Pertanyaan:
Ada pendapat bahwa perkataan dalam Injil Yakobus yang berbunyi bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati bukan berarti perbuatan baik dan benar yang secara kodrati dimiliki oleh semua orang yang baik. Perbuatan yang dimaksud dalam Injil tersebut adalah perbuatan mewujudkan iman seperti perbuatan Abraham yang tetap akan menyembelih Ishak putera kesayangannya karena beliau beriman kepada Allah sekalipun Abraham percaya bahwa perbuatan menyembelih anaknya bukanlah perbuatan yang baik dan benar. Bagaimana pendapat Bu Inggrid?
Hal lain yang ingin saya tanyakan adalah tentang pandangan bahwa gereja non-Katolik seperti gereja Protestan pada hakekatnya bukan gereja karena penyelenggaraan ibadahnya tidak dipimpin oleh pastor yang sudah mendapatkan sakramen imamat. Istilah gereja lokal dianggap merujuk kepada masing-masing gereja Katolik di paroki yang berada di bawah keuskupan yang sama dan keuskupan Roma (Paus). Apakah pandangan ini benar karena setahu saya gereja Katolik bercirikan am, kudus, katolik dan apostolik sehingga saya sering mengatakan gereja Katolik itu gereja universal sedangkan gereja non-Katolik merupakan gereja lokal? – Andryhart
Jawaban:
Shalom Andry,
A. Mengenai perbuatan dan iman, dan secara khusus iman Abraham
Pertama-tama mari kita melihat bahwa sebaiknya memang iman tidak dipertentangkan dengan kasih, sehingga sebagai pengikut Kristus baik Katolik maupun Protestan dapat menerima bahwa kita diselamatkan oleh karena iman yang dengan sendirinya menghasilkan perbuatan-perbuatan kasih. Sebab dengan demikian kita dapat berdialog dengan memusatkan pada persamaan daripada dari perbedaan yang ada.
Memang kita mengetahui dari tulisan Luther, bahwa ia menganggap Surat Yakobus sebagai “the Epistle of Straw” (Surat Jerami), walaupun menurut komentator dari gereja Protestan, maksud Luther menuliskan istilah itu adalah dalam konteks membandingkan surat Yakobus dangan keempat Injil. Jika keempat injil disebut emas, maka surat Yakobus di sini merupakan ‘jerami’. Soal bijak atau tidaknya istilah ini dipakai oleh Luther, saya tidak ingin memberi komentar.
Namun sebenarnya, yang lebih penting adalah isinya ayat Yak 2:24, karena itu di situ disebutkan, “…. manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.” Hal ini nampak bertentangan dengan prinsip ajaran Luther, “Sola Fide/ salvation by faith alone”. Di ayat ini kata ‘alone’ dipakai, tetapi lengkapnya malah ‘not by faith alone’, yang mengacu pada iman dan perbuatan kasih, dan bukan hanya iman saja. Saya percaya, bahwa saudara/i kita yang beragama Kristen non-Katolik sesungguhnya juga setuju bahwa iman tak dapat dipisahkan dengan perbuatan kasih. Dan sesungguhnya ini tantangan bagi kita, baik yang Katolik dan Protestan, untuk semakin melihat hal ini secara objektif. Jangan hanya menekankan iman saja, tanpa perbuatan, atau sebaliknya perbuatan saja tanpa iman, karena keduanya tidak sesuai dengan kitab Suci.
Mengenai iman yang mati tanpa perbuatan, saya pikir sesungguhnya sudah sangat jelas. Iman yang tak diikuti perbuatan sama saja dengan hanya iman di mulut, tapi tidak ada bukti dan perwujudannya. Terus terang saya malah baru pernah mendengar bahwa ayat itu diartikan sebagai perbuatan Abraham dalam iman pada Allah “tetap mau mengorbankan anaknya Ishak, walaupun dia percaya bahwa perbuatan menyembelih anaknya bukanlah perbuatan yang baik dan benar”- seperti yang Andry tuliskan. Setahu saya bukan demikian yang kita ketahui dalam interpretasi penjelasan Alkitab menurut Gereja Katolik.
Berikut ini adalah interpretasi Gereja Katolik tentang iman Abraham, yang saya ketahui dari beberapa sumber:
- Iman Abraham yang menyelamatkan seperti dituliskan dalam Roma 4; dipisahkan dari ‘perbuatan’, yang dalam hal ini diartikan sebagai perbuatan yang disyaratkan dalam hukum Taurat, yaitu sunat/ circumcision. Abraham dipilih/ dibenarkan Allah sebelum Allah memberikan hukum sunat, sehingga di sini jelas bahwa ia diselamatkan oleh iman kepada Allah dan bukan karena melakukan perbuatan menurut hukum Taurat yaitu sunat. Maka Abraham disebut sebagai bapa kaum beriman (bapa bangsa- bangsa), baik bagi bangsa yang bersunat maupun yang tak bersunat, agar olehnya seluruh bangsa diberkati (Gen 17:5;lih. KGK 59).
- Abraham juga dibenarkan Allah dengan iman dan pengharapannya, pada saat “tidak ada dasar untuk berharap” (Rom 4:18). Kita ketahui pada waktu janji Allah pertama diberikan kepadanya bahwa ia akan menjadi bapa bangsa, ia telah berumur 75 tahun (Kej 12: 1-4), dan istrinya Sarah telah mati haid, dan mereka belum mempunyai keturunan. Tetapi Abraham tetap percaya dan beriman kepada Tuhan.
- Iman Abraham mencapai puncaknya ketika ia taat pada perintah Allah untuk mempersembahkan anak kandungnya, Ishak. Para ahli Kitab Suci bahkan mengambil ayat ini sebagai dasar bahwa Abraham tentunya memiliki iman tentang kebangkitan orang mati, sebab ia yakin bahwa Allah yang telah menyebabkan kelahiran Ishak yang ajaib, dapat pula menyebabkan kebangkitan anaknya itu dari kematian.
- Allah memerintahkan Abraham mempersembahkan Ishak (Kej 22: 1-19) dengan dua maksud utama: 1) untuk menguji iman Abraham, agar terbukti bahwa ia layak disebut sebagai bapa orang beriman; 2) untuk memberikan pengajaran kepada umat beriman, bagaimana pengorbanan Ishak merupakan proto-tipe pengorbanan Yesus di kayu salib. Kisah Abraham yang rela mempersembahkan anaknya sebagai korban bakaran- dipakai untuk mengajarkan pada kita, bahwa Allah Bapa suatu saat nanti akan mengorbankan Putera-Nya sendiri yaitu Yesus sebagai korban penebus dosa kita manusia. Di sinilah pentingnya untuk membaca kitab Perjanjian Lama dalam terang Perjanjian Baru (lihat KGK 129) agar kita dapat lebih memahami kedalaman makna ayat dalam Kitab Suci.
Kita percaya bahwa Allah tidak pernah menyuruh atau merencanakan sesuatu yang buruk, dan memang contoh tentang kisah Abraham ini hanya terjadi satu kali saja dalam seluruh Alkitab. Maka makna proto-tipe Ini menunjukkan betapa pentingnya maksud Allah memakai pengalaman pengorbanan Ishak pada Perjanjian Lama untuk dikaitkan dengan pemenuhannya di Perjanjian Baru, dalam diri Yesus Kristus. Jadi untuk maksud inilah (proto-tipe pengorbanan Yesus), Allah menyuruh Abraham mempersembahkan Ishak, dan bukan karena semata-mata memerintahkan Abraham untuk membunuh anak sendiri. - Melalui kisah Abraham yang dengan taat merelakan anaknya ini, kita dapat juga melihat besarnya ketaatan Maria pada Perjanjian Baru. “Seperti Abraham yang menaruh harapan di saat tidak ada dasar untuk berharap bahwa ia akan menjadi Bapa banyak bangsa, maka Maria dengan kaul keperawanannya (silakan klik), percaya melalui kuasa Allah yang Maha Tinggi dan naungan Roh Kudus, ia akan menjadi ibu dari Allah Putera” (Redemptoris Mater / RM14) Maka PL dimulai dari iman Abraham, dan PB dimulai dari iman Maria. Pengosongan diri Maria sebagai hamba Tuhan bahkan melebihi Abraham, karena tidak seperti pada PL, Ishak tidak jadi dikorbankan, tetapi di PB, Yesus tetap dikorbankan. Maria melihat sendiri kesengsaraan Putera-Nya Yesus Kristus yang melampaui segala ungkapan, dengan pengorbanan-Nya di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Inilah yang mungkin disebut sebagai pengosongan diri yang paling dalam yang pernah terjadi dalam sejarah kehidupan manusia, yang disebut oleh Bapa Paus Yohanes II, bahwa pengosongan diri Maria ini sebagai “the deepest kenosis (self-emptying) in human history.” ( lihat RM 18-19). Para ibu yang pernah menyaksikan anaknya meninggal dunia di depan matanya akan lebih dapat memahami perasaan Bunda Maria. Apalagi dalam hal ini, Yesus disiksa sampai mati karena difitnah, dan Ia tidak melakukan kesalahan apapun.
B. Mengenai arti kata gereja lokal
Setahu saya di dalam dokumen Vatikan II tidak disebutkan bahwa gereja lokal itu mengacu kepada gereja Kristen non-Katolik. Dalam teks Vatikan II dipergunakan istilah particular churches (gereja khusus/ setempat) untuk menggambarkan gereja lokal yang dikepalai oleh uskup,
sedangkan digunakan universal Church (Gereja secara universal) untuk menggambarkan keseluruhan Gereja Katolik di bawah kepemimpinan Bapa Paus. Hal ini jelas disebutkan dalam Lumen Gentium 23.
Dalam Dekrit tentang Ecumenism (Unitatis Redintegratio), Gereja Katolik mengakui keberadaan gereja-gereja dan jemaat- jemaat Kristen non-Katolik, yang disebut dalam bahasa Inggris sebagai “Separated Churches and Ecclesial Communities” (lihat UR 19):
“Gereja-Gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi, yang ….. atau sesudah itu [krisis Abad Pertengahan], telah terpisahkan dari Takhta Apostolik di Roma, masih tetap mempunyai ikatan dengan Gereja katolik karena kekerabatan yang istimewa serta hubungan-hubungan berkat kehidupan umat kristen dalam satu persekutuan gerejawi selama abad-abad sebelumnya.
Akan tetapi Gereja-Gereja serta Jemaat-Jemaat gerejawi itu karena beragamnya asal-usul, ajaran dan hidup rohani tidak sedikit pula berbeda bukan hanya dari kita, melainkan juga antara mereka sendiri. Maka sukar sekali memberi gambaran semestinya tentang mereka. Dan itu memang tidak kami maksudkan di sini.
Sungguhpun gerakan ekumenis dan kerinduan untuk berdamai dengan Gereja katolik belum dimana-mana merupakan arus yang kuat, kami berharap, supaya dalam hati segenap umat kristen semangat ekumenis dan sikap saling menghargai lambat-laun makin berkembang.
Akan tetapi harus diakui, bahwa antara Gereja-Gereja serta Jemaat-Jemaat itu dan Gereja katolik masih terdapat perbedaan-perbedaan cukup penting, bukan hanya yang bersifat historis, sosiologis, psikologis dan budaya, melainkan terutama menyangkut cara menafsirkan kebenaran yang diwahyukan. Supaya kendati perbedaan-perbedaan itu dialog ekumenis dapat lebih mudah diadakan, dalam artikel-artikel berikut kami bermaksud mengutarakan apa yang dapat dan harus merupakan dasar maupun dorongan bagi dialog itu.”
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati – https://katolisitas.org
Kitab Yakobus 2 berbicara mengenai orang Kristen yang “mengatakan” (ayat 14) bahwa mereka mempunyai iman tetapi tidak nampak dalam perbuatan-perbuatannya. Ini dicontohkan oleh Yakobus dengan mengatakan ada seorang yang tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari dan orang Kristen hanya ngomong “kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya. Maka Yakobus bertanya “apakah gunanya ngomong tapi faktanya tidak memberi?” Demikian juga dengan iman. Banyak orang ngomong memiliki iman tetapi orang-orang tidak bisa membedakan apakah mereka itu adalah orang percaya yang sejati atau bukan, sebab mereka tidak berbuah sama sekali. Iman seperti ini adalah sia-sia dan bukan merupakan iman yang menyelamatkan. Jika iman tidak disertai dengan perbuatan maka iman itu adalah pasti palsu. Iman yang sejati akan menghasilkan perbuatan. Iman palsu sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Pemahaman ini dipertegas oleh Yakobus dengan berkata, “aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku”. Artinya Yakobus memiliki iman yang sejati dan dari imannya itu menghasilkan perbuatan-perbuatan.
Jadi sebenarnya Yakobus tidak mengatakan bahwa pembenaran adalah oleh iman ditambah perbuatan, namun mengatakan bahwa seseorang yang sudah betul-betul dibenarkan melalui iman akan menghasilkan perbuatan baik dalam hidupnya. Jika seseorang mengaku sebagai orang percaya, namun tidak menyatakan perbuatan baik dalam hidupnya, maka kemungkinan dia tidak memiliki iman yang sejati kepada Kristus (Yakobus 2:14, 17, 20, 26).
Jika memang Yakobus mengajarkan keselamatan diperoleh melalui iman ditambah dengan perbuatan, maka pertanyaannya adalah berapa banyak perbuatan baik dan mulia yang harus dikerjakan seseorang untuk benar-benar selamat? Mungkinkah manusia bisa selamat jika mengandalkan perbuatan baiknya? Jika ada timbangan untuk mengukur perbuatan baik dan dosa yang diperbuat seseorang maka pastilah lebih banyak dosanya dari perbuatan baiknya. Saya kira tidak ada satu manusia pun yang selamat, bukan? Kecuali anugerah Allah semata maka keselamatan menjadi mungkin (Ef. 2:8). Nah, jika memang anugerah, mengapa harus ditambah dengan perbuatan? Bukankah jika ditambah dengan perbuatan, anugerah keselamatan bukanlah suatu anugerah lagi, bukan? Karena disebut anugerah maka tidak perlu ditambah perbuatan.
Paulus menulis kepada jemaat Efesus, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu jangan ada orang yang memegahkan diri”.(Efesus 2:8-9). Artinya keselamatan itu adalah anugerah Allah semata. Namun demikian, di satu pihak Paulus menulis kepada jemaat Filipi, “kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar” (Fil. 2:12b). Apa yang dimaksud dengan perintah ini? Apakah perintah ini tidak bertentangan dengan ajaran Paulus yang lain tentang keselamatan adalah anugerah (Rom 3:28; Ef 2:8-9)? Apakah berarti kita harus mengupayakan sesuatu untuk mendapatkan keselamatan?
2 tulisan Paulus tersebut tidaklah saling bertentangan dan Paulus sama sekali tidak mengajarkan kita harus mengupayakan sesuatu untuk memperoleh keselamatan jika kita teliti dalam bahasa aslinya. Bahasa aslinya adalah katergazomai – κατεργάζομαι (kerjakan) dengan nomor Strong G2716 yang mana salah satu artinya adalah (1) to perform, accomplish, achieve (2) to work out i.e. to do that from which something results (3) to fashion i.e. render one fit for a thing[1]
Kata kerja katergazomai (“kerjakanlah”) sebenarnya lebih bermakna “menyelesaikan” atau “menyelesaikan sesuatu hingga sempurna” yaitu kata kerja yang sama yang digunakan di Efesus 6:13.
Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan (Katergazomai) keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir (Fil. 2:12)
Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri, sesudah kamu menyelesaikan (Katergazomai) segala sesuatu. (Efs. 6:13)
Ayat ini berarti “work out your salvation/kerjakan keselamatanmu”, bukan “work for your salvation/bekerja untuk keselamatanmu”.
Jadi ‘kerjakan keselamatanmu’ berarti dalam mengikut Tuhan, jangan berhenti di tengah jalan! Ikutlah terus sampai akhir atau sampai selesai! Itu maksud ayat ini. Dengan demikian, ruang lingkup ‘keselamatan’ itu mulai saat kita percaya sampai saat kita bertemu dengan Kristus.
>>> kata kerja “katergazomai” (kerjakanlah) sebenarnya lebih bermakna menyelesaikan (Efesus 6:13), bukan menghasilkan sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Ayat ini berarti “work out your salvation” (mayoritas versi Inggris), bukan “work for your salvation. (Yakub Tri Handoko**)
>>> kata yang dipakai Paulus katergazesthai” yang selalu berupa gagasan tentang “menyelesaikan sesuatu hingga sempurna”. Dengan demikian Paulus seakan hendak berkata, “Jangan berhenti di tengah jalan, berjalanlah terus, sampai karya keselamatan terwujud dengan lengkap di dalam kamu. (William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat Filipi, Kolose, 1 dan 2 Tesalonika, hal. 68).
Jika demikian, apakah maksud perkataan Paulus “kerjakan keselamatanmu”?
Pdt Yakub Tri Handoko mengatakan:
>>> terlihat bahwa nasihat untuk mengerjakan keselamatan sebenarnya sama dengan nasihat untuk hidup sesuai dengan status yang sudah diselamatkan. Dalam istilah yang lebih sederhana, mengerjakan keselamatan sebenarnya sama dengan hidup sesuai firman Tuhan (ketaatan). Hal ini juga terlihat dari kalimat di ayat 12 “kamu senantiasa taat, karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu.
Maka “kerjakan keselamatan” menunjuk pada tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan kita sebagai orang-orang Kristen yang sudah diselamatkan, seperti berdoa, beribadah, membaca Alkitab, bersaksi, melayani, memberitakan Injil, menasihati, mendorong, menghibur, menolong, mengasihi sesama, dan lain lain perbuatan. Apabila kita melakukan semua itu maka kita dikatakan sedang mengerjakan keselamatan kita. Pada bagian ini rasul Paulus menasihati jemaat Filipi dan juga kita agar tidak menjadi pasif, berdiam diri, bersantai-santai untuk menantikan keselamatan kita melainkan mengerjakan keselamatan itu di dalam hidup setiap hari dengan tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan ketaatan kita. Pertanyaan bagi kita sekalian adalah apakah kita di dalam menantikan kesempurnaan keselamatan kita sudah dan sedang mengerjakan keselamatan itu atau tidak?
Jadi cukup jelaslah perintah Paulus tersebut yaitu tidak meminta jemaat Filipi bekerja untuk memperoleh keselamatan melainkan mengerjakan keselamatan (dalam rupa perbuatan-perbuatan sesuai dengan hidup orang Kristen sejati) yang jemaat Filipi sudah peroleh berdasarkan anugerah yang diberikan oleh Allah. Misalnya saya memberikan kepada Anda sebuah sawah secara gratis. Saudara tidak berusaha apa-apa untuk memperoleh sawah itu. Itu benar-benar “kasih karunia” dari saya. Setelah itu saya berkata pada Anda “kerjakan sawahmu”. Apakah perintah saya ini bertentangan dengan fakta bahwa saudara mendapatkan sawah secara gratis? Tidak, bukan? Kita harus ingat bahwa keselamatan sudah diperoleh sejak hari di mana kita beriman sungguh-sungguh kepada Kristus.
Kesimpulan
Dengan mengkaji 2 buah pikiran Paulus dan Yakobus membuktikan bahwa antara Paulus dan Yakobus tidak ada pertentangan sama sekali. Paulus meskipun mengajarkan banyak tentang keselamatan berdasarkan iman kepada Kristus juga mengajarkan agar selama menantikan keselamatan yang penuh yaitu pada hari Tuhan Yesus kembali, kita sebagai orang Kristen harus melakukan perbuatan-perbuatan berdasarkan ketaatan sebagai orang Kristen sejati. Jika kita mengaku beriman tetapi tidak mengerjakan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan orang Kristen sejati maka kata Yakobus sebenarnya iman kita itu pada hakekatnya adalah mati atau dengan kata lain iman kita adalah kosong. Kita bukanlah seorang Kristen sejati melainkan KTP saja. Dengan demikian, perbuatan orang Kristen merupakan buah dari iman yang sejati. Iman yang demikian adalah iman yang menyelamatkan. Sedangkan iman yang kosong atau mengaku-ngaku saja sama sekali tidak menyelamatkan.
Shalom J Mandalika,
Gereja Katolik juga tidak mengajarkan bahwa seseorang diselamatkan karena perbuatannya saja tanpa iman. Maka, sama sepeti Anda, kami juga berpegang kepada pengajaran Rasul Paulus bahwa keselamatan hanya diperoleh karena kasih karunia Allah oleh iman (lih. Ef 2:8-9). Namun iman yang kami percayai di sini, adalah iman yang hidup dan menyelamatkan, artinya iman yang bekerjasama dengan perbuatan, sebagaimana yang diajarkan dalam Surat Rasul Yakobus (lih. Yak 2:17,22,24,26).
Jadi Anda benar, bahwa ajaran Rasul Paulus memang bukan untuk dipertentangkan dengan ajaran Rasul Yakobus. Sejujurnya, inilah sebenarnya yang disampaikan oleh Paus Benediktus XVI dalam khotbahnya yang menyangkut tentang Sola Fide, silakan klik. Sebab iman yang menyelamatkan ini adalah iman yang dalam kesatuan dengan harapan dan perbuatan kasih.
Maka, apa yang Anda uraikan tentang ajaran justifikasi itu, nampaknya sejalan dengan apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik, yaitu bahwa keselamatan diperoleh karena kasih karunia Allah, oleh iman, yang diikuti/ yang menjadi kesatuan dengan perbuatan baik, sebagai bukti dari iman. Nah, pernyataan iman ini buktinya juga adalah, kalau orang tersebut mau bertobat dan dibaptis, dan selanjutnya juga selalu hidup sesuai dengan imannya (dalam pertobatan yang terus menerus, dan berbuat baik/ kasih). Semua ini diajarkan dalam Kitab Suci, dan oleh karena itu, Gereja Katolik mengajarkannya.
Jadi kalau Anda menyangka bahwa Gereja Katolik mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh dari perbuatan saja tanpa iman, itu adalah anggapan yang keliru. Maka sebelum ada salah paham, ada baiknya Anda membaca terjemahan Deklarasi Bersama Antara Gereja Katolik dan Federasi Lutheran Sedunia, tentang Doktrin Justifikasi, dan Tanggapan Gereja Katolik terhadap Deklarasi tersebut, yang semuanya terdiri dari tiga buah dokumen:
Deklarasi Bersama Lutheran dan Katolik tentang Justifikasi
Deklarasi Bersama Lutheran dan Katolik tentang Justifikasi tanggal 25 Juni 1998
Tanggapan Gereja Katolik terhadap Deklarasi Bersama tentang Justifikasi
Berikut ini saya kutipkan sedikit saja dari Deklarasi tersebut:
15. ….Bersama kita mengakui: Melalui kasih karunia saja, dalam iman kepada karya keselamatan Kristus dan bukan karena jasa apapun dari pihak kita, kita diterima oleh Tuhan dan menerima Roh Kudus, yang memperbaharui hati kita sembari memperlengkapi kita dan memanggil kita untuk perbuatan-perbuatan baik.
19. Kita mengakui bersama bahwa semua orang bergantung sepenuhnya kepada karunia keselamatan Allah untuk keselamatan mereka.
20. Ketika umat Katolik mengatakan bahwa manusia ”bekerja sama” dalam mempersiapkan dan menerima justifikasi dengan menyetujui tindakan pembenaran dari Allah, mereka melihat persetujuan pribadi semacam itu sendiri sebagai efek dari kasih karunia, bukan sebagai sebuah tindakan yang muncul dari kemampuan alamiah manusia.
25. Kita mengakui bersama bahwa para pendosa dibenarkan oleh iman melalui karya penyelamatan Allah di dalam Kristus. Oleh karena karya Roh Kudus dalam pembaptisan, mereka diberikan karunia keselamatan, yang meletakkan dasar bagi segenap kehidupan Kristiani. Mereka meletakkan kepercayaan mereka di dalam janji kemurahan Tuhan dengan iman yang membenarkan, yang mengandung harapan di dalam Allah dan cinta kasih untuk-Nya. Iman semacam itu adalah aktif/bekerja dalam kasih dan karena itu orang Kristen tidak dapat dan tidak boleh tanpa perbuatan kasih. Namun apapun yang mendahului karunia iman secara cuma-cuma tersebut ataupun yang mengikutinya, di dalam diri orang-orang yang dibenarkan, adalah bukan dasar dari justifikasi dan bukan pula jasa yang menghasilkan justifikasi itu.
27. Pemahaman Katolik juga memandang iman sebagai hal fundamental di dalam justifikasi. Sebab tanpa iman, tak ada justifikasi yang dapat terjadi. Manusia dibenarkan melalui baptisan sebagai pendengar dari Firman dan pemercaya di dalamnya. Justifikasi dari para pendosa adalah pengampunan dari dosa-dosa dan dibuat menjadi benar melalui kasih karunia yang membenarkan, yang membuat kita menjadi anak-anak Allah. Dalam justifikasi orang yang benar menerima dari Kristus iman, harapan, dan kasih dan dengan demikian diangkat dalam persatuan dengan Dia. Relasi personal yang baru dengan Allah ini didasarkan sepenuhnya pada kemurahan Allah dan tetap senantiasa bergantung kepada karya yang menyelamatkan dan kreatif dari Allah yang pemurah ini, yang tetap benar terhadap diri-Nya sendiri, sehingga manusia dapat mengandalkan Dia. Maka karunia yang membenarkan tak pernah menjadi milik manusia yang dengannya seseorang dapat naik banding melawan Allah. Sementara ajaran Katolik menekankan pembaharuan hidup melalui kasih karunia yang membenarkan, pembaharuan di dalam iman, harapan, dan kasih ini selalu bergantung kepada kasih karunia Allah yang tak terpahami dan tidak menyumbang apapun kepada justifikasi yang membuat seseorang dapat bermegah di hadapan Allah (Rom 3:27).
Semoga ulasan singkat ini dapat berguna sebagai masukan buat Anda, tentang ajaran Gereja Katolik tentang iman yang bekerja dalam kasih, dalam hubungannya dengan justifikasi, yang diberikan kepada manusia, karena kasih karunia Allah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syalom,,
Dalam Roma 4 dikatakan bahwa Abraham dibenarkan karena iman,, sedangkan di surat Yakobus dikatakan bahwa Abraham dibenarkan oleh perbuatan.. manakah yg benar..??
Dan apakah maksud Rasul Paulus mengatakan bahwa kita dibenarkan hanya oleh iman dan BUKAN perbuatan.. apakah memang Rasul Paulus tdk menganggap penting perbuatan..?? dan apakah Rasul Paulus dan Yakobus berbeda pendapat dlm hal ini..??
Sebab Jelas sekali Tulisan Paulus yg memisahkan iman dari perbuatan..
Mohon Penjelasan detailnya..
Trima kasih..
Shalom Lian,
Memang dalam beberapa perikop, tertulis seolah-olah Rasul Paulus memisahkan iman dengan perbuatan. Namun konteks perbuatan di sini adalah perbuatan melakukan hukum Taurat. Hal ini jelas disebutkannya di dalam suratnya kepada jemaat di Galatia:
Jadi Rasul Paulus bermaksud mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh dari iman dalam Kristus Sang Putera Allah yang mengasihi kita (lih. Gal 2:20) dan bukan karena perbuatan melakukan hukum Taurat. Namun iman yang menyelamatkan ini tidak untuk dipisahkan dari kasih yang merupakan satu kesatuan dan buah dari iman, sebab Rasul Paulus juga mengatakan bahwa yang terpenting bagi kita murid- murid Kristus, bukan hal disunat atau tidak (yang adalah perbuatan menurut hukum Taurat) tetapi hanya iman yang bekerja oleh kasih (Gal 5:6). Dengan demikian iman dan perbuatan kasih itu tidak terpisahkan, sebab kasih dinyatakan tidak saja melalui perkataan tetapi terlebih dengan perbuatan. Dengan demikian Rasul Paulus dan Yakobus sejalan dalam mengatakan bahwa iman (saja) itulah yang menyelamatkan dan bukan perbuatan hukum Taurat, namun iman ini tidak dapat dipisahkan dari perbuatan kasih; sebab jika tidak, iman itu mati dan tidak menyelamatkan (lih. Yak 2:24; 2:26).
Silakan membaca lebih lanjut tentang topik ini di sini: Paus Benediktus XVI dengan Sola Fide, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Lian,
Rasul Paulus tidak mengatakan bahwa kita dibenarkan “hanya” oleh iman. Yang mengatakan ini adalah Martin Luther di Roma 3:28, dimana ia menambahkan kata “hanya” atau “saja”.
Roma 3:28
“Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat.”
Paulus mengatakan “dibenarkan karena iman” (Roma 3:28) – tidak ada embel-embel kata “hanya”. Dan Paulus juga mengatakan bahwa perbuatan juga penting (Roma 2:6-13).
Jadi, tidak ada pertentangan antara Paulus dan Yakobus (Pertentangan mulai muncul karena ada tambahan kata “hanya” atau “saja” oleh Martin Luther).
Bagi, Katolik, Iman dan Perbuatan, kedua-duanya adalah membenarkan. Kita dibenarkan oleh iman, dan juga kita dibenarkan oleh perbuatan. [Dari Katolisitas: Yang lebih tepat adalah, Kita dibenarkan oleh iman dan perbuatan, sebab keduanya tidak terpisahkan. Sebab iman yang hidup adalah iman yang dinyatakan dalam perbuatan kasih]
Salam
Ada pendapat bahwa perkataan dalam Injil Yakobus yang berbunyi bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati bukan berarti perbuatan baik dan benar yang secara kodrati dimiliki oleh semua orang yang baik. Perbuatan yang dimaksud dalam Injil tersebut adalah perbuatan mewujudkan iman seperti perbuatan Abraham yang tetap akan menyembelih Ishak putera kesayangannya karena beliau beriman kepada Allah sekalipun Abraham percaya bahwa perbuatan menyembelih anaknya bukanlah perbuatan yang baik dan benar. Bagaimana pendapat Bu Inggrid?
Hal lain yang ingin saya tanyakan adalah tentang pandangan bahwa gereja non-Katolik seperti gereja Protestan pada hakekatnya bukan gereja karena penyelenggaraan ibadahnya tidak dipimpin oleh pastor yang sudah mendapatkan sakramen imamat. Istilah gereja lokal dianggap merujuk kepada masing-masing gereja Katolik di paroki yang berada di bawah keuskupan yang sama dan keuskupan Roma (Paus). Apakah pandangan ini benar karena setahu saya gereja Katolik bercirikan am, kudus, katolik dan apostolik sehingga saya sering mengatakan gereja Katolik itu gereja universal sedangkan gereja non-Katolik merupakan gereja lokal?
[dari katolisitas: telah dijawab – silakan klik]
Comments are closed.