[Hari Minggu Biasa XV: Yes 55:10-11; Mzm 65:10-14; Rm 8:18-23; Mat13:1-23]

Di hari-hari belakangan ini ramai diberitakan tentang perbedaan hasil penghitungan suara Pemilu, tergantung dari lembaga survey apa yang dijadikan sebagai rujukan. Nampaknya di sini ada faktor manusia yang tidak dapat diabaikan, sehingga, walaupun hal yang diamati sama, namun kesimpulannya bisa berbeda. Bacaan Injil hari ini juga mengisahkan bagaimana dari penabur yang sama dan benih yang sama, dapat dihasilkan hasil yang berbeda. Koq bisa? Sebab benih itu ditaburkan pada jenis tanah yang berbeda-beda. Jika Sang Penabur itu menggambarkan Allah sendiri dan benih itu adalah Sabda-Nya, maka berbagai jenis tanah menggambarkan berbagai jenis keadaan hati manusia yang menerima Sabda-Nya itu. Kini tinggal kita memeriksa diri, apakah hati kita menyerupai pinggir jalan, tanah yang berbatu, tanah yang bersemak duri, atau tanah yang subur?

Walaupun kita berharap menjadi seperti tanah yang subur, namun jangan dilupakan, bahwa tidak tertutup kemungkinan bahwa adakalanya hati kita dapat menjadi seperti jalan yang keras. Benih itu jatuh atasnya, namun dalam sekejap langsung dimakan burung dan lenyaplah sudah. Ini seumpama benih firman Tuhan yang jatuh di hati yang keras, yang acuh, suam-suam kuku dan angkuh. Benih firman yang kita terima dapat saja tidak menghasilkan apa-apa, jika kita mengeraskan hati, acuh tak acuh dan tidak mau merenungkan firman-Nya, terutama jika firman itu menegur kita. Dengan demikian firman Allah yang telah ditaburkan itu tidak menghasilkan apapun dalam hidup kita maupun hidup orang lain di sekitar kita.

Dapat pula terjadi, hati kita menjadi seumpama tanah yang berbatu-batu yang menerima benih itu, yang segera tumbuh, namun karena tanahnya tipis, maka benih itu tak dapat berakar kuat sehingga lekas mati. Demikian pula kita, jika iman kita hanya di permukaan saja, yang mengharapkan segala kemudahan di dalam hidup. Datangnya kesulitan dan ujian hidup dapat membuat kita tidak mampu bertahan, ataupun tak mau berjuang keras dan berkorban demi melaksanakan ajaran iman. St. Yohanes Salib juga menghubungkan keadaan ini dengan keadaan jiwa yang malas untuk mencari Tuhan. Padahal kalau kita benar-benar mencintai Tuhan, kita akan dengan sungguh-sungguh melakukan bagian kita untuk menemukan Dia dalam segala sesuatu yang kita alami dalam hidup ini. Betapa kita perlu memohon kepada Tuhan, agar kita diberi semangat dan hati yang tekun mencari Dia dengan kerinduan dan cinta!

Keadaan ketiga, yang tanpa kita sadari juga dapat memiliki keserupaan dengan hati kita, adalah keadaan tanah yang bersemak duri. St. Yohanes Salib mengingatkan kita bahwa hati kita akan menjadi seperti ini, jika kita mudah kuatir karena memikirkan kekayaan dan hal-hal duniawi lainnya (lih. Spiritual Canticle, 3,1). Sebab walaupun kekayaan adalah sesuatu yang netral, namun jika kita terikat kepadanya, dan menganggapnya sebagai yang terpenting dalam hidup ini, maka hal itu dapat membutakan mata hati kita akan apa yang sebenarnya dikehendaki Tuhan dalam hidup ini. Maka firman Tuhan mengingatkan agar kita tidak menjadi orang yang cinta akan uang, haus kekuasaan dan pujian dari orang lain. Sebab semua ini dapat menghimpit kita, dan menjadi penghalang bagi Tuhan untuk bertahta dalam hati kita.

Akhirnya, baiklah kita sadari bahwa setiap kita sesungguhnya telah menerima rahmat Tuhan yang memampukan kita untuk menjadi seumpama tanah yang subur. Allah mengasihi kita sehingga tidak akan membiarkan kita menjadi seperti tanah yang gersang yang tak mungkin dapat ditanami. Rahmat-Nya tak pernah gagal untuk menjadikan kita bagai tanah yang subur. Selanjutnya, St. Yohanes Krisostomus berkata, “Tanahnya subur, penaburnya sama dan benihnya juga sama. Namun demikian, mengapa ada bagian tanah yang menghasilkan seratus kali lipat, enampuluh maupun tiga puluh kali lipat? Perbedaannya tergantung kepada orang yang menerimanya, sebab meskipun tanahnya baik, tetap ada perbedaan hasilnya antara bidang tanah yang satu dengan yang lain. Masalahnya bukan pada penaburnya ataupun benihnya, tetapi kepada bidang tanah yang menerima benih itu. Ini bukan hasil dari sifat alamiah, tetapi dari sikap batin dan kehendak hati tiap-tiap orang.” (Sermon, 101,3). Hai jiwaku, tanah apakah yang menjadi gambaranmu saat ini?

Ya Tuhan, kumohon, jadikanlah hatiku seperti tanah yang subur bagi benih firman-Mu, dan mampukanlah aku untuk menghasilkan buah bagi kemuliaan-Mu.