Sumber gambar: http://www.singlemomsmiling.com/giving-your-word-parable-two-sons-matt-2128-32/

[1 Oktober 2017. Hari Minggu Biasa ke-26. Yeh 18:25-28. Flp 2:1-11. Mat 21:28-32]

28. “Tetapi apakah pendapatmu tentang ini: Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. 29. Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi. 30. Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga.

31. Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?” Jawab mereka: “Yang terakhir.” Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah. 32. Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya. Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya.”

 


Teman-teman,

Minggu lalu (Minggu Biasa ke-25), Tuhan mengundang kita untuk bekerja di kebun anggurnya. Minggu ini, Tuhan, melalui perumpamaan dua anak, memberikan kita petunjuk agar kita dapat bekerja lebih baik.

Injil hari ini mengingatkan kita akan pentingnya ketaatan dalam setiap pekerjaan kita. Kristus adalah teladan utama bagi kita dalam ketaatan. Ia, dalam kemanusiaan-Nya (ratione humanae naturae), telah “taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:8).

Di dalam Kitab Suci, kita bisa menemukan banyak sekali orang-orang yang memberikan kita contoh melalui ketaatan mereka kepada kehendak Tuhan. Salah satu teladan utama bagi kita dalam ketaatan, selain Yesus sendiri dan Bunda Maria, adalah Santo Yusuf. Santo Thomas Aquinas mengajarkan bahwa, oleh karena manusia jatuh dalam dosa akibat ketidaktaatan (lih. Gen 3:1-6), permulaan keselamatan kita ditandai oleh ketaatan Santo Yusuf, yang memiliki empat ciri khas: teratur (ordered), cepat (prompt), sempurna (perfect), dan teliti (discrete).[1]

Ketaatan kita harus teratur. Agar kita bisa taat kepada kehendak Allah yang diungkapkan melalui sesama kita (baik orang tua, guru, atau teman yang kita percayai), kita harus terlebih dahulu meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk (vices), seperti kemalasan dan kesombongan.

Ketaatan kita harus cepat, seperti yang disampaikan kepada kita oleh Kitab Yesus bin Sirakh: “Jangan menunda-nunda berbalik kepada Tuhan, jangan kautangguhkan dari hari ke hari” (Sir 5:7). Kita diundang untuk tidak menunda pekerjaan kita sampai besok, karena seringkali ‘besok’ adalah kata keterangan bagi para pecundang.[2]

Ketaatan kita harus sempurna. Ini berarti kita patut melaksanakan apa yang diperintahkan (what) dengan sarana tertentu (how), sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (what for). Dengan kata lain, kita diajak untuk taat termasuk dalam hal-hal yang kecil—“engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar” (Mat 25:21)—dan menyelesaikan pekerjaan kita dengan baik—“siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?” (Lk 14:28).

Ketaatan kita, akhirnya, harus teliti (discrete). Kita perlu memastikan bahwa kita mentaati Allah—bukan Iblis—dan orang-orang yang ditempatkan Allah disekeliling kita untuk membimbing kita.

Semoga, melalui Ekaristi hari ini dan dengan perantaraan Santo Yusuf, kita semakin mampu untuk mentaati Allah dengan teratur, cepat, sempurna, dan teliti.

 


[1] Thomas Aquinas, Super Mt., cap. 1 l. 6.

[2] Josemaría Escrivá, The Way, §251: “¡Mañana!: alguna vez es prudencia; muchas veces es el adverbio de los vencidos.” [“‘To-morrow’: sometimes it is prudence; very often it is the adverb of the defeated.”]