Pertanyaan:
salam sejahtera,
maaf saya ada pertanyaan mengenai tradisi lokal dalam hubungannya dengan Gereja. salah seorang teman di dunia maya yang sangat erat dan mendalami budaya kejawen merasa kesulitan atas ketidakselarasan dengan ajaran Gereja. mungkin bpk/ibu/romo ada masukan tentang hal ini, karena menurut ybs bila praktek2 kejawen dihilangkan ”isi” nya maka jadi sia – sia. sementara ini ybs masih lebih memberati ajaran kejawennya, sementara iman Katoliknya kelihatannnya belum ada titik temu dan cenderung dikompromikan.
thx sebelumnya ya.
GBu – Sisilia
Tambahan informasi dari Sisilia: contoh praktek kejawen dalam konteks ini adalah:
merawat benda2 pusaka, tapi beserta dengan ‘ISI’nya. Adanya hari baik dan hari buruk
kesenian2 beserta dengan ‘ISI’nya. Meditasi yang menurutnya berbeda dengan meditasi yang dijiwai secara katolik.
Jawaban:
Shalom Sisilia,
Terima kasih atas pertanyaannya. Untuk menjawab apakah praktek kejawen yang mengarah kepada praktek “pengisian” benda-benda pusaka, dll, maka kita perlu terlebih dahulu (A) mengerti tentang konsep inkulturasi, (B) mengerti alasan utama, mengapa teman Sisilia masih tetap ingin mempraktekkan kejawen. Setelah dua hal ini dimengerti, maka kita dapat menarik dengan jelas batas-batas inkulturasi yang tidak melanggar ajaran Gereja Katolik dan pada saat yang bersamaan dapat juga membantu teman Sisilia.
A. TENTANG INKULTURASI:
The process of the Church’s insertion into peoples’ cultures is a lengthy one. It is not a matter of purely external adaptation, for inculturation “means the intimate transformation of authentic cultural values through their integration in Christianity and the insertion of Christianity in the various human cultures.” The process is thus a profound and all-embracing one, which involves the Christian message and also the Church’s reflection and practice. But at the same time it is a difficult process, for it must in no way compromise the distinctiveness and integrity of the Christian faith.
Through inculturation the Church makes the Gospel incarnate in different cultures and at the same time introduces peoples, together with their cultures, into her own community. She transmits to them her own values, at the same time taking the good elements that already exist in them and renewing them from within. Through inculturation the Church, for her part, becomes a more intelligible sign of what she is, and a more effective instrument of mission.
Thanks to this action within the local churches, the universal Church herself is enriched with forms of expression and values in the various sectors of Christian life, such as evangelization, worship, theology and charitable works. She comes to know and to express better the mystery of Christ, all the while being motivated to continual renewal. During my pastoral visits to the young churches I have repeatedly dealt with these themes, which are present in the Council and the subsequent Magisterium.
Inculturation is a slow journey which accompanies the whole of missionary life. It involves those working in the Church’s mission Ad Gentes, the Christian communities as they develop, and the bishops, who have the task of providing discernment and encouragement for its implementation.
(2) Katekismus Gereja Katolik, 854 mengatakan “Dalam perutusannya, “Gereja menempuh perjalanan bersama dengan seluruh umat manusia, dan bersama dengan dunia mengalami nasib keduniaan yang sama. Gereja hadir ibarat ragi dan bagaikan penjiwa masyarakat manusia, yang harus diperbaharui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga Allah” (GS 40,2). Dengan demikian misi menuntut kesabaran. Ia mulai dengan pewartaan Injil kepada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok yang belum percaya kepada Kristus; ia maju terus dan membentuk kelompok-kelompok Kristen, yang harus menjadi “tanda kehadiran Allah di dunia” (AG 15), serta selanjutnya mendirikan Gereja-gereja lokal. Ia menuntut suatu proses inkulturasi, yang olehnya Injil ditanamkan dalam kebudayaan bangsa-bangsa, dan ia sendiri pun tidak bebas dari mengalami kegagalan-kegagalan. “Adapun mengenai orang-orang, golongan-golongan dan bangsa-bangsa, Gereja hanya menyentuh dan merasuki mereka secara berangsur-angsur, dan begitulah Gereja menampung mereka dalam kepenuhan katolik” (AG 6).”
(3) Dari dua dokumen tersebut, maka ada beberapa hal pokok yang dapat kita simpulkan, yaitu:
(b) Pertanyaannya adalah sampai seberapa jauh Gereja Katolik dapat mengambil unsur-unsur yang baik dari kebudayaan setempat dan kemudian mengangkatnya sehingga nilai-nilai kristiani dapat dimengerti dengan lebih baik? Dari dokumen Redemptoris Missio, kita dapat melihat bahwa kebudayaan lokal dapat diterapkan, sejauh tidak mengaburkan integritas dari nilai-nilai dan pengajaran kristiani. Yang menjadi masalah adalah memang definisi ini menjadi cukup luas cakupannya dan oleh karena itu dapat terjadi kekaburan dan ketidakjelasan sampai seberapa jauh suatu budaya dapat diterapkan dalam proses inkulturasi. Namun pada saat yang bersamaan, kalau kita menelaah, maka kita akan dapat memahami bahwa setiap budaya adalah bersifat unik dan oleh karena itu akan menjadi masalah kalau dibuat dengan penerapan yang sangat khusus.
(4) Mari kita masuk dalam diskusi budaya kejawen. Saya terus terang tidak terlalu mengerti tentang tradisi kejawen, walaupun saya tinggal di Jawa, dan sekolah di Jogja selama tiga tahun. Namun kalau kebudayaan kejawen yang dimaksudkan di sini adalah dengan memberikan “isi” terhadap keris, dan benda-benda pusaka yang lain, serta mungkin melakukan meditasi, sehingga mempumyai ilmu tertentu maupun kekuatan tertentu, maka saya cenderung mengatakan bahwa dalam hal ini inkulturasi yang dimaksudkan telah melampaui batas-batas yang ada. Hal ini dikarenakan bahwa penerapan praktek-praktek kejawen tersebut mengaburkan nilai-nilai Kristiani.
Pada dasarnya manusia adalah mahluk yang lemah, yang mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa, sehingga komunikasi dengan hal-hal gaib menjadi cukup membahayakan spiritualitas kita. Kita dapat melihat bahwa Yesus pada waktu mengusir kuasa-kuasa gelap tidak pernah berkomunikasi, berdiskusi dengan mereka, namun memerintahkan mereka (lih. Mt 8:16; 8:32; Mk 1:34).
Untuk menghindari dosa ini, maka berhubungan dengan roh-roh dilarang. Kita dapat melihatnya di Imamat 20:6 “Orang yang berpaling kepada arwah atau kepada roh-roh peramal, yakni yang berzinah dengan bertanya kepada mereka, Aku sendiri akan menentang orang itu dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya.”
(b) Mungkin seseorang dapat mengatakan bahwa yang penting adalah tidak menyembah barang tersebut atau roh tersebut. Seperti yang dikatakan di dalam kitab Imamat, maka kontak dengan roh-roh yang lain adalah menduakan Tuhan. Semakin kita menjauhi hal tersebut, maka akan semakin baik.
Ini juga berlaku untuk hal-hal lain yang dapat membuat kita berdosa dan menduakan Tuhan, misalkan menonton televisi, yang seringnya menayangkan program-program yang tidak sesuai dengan iman Katolik kita. Tentu saja kita tidak menyembah televisi, namun semakin kita menonton televisi dan tidak membatasi diri, maka semakin lama kita akan terjerumus, seperti: menonton televisi yang berlebihan sehingga lupa akan berdoa, memandang dengan biasa norma-norma yang tidak sesuai dengan iman Katolik.
(B) ALASAN UTAMA UNTUK MEMPRAKTEKKAN KEJAWEN:
Jadi untuk membantu teman Sisilia, maka lebih lanjut perlu tahu secara jelas apa yang menyebabkan dia masih ingin melestarikan budaya kejawen walaupun dia telah menjadi Katolik. Ada unsur budaya-budaya dari Jawa yang dapat diterima, seperti alat musik, dll. Namun hal-hal yang bersifat gaib dari kebudayaan kejawen, saya rasa dapat mengaburkan identitas iman Katolik kita.
Kita dapat belajar dari St. Paulus yang walaupun sebelumnya adalah seorang Farisi yang taat, namun setelah dia mengenal Yesus, dia meninggalkan manusia yang lama dan menjadi manusia yang baru (lih. Rm 6:6; Ef 4:22). Lihat juga keputusan dari konsili Yerusalem yang pertama, yang tidak membuat sunat menjadi bagian dari Perjanjian Baru, walaupun sunat adalah merupakan tanda Perjanjian dengan Allah di dalam perjanjian lama (lih. Kis 15:27-29). Jadi dalam penerapan suatu hukum, maka kita akan senantiasa melihatnya dalam terang Kristus. Semua yang dapat membuat kita menjauh dari Kristus harus kita hindari, dan hal-hal yang dapat mendekatkan kita kepada Kristus, dapat kita terapkan. Tentu saja sebagai umat Katolik, kita juga taat akan keputusan dari gereja-gereja lokal, yang dikepalai oleh para Uskup.
Jadi pertanyaan untuk teman Sisilia adalah, apakah dengan mempraktekkan kejawen seperti yang digambarkan di atas dapat mendekatkan dirinya kepada Yesus, atau malah menjauh dari Yesus? Dan mungkin yang lebih utama adalah apakah yang bersangkutan mau sungguh-sungguh mengikuti apa yang telah diajarkan oleh Yesus, seperti yang telah dicontohkan oleh Rasul Paulus?
Semoga jawaban singkat di atas dapat membantu.
Tuhan memberkati dan selamat mempersiapkan Paskah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – https://katolisitas.org
Keselarasan adat Jawa dengan Iman Katolik:
Selamat pagi semua, Salam sejahtera….
Ada beberapa pertanyaan yang saat ini bergumul dalam diri saya….
1. Adat Jawa/Kejawen. Apakah bisa selaras berjalan dengan Iman Katolik?
2. Jika Kejawen mengenal “Kakang kawah adi ari-ari, sedulur papat keblat lan kalimo pancer” (pendamping hidup), bagaimana dengan iman katolik? dapatkah di samakan dengan “ROH KUDUS”
3. Bagaimana mengasah batin kita, untuk dapat mengenal dengan benar dan bekerja sama dengan “ROH KUDUS”
4. Dapatkah kita berdoa dan bertemu langsung dengan “Bapa” tanpa perantara GEREJA….
Terima kasih….
Berkah Dalem,
Andreas
Salam Andreas,
Mengenai berdoa langsung kepada Bapa, silakan klik “Apakah umat Katolik tidak langsung berdoa kepada Bapa di Sorga“. Mengenai cara mengasah batin agar dapat mengenal dengan benar Roh Kudus dan bekerja menuruti tuntunan-Nya, mau tak mau kita harus mendengarkan ajaran Gereja Katolik terlebih dengan membaca dan mempelajari dokumen-dokumen Gereja (termasuk Kitab Suci), prinsip ajaran Gereja mengenai topik-topik hidup manusia dan topik-topik manusia modern. Kemudian kita bisa mengasahnya dalam pembicaraan dengan orang-orang yang bijaksana dalam Gereja seperti para uskup, para gembala Gereja Katolik. Doa hening dan lebih mendengarkan daripada memohon membuat kita makin peka. Dengan sadar mendengarkan Sabda Tuhan dalam merayakan Liturgi sakramen-sakramen membuat kita terjaga dan tertuntun. Teguran dan arahan dari sesama pun bisa dijadikan cara Roh Kudus menuntun kita. Tuntunan itu kita simpulkan dalam hatri nurani. Hati nurani ialah kemantapan keputusan atas suatu tindakan kita. Namun hati nurani bisa salah. Kita bisa salah memutuskan. Karena itu mesti selalu belajar. Namun keputusan hati nurani itu mutlak, otonom, setelah dengan bebas mempertimbangkan berbagai segi sesuai dengan informasi yang didapat. “Kakang kawah adi ari-ari” dalam konsep Kejawen jelas berbeda dari Roh Kudus. Konsep kejawen mengenai “kakang kawah adi ari-ari” merupakan salah satu hasil dari “othak-athik” atau pikir-pikir orang-orang Jawa masa lalu mengenai misteri hidup menuju Allah. Jadi, berasal dari olah pemikiran manusiawi orang bersuku Jawa di masa lalu. Silahkan salah satu klik “othak-athik” manusia Jawa ini di http://triwidodo.wordpress.com/2008/02/05/kakang-kawah-adi-ari-ari-kekuatan-penuntun-menuju-jalan-sejati/ . Sedangkan Roh Kudus ialah pribadi ketiga dari Allah Tritunggal Mahakudus sendiri. Mengenai Roh Kudus silahkan klik “Aku percaya akan Roh Kudus” dan klik “Paus: Mari dengarkan Roh Kudus“.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
syalom katolisitas;
menurut saya, nilai-nilai budaya tidaklah bertentangan dengan ajaran katolik (nilai-nilai agama katolik), apa yang menbuat budaya (misal; kejawen) menjadi terlihat bertentangan dengan agama katolik adalah kepercayaan/mitos yang menyelimuti budaya tersebut.
bagi saya, jika kita mampu menyelami segala bentuk tradisi masyarakat yang ada, dan menghayati nilai-nilai luhur masyarakat yang bersangkutan, yaitu dengan menyingkirkan mitos-mitos yang menyelubunginya, maka tidak akan terjadi konflik antara agama dan tradisi, malah justru akan menambah kekayaan nilai-nilai budaya tersebut.
1. kalaupun penganut kejawen, misalnya merawat benda-benda pusaka yang diberi ‘isi’, nah ‘isi’ yang dimaksud disini sebenarnya adalah kepercayaan/mitos rakyat. apa yang ingin diungkapkan sebenarnya mengenai perawatan benda-benda pusaka tersebut, bukanlah mengenai ‘isi’-nya, tetapi mengenai benda itu sendiri sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya…mmisalnya keris.
keris adalah salah satu hasil karya orang jawa, yang menjadi ciri khas orang jawa, yang kemudian diberi semacam filosofi/ pandangan hidup oleh orang jawa, tentu keberadaanya harus dijaga dan dilestarikan, karena kita tentu saja tidak menghendaki bila warisan budaya tersebut akhirnya hanya bisa dinikmati di museum…
contoh lain adalah peristiwa sabung ayam dibali yang di zaman modern ini dianggap sebagai perjudian… padahal, bukan perjudian yang menjadi fokus sabung ayam di bali, tetapi dalam sabung ayam tersebut dipertaruhkan harga diri seorang laki-laki bali…tentu ini berkaitan dengan filosofi orang bali mengenai ayam sebagai SIMBOL kejantanan….(baca analisis antropologi oleh clifford geertz dalam judul ‘tafsir kebudayaan’)
bukankah lebih baik melakukan sabung ayam di bali daripada mengadu manusia dalam koloseum di roma???
2. mengenai mantra-mantra kejawen. sebenarnya kalu kita tau artinya, yang disebut mantra itu adalah semacam doa yang isinya mengenai apa yang diinginkan oleh yang mengucap mantra tersebut. suatu mantra menjadi bertentangan dengan agama saat penganut agama tersebut masih TERPENGARUH oleh mitos yang mneyelubungi mantra tersebut.
menggelikan bagi saya, sebab bukankah dengan melakukan eksorsisme terhadap suatu jimat, artinya justru kita mempercayai bahwa itu adalah jimat??? dan dengan mempercayai bahwa itu adalah jimat malah menunjukan kalau kita sendiri sudah ‘sesat’…
kasus, misalnya, saya pernah melihat sendiri bagaimana seorang penganut kejawen yang katolik merapalkan mantra saktinya… yaitu : doa bapa kami-mantra-doa bapakami-salam maria.
yang aneh adalah saat membaca doa bapa kami menggunakan bahasa indonesia tetapi saat mantra diucap menggunakan bahasa jawa… yang justru inti mantra tersbut sebenarnya meminta keselamatan jadi polanya :
1. jangan masukan kami dalam pencobaan, tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat(bapa kami)
2. keselamatan (pembebasan dari pencobaan) macam apa yang diinginkan (dari sakit, mara bahaya dsb) (mentra dalam bahasa jawa)
3.jangan masukan kami dalam pencobaan, tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat(bapa kami)
4. doa kan kami (santa maria) yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati (salam maria)
3. kesimpulan.
bagi saya tidak bijak jika harus menghilangkan tradisi yang berkembang dalam suatu masyarakat hany karena mitos yang menutupi nilai-nilai luhur masyarakat tersebut bertentangan dengan agama.
bukankah tradisi dan adat-istiadat masyarakat menjadi identitas masyarakat? jika itu hilang, saya takut masyarakat akan kehilangan identitas dirinya…kehilangan jati dirinya..
terima kasih.
Shalom Xells,
Tentang inkulturasi, mari kita berpegang kepada apa yang disebutkan dalam Katekismus:
KGK 854 Dalam perutusannya, “Gereja menempuh perjalanan bersama dengan seluruh umat manusia, dan bersama dengan dunia mengalami nasib keduniaan yang sama. Gereja hadir ibarat ragi dan bagaikan penjiwa masyarakat manusia, yang harus diperbaharui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga Allah” (GS 40,2). Dengan demikian misi menuntut kesabaran. Ia mulai dengan pewartaan Injil kepada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok yang belum percaya kepada Kristus (Bdk. RM 42-47); ia maju terus dan membentuk kelompok-kelompok Kristen, yang harus menjadi “tanda kehadiran Allah di dunia” (AG 15), serta selanjutnya mendirikan Gereja-gereja lokal (Bdk. RM 52-54). Ia menuntut suatu proses inkulturasi, yang olehnya Injil ditanamkan dalam kebudayaan bangsa-bangsa (Bdk. RM 48-49), dan ia sendiri pun tidak bebas dari mengalami kegagalan-kegagalan. “Adapun mengenai orang-orang, golongan-golongan dan bangsa-bangsa, Gereja hanya menyentuh dan merasuki mereka secara berangsur-angsur, dan begitulah Gereja menampung mereka dalam kepenuhan katolik” (AG 6).
Maka prinsip inkulturasi maksudnya adalah agar nilai-nilai Injil dapat ditanamkan dalam budaya-budaya masyarakat yang sudah ada. Hal ini melibatkan juga proses pemaknaan yang baru, dan pemurnian dari mitos-mitos yang tidak sesuai dengan ajaran iman Kristiani. Pelaksanaannya memang membutuhkan kebijaksanaan untuk membedakan manakah nilai-nilai yang positif dan sesuai dengan ajaran iman Kristiani -ini dapat dipertahankan- dan hal-hal yang bersifat superstitious dan tidak sesuai dengan ajaran iman Kristiani – agar ditanggalkan. Umumnya diperlukan bimbingan dari pihak otoritas Gereja lokal (yang memahami budaya setempat dan memahami juga ajaran iman Katolik) untuk menilainya, untuk menguji hal ini dan untuk memegang hal-hal yang baik dan menolak yang tidak baik (lih. 1 Tes 5:21).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Romo,
bagaimana dengan kebiasaan kalo ke makam – selain nyekar juga membakar dupa. Apakah itu diperbolehkan karena budaya – atau tetap dilarang ?
[dari Katolisitas: mengenai membakar dupa dalam tradisi menghormati leluhur atau kerabat yang telah wafat, silakan menyimak artikel “Tentang penghormatan kepada leluhur”, klik di sini]
romo sy mau tanya apakah dibenarkan seorang romo yang mempunyai kemampuan supranatural menyelesaikan masalah umatnya dengan menggunakan jimat berbahasa arab
Salam Paulus,
Mengenai penggunaan jimat sendiri sudah pernah dibahas: Gereja melarang penggunaan sarana takhayul dan relasi dengan setan (lihat KGK 2116). Apakah memakai huruf Arab maupun huruf Latin atau huruf lain-lainnya jimat tetap salah menurut Katekismus Gereja Katolik.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Romo, saya mau tanya. Hal ini berkenaan dengan puasa. Apakah dalam Katolik mengenal sistem puasa Senin-Kamis? Apakah hal itu jika dijalankan berakibat atau dapat berimbas pada iman Kristiani??
Karena sejatinya, hemat saya laku puasa tersebut bisa semakin mendekatkan kita pada Sang Sejati, walau caranya kita lakukan dan berdasarkan niat tulus kita pada Sang pencipta, mohon revisi dari pendapat saya ini, Romo
Lalu yang kedua, apakah rosario yang sering kita kenal sebagai sarana bantu untuk memuliakan Bunda Maria, bisa digunakan seperti (wirid) begitu istilahnya, jadi tetap bersumber kepada Bunda, hanya tidak melalui perenungan peristiwa2 di rosario, tapi misal seperti ini : waktu meditasi diiringi doa Salam Maria sekuat dan secape kita
Apakah itu diperkenankan, atau malah menyalahi??
Sekian Romo, dua pertanyaan saya, mengenai puasa dan alih fungsi rosario
Terimakasih atas kesediaan Romo untuk meluangkan waktu dalam menjawab, karena saya berharap ada pencerahan atas pertanyaan tadi
Maturnuwun Romo, Berkah Dalem
Salam Nandiwardhana,
Puasa selalu baik, dan diatur sendiri waktunya. Tujuan dari berpuasa ialah mengasihi Allah dengan mengasah hati nurani yang baik, solider dengan kaum miskin, sebagai ungkapan cinta pada Tuhan yang lebih dahulu mengasihi kita dalam penebusan Kristus. Tuhan Yesus Kristus sendiri berpusa 40 hari dan berprihatin untuk perutusannya dengan cara berpuasa. Imbas baik pada iman ialah jika motivasinya juga benar, yaitu untuk mengungkapkan kasih kepada Allah Bapa melalui Kristus dalam Roh Kudus yang lebih dahulu mengasihi kita. Puasa yang diwajibkan ialah puasa pada masa Prapaskah (Rabu Abu dan Jumat Agung). Sedangkan di hari lain, silahkan diatur sendiri.
Doa Rosario sudah baku. Sedangkan doa versi Anda itu bukan Doa Rosario namun doa versi Anda sendiri yang tentu saja tidak salah. Pusat Doa Rosario sebenarnya ialah Yesus Kristus. Bersama Bunda Maria kita mengiringi memeditasikan (dan mengkontemplasikan) Yesus dalam misteri penebusanNya untuk kita. Silahkan saja melakukan doa Anda sebagai doa devosi Anda pribadi, bukan doa devosi yang dikenal dan dibakukan secara umum.
Salam
RD.Yohanes Dwi Harsanto
Tuhan adalah satu-satunya pusat Tujuan. Seharusnya dalam proses inkulturisasi Tuhanlah yang harus masuk/mempengaruhi budaya dan bukan sebaliknya.
[dari katolisitas: Itulah yang memang ingin dicapai dalam proses inkulturasi]
Syalom Romo,
Saya mau bertanya romo. Mengapa para iman (Kalbar)sering kali terkesan berkompromi dengan alkohol? maksud saya, mengapa pada setiap kesempatan pesta atau pemberkatan rumah, tuan rumah sering menyajikan minuman beralkohol dan imam-iman tertentu sering kali ikut nimbrung bukannya memperbaiki rohani umat dengan mengingatkan akan dosa. Dan mengapa gereja terlalu bertoleransi dengan adat? Contoh adat penyambutan di kalangan orang dayak (saya termasuk orang dayak), sewaktu Upacara pentabisan imam baru bapak Uskup dan imam2 disambut dengan upacara menurut tradisi setempat dan disuguhi arak/tuak. Dan pada penyambutan ada tetua yang membacakan mantra. sungguh bertentangan dengan iman Katolik. Tetapi gereja terkesan sangat berkompromi.
Salam Hermenigildus,
Sebagai warga suku Dayak, tentu Anda tahu persis mengenai tradisi adat Dayak karena Anda bagian darinya. Sebagai orang Katolik, Anda pun tentu mengetahui ajaran Gereja mengenai adat dan budaya, yaitu menghargai adat demi penginjilan, pengudusan adat tersebut. Orang Dayak sendiri selalu memakai tuak sebagai pembuka segala acara adat, sampai-sampai ada Facebook yang bernama “Tuak Dayak”, seolah bahwa Dayak dan tuak sudah menjadi kesatuan. Jika penggunaan dalam acara tidak membuat mabuk, tentu saja hal itu tidak masalah. Orang Dayak sendiri punya kebijakan lokal yang sudah lama mengenai hal ini. Tidak hanya bagi suku Dayak, suku-suku lain pun ada yang memakai tuak sebagai bagian dari perlengkapan upacara adat. Jika mau mengubah hal ini, diperlukan analisis anthropologi dari orang berpengaruh dari dalam sendiri suku itu sendiri . Jika tidak bisa diterima, tentu saja tidak bisa mengubah tradisi ini. Dalam link ini http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak tidak disebut mengenai tuak. Namun bahwa tuak de facto selalu ada dalam acara adat Dayak. Perlu telaah lebih lanjut, dalam hal ini diperlukan telaah mendalam dan luas mengenai pemaknaan penggunaan tuak dalam acara dan upacara adat, misalnya upacara penyambutan tamu agung.
Mengenai doa adat Dayak, Jubata tetaplah menjadi pusat dan tujuan doa. Jubata ialah istilah bagi Allah / Tuhan Yang Mahaesa dalam bahasa Dayak seperti dalam link ini http://yohanessupriyadi.blogspot.com/2008/06/konsep-jubata-menurut-keyakinan-dayak.html maka sejauh demikian tidak masalah.
Bulan Oktober 2012, akan ada “Indonesian (Catholic) Youth Day: di Sanggau, dan acara penyambutan tamu pastilah memakai cara adat yang unik dan menjadi kebanggaan masyarakat Dayak ini. Gereja pun memiliki refleksi atas inkulturasi dan akulturasi dalam masyarakat Dayak ini. Sedangkan prinsip inkulturasi silakan membaca di artikel “Penyesuaian dan inkulturasi liturgi”, klik di sini
Sedangkan bagaimana akulturasi dan upaya Gereja, (termasuk Gereja Protestan)terhadap adat Dayak, silahkan klik http://sosbud.kompasiana.com/2012/06/22/pengaruh-kekristenan-terhadap-budaya-dayak-kanayatn/ Di situ disebut perkembangan yang wajar dan manusiawi, tanpa paksaan dan kekerasan teologis. Kita sendiri mesti membuat segala perubahan dengan hormat. Dan lagi, justru dalam artikel itu, Gereja sendiri merasa perlu bertobat dari triumphalisme menghadapi budaya-budaya setempat.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Salam Semuanya.
Saya seorang suku Dayak dari Kalimantan Barat mau bertanya sbb:
Dalam adat kebudayaan Dayak dikenal adanya adat nyangahatn, yaitu acara adat yang dibawakan oleh seorang yang dapat melakukannya dengan membacakan doa-doa dalam bahasa Dayak yang cukup tinggi sehingga tidak banyak kaum muda mengerti artinya. Bagi saya itu merupakan doa yang amat luar biasa kepada Sang Pencipta dalam bahasa Dayaknya jubata. Sekitar setahun sekali saya meminta penghulu itu berdoa untuk keselamatan kami, hidup, pekerjaan, malapetaka kepada jubata.
Doa itu dilakukan dengan berbagai macam sesajian ucapan syukur seperti Ayam, kapur sirih, beras kuning, tembakau, rokok, pinang, telur, beras, dll. yang merupakan ungkapan cara lama berdoa kepada jubata.
Pernah saya berdiskusi dengan seorang Pastor kala itu saya syukuran dengan mengundang penhulu untuk berdoa nyangahatn dan dia mengatakan kalau sudah nyangahatn tidak usah doa keluarga lagi.
Adat ini, saat ini menjadi pelajaran mulok di sekolah-sekolah terutama di Kabupaten saya yaitu Kab. Landak.
Yang mau saya tanyakan apa hal itu bertentangan dengan spiritualitas iman Katolik? Terima kasih.
Salam dari Borneo
Wilfirmus
Salam Wilfirmus, Salam Kalimantan Barat,
Saya senang menjawab pertanyaan Anda antara lain karena tahun 2012 bulan Oktober tanggal 20-26 akan diadakan “Indonesian Youth Day”, hari Orang Muda Katolik se-Indonesia di keuskupan Sanggau, dengan melibatkan keuskupan agung Pontianak dan keuskupan Sintang. Tentu saja OMK se-Indonesia pun akan mengalami sendiri kekayaan budaya Kalimantan Barat. Saya temukan keterangan tentang Jubata dari Facebook “Kamuda Dayak Kanayat’n (ahe)” yang mengutip http://yohanessupriyadi.blogspot.com/2008/06/konsep-jubata-menurut-keyakinan-dayak.html dan http://www.akademidayak.com/2008/06/konsep-jubata-menurut-keyakinan-dayak.html
sebagai berikut:
Masyarakat adat Dayak Kanayat yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam kehidupan, yaitu kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya. Yang berada di alam kehidupan nyata ialah makhluk tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan yang berada di alam kehidupan maya antara lain: Ibalis, bunyi’an, antu, sumangat urakng mati,
dan JUBATA. Kedua alam kehidupan ini dapat saling pengaruh-mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh seseorang adalah salah satu contoh dari akibat tersebut di atas. Untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya, serta untuk menata seluruh aspek kehidupan warganya, hubungan timbal-balik sesama warganya, hubungan warganya dengan alam lingkungannya, serta penciptanya/Jubata agar tetap serasi dan harmonis, nenek moyang para leluhur mereka (Dayak Kanayatn) telah menyusun secara arif dan bijaksana ketentuan-ketentuan, aturan-aturan yang harus ditaati dan dijadikan pegangan hidup bagi seluruh warganya dan warga keturunannya dari generasi ke generasi sampai kini, yang terangkum dalam apa yang disebut adat.
Sekedar untuk diketahui seperlunya bahwa yang tergolong adat di kalangan Masyarakat Adat Dayak Kanayatn antara lain:
– Peraga-peraga adat, lambang, dan simbol-simbol
– Bahasa, seni, dan budaya adat
– Hak-hak kepemilikan adat
– Kearifan-kearifan dan keyakinan adat
– Adat-istiadat dan hukum adat
– Upacara-upacara adat: Upacara-upacara adat adalah kegiatan ritual bagi masyarakat adat dayak Kanayatn untuk berhubungan dengan Jubata.
Masyarakat Adat Dayak Kanayatn sangat yakin bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini berasal dari Jubata. Jubata sebagai Pencipta, dan Pemelihara segala sesuatu yang ada di alam nyata maupun di alam maya dan karena itu di kalangan masyarakat adat Dayak Kanayatn, Jubata sangat dihormati, dimuliakan dan diagungkan. Jubata diyakini pula sebagai Yang sangat baik, sangat murah hati, sangat adil, tetapi tidak segan untuk menghukum perbuatan-perbuatan yang jahat. Mari kita simak beberapa kalimat dan penggalan kalimat yang mengungkapkan hal-hal di atas:
– Jubata nang baramu’ ai’ tanah, Adil ka Talino, Bacaramin ka Saruga, Basengat ka Jubata, Samuanya baranse’ ka Jubata.
– Jubata ina’ munuh, Jubata ina tidur, Jubata ina Bengkok.
– Labih adat Jubata bera, kurang adat antu nuntut. Adat manusia sakanyang parut, adat Jubata sapatok insaut, dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan yang menyatakan hal tersebut. Jubata sebagai pencipta dan pemelihara segala sesuatu itu oleh Masyarakat Adat Dayak Kanayatn disebut pula Jubata Tuha, yang dijabarkan dengan bahasa sederhana sebagai berikut: Ne’ Panitah, Ne’ Pangira, Ne’ Patampa, Ne’ Pangadu’, Ne’ Pangedokng, Ne’ Pajaji, Ne’ Pangingu. Hitungannya ada 7 (Tujuh), dan senantiasa diperingati pada setiap upacara ritual adat oleh Panyangahatn (Imam Adat) dalam Bamangnya sebagai berikut: Asa…dua…talu…ampat…lima…anam…tujuh, agi’nya koa….dst. Untuk menghadirkan atau (lebih tepat mengundang) Jubata untuk hadir pada setiap upacara ritual adat yang dilaksanakan, panyangahatn melakukan beberapa hal misalnya:
– MemanggilNya dengan suara jelas dan lantang Ooooooooooo Kita’ JUBATA…..dst..dst.
– MemanggilNya dengan perantaraan Bujakng Pabaras, yang dilambangkan dengan menghamburkan biji beras yang utuh sebanyak tujuh biji dengan bamang sbb: Aaaa….ian Kita’ Bujakng Pabaras, Kita’ nang ba tongkakng lanso, nang ba seap libar, ampa jolo basamptn, linsode batinyo saluakng jannyikng……dst.
– MemanggilNya dengan bunyian Potekng Baliukng sebanyak 7 kali.
Dari keterangan di atas, “Jubata” ialah sebutan bagi Sang Pencipta, yang dirindukan oleh semua manusia dari abad-ke abad. Jubata tidak lain ialah Allah Bapa yang mengasihi kita melalui Yesus kristus Putra-Nya dalam Roh Kudus-Nya. Maka, sebenarnya berdoa kepada Jubata menurut adat merupakan kerinduan akan Allah. Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat sendiri telah lama memeluk iman Katolik. Para pastor dan misionaris Katolik di Kalimantan Barat telah lama membuat karya inkulturasi doa kepada Jubata secara Katolik. Maka usaha para misionaris itu ialah mengangkat konsep Jubata kepada Allah Tritunggal Mahakudus, yang berperan dalam hidup manusia untuk mengasihi dan menebus dosa, menyelamatkan manusia agar bahagia kekal dalam Kristus. Jubata bukan hanya pencipta, namun penebus melalui Yesus Kristus Putra-Nya. Maka, upacara adat masih deselenggarakan sebagai pengingat bahwa pada dasarnya orang Dayak sendiri dari dalam dirinya sudah merindukan Allah. Dalam iman Katolik, kerinduan itu terpenuhi, dan justru kecintaan pada Jubata yang mengasihi itu tidak hilang namun disempurnakan. Banyak tokoh adat, para penghulu adat menjadi Katolik, dan bahkan menjadi katekis atau prodiakon. Mungkin saja pastor mengatakan “jika sudah didoakan oleh penghulu, maka cukuplah” karena penghulu itu sudah sekaligus katekis. Namun itu hanya dugaan, karena saya tidak tahu persis. Hanya dari keterangan yang saya dapat dari para pastor teman-teman saya di Kalimantan Barat, banyak di antara para penghulu adat telah menjadi Katolik dan katekis pula. Bilangan “tujuh” yang penting dalam adat diangkat sebagai simbo kerinduan akan tujuh sakramen dan 7 karunia Roh Kudus. Kepengantaraan Bujakng Pabaras menyimbolkan kepemimpinan Gereja Kristus. Karena inkulturasi yang baik, maka masyarakat Dayak Kalimantan Barat memeluk iman Katolik dengan lega, karena adat mereka ternyata bermakna keselamatan dan dirangkum dalam iman Katolik. Sedangkan bahwa OMK kurang mengetahui adatnya sendiri, maka hal itu merupakan gejala umum, tidak hanya OMK dari Dayak saja. Menjadi tantangan bagi OMK sendiri untuk mau belajar akan kekayaan adat budaya nusantara dan kekayaan iman Katolik universal.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto, Pr
Terima Kasih Pastor atas penjelasannya. Memang hal ini sungguh menguatkan saya akan iman akan Yesus Kristus khususnya dalam konteks budaya lokal.
Ternyata Allah memanifestasikan diri_Nya dalam berbagai budaya agar dapatlah ditangkap maksud substansial dasar dari Sang Pencipta itu. Terima Kasih sekali lagi.
God Bless Us
Wilfirmus
Syalom…
saya ingin bertanya kepada romo yg mengerti ttg ajaran Kristen Khatolik Kejawen tsb. apa saja yg di ajarkan di aliran tsb? Seperti apa kebudayaan mereka…trus apa perbedaan nya dgn agama Khatolik?apa kah ajaran mereka itu bisa disebut dengan ajaran sesat? Terima kasih sebelumnya.GBU
Ya’ahowu..!
vivi_zega
Salam Vivi,
Kejawen menyatakan asal dan tujuan manusia adalah Sang Pencipta. Ia mengajarkan harmoni antara manusia, alam lingkungan, makhluk-makhluk halus dan Sang Pencipta. Di situlah arti keselamatan, yaitu harmoni. Hal ini dicapai dengan prinsip hormat terhadap sesama ciptaan dan Sang Pencipta dengan cara-cara atau “laku” tertentu seperti sikap menghargai sesama, menjalankan ritual-ritual. Contoh ritual ialah puasa, pantang, bertapa, dan semacamnya. Jika orang melanggar prinsip hormat tersebut, maka ia harus mengembalikan suasana harmoni keselamatan itu dengan minta maaf. Caranya dengan ritual tertentu.
Perbedaannya dengan ajaran Gereja Katolik, dalam kejawen tidak ada konsep Allah sebagai pribadi yang mengasihi manusia dan alam ciptaan, yang menebus dosa melalui Yesus Kristus Putra-Nya dalam Roh Kudus. Gereja Katolik mengajarkan karena imannya, bahwa Yesus Kristus yang bangkit dalam alam maut itu mendirikan Gereja, dan hadir penuh dalam Gereja yang satu kudus katolik apostolik yang Ia dirikan. Yesua Kristus hadir dalam perayaan-perayaan iman Gereja. Bagi Gereja Katolik, keselamatan dicapai dengan beriman kepada Yesus Kristus dalam Gereja-Nya serta berbuat kasih yang dilakukan karena iman akan Yesus yang mengasihi dan menebus umat manusia.
Gereja Katolik tidak menyatakan ajaran agama dan kepercayaan lain sesat. Gereja Katolik hanya selalu menyatakan dan menyebarkan Kebenaran iman Katolik. Pernyataan sesat atas suatu ajaran, dilakukan Gereja justru terhadap orang Katolik sendiri ketika orang Katolik tersebut mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran iman Gereja Katolik.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
salam damai Kristus,
saya mau bertanya Apakah Iman Katolik bertentangan dengan dengan budaya “Kejawen” yang masih sangat kental terasa di masyarakat Jawa???, mengenai doa (mantra) karena sering kali dicampuradukkan…
sekian saja pertanyaan saya…
terima kasih dan berkah dalem Gusti
Salam Gregorius Aditya,
Mengenai mantra bisa diklik di sini http://id.wikipedia.org/wiki/Mantra
Pengertiannya dalam wikipedia mengenai mantra terkesan mengandalkan kekuatan manusia atau alam, bahkan magi, penggunaan kekuatan gaib yang jelas dilarang oleh Gereja (KGK 2117). Namun doa Katolik sangat berseberangan dengan mantra, karena mengarahkan diri pada Allah untuk melaksanakan kehendak-Nya, dan doa sendiri merupakan rahmat Allah, berupa permohonan, syafaat, pujian, syukur atas dasar cinta kasih kepada Allah dan sesama di tengah suka dan duka. Katekismus Gereja Katolik dengan jelas menyebut doa sebagai panggilan umum dari Tuhan untuk seluruh umat manusia. Doa merupakan relasi intim antara manusia yang menanggapi Allah yang mengasihinya. (Lihat KGK 2558-2643). Kejawen yang sering menggunakan mantra, magi, jelas bertujuan egoisme diri dan keluarga atau kelompok biasanya dengan tujuan lain yaitu mencelakakan atau menindas, menipu, menggendam sesama. Setan suka menggunakan hal ini, dan banyak orang tertipu oleh bapa pendusta ini. Maka, semua bentuk mantra atau rapalan harus ditolak. Doa-doa Katolik merupakan lawan tangguh tak terkalahkan dari segala rapalan dan mantra, entah dari aliran kejawen maupun semua aliran kepercayaan takhayul lainnya.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
ROMO…di Jawa fenomena manusia jadi tuhan juga ada..coba, Romo gali sumber tentang ”syehk siti jenar”..dalam kesimpulan keyakinannya adalah..”MANUSIA ITU ADALAH TUHAN YANG SEBENARNYA ”, yang menyatu ..jadi seluruh manusia itu tuhan, ROMO..menurut syeh siti jenar..bagaimana menurut pandangan ROMO tentang hal ini.
Salam Atikah,
Tentu saja gambaran sinkretisme kejawen dengan Islam versi Syeh Siti Jenar itu tidak cocok sama sekali dengan ajaran Gereja Katolik. Kejawen berpola pada ajaran pencarian jati diri dan kerinduan akan “manunggaling kawula-Gusti” (bersatunya rakyat dengan Penguasa atau Tuhan). Dalam anggapan Syeh Siti Jenar, setelah “manunggal”, maka manusia itu lalu menjadi “tuhan” itu sendiri. Jangankan ajaran Katolik, bahkan ajaran Islam aliran utama pun tidak mengajarkan hal yang demikian.
Bagi Katolik, Allah Mahakuasa adalah pencipta kita. Kita ciptaan tetaplah ciptaan. Ciptaan yang jenis manusia ini diberi martabat secitra dengan Allah, memiliki akal budi dan kehendak bebas. Dalam kehendak bebasnya, manusia berbuat dosa yang membuatnya jauh dari Allah, memerosotkan martabatnya sebagai citra Allah, menderita dan kehilangan keselamatan kekal.
Maka Allah yang sayang akan ciptaan-Nya, mengutus Putra-Nya menjadi manusia, agar manusia percaya dan diselamatkan dalam Putera Allah itu. Putra Allah menebus dengan wafat dan kebangkitan-Nya. Tujuan hidup manusia menjadi jelas yaitu dengan bimbingan Roh Kudus, manusia melalui Yesus Kristus sang jalan kebenaran dan hidup sampai kepada Bapa. Manusia itu citra Allah. Mereka yang bertobat, percaya dan dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus diangkat menjadi anak Allah. Namun mereka tetap manusia, bukan menjadi Tuhan Allah. Begitulah ajaran Katolik. Sangat lain dari ajaran Syeh Siti Jenar.
Salam
Rm Yohanes Dwi Harsanto Pr
Ajarannya (Syech siti Jenar) menyatu dengan Allah itu benar. Kita mempercayai Bapa, Putra dan Roh kudus berarti kita mengharapkan kehadiran Allah di tengah kita, Bila kehadiran Allah tidak ada maka hampalah hidup kita, namun yg tidak benar dari ajarannya adalah ia menjadi asyik ( manunggaling sejati ) sehingga menyatakan dirinya Allah/ Tuhan
Salam sejahtera,
Saya mau tanya, (1) apakah salah/berdosa kalau misalkan saya memiliki benda pusaka yang menurut paranormal (orang yg bisa melihat makhluk halus) ada “isi”nya?
(2) Kemudian, sebenarnya makhluk apakah mereka itu (malaikat atau setan atau arwah yang belum bisa kembali kepada Allah)? Kalau orang-orang bilang ada yang alirannya hitam (sesat) dan putih (benar), dan orang-orang bilang tidak masalah selama aliran mereka itu putih. Hal itu sungguh membuat saya bingung dan ragu-ragu.
(3) Apakah kita boleh mendoakan mereka atau meminta tolong dari mereka?
Terima kasih.
Salam Hadi,
1. Inti dosa adalah sikap hati yang menolak Allah, kasih, dan kuasa-Nya. Wujudnya ialah pelanggaran atas perintah-perintah Allah yang Mahakasih. (KGK 385-390). Sedangkan kuasa kegelapan dan setan selalu menolak Allah dan berusaha dengan cara apapun agar manusia jauh dari Allah. Dengan pengertian itu, kita bisa bertanya diri, apakah dengan sadar menyimpan barang setani termasuk dosa. Menurut saya, ya, berdosa. Jika tahu namun membiarkan, seperti halnya tahu bahwa di kamar kita ada bahan bom berbahaya, namun tetap kita simpan, berarti berdosa menyetujui kejahatan atau hal jahat tetap eksis di lingkungan terdekat kita. Terhadap benda-benda setani tersebut, menurut pendapat saya, setannya harus diusir, sedangkan bendanya tetap bisa dikoleksi sebagai tanda kebanggaan dan syukur pada hasil budaya bangsa. Namun jika cara mengusirnya terpaksa harus dengan memusnahkannya (membakar dan memendamnya), maka harus direlakan, karena yang penting kita semua terhindar dari marabahaya kekal berkat kasih yang murni akan Kristus yang telah kita janjikan dalam pembaptisan. Bukankah ketika kita memperbaharui janji baptis tiap malam Paskah, kita berjanji menolak setan dan segala pekerjaan mereka?
2. Semua literatur mengenai eksorsisme mengatakan bahwa entah “putih” entah “hitam” semua berasal dari iblis. Semua harus ditolak atas dasar iman akan Allah Titunggal Mahakudus. Tiada pula arwah gentayangan selain iblis yang menyamar, untuk mempengaruhi orang agar gentar pada mereka dan berpaling dari Kristus dan Gereja-Nya. Lihatlah pada jawaban-jawaban sebelumnya.
3. Mendoakan siapapun pada Allah melalui Kristus dalam Roh Kudus selalu baik. Namun meminta tolong pada setan dilarang keras, karena setan akan menuntut keselamatan jiwa kita direnggut dari kebahagiaan kekal.
Salam
Rm Yohanes Dwi Harsanto Pr
Tim katolisitas yang saya kasihi…..salam kenal aja. saya ingin bertanya tentang bagaimana cara berpastoral di tengah-tengah umat (di Papua) yang memiliki adat atau budaya poligami yang sudah ada sejak dahulu? bagaimana langkah gereja?
Fr Jimmy Yth
Langkah pastoral adalah penyadaran (awareness) tentang Hukum Perkawinan di dalam Gereja Katolik. Selain itu perlu ada katekese keluarga sesuai ajaran Gereja terutama Familiaris consortio, bagaimana pandangan pemerintahan sipil (UU Perkawinan) yang diterapkan di Indonesia. Dari pelbagai kegiatan penyadaran itu diharapkan orang sadar dan meninggalkan kebiasaan berpoligami. Yang sudah berpoligami diterima dengan baik dan diberi katekese agar perkawinan mereka dibereskan dengan tatap menghormati kebudayaan setempat. Maka Gereja Katolik menerima mereka yang berpoligami dan mau menjadi orang kristen dengan syarat seperti dinyatakan dalam KHK 1983. Sang suami harus memilih satu istri di antara para istri itu. Anak dan istri yang lain harus diterima sebagai saudara saudari dan mendapat santunan sesuai hukum positif yang berlaku. Revitalisasi budaya yang bertentangan dengan injil dan ajaran Gereja termasuk hukum sipil adalah usaha yang berat dan memakan waktu maka harus bekerjasama dengan para tokoh adat, pemerintah dan Gereja tidak sendirian.
Akhirnya usaha keras ini akan menghasilkan buah yang baik sesuai ajaran Gereja dan Injil Tuhan bahwa perkawinan adalah persekutuan cinta antara seorang lelaki dan seorang perempuan seumur hidup.
salam
Rm Wanta
Rm Wanta terkasih, terima kasih atas penjelasanya. Memang masalah ini butuh waktu dan proses yang panjang. Kerja sama dengan pemerintah dan tokoh-tokoh adat sekiranya bisa membantu dalam mengatasi masalah ini.
selamat…. paskah buat tim katolisitas..
saya ingin bertanya tentang masalah inkulturasi, yang dipraktekkan di setiap budaya. apakah selalu mengalami perkembangan????
Salam Fr. Christoforus Rifeleli,
Inkulturasi meliputi bidang liturgi dan missi. Usaha ini selalu mengikuti perkembangan budaya dan pola pikir masyarakat setempat pada zamannya.
“Di satu pihak Gereja harus berani mati terhadap warna kultural yang disandangnya sewaktu datang ke suatu tempat. Ia harus berani menanggalkan busana kultural yang lama itu, lalu mengenakan busana kultural yang baru, yang selarlas dengan adat budaya setempat. Di situlah ia akan bangkit dan tampil dengn wajah baru yang serba tampan dan serasi dalam konteks sosio-budaya setempat. Di lain pihak, kebudayaan setempat pun harus berani mati intuk dibangkitkan. Unsur-unsur yang tidak selaras dengan iman harus ditanggalkan. Maka tinggallah unsur-unsur yang baik, yang bila dipadukan dengan iman kristen akan menampilkan kekayaan baru di tengah tradisi bangsa yang sudah ada.” Komisi Liturgi KWI, Pedoman Inkulturasi Liturgi, 1996, hlm. 3
Dalam liturgi, inkulturasi meliputi seluruh perayaan sakramen sejak Inisiasi. Dikatakan misalnya untuk inisiasi:
Liturgi Romawi dan Inkulturasi no 56. “Untuk Tatacara Inisiasi Kristen, Konferensi Waligereja ‘harus menguji dengan saksama dan bijaksana, unsur-unsur mana yang layak diambil dari tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa.’ Di daerah-daerah misi Konferensi Waligereja harus memutuskan apakah tatacara inisiasi yang berlaku di kalangan bangsa yang bersangkutan dapat disesuaikan untuk Tatacara Inisiasi Kristen. Konferensi Waligereja juga harus memutuskan apakah tatacara itu sebaiknya dipakai. Tetapi perlu diingat, bahwa istilah ‘inisiasi’ tidak selalu mempunyai arti yang sama atau menyatakan hal yang sama bila istilah itu digunakan dalam upacara inisiasi di kalangan bangsa tertentu, atau bila, sebaliknya, digunakan untuk proses inisiasi Kristen, yang melalui upacara-upacara katekumenat mengantar katekumen ke persatuan dengan Kristus dalam Gereja lewat Sakramen Baptis, Krisma, dan Ekaristi.”
Sumber mengenai Inkulturasi missi dan liturgi banyak sekali. Silahkan cek misalnya :
Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen, De Liturgia Romana et Inculturazione (Liturgi Romawi dan inkulturasi), no. 4, terjemahan Komisi Liturgi KWI, Jakarta 2004
Sumber buku dan artikel misalnya:
R.Francis, “Adaptation, Liturgical,” dalam The New Dictionary of Sacramental Worship, (ed. Peter E. Fink, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota, 1990
Mario Saturnino Dias (ed), Evangelisation and Inculturation, Pauline Publications, Mumbai, 2001
Mario Saturnino Dias (ed), Rooting Faith in Asia: Sourcebook for Inculturation Claretian Press, Bangalore, India and Quezon City, Philippines, 2005
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis (The Liturgical Press Collegeville, Minessota, 1992);
Edmund S. Glenn with Christine Glenn, Man & Mankind, Conflict & Communication Between Cultures (Ablex Publishing Corporation, Norwood, New Jersey, 1981);
J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi, Dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia, Kanisius: Yogyakarta: 2005
J.B. Banawiratma, “Menjernihkan Inkulturasi,” dalam Inkulturasi, Bina Liturgia I Yogyakarta, 1985.
Salam
Rm Y. Dwi Harsanto Pr
Shalom
Pak Stef dan Ibu Inggrit terima kasih atas penjelasannya..Tuhan memberkati
Shalom Bu Inggrit ….
saya ingin bertanya bagaimana hubungan nya dengan adat istiadat misalnya di daerah ntt disini masih terlalu banyak hal yang masih terikat dengan adat istiadat itu sendiri.Kadang ada hal-hal yang sangat sulit untuk bisa kita mengerti tapi terjadi. Misalnya semacam sumpah nenek moyang misalnya garis keturunan saya tidak boleh makan daging ikan paus karena dari ceritanya dahulu kala ikan paus ini yang pernah menolong moyang kita waktu di lautan dan kalau misalnya dia melanggar hal tersebut pasti akan ada akibat nya yang harus di tanggung dan itu memang sungguh terjadi, Kira-kira bagaimana tanggapannya bu inggrit atau pandangan dari gereja katolik itu sendiri tentang adat istiadat.
Shalom Roy,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang inkulturasi. Anda dapat melihat prinsip-prinsip inkulturasi di atas – silakan klik. Memasukkan nilai-nilai budaya setempat – yang mempunyai nilai-nilai luhur – ke dalam kekristenan dapat terjadi sejauh tidak mengaburkan iman Katolik. Bahkan dengan proses inkulturasi, maka nilai-nilai yang baik dari hal-hal yang bersifat kodrati diberikan nilai-nilai yang baru, yaitu dilihat dalam konteks iman Katolik yang berfokus pada Kristus. Sebagai umat yang telah dibaptis, maka kita tidak boleh terikat pada ketakutan akan segala sumpah dari nenek moyang, karena Baptisan telah membebaskan kita dan mengubah kita menjadi anak-anak Allah. Dalam kasus anda, sebenarnya menjadi tidak masalah, karena hanya segelintir orang di dunia ini yang makan daging ikan paus. Kalau hanya masalah makanan, menurut hemat saya tidaklah terlalu menjadi masalah, karena kita tahu Yesus berkata “bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.” (Mt 15:11). Yang mungkin dapat anda lakukan adalah mencoba menjelaskan kepada orang-orang di sekitar anda – pada waktu yang tepat – bahwa sebagai orang-orang yang telah dibaptis, sebenarnya kita telah diperbaharui di dalam Kristus. Dengan pembaharuan ini, maka hidup kita tidak dikuasai ketakutan, karena kita memandang semua hari baik, dan semuanya diciptakan Tuhan baik adanya. Tentu saja, pewartaan ini harus dilakukan dengan cara yang tepat dan pada waktu yang tepat. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam dalam X’tus
Bagaimana dengan tradisi nyekar kemakam leluhur dengan membawa dan menabur bunga, gereja juga menggunakan bunga disekitar altar yang menurut saya merupakan simbol, bukan sekedar keindahan altar saja. Juga dengan doa lingkungan/slametan (dengan bermacam ujud/intensi) dimana masih ditemukan sesaji berupa bubur putih/merah, jajan apem dan membakar dupa, apakah ini semua bisa disebut inkulturasi budaya atau sinkretisme bagi umat yang menjalaninya, tx.
Prayogo yth
Tradisi budaya setempat yang belum disahkan oleh ordinaris atau konferensi para uskup belumlah merupakan inkulturasi karena itu tambal sulam memasukan tradisi budaya dalam liturgi hanyalah misa biasa bukan inkulturasi. Tabur bunga adalah tradisi yang hampir di mana saja ada untuk orang meninggal. Jadi tabur bunga bukan bentuk inkulturasi atau sinkretisme.
salam
Rm Wanta
Salam hormat saya, terimakasih pengertian ini dapat saya gunakan untuk referensi tugas yang akan saya tempuh….
Syalom rekan semua,
Mau nanya nih, rencananya Desember 2009 ini kami mau mengadakan pemberkatan secara Katolik rumah kami,jadi kami mulai mencari tanggal, dimana banyak faktor yang mempengaruhi seperti kapan Romo bisa,kami sendiri bisa, keluarga kami bisa dsb. Kemudian mertua kami menyarankan agar sebelum tanggal 17 Desember karena diatas tagl tersebut adalah bulan Suro ( kepercayaan Jawa dimana kurang baik mengadakan pemberkatan rumah atau acara ramai orang ). Saya sbg Katolik menganggap semua hari adalah baik yang telah diberikan Tuhan.
Yang kami mau tanyakan sbg berikut :
1. Sikap kami terhadap perhitungan penanggalan Jawa tsb ?
2. Kapan tanggal baik di Desember 2009 yang disarankan berdasarkan pendekatan penanggalan Gereja Katolik ?
3. Hal2 lain yang perlu kami ketahui ?
Terima Kasih
Salam,
Vincent
Shalom Vincent,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang rencana pemberkatan rumah. Selamat atas rahmat Tuhan yang berlimpah yang dicurahkan kepada keluarga Vincent. Memang kehidupan kita tidak terlepas dari keluarga, kebiasaan, dan budaya dimana kita hidup. Untuk menyikapi mertua yang menginginkan agar pemberkatan rumah sebelum tanggal 17 Desember, karena dengan perhitungan kalender Jawa, maka diperlukan kebijaksanaan. Kita harus mengerti bahwa usulan mereka adalah karena didasari oleh kasih orang tua kepada anaknya, yang ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka, walaupun kadang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Diskusikanlah dengan mereka dengan hormat dan lemah lembut, dan katakan kepada mereka bahwa pemberkatan rumah secara Katolik tergantung juga dari kegiatan Romo. Kemudian jelaskan secara perlahan-lahan bahwa semua hari adalah baik di mata Tuhan, sehingga kita tidak perlu mempunyai kekuatiran dan ketakutan apapun. Kalau sampai mertua ngotot dan tidak mau mengerti dan sampai membahayakan ketentraman keluarga, dan Romo juga tidak mungkin memberkati sebelum tanggal 17 Desember, mungkin Vincent dapat pindah rumah sebelum tanggal 17 Desember, dan kemudian mengadakan pemberkatan rumah setelah tanggal 17 Desember sehingga Romo dapat datang. Namun, Vincent harus benar-benar menjelaskan bahwa semua hari adalah sama, sehingga mertua tidak sampai salah paham bahwa Vincent, yang beragama Katolik, masih tetap percaya akan hari-hari baik menurut perhitungan kalendar. Semoga mertua dapat menerima penjelasan Vincent yang dilakukan dengan hormat dan lemah lembut.
Pertanyaan kedua, telah terjawab di atas, bahwa semua hari adalah baik, sehingga tidak ada patokan apapun untuk menentukan tanggal pemberkatan rumah.
Yang terpenting dalam pemberkatan rumah adalah menyadari bahwa rumah yang Vincent tempati adalah merupakan berkat Tuhan. Oleh karena itu, Vincent dan keluarga adalah orang-orang yang dipercaya Tuhan untuk menjaga rumah tersebut. Jadikanlah rumah tersebut rumah yang kudus, yang diwarnai dengan kasih antara seluruh anggota keluarga. Kalau memungkinkan, ada tempat khusus (pojok atau ruangan) untuk doa, sehingga keluarga dapat berdoa bersama-sama. Ingatlah bahwa keluarga yang berdoa bersama akan tinggal bersama. Tuhan memberkati.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
salam sejahtera,
maaf saya ada pertanyaan mengenai tradisi lokal dalam hubungannya dengan Gereja. salah seorang teman di dunia maya yang sangat erat dan mendalami budaya kejawen merasa kesulitan atas ketidakselarasan dengan ajaran Gereja. mungkin bpk/ibu/romo ada masukan tentang hal ini, karena menurut ybs bila praktek2 kejawen dihilangkan ”isi” nya maka jadi sia – sia. sementara ini ybs masih lebih memberati ajaran kejawennya, sementara iman Katoliknya kelihatannnya belum ada titik temu dan cenderung dikompromikan.
thx sebelumnya ya.
GBu
Tambahan informasi dari Sisilia: contoh praktek kejawen dalam konteks ini adalah:
merawat benda2 pusaka, tapi beserta dengan ‘ISI’nya. Adanya hari baik dan hari buruk
kesenian2 beserta dengan ‘ISI’nya. Meditasi yang menurutnya berbeda dengan meditasi yang dijiwai secara katolik.
[dari katolisitas: telah dijawab – silakan klik]
Comments are closed.