[Hari Minggu Biasa V: Yes 58:7-10; Mzm 112:4-9; 1Kor 2:1:5; Mat 5:13-16]
Mungkin kita pernah bertanya kepada diri kita sendiri: Apakah baik jika kita menjadi orang yang idealis? Idealis tidak untuk diartikan menjadi fanatik, tetapi menjadi orang yang konsisten melaksanakan ajaran imannya dengan sepenuhnya dan sebaik-baiknya. Jika diartikan demikian, tentu ini baik dan cocok dengan pesan sabda Tuhan hari ini. Sebagai murid Kristus kita dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia. Garam, seperti halnya terang, adalah sesuatu yang sifatnya tidak tanggung-tanggung. Tidak seperti gula yang ada tiruannya dengan rasa yang “mirip” rasa gula yang tidak begitu manis; garam tidaklah bisa ditiru, atau dibuat tidak begitu asin. Seandainya garam tidak asin lagi, maka kata Yesus, “tidak ada gunanya selain dibuang dan diinjak-injak orang” (Mat 5:13). Demikian juga dengan terang. Cahaya yang berguna untuk menerangi, tentu adalah cahaya yang bersinar terang, agar dapat membuat orang melihat sekitar dengan jelas.
Dengan analogi garam dan terang, Yesus mengajarkan kepada kita, bahwa kita tidak boleh menjadi seorang yang mengimani Dia dengan setengah- setengah. Orang yang setengah beriman adalah orang yang memilih-milih ajaran menurut seleranya, tentang ajaran mana yang mau diimaninya dan dilakukannya—dengan kecenderungan memilih ajaran yang mudah dan menolak ajaran yang “sukar”. Contoh tentang ajaran iman yang sukar ini adalah ajaran tentang salib. Sebagai murid Kristus kita tidak terhindar dari salib, bahkan Yesus mengajarkan agar kita mengambil bagian dalam menanggung salib kehidupan kita masing-masing, agar kita kelak dapat pula mengambil bagian dalam kemuliaan-Nya (lih. Mat 16:24; bdk. Flp 3:10-11; Rm 6:5). Bacaan Kedua hari ini mengacu kepada surat Rasul Paulus yang menyampaikan alasannya, yaitu karena inti dari ajaran iman kita sebagai murid Kristus adalah: “Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1Kor 2:2). Sebab keselamatan kita diperoleh karena pengorbanan Kristus di kayu salib, yang diikuti oleh kebangkitan-Nya. Begitu pentingnya makna salib Kristus bagi keselamatan kita, maka Rasul Paulus memilih untuk tidak mengetahui apapun selain daripada fakta ini. Sebab keselamatan kita tidak datang dengan mudah, namun melalui pengorbanan habis-habisan dari Tuhan Yesus Penyelamat kita. Maka, kalau kita mau menjadi murid-Nya kita pun dipanggil untuk mau mengikuti jejak-Nya ini. Yaitu, agar kita juga mau ikut berjuang habis-habisan untuk setia melakukan ajaran Kristus, sesuai dengan panggilan hidup kita masing-masing.
Tantangan kita di zaman sekarang ini adalah menerapkan ajaran iman kita dalam hidup sehari-hari. Sebab ada kecenderungan bahwa kita mengetahui apa yang seharusnya kita lakukan, tetapi kita berkompromi pada saat mau melakukannya, karena mengalah kepada keinginan yang lebih “enak” menurut tubuh kita. Bukankah sudah umum bahwa orang yang gemar korupsi, menerima suap atau memberi suap, sebenarnya juga sudah tahu bahwa hal itu tidak sesuai dengan ajaran iman? Atau orang umumnya lebih suka meyakini bahwa kalau ikut Yesus pasti diberkati, daripada harus menyangkal diri dan memikul salib kita sehari-hari untuk mengikuti Dia? Atau orang lebih suka mengikuti hobby kuliner ke sana ke mari dan enggan melakukan ketentuan Gereja untuk berpantang minimal setiap hari Jumat sebagai ungkapan tobat? Atau yang cenderung suka shopping, dan sulit untuk hidup sederhana dan mencukupkan diri dengan apa yang sudah dimiliki? Sepertinya walau kita mengetahui hal yang ideal, namun kelemahan dan keinginan badan kerap kali dituding menjadi alasan bagi kegagalan kita melaksanakannya. Kita sering jatuh bangun dalam mengalahkan keinginan tubuh, dan karena itu, belum sepenuhnya mampu menundukkannya di bawah tuntutan ajaran Injil, sehingga belum maksimal juga dalam mewartakan Injil. Menurut St. Agustinus, sikap ini adalah seperti menaruh pelita di bawah gantang (wadah pengukur bulir jagung). Katanya, “Dengan apakah perkataan ini kita artikan, “meletakkannya [pelita] di bawah gantang”? Hanya untuk menyatakan menyembunyikan [pelita], atau adakah arti lain yang lebih penting? Meletakkan pelita di bawah gantang berarti memilih kemudahan secara badani dan kenikmatan, daripada tugas untuk mewartakan Injil. Dan [juga berarti] menyembunyikan terang ajaran yang baik di bawah gratifikasi yang sifatnya sementara. Gantang merujuk kepada hal-hal yang berkenaan dengan tubuh, entah karena ganjaran akan diukurkan kepada kita (lih 2Kor 5:10), sebab setiap orang akan memperoleh apa yang patut diterimanya menurut apa yang dilakukan tubuhnya; atau karena hal-hal duniawi yang menyangkut tubuh itu datang dan pergi dalam ukuran waktu tertentu, yang dilambangkan dengan ukuran gantang. Sedangkan hal-hal kekal dan rohani itu tidak ada batasnya. Seseorang yang menempatkan pelitanya di atas kaki dian, adalah ia yang menundukkan tubuhnya kepada pelayanan sabda Tuhan, menempatkan pewartaan kebenaran di tempat tertinggi dan membuat tubuhnya tunduk di bawahnya. Sebab tubuh itu sendiri melayani untuk menjadikan ajaran bersinar makin terang, sedangkan suara [perkataan] dan gerak tubuh dalam perbuatan-perbuatan baik melayani untuk mendorong orang-orang yang mau mempelajarinya” (St. Augustine, Catena Aurea, Mat 5:14).
St. Agustinus mengingatkan kita, bahwa menjadi garam dan terang dunia itu sesungguhnya membutuhkan perjuangan. Namun jika dilakukan, hal itu akan membawa kebaikan, bagi kehidupan kita dan juga kehidupan sesama kita. Kejujuran, pengorbanan, ketulusan kasih dan pengendalian diri adalah nilai-nilai luhur yang tidak dapat ditentang atau digantikan. Tuhan tidak menghendaki bahwa kita hanya menyimpan nilai-nilai luhur untuk diri kita sendiri, namun untuk dibagikan kepada sesama. Dan pada saat kita melakukan dan membagikannya, kita melaksanakan panggilan kita untuk menjadi garam dan terang dunia. Sebab dunia di sekitar kita memang memiliki patokan nilai yang seringnya berbeda dengan nilai-nilai luhur ajaran iman kita. Kita menjadi garam dan terang dunia, jika kita berjuang untuk hidup kudus sesuai dengan ajaran iman kita. Perjuangan ini dimulai dari diri kita sendiri, dengan pertama-tama menundukkan keinginan daging di bawah tuntutan ajaran Injil, dan dengan demikian, kita dapat mewartakannya kepada sesama. Sebab dengan menundukkan keinginan sendiri di bawah tuntutan ajaran Injil, kita dapat terdorong untuk memberikan apa yang kita inginkan sendiri, kepada sesama kita yang lapar, miskin, dan membutuhkan bantuan (lih. Yes 58:7-10).
Mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, sejauh mana kita telah hidup sebagai garam dan terang dunia? Sudahkah kita “cukup asin” untuk menggarami, dan “cukup terang” untuk menerangi sekitar kita? Cukup konsisten kah kita dalam melaksanakan ajaran dan perintah Tuhan? Dan berjuang untuk bertumbuh dalam kekudusan? Mungkin baik kita mengingat apa yang dikatakan oleh St Paus Yohanes Paulus II ini:
“Seperti garam memberikan rasa kepada makanan dan terang menerangi kegelapan, demikianlah juga kekudusan memberikan arti kepada hidup dan membuatnya menjadi cermin bagi kemuliaan Tuhan. Berapa banyak orang kudus [Santo dan Santa], terutama mereka yang masih muda, yang dapat kita andalkan dalam sejarah Gereja! Dalam kasih mereka kepada Allah, kebajikan heroik mereka menyinari dunia, dan mereka menjadi teladan kehidupan, yang oleh Gereja dianggap sebagai contoh untuk ditiru oleh semua orang…. Melalui doa syafaat para saksi iman ini, semoga Tuhan menjadikan kalian semua… para orang kudus di milenium ketiga ini!” (Paus Yohanes Paulus II, World Youth Day, 2002).
“Ya Tuhan, betapa ku rindu agar semua orang memuliakan Engkau. Bantulah aku, supaya dapat menjadi garam yang tidak menjadi tawar dan terang yang tidak menjadi redup, bagi dunia di sekitar ku. Agar semakin banyak orang dapat mengenal Engkau, Sang Terang, yang kubawa dalam diriku. Amin.”