Ada sejumlah orang mempertanyakan: Jika Gereja Katolik mengartikan ‘perempuan’ di kitab Wahyu 12 itu adalah Bunda Maria, mengapa ia digambarkan mengalami kesakitan sebelum melahirkan? Padahal Gereja juga meyakini bahwa Bunda Maria tidak berdosa, sehingga tidak mengalami konsekuensi dosa yang dialami setiap wanita yang mengalami kesakitan pada waktu melahirkan. Bukankah ini adalah suatu kontradiksi? Pertama-tama, perlu kita ketahui bahwa Gereja Katolik mengakui bahwa terdapat berbagai kemungkinan interpretasi tentang ‘perempuan’ dalam Kitab Wahyu 12. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik. Namun memang benar bahwa interpretasi utama dan langsung dari ‘perempuan’ dalam kitab Wahyu 12 adalah Bunda Maria, sebab kedua tokoh lainnya dalam perikop tersebut, juga diinterpretasikan langsung sesuai dengan makna literalnya. Yaitu: Anak laki-laki itu yang akan menggembalakan semua bangsa, adalah Kristus; dan naga itu adalah iblis. Karena Anak laki-laki dan naga itu mengacu langsung kepada pribadi yang digambarkannya, maka lebih logislah jika ‘perempuan’ yang melahirkan Anak laki-laki itu, juga mengacu langsung kepada pribadi yang digambarkannya, yaitu Bunda Maria, yang melahirkan-Nya. Walaupun memang dapat saja, perempuan itu juga diartikan secara simbolis sebagai Gereja ataupun bangsa Israel.
Why 12:1-2 mengatakan, “…Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya. Ia sedang mengandung dan dalam keluhan dan penderitaannya hendak melahirkan ia berteriak kesakitan (‘in anguish for delivery‘ menurut terjemahan RSV).” Jika kita melihat ke kata aslinya dalam bahasa Yunani, kata yang digunakan adalah βασανίζω (basanízō) yang pada ayat-ayat lainnya dalam Kitab Suci dipergunakan bukan untuk menggambarkan rasa sakit secara fisik, tetapi lebih kepada penderitaan batin. Kata basanízō dipakai di ayat-ayat lain dalam Kitab Suci, yang artinya:
– jiwa yang tersiksa (lih.2 Ptr2:8)
– siksaan seperti disengat kalajengking (Why 9:5)
– sakit akibat kerja keras (Mrk 6:48)
– terombang ambing angin sakal (Mat 14:24)
– menderita karena sakit (Mat 8:8)
– sakit karena hukuman (Mat 8:29; Mrk 5:7;
Luk 8:28; Why 11:10; 11:6; 14:10; 20:10)
Menurut John McHugh, “Kata Yunani di sini yang diterjemahkan sebagai ‘in anguish‘ tidak pernah sekalipun digunakan untuk menggambarkan sakit fisik karena melahirkan; baik dalam kitab Septuaginta, Perjanjian Baru, apokrif, maupun tulisan papyri dari para Bapa Gereja. Lebih tidak umum lagi jika kita membayangkan kejadian sakit melahirkan itulah yang digambarkan dalam tulisan-tulisan ini. Kata yang lebih tepat mengartikannya adalah ‘mengalami penderitaan’ dan karena itu, kata tersebut menjadi kata kerja yang cukup mengejutkan untuk ditemui ketika kita mengingat penjabaran yang cemerlang tentang sang perempuan itu.”[1]
Maka, bukan sakit fisik melahirkan yang dialami Bunda Maria saat melahirkan Yesus di Betlehem, yang ingin disampaikan dalam perikop ini. Sebaliknya St. Yohanes Rasul bermaksud menggambarkan adanya kelahiran yang lain, yaitu kelahiran Gereja, yang adalah Tubuh Mistik Kristus, di sini. Walaupun Gereja dinyatakan lahir secara penuh di hari Pentakosta, namun Gereja telah mulai terbentuk di kayu salib Golgota, yang dilambangkan dengan keluarnya darah dan air dari lambung Kristus. Sebagaimana dulu Hawa dibentuk dari rusuk Adam, demikianlah Gereja dibentuk dari air dan darah dari rusuk Kristus. Di saat itu, saat hampir semua murid-Nya meninggalkan Yesus, Bunda Maria mengalami penderitaan yang tak terlukiskan, saat ia turut menderita bersama Putera-Nya Yesus yang dianiaya dan disalibkan sampai wafat. Maka penderitaan Bunda Maria di sini bukanlah penderitaan fisik karena melahirkan, tetapi penderitaan batin, saat menderita bersama Kristus yang dengan pengorbanan-Nya melahirkan Gereja. Maka Bunda Maria memberikan dua macam kelahiran, yaitu 1) melahirkan Kristus secara kodrati tanpa merusak keperawannya, sehingga ia tidak mengalami sakit melahirkan; 2) melahirkan Tubuh Mistik Kristus secara rohani, yaitu di Golgota, saat Maria menyatukan penderitaannya dengan penderitaan Kristus. Demikianlah para Bapa Gereja, seperti St. Agustinus mengajarkan bahwa Bunda Maria adalah sungguh ibu bagi para anggota Kristus.[2]
Dalam Ad Diem Illum Laetissimum, Paus St Pius X menulis:
“Tanda besar”, yang dijelaskan oleh Rasul Yohanes tentang penglihatannya, terlihat di Surga: ‘Seorang perempuan berselubungkan matahari dan dengan bulan di bawah kakinya dan bermahkota dua belas bintang di atas kepalanya.” Semua orang tahu, bahwa perempuan ini menggambarkan Perawan Maria, seorang yang tanpa noda yang telah melahirkan kepala kita…. maka Yohanes melihat Bunda Allah tersuci sudah dalam kebahagiaan di Surga, namun mengalami kesakitan misterius saat melahirkan. Kelahiran apakah itu? Tentu itu adalah kelahiran kita yang, masih mengembara di tanah pembuangan, harus dilahirkan menuju kasih Allah yang sempurna dan kepada kebahagiaan kekal. Dan sakit melahirkan menunjukkan kasih dan kerinduan yang dengannya Sang Perawan dari Surga menjaga kita dan berupaya dengan doa yang tak terputus untuk mendatangkan penggenapan bilangan orang-orang yang terpilih…” (ADIL, 24)
Squillaci menjelaskannya demikian: Di kitab Wahyu 5:6, tampaklah Kristus di Surga dalam rupa Anak Domba yang disembelih/ ditikam (Yoh 19:36). Maka penderitaan perempuan yang digambarkan dalam Why 12:2, juga ada dalam kaitannya dengan penikaman Sang Anak Domba. Maka di kitab Wahyu 12, acuannya bukan kelahiran Kristus di Betlehem, melainkan perkataan Kristus di kayu salib kepada murid-murid-Nya, “Inilah Ibumu” (Yoh 19:26). Ini adalah hal keibuan Maria secara rohani dan bela rasa yang dengannya Bunda Yesus mengambil bagian dalam penderitaan Putera-nya, Sang Anak Domba yang ditikam. Maka Yoh 19:25-26 dan Why 12 mempunyai hubungan satu sama lain. Dalam kedua perikop tersebut, keibuan Maria secara rohani dalam kaitannya dengan para murid Kristus melibatkan penderitaan.[3]
Maka di sini Rasul Yohanes membicarakan tentang bentuk penderitaan batin, sebagaimana juga dialami oleh Rasul Paulus, yang juga menggmbarkan penderitaan batinnya seperti sakit melahirkan, ‘sampai rupa Kristus menjadi nyata’ di dalam para pembaca suratnya. Juga bagaimana sakit melahirkan juga disebut dalam suratnya yang lain, “… segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin…. kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.” (Rm 8:22-23) Demikianlah penderitaan yang dialami oleh Bunda Maria, yang merupakan penggenapan dari nubuat Simeon, bahwa sebilah pedang akan menembus jiwanya (lih. Luk 2:34-35).
Juga di perikop Why 12, setelah disebutkan tentang penderitaan yang dialami oleh sang perempuan itu, dikatakan juga bahwa Anak-Nya akan ‘dibawa lari kepada Allah dan ke tahta-Nya’ yang menjadi penggambaran akan kebangkitan dan kenaikan Kristus ke Surga. Maka penderitaan dan ‘kesakitan’ yang disebut dalam Why 12:2 berkaitan dengan penderitaan Bunda Maria ketika melihat penolakan terhadap Putera-Nya Yesus Kristus di kayu salib. Dan bahwa dalam penderitaan itu, Bunda Maria telah diberikan Yesus kepada murid-murid-Nya untuk menjadi ibu rohani bagi mereka (lih. Yoh 19:27, Why 12:17).
[1] John McHugh, The Mother of Jesus in the New Testament, (Gardent City, New York: Doubleday & Company, Inc., 1975), p.411.
[2] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium, 53
[3] D. Squillaci, “Maria nella Donna dell’ Apocalisse”, Mile Immaculatae 5 (1969): 151 seperti dikutip oleh Stephano Manelli, All Generations Shall Call Me Blessed, (New Bedford, Massachusetts: Academy of the Immaculate, 1995), pp. 356-357.