yohanes-paulus-iiPaskah telah tiba, Kristus telah bangkit! Aleluia! Hari Raya Paskah sudah lama aku tunggu. Lebih tepatnya selama 40 hari. Maklum, Gereja kan menganjurkan untuk berpantang dan berpuasa selama masa Prapaskah. Bagi orang yang doyan makan (termasuk saya), puasa dan pantang tergolong perjuangan yang cukup berat.

Segera setelah misa Paskah di pagi hari, aku pulang ke rumahku, yang kebetulan hanya beberapa ratus meter dari Gereja Paroki. Setibanya di rumah, ada soto daging menanti sebagai sarapan. Luar biasa! Lalu masih ada sepotong kue cokelat yang semalam dibeli. Puji Tuhan! Kemudian ayam goreng KFC untuk makan siang. Lalu masih ada jus, cemilan, dan banyak hal lagi. Sekarang, aku sudah bebas makan apapun dan sebanyak apapun! Setelah makan, aku menyetel film dan menonton film-film yang sudah lama tidak sempat aku tonton. Rasanya ingin menghabiskan waktu sendiri dan tidak ingin dihubungi siapapun. Paskah ini aku merasa benar-benar bebas.

Setelah menjalani hari hingga petang, aku baru mulai merenung kembali. Apakah aku benar-benar bebas di hari Paskah ini? Aku memang bebas makan apapun dan sebanyak apapun. Aku juga bebas mendengarkan musik apapun atau menonton film apapun. Tapi, apakah ini kebebasan yang sebenarnya? Ketika dirunut kembali, ternyata aku belum bebas. Begitu Hari Raya Paskah mengizinkanku melonggarkan puasa dan pantangku, aku menariknya hingga longgar. Sangat longgar.

Aku terlalu melonggarkan nafsu makan, yang seharusnya aku kuasai, hingga kembali menguasaiku. Secara tidak sadar, kelonggaran tersebut melonggarkan pula kendaliku atas nafsu lainnya. Aku mengkomplain pengendara mobil di depanku yang sangat lamban. Aku menghadiri pertemuan dengan malas karena lebih ingin menonton film. Aku mencari alasan untuk “libur” doa harian dan devosi. Lah, apakah ini berarti pengendalian diri ku selama ini adalah beban buatku? Jika dipikir-pikir lagi, kesimpulannya ternyata sangat mengerikan : aku terbeban oleh standar dari Allah dan merasa lebih bebas jika hidup menurut standarku sendiri. Aku seolah ingin bebas dari Allah! Ini bukan kebebasan Paskah!

Aku memang tidak lagi terikat pada komitmen pantang dan puasa yang aku ambil selama Pra-Paskah. Tapi, kelihatannya aku lupa akan tujuanku mengambil komitmen tersebut. Perubahan jiwa dan lepasnya diriku dari dosa adalah tujuan komitmenku, yang terlupakan. Aku lupa bahwa kebebasan sejati diperoleh dari ketaatan pada Allah. Dengan taat pada Allah, aku terbebas dari nafsu makan berlebih yang akan membuat tubuhku tidak sehat. Aku akan terbebas dari kecanduan menonton film. Aku akan terbebas dari amarah sehingga hidupku akan lebih damai dan penuh kasih pada sesamaku. Kebebasanku yang sejati adalah seperti yang dikatakan St. Zakaria, yakni “terlepas dari tangan musuh, dapat beribadah kepadaNya tanpa takut, dalam kekudusan dan kebenaran di hadapanNya seumur hidup kita. (Luk 1:74-75)”

Sebebas apapun kreasi seorang pemusik, dia tetap mengikuti notasi dan pola tangga nada tertentu. Sebebas apapun aku menenun gulali hidupku, tetap ada teknik dan aturan supaya gulali dapat terbentuk dengan baik. Yang jelas, tanpa gula rahmat Allah yang manis, tidak mungkin gulali dapat dibentuk. Artinya, kebebasanku justru penuh ketika aku mengikat diri pada Allah. Inilah kebebasan Paskah!… Wah, ada puding di kulkas!

“Kebebasan bukanlah saat kita melakukan apa yang kita suka, namun saat kita memiliki hak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan” – Bt. Yohannes Paulus II.

3 COMMENTS

  1. Terima Kasih sekali lagi dengan adanya Page ini yang telah menjadi bimbingan Rohani Se-Iman kita, yaitu Iman Katholik.

    Semoga orang yang telah membuat ringkasan singkat-jelas dalam Page ini, diberkati Shema Yisrael.

    AMEN.

  2. saya juga barusan mengalami “Easter Paradox” ini hohoho. quote JP2 membangun pol!

Comments are closed.