Pertanyaan:

Salam Damai utk tim Katolisitas,

Saya ada pertanyaan: apakah perasaan itu merupakan bagian dari iman, tentunya dipandang dr kacamata Gereja Katolik?

Mohon pencerahannya.
-Novenna-

Jawaban:

Shalom Novenna,

Terima kasih atas pertanyaannya. Berikut ini adalah jawaban yang dapat saya berikan: Perasaan tidak sama dengan iman. Untuk tahu hal ini, kita harus mengerti definisi keduanya.

1) Perasaan (feeling) hanyalah suatu dorongan (impulse) dari sense appetite, yang berhubungan dengan panca indera kita. Oleh sebab itu, St. Thomas menggolongkan feeling dalam passion, yang termasuk dalam sense appetite. Dan sense appetite ini juga dipunyai oleh binatang. Oleh karena itu, orang yang hidup berdasarkan feeling sebenarnya merendahkan dirinya pada tingkat binatang. Mari kita melihat tentang perasaan secara lebih mendalam. Kita akan merasa lebih senang dengan mencium bau wangi-wangian daripada bau ikan busuk. Kita merasa lebih senang jika makan pada waktu kita lapar atau minum pada waktu kita haus. Respon-respon yang spontan seperti ini dapat kita jumpai pada semua orang, termasuk anak-anak yang belum dapat menggunakan akal budinya (age of reason). Mereka akan merasa senang, kalau apa yang mereka butuhkan: kasih, makan, minum, tidur, dapat terpenuhi dengan baik. Kita sering melihat perubahan yang begitu cepat dari perasaan mereka, dari tertawa kemudian menangis dan sebaliknya, hanya dalam hitungan detik. Selama dorongan perasaan mereka terpenuhi, maka mereka akan tertawa dan kalau sebaliknya, mereka akan sedih.

2) Namun semakin mereka bertumbuh, maka mereka dapat melatih kehendak (will) mereka. Mereka akan tahu bahwa mereka harus makan obat walaupun mereka merasakan bahwa obat tidaklah enak. Mereka harus melawan perasaan mereka, karena mengikuti perintah orang tua mereka atau mereka tahu bahwa obat dapat membawa kesembuhan. Semakin mereka bertumbuh, mereka akan menyadari bahwa perasaan-perasaan hanyalah bersifat sementara, tergantung dari situasi lingkungan dan juga situasi dari tubuh. Bahkan kalau mau dibilang, suatu formula kimia dapat membuat perasan kita senang atau sedih. Kita tahu bahwa orang yang terjerumus dalam obat-obatan terlarang mengalami perasaan senang pada waktu mereka mengkonsumsi obat-obatan tersebut. Dan sebaliknya, orang yang minum obat tertentu dapat mengalami depresi.

3) Semakin orang tersebut bertumbuh dewasa, maka orang tersebut akan dapat membedakan antara kehendak (will) dan perasaaan (feeling maupun passion), yang kadang saling bertentangan. Sebagai contoh: seseorang yang berpuasa berusaha untuk menahan (act of the will ) rasa laparnya (feeling / passion), walaupun tubuhnya menginginkan pemenuhan kebutuhan biologis ini. Jadi, kehendak (will) sebenarnya adalah rational appetite, yang dapat dipengaruhi oleh akal (intellect), sehingga budi dapat memberikan suatu keputusan yang baik dan benar sesuai dengan akal sehat. Namun, passion, feeling adalah merupakan sense appetite, yang kadang sering mengaburkan akal budi kita. Dan ini adalah salah satu akibat dari dosa asal, yang menyebabkan passion tidak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh akal budi.

4) Oleh karena kita adalah mahluk berakal budi (rational creature), maka akal budi kita harus dapat mengontrol perasaan maupun passion. Pada saat manusia hidup menurut perasaan, passion, namun bukan hidup menurut akal budi, maka manusia merendahkan dirinya pada level binatang.

5) Mari sekarang kita melihat definisi iman. Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr 11:1). dalam iman, akal budi dan kehendak manusia bekerja sama dengan rahmat Ilahi (KGK, 155). Lebih jauh St. Thomas mengatakan bahwa “Iman adalah satu kegiatan akal budi yang menerima kebenaran ilahi atas perintah kehendak yang digerakkan oleh Allah dengan perantaraan rahmat” (ST, II-II, q.2, a.9). Jadi iman adalah merupakan operasi intellect atau akal budi, dimana kita bekerja sama dengan rahmat Allah, sehingga kita dapat menjawab panggilan-Nya dan percaya akan apa yang difirmankan-Nya. Namun kepercayaan ini bukan hanya asal percaya, atau percaya berdasarkan perasaan saja. Iman dapat didefinisikan sebagai suatu persetujuan akal budi yang kokoh kepada kebenaran, yang bukan berdasarkan perasaan, namun berdasarkan kesaksian saksi. Artinya kalau seseorang masih ragu-ragu akan kebenaran tersebut, maka dapat dikatakan ia belum sungguh-sungguh beriman. Dan saksi di dalam kebajikan ilahi iman adalah Tuhan sendiri, yang bersaksi dengan perantaraan para nabi, dan akhirnya Tuhan sendiri menjelma menjadi manusia, yang selanjutnya karya-Nya diteruskan oleh Gereja Katolik. Jadi seseorang beriman dengan benar, kalau seseorang telah melihat imannya berdasarkan motive of credibility, yang keterangannya dapat di baca di artikel ini di bagian akhir.

6) Jadi, dengan demikian, Iman kita tidak dapat bergantung dari perasaan. Bahkan iman, yang adalah operasi intellect harus dapat mempengaruhi perasaan, sehingga kita dapat menginginkan dan melakukan sesuatu sesuai dengan perintah Tuhan, walaupun sulit dan tidak mengenakkan. Sebagai contoh: kalau iman kita mengajarkan bahwa Yesus hadir secara nyata dalam setiap Perjamuan Ekaristi, maka kita harus tetap mempunyai iman ini, walaupun perasaan kita tidak mengalami perasaan apapun atau bahkan merasa bosan. Kita harus tetap beriman bahwa kontrasepsi adalah berdosa, walaupun tidak mengenakkan dan sulit untuk dijalankan. Kalau iman kita hanya tergantung dari perasaan, maka iman kita tidak akan stabil, karena perasan tidaklah stabil.

Di satu sisi, akal budi kita juga harus dapat mempengaruhi perasaan dan menggunakannya, sehingga kita dapat bertumbuh dalam kekudusan. Kalau kita mencoba Spiritual Exercise dari St. Ignatius, maka peran akal budi ini sangat nyata, dimana digunakan imaginasi untuk mempengaruhi keberadaan kita, termasuk perasaan kita. Pada bagian pertobatan, maka kita harus membayangkan neraka, dll.

Semoga keterangan ini dapat membantu. Pertanyaan yang lain, akan dijawab dalam jawaban tersendiri, karena berbeda topik.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org

7 COMMENTS

  1. Shalom Tim Katolisitas

    Dear
    Bpk Stefanus Tay, M.T.S & Ibu Ingrid Listiati Tay, M.T.S.

    Ibu Ingrid Saya ada pertanyaan, mungkin pertanyaan ini ada hubungannya dgn iman & arti dari takut akan Tuhan. Sebelumnya perkenankan saya untuk bercerita.
    Saya mencintai seorang perempuan, tetapi didalam keluarga perempuan itu ada 2 agama yaitu Kristen & Katolik dan kebetulan perempuan yang saya cintai itu seiman dengan saya, kami sama-sama Katolik bahkan kami sudah sama di baptis secara Katolik & sudah ikut sakramen krisma.
    sedangkan Ibu dan kakaknya yang laki-laki agamanya Kristen. bahkan kakanya ini penginjil. tapi perempuan yang saya cintai ini berkeinginan mengikuti misa bersama dengan saya.
    namun dari pihak Ibunya selalu mengajak2 terus ke gereja kristen.
    Kesimpulannya kami berdua dilarang untuk berhubungan sama keluarganya termasuk sama kakaknya yang perempuan ( padahal kakaknya yang perempuan, agamanya katholik ) Namun kakaknya yan laki-laki sempat melontarkan pertanyaan kepada perempuan yang saya cintai, dia bilang saya ini imannya gimana? dan saya ini Takut akan Tuhan tidak?
    lalu saya jawab iman itu hanya Tuhan yang tau karena Iman itu hubungannya Dengan Tuhan dan takut Tuhan seperti apa.

    Yang saya tanyakan adalah:
    1. Pantaskah seorang Penginjil bertanya sepert itu? padhal menurut saya iman itu pribadi kita dan hubungannya dengan Tuhan. dan yang dia maksud itu Iman seperti apa?
    2. Takut Tuhan seperti apa yang dia maksud? padahal menurut saya, saya sendiri jaga takut akan Tuhan,

    Terima kasih.

    • Shalom Gunawan,

      Terima kasih atas pertanyaannya. Dalam masa penjajakan sebelum masuk ke jenjang perkawinan, maka kita harus benar-benar hati-hati, dan selalu membawa pasangan kita di dalam doa, karena setelah kita memasuki Sakramen Perkawinan, maka tidak ada kata perceraian di dalam keluarga. Menurut hemat saya, karena keluarga dari wanita yang anda cintai mayoritas beragama Kristen non-Katolik, maka sudah seharusnya anda dapat benar-benar mempelajari iman Katolik secara mendalam. Dengan demikian, kalau mereka bertanya tentang iman Katolik, maka anda dapat memberikan jawaban yang baik, namun tetap melakukannya dengan hormat dan lemah lembut. (lih. 1Pet 3:15) Yang paling penting adalah anda juga harus mampu untuk menunjukkan kasih dalam kehidupan yang nyata, sehingga mereka juga dapat melihat bagaimana kehidupan umat Katolik yang baik.

      Cerita ini mengingatkan saya akan cerita Patrick Madrid, seorang apologist yang aktif dalam diskusi dan mengarang beberapa buku, di antaranya adalah “A friend of God is a friend of mine“, “Suprise by truth 1, 2,3“, dll. Latar belakang yang sama inilah, yang memacunya untuk benar-benar mendalami iman Katolik, sehingga dia dapat menjadi Patrick Madrid yang ada sekarang.

      Kalau kakaknya yang penginjil bertanya apakah anda takut akan Tuhan, maka ini adalah pertanyaan yang bagus, karena ia menginginkan kebahagiaan bagi adik wanitanya. Takut akan Tuhan adalah permulaan dari kebijaksanaan (lih. Mzm 111:10). Tuhan menyayangi orang yang takut akan Dia dan mencukupkan segalanya bagi orang yang takut akan Dia. Takut akan Tuhan memungkinkan seseorang berjalan di jalan Tuhan (lih. Mzm 128:1), sehingga pemazmur dengan suara lantang mengatakan “Haleluya! Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya.” (Mzm 112:1) Namun, takut akan Tuhan yang dimaksud di sini adalah bukan takut, seperti kita takut pada polisi lalu lintas, namun lebih seperti kita takut akan ayah kita. Ketakutan bukanlah berdasarkan takut karena ketakutan menerima hukuman, namun takut karena tidak mau menyedihkan orang yang kita kasihi. Takut yang pertama disebut “servile fear“, dan takut yang kedua adalah disebut “filial fear“. Kalau rasul Yohanes mengatakan bahwa di dalam kasih tidak ada ketakutan (lih. 1Yoh 4:18), maka dia merujuk pada servile fear dan bukan filial fear. Dengan demikian, kalau ada orang yang bertanya apakah kita takut akan Tuhan, maka hal ini, sama seperti orang bertanya kepada kita, apakah kita mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan, melebihi kepentingan diri kita pribadi? Dengan demikian, ini adalah pertanyaan yang baik. Berfikirlah positif bahwa kakak dari wanita yang anda cintai mempunyai maksud baik dengan pertanyaan tersebut, karena pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang baik. Kalau seseorang laki-laki takut akan Tuhan, maka dia juga akan memperlakukan istrinya dengan baik, karena Tuhan memerintahkan suami untuk mencintai istrinya, sama seperti Kristus mencintai Gereja-Nya (lih. Ef 5:25). Jadi, jawablah pertanyaan dari penginjil tersebut, bahwa anda memang takut akan Tuhan, dalam konteks di atas, walaupun kita semua terus berjuang sampai kehidupan kita di dunia ini telah selesai. Kekudusan adalah suatu proses dan yang penting, kita terus berjuang dalam kekudusan. Dan ini adalah bukti otentik dari kehidupan kristiani, bukti otentik dari seorang Katolik yang baik.

      Semoga hubungan anda dengan wanita yang anda cintai dapat berjalan dengan baik. Bawalah terus di dalam doa. Dan semoga jawaban di atas dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  2. Namun di lain sisi, Tuhan meminta kita untuk mengasihi-Nya dengan segenap jiwa kita.
    Mungkinkah kita mengasihi Allah dengan segenap jiwa, tanpa perasaan?
    Bukankah jiwa kita dipengaruhi oleh perasaan kita?
    Mungkinkah kita beriman kepada Allah tanpa mengasihi-Nya?

    Mohon pencerahannya..
    -Novenna-

    • Shalom Novena,

      Terima kasih atas pertanyaannya. Tuhan memang memerintahkan kita untuk mengasihi-Nya dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan kita.

      1. Pertanyaannya adalah apakah kita dapat mengasihi Allah dengan segenap jiwa tanpa perasaan? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka terlebih dahulu kita harus mengerti definisi jiwa dan perasaaan.

      Menurut Gereja Katolik, yang mengambil pengajaran dari St. Thomas Aquinas, manusia terdiri tubuh dan jiwa. Namun jiwanya di sini adalah jiwa spiritual (rohani); yang menyebabkan manusia sebagai mahluk rational/ berakal budi. Sedangkan binatang mempunyai juga tubuh dan jiwa, namun jiwanya bukan rohani, sehingga disebut sebagai mahluk irrational/ tidak berakal budi. Jiwa binatang ini tidak abadi, jadi jiwanya mati jika tubuhnya mati. Nah, jiwa di dalam tubuh manusia merupakan “prinsip utama yang memberikan kehidupan” (Summa Theologica I, q. 75, a.1), sehingga jika jiwa ini tidak ada lagi di dalam tubuh maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh manusia. Ini yang terjadi pada kita meninggal.

      Dalam tanya jawab di atas, saya menuliskan tentang perasaan. Perasaan (feeling) hanyalah suatu dorongan (impulse) dari sense appetite, yang berhubungan dengan panca indera kita. Oleh sebab itu, St. Thomas menggolongkan feeling dalam passion, yang termasuk dalam sense appetite. Dan sense appetite ini juga dipunyai oleh binatang. Oleh karena itu, orang yang hidup hanya berdasarkan feeling sebenarnya merendahkan dirinya pada tingkat binatang. Mari kita melihat tentang perasaan secara lebih mendalam. Kita akan merasa lebih senang dengan mencium bau wangi-wangian daripada bau ikan busuk. Kita merasa lebih senang jika makan pada waktu kita lapar atau minum pada waktu kita haus. Respon-respon yang spontan seperti ini dapat kita jumpai pada semua orang, termasuk anak-anak yang belum dapat menggunakan akal budinya (age of reason). Mereka akan merasa senang, kalau apa yang mereka butuhkan: kasih, makan, minum, tidur, dapat terpenuhi dengan baik. Kita sering melihat perubahan yang begitu cepat dari perasaan mereka, dari tertawa kemudian menangis dan sebaliknya, hanya dalam hitungan detik. Selama dorongan perasaan mereka terpenuhi, maka mereka akan tertawa dan kalau sebaliknya, mereka akan sedih.

      Dari definisi di atas, maka jelaslah bahwa perasaan adalah bersifat sementara. Perasaan cepat sekali berubah, dari senang, sedih, dll. Sedangkan jiwa tidak sama dengan perasaan. Jiwa adalah prinsip utama yang memberikan kehidupan. Jiwa kita dapat dipengaruhi perasaan kita, namun tidak seluruhnya, bahkan jiwa lebih superior dibandingkan dengan perasaan. Sama seperti kalau kita mempunyai perasaan marah, namun akal budi kita dapat bernegosiasi dengan perasaan, mencoba untuk memberikan alasan yang masuk akal, sehingga kita dapat berdamai dengan perasaan kita. Jadi, dalam kehidupan ini, jiwa – yang didorong oleh akal budi yang benar – harus mempengaruhi perasaan dan jangan sebaliknya.

      2. Dan kemudian pertanyaan yang lain adalah: mungkinkah kita beriman kepada Allah tanpa mengasihi-Nya? Beriman dan mengasihi adalah dua hal yang saling memperkuat. Dengan beriman dan tahu, maka kita dapat mengasihi, karena kita tidak dapat mengasihi sesuatu yang kita tidak tahu. Namun dengan mengasihi sesuatu maka kita semakin ingin tahu, semakin beriman terhadap yang kita kasihi. Kita dapat mengasihi Tuhan karena terlebih dahulu kita tahu bahwa Tuhan itu adalah yang menciptakan kita, yang mengasihi kita, yang menjaga kita, yang adalah kasih, kebaikan, keindahan, dll. Namun, semakin kita mengasihi Tuhan, maka kita ingin lebih dalam lagi mengetahui tentang Tuhan, yang pada akhirnya akan membawa kita kepada kasih yang lebih dalam.

      Karena seorang gadis tahu akan bahwa seorang pria baik kepadanya, menaruh perhatian kepadanya, akhirnya gadis tersebut mengasihi pria tersebut. Namun, karena kasihnya, gadis tersebut juga ingin tahu lebih dalam tentang kehidupan pria tersebut. Dan semakin tahu, maka gadis tersebut dapat semakin menerima dan mengasihi pria tersebut. Ini adalah contoh dari aplikasi mengetahui dan mengasihi. Semoga keterangan ini dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  3. hai, saya ada pertanyaan..

    seperti kita ketahui di Katolik tidak diajarkan bahwa beriman pada Kristus akan menjamin kemakmuran kita.
    Oleh karena itu, jika kita percaya (untuk motivasi) hal hal seperti “saya dilindungi Tuhan, pasti usaha saya juga dilindungi dan akan semakin maju”,

    apakah pemikiran ini sesat?

    Terima kasih

    • Shalom Another believer,
      Mungkin lebih baik jika motivasinya demikian, “Saya akan melakukan bagian saya sebaik mungkin, dan selanjutnya Tuhan pasti memberikan yang terbaik.” Ini sejalah dengan kata-kata bijaksana dari St. Agustinus yang terkenal itu, yaitu, “Pray as though everything depended on God. Work as though everything depended on you.” (Berdoalah seolah semuanya tergantung pada Tuhan; bekerjalah seolah semuanya tergantung padamu.”

      Dan dengan demikian kita mempunyai motivasi kerja yang tinggi, sebab kita akan berusaha melakukan yang menjadi bagian kita sebaik mungkin, dengan iman akan campur tangan Tuhan di atas segalanya. Dengan demikian, kita selalu mencari apa yang menjadi kehendak Tuhan dan berusaha bekerja sama dengan-Nya. Dan jika ini dilakukan, percayalah bahwa usaha kita tidak akan sia-sia, sebab Allah turut bekerja di dalam kita dan melalui kita. Dan biarlah Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih memberikan buah-buah-Nya seturut kehendak-Nya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  4. Salam Damai utk tim Katolisitas,

    Saya ada pertanyaan: apakah perasaan itu merupakan bagian dari iman, tentunya dipandang dr kacamata Gereja Katolik?

    Mohon pencerahannya.
    -Novenna-

    [dari katolisitas: silakan melihat jawaban di atas – silakan klik]

Comments are closed.