[Minggu Prapaskah I: Ul 26:4-10a; Mzm 91:1-15; Rm 10:8-13; Luk 4:1-13]
Bacaan Injil di awal masa Prapaska ini mengisahkan tentang Tuhan Yesus yang berpuasa di padang gurun selama 40 hari lamanya, dan dicobai iblis. Mungkin banyak dari kita sudah berkali-kali membaca perikop ini, dan sejumlah dari kita bahkan hafal akan kisahnya. Namun hari ini, mari kita renungkan satu hal saja dari kisah tersebut. Yaitu bahwa iblis ‘berani’ menggoda Yesus, dan di puncak godaannya itu, iblis mengutip ayat-ayat Kitab Suci!
Fakta bahwa bahkan Yesus sendiri—ketika Ia mengambil rupa manusia—tidak luput dari godaan iblis, ini harus membuat kita waspada. Sebab tak ada seorang pun—sekalipun ia “dekat dengan Tuhan”—yang tidak pernah digoda oleh iblis. Godaan tidak selalu datang dalam bentuk yang hebat atau dahsyat. Bisa saja awalnya hanya godaan kecil-kecil saja, seperti godaan untuk makan di saat sedang berpuasa, godaan untuk mengabaikan puasa dan pantang, godaan untuk memilih apa yang enak saat sedang berniat bermatiraga. Namun godaan bisa meningkat, seperti godaan menyangkut ambisi akan kekuasaan dan kemuliaan, agar dihormati orang. Yesus pun digoda oleh iblis demikian. Yesus mengalahkan godaan itu dengan sabda Tuhan, “Manusia hidup bukan dari roti saja” (Ul 8:3); dan “Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Ul 6:13)
Lalu, entah karena ikut-ikutan atau karena memang cerdik dan culas, sang iblis juga mengutip Kitab Suci saat menggoda Yesus agar menunjukkan kehebatan-Nya dengan menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah. Sebab katanya, “Mengenai Engkau, Ia [Allah] akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya untuk melindungi Engkau, dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu” (Mzm 91:11-12). Ayat-ayat ini kita dengar di Mazmur hari ini. Perkataan itu mengacu kepada janji Allah kepada umat-Nya, suatu ungkapan kiasan yang artinya adalah perlindungan Allah bagi orang percaya dari marabahaya. Namun iblis mengutip ayat ini untuk menggoda Yesus agar sengaja mendatangkan bahaya atas diri-Nya—yaitu dengan menjatuhkan diri dari ketinggian. Agar dengan demikian, Yesus menunjukkan hebatnya perlindungan yang akan diterima-Nya dari Allah Bapa-Nya. Tetapi Yesus dengan tegas menjawab, “Jangan mencobai Tuhan, Allah-Mu!” (Ul 6:16)
Demikianlah, dewasa ini, ada orang-orang yang berusaha menutupi kesalahan dan dosa yang dibuatnya, dengan mengutip sabda Tuhan. Tentu tak ada kesalahan dalam sabda yang dikutip, namun hanya interpretasinya yang tidak benar. Ada orang yang mengutip kisah Yesus yang marah pada para pedagang-pedagang di bait Allah, sebagai pembenaran bagi sifatnya yang pemarah. Ada yang mengutip kisah hidup Raja Daud dan Salomo yang punya banyak istri, sebagai alasan baginya untuk menyetujui poligami. Ada yang menekankan ajaran kasih yang tak membeda-bedakan, untuk membenarkan dukungannya terhadap perkawinan sesama jenis. Atau orang mencari-cari ayat sebagai alasan untuk menceraikan istri atau suami dan kemudian menikah lagi. Bahkan mau berbuat curang pun mengartikan sendiri, (kali-kali aja itu termasuk arti) “cerdik seperti ular” tak apa, asal “tulus seperti merpati!”… dan masih banyak lagi. Semoga sabda Tuhan hari ini dapat menegur kita agar kita tidak memiliki kecenderungan mencari pembenaran diri, dari suatu perbuatan yang sudah jelas salah, dengan mengutip ayat-ayat Kitab Suci yang diartikan menurut kehendak sendiri. Dalam keadaan ingin membela diri, ada kecondongan orang hanya melihat sedikit ayat tanpa memperhitungkan ayat-ayat lainnya dalam Kitab Suci. Semoga kitapun diberi kewaspadaan agar tidak lekas terpengaruh oleh paham-paham yang keliru walaupun sepertinya terlihat “berbau ayat Kitab Suci”. St. Ambrosius mengingatkan, “Jangan biarkan pengajar sesat memikatmu dengan memberikan contoh-contoh dari Kitab Suci. Iblis menggunakan kesaksian dalam Kitab Suci bukan untuk mengajar tetapi untuk menipu.” (St. Ambrose, in Catena Aurea, Luk 4: 9-13). Agar kita tidak jatuh dalam kesalahan semacam ini, kita perlu dengan rendah hati mendengarkan ajaran Magisterium Gereja, yang daripadanya kita memperoleh Kitab Suci. Sebab ajaran Magisterium merupakan rangkuman interpretasi yang benar akan ayat-ayat Kitab Suci.
Selanjutnya, hari ini kita diingatkan akan kerahiman Allah yang selalu menyertai umat-Nya. Sejak zaman Nabi Musa, sebagaimana kita dengar di Bacaan Pertama, Allah terus menolong umat-Nya, keluar dari penjajahan Mesir menuju ke Tanah yang dijanjikan-Nya. Gereja mengartikan penjajahan Mesir sebagai gambaran dari penjajahan dosa; pembebasannya adalah makna Baptisan dan bahwa Tanah Terjanji Kanaan yang sesungguhnya adalah Surga. Namun memang tak sedikit waktu perjalanan sejak bangsa Israel dibebaskan dari penjajahan Mesir, sampai ke Tanah Terjanji. Demikianlah pula, tak singkat waktu perjalanan sejak kita dibaptis sampai nanti kita berpulang dan dapat diterima dalam Kerajaan Surga. Ada jatuh bangun yang harus dilalui: jatuh (lagi) ke dalam kelemahan kita, namun selalu ada kesempatan untuk bangun (lagi) melalui pertobatan selama kita masih hidup di dunia ini. Masa Prapaska adalah masa bagi kita untuk kembali bangun dari kejatuhan kita; bertobat dari segala kesalahan kita. Ini diawali dengan suatu langkah sederhana: mengakui bahwa kita telah berdosa. Kita tak perlu mencari pembelaan diri dari ayat-ayat manapun. Kalau kita sudah tidak jujur, ya katakan demikian di hadapan Tuhan. Demikian juga, kalau kita pemarah, sombong, ingin dipuji orang, dan sulit mengampuni. Ini saatnya kita berseru kepada Tuhan, yang kaya akan belas kasihan kepada semua orang yang berseru kepada-Nya (Rm 10:12).
Godaan-godaan mungkin memang tetap ada, kesesakan dalam hidup tidak berhenti, namun kasih Tuhan mengatasi semuanya itu. Yesus pun pernah mengalami godaan-godaan itu, namun Ia tidak jatuh ke dalamnya. Maka kini Ia membantu kita untuk melalui berbagai godaan dengan kekuatan yang daripada-Nya, supaya kita pun tidak jatuh. Sebab Yesus adalah Tuhan kita yang telah mengalahkan kuasa dosa dan maut; dan inilah yang akan kita peringati dengan penuh syukur di masa Paskah kelak.
“Tuhan, betapa ingin ku melekat kepada-Mu, agar Engkau meluputkan aku dari segala godaan dosa. Kumohon, berilah aku kerendahan hati, agar dapat mengakui dosaku dengan jujur tanpa mencari pembenaran diri. Jawablah aku jika aku berseru dalam kelemahanku, dan lindungilah aku di dalam kesesakan. Amin.”