[Hari Minggu Biasa IV: Zef 2:3; 3:12-13; Mzm 146:7-10; 1Kor 1:26-31; Mat 5:1-12]

Pernahkah Anda dipuji? Misalnya, karena Anda sukses, paras Anda cantik atau ngganteng, Anda berprestasi, piawai dalam suatu keahlian tertentu, atau pandai main musik, bernyanyi, lancar berdoa spontan dan memimpin puji-pujian rohani? Nah, mungkin biasanya jawaban umum jika orang dipuji adalah, “Terima kasih”. Tapi bacaan sabda Tuhan hari ini membuatku merenung…, apakah jawaban itu tepat dan cukup? Sebab segala yang baik yang ada pada kita sebenarnya adalah pemberian Tuhan, milik Tuhan. Mungkin kesadaran ini perlu, supaya kita selalu ingat bahwa kita ini sesungguhnya miskin di hadapan Tuhan, dan Tuhanlah yang menjadikan kita “kaya”. Dengan demikian kalau ada orang memuji kita, kita tidak lekas besar kepala, karena tahu bahwa sesungguhnya yang patut dipuji adalah Tuhan yang memberikan segalanya kepada kita.

Belajarlah dari ilmu padi, kata orang bijaksana. Semakin berisi, padi itu semakin merunduk. Demikianlah kenyataannya, kita tidak menemukan padi yang berisi penuh namun berdiri tegak seperti lidi. Orang bilang, itu hukum alam, bahwa tanaman padi tak dapat melawan kodratnya yang harus merunduk, kalau ia sudah ‘matang’. Tapi sepertinya, manusia tidak otomatis demikian. Apakah kalau otaknya semakin berisi, alias pandai, atau kalau dompetnya semakin berisi alias kaya, orang pasti akan semakin rendah hati? Kan belum tentu…. Mungkin yang lebih banyak terjadi adalah sebaliknya! Hari ini Tuhan mengingatkan kita, bagaimana seharusnya kita bersikap sebagai manusia, agar sesuai dengan rancangan indah yang Ia persiapkan, saat Ia menciptakan kita.

Manusia tidak hanya diciptakan untuk memiliki kodrat manusiawi, tetapi juga untuk mengambil bagian dalam kodrat ilahi. Yaitu untuk turut berbahagia dalam kehidupan Allah sendiri. Nah, untuk itu, Tuhan Yesus memberikan jalannya, yang terdengar sangat kontroversial, bukan saja bagi orang-orang di zaman-Nya, tetapi juga bagi orang-orang masa kini. Yesus mengajarkan Delapan Sabda Bahagia, suatu prinsip nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang umumnya dipahami ataupun diinginkan orang. Betapa lebih mudah orang menghubungkan  kekayaan, kelimpahan materi, ketenaran, kekuasaan dengan berkat Tuhan. Sedangkan kemiskinan, kesengsaraan maupun penyakit dimaknai sebagai kutukan Tuhan. Namun, Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati manusia tidak tergantung dari segala kelimpahan semacam itu. Sebab dalam keadaan berkekurangan—yaitu kemiskinan jiwa, lapar dan haus akan kebenaran, dukacita, kelemahan…—orang dapat menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat 5:3). Bagaimana mungkin? Sebab justru dalam keadaan keterbatasan tersebut, manusia mengalami ketergantungan penuh kepada Allah. Dan dalam ketergantungan inilah, kita memperoleh kebahagiaan yang sesungguhnya.   

Allah berkenan kepada orang-orang yang rendah hati. Yaitu, yang mau menyandarkan hidupnya sepenuhnya kepada Allah. Allah sendiri senantiasa memilih orang-orang yang lemah, rendah hati dan tidak terpandang, untuk mempermalukan mereka yang kuat, demikian yang kita dengar di Bacaan Kedua (1Kor 1:26-27).  Tuhan Yesus sendiri memberikan teladan kerendahan hati. Walaupun Ia Allah, Ia “telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tuhan’, bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2:7-11).  Dengan kerendahan hati-Nya lah, Yesus mematahkan ikatan dosa kesombongan Adam yang diturunkan kepada kita.

Ketika menjadi manusia, Kristus sendiri pun hidup dalam kerendahan hati.  Ia memilih seorang perawan muda sederhana untuk menjadi ibu-Nya. Ia memilih seorang rahib sebagai perintis-Nya, dan para nelayan miskin sebagai rasul-rasul-Nya. Ia yang adalah Allah Pemilik segala sesuatu, memilih untuk hidup miskin. Walau mahakuasa, namun Ia lemah lembut dan murah hati… Yesus sendiri menapaki jalan kerendahan hati itu sampai rela wafat di kayu salib,  agar kita memperoleh keselamatan kekal. Betapa semua ini menunjukkan kepada kita, bahwa bahkan Tuhan yang mahakuasa pun rela “merunduk”, demi membukakan pintu kebahagiaan abadi bagi kita. Maka jika kita ingin sampai kepada kebahagiaan itu, kita pun mesti “merunduk”, mau dibentuk oleh Tuhan untuk menjadi rendah hati, seperti Kristus. Sebab    “… Apa yang tidak terpandang dan hina bagi dunia, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1Kor 1:29). Allah berkenan kepada orang-orang yang rendah hati, yang mau taat kepada-Nya dan mengandalkan Dia. Oleh sebab itu, dalam kehidupan rohani, kekudusan diawali dengan kerendahan hati. St. Agustinus mengajarkan tentang arti kemiskinan di hadapan Tuhan atau kemiskinan rohani ini demikian: “Penambahan ‘rohani’ [dalam kemiskinan rohani] secara umum berkaitan dengan keangkuhan dan kesombongan. Sebab umumnya, orang sombong sering dihubungkan dengan kerohanian yang “melambung tinggi… dan menggelembung.” Maka “miskin rohani atau miskin di hadapan Tuhan, dipahami dengan benar sebagai “yang rendah”, takut akan Tuhan, tidak memiliki jiwa yang menggelembung” (St. Augustine, De Sermon in Mount, Catena Aurea, Mat 5: 1-3).

Demikianlah, pertumbuhan kita dalam kehidupan rohani tercermin dalam sikap yang satu ini: sudahkah kita rendah hati? Rupanya “ilmu padi” tidak hanya berlaku untuk tanaman padi, tetapi untuk kita juga sebagai manusia. Semakin kita diberkati, atau semakin kita dijadikan kuat oleh Tuhan, semakin kita harus mengakui kebesaran Tuhan yang menopang kita, dan semakin kita perlu bersandar kepada-Nya.   

Hhmmm… besok-besok, kalau ada orang memuji kita, apakah jawab kita? Semoga kita teringat untuk pertama-tama memuji Tuhan yang memberikan segala  kebaikan dan karunia kepada kita, dan semoga kita dapat bermurah hati untuk berbagi kepada orang-orang di sekitar kita.

Tuhan Yesus, kubersyukur untuk segala anugerah dan pemberian-Mu. Bantulah aku agar tak menggantungkan kebahagiaanku pada semua pemberian itu; namun agar hatiku berpaut kepada-Mu, Sang Pemberi segala anugerah itu. Jauhkanlah dariku sikap sombong dan ingin dipuji. Buatlah aku selalu sadar bahwa Engkaulah yang layak dipuji dan menerima Semoga Kau perkenankan aku bertumbuh dalam kasih dan penyerahan diri yang total kepada-Mu, supaya dapat kuterima kebahagiaan sejati yang Kau-janjikan itu. Amin.