaannya. Karena ini, kita katakan bahwa Allah itu satu Allah dalam tiga Pribadi. Ajaran Kristiani tentang Trinitas bukanlah kemunduran, suatu kompromi antara monoteisme dan politeisme. Tapi ajaran Kristiani adalah sebuah langkah lebih lanjut yang hanya Allah sendiri yang dapat membuat pikiran manusia dapat menerimanya.
Kini mari kita melihat pertimbangan-pertimbangan praktis. Trinitas adalah model/contoh dari setiap persekutuan manusia, dari yang paling sederhana dan kecil, yaitu keluarga, sampai kepada Gereja universal. Trinitas menunjukkan bagaimana kasih menciptakan kesatuan dari perbedaan: kesatuan tujuan, kesatuan pikiran, kehendak, perbedaan subyek, ciri-ciri dan dalam ranah manusia, perbedaan jenis kelamin. Dan kita melihat, secara khusus, betapa banyak yang dapat dipelajari oleh sebuah keluarga dari contoh Trinitas.
Jika kita membaca Perjanjian Baru dengan teliti, kita mengamati semacam kaidah. Setiap dari ketiga Pribadi Ilahi tidak berbicara tentang diri-Nya sendiri, tetapi tentang Pribadi lainnya; tidak menarik perhatian kepada diri-Nya sendiri, tetapi kepada Pribadi lainnya. Setiap kali Bapa berbicara dalam Injil, Ia selalu menyatakan sesuatu tentang Putra-Nya. Yesus, pun, berbicara hanya tentang Bapa-Nya. Ketika Roh Kudus menjangkau hati seorang yang percaya, Ia tidak mengajarnya untuk mengucapkan nama-Nya, yang dalam bahasa Ibrani adalah ‘Ruah’, tetapi mengajarkannya untuk berkata ‘Abba’ yang adalah nama Bapa.
Mari mencoba untuk berpikir apa yang akan timbul dari cara ini, kalau kita menerapkannya dalam kehidupan keluarga. Ayah, yang tidak terlalu mempersoalkan untuk menyatakan otoritasnya daripada otoritas ibu; ibu, yang sebelum mengajarkan anaknya untuk mengatakan, ‘Mama’ mengajarkannya untuk mengatakan ‘Papa.’ Kalau cara ini ditiru dalam keluarga-keluarga dan komunitas kita, mereka sungguh menjadi cerminan Trinitas di dunia, tempat-tempat di mana kasih yang menjadi kaidah yang mengatur semuanya.”
(Diterjemahkan dari artikel “Father Cantalamessa on the Trinity”, May 20, 2005, ref: https://zenit.org/articles/father-cantalamessa-on-the-trinity/)