I. Dua Perintah Utama yang sering kita dengar namun sulit untuk dilaksanakan secara sempurna
Bacaan di minggu ke-30 tahun A ini, Gereja memberikan bacaan dari Kel 22:20-26; Mzm 18:2-4,47,51; 1Tes 1:5-10; Mat 22:34-40. Perikop dari Mat 22:34-40, yang juga dituliskan di Mrk 12:28-34; Luk 10:25-28, terasa sangat akrab di telinga kita, karena sering kita dengar dan sering didengungkan dari mimbar, dan lebih tepatnya, karena di dalam dua perintah itu – mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama – terletak seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. Namun, meskipun dua perintah ini sangat sering kita dengar, namun mungkin sangat sulit untuk dilaksanakan. Padahal, kalau kita teliti, manusia secara kodrati dapat mengasihi Tuhan dan sesama. Kodrat ini diangkat derajatnya oleh rahmat Allah dalam Sakramen Baptis, sehingga manusia dapat mengasihi Allah secara lebih sempurna (adi-kodrati), yang berakibat kemampuan yang lebih untuk dapat mengasihi sesama. Mengasihi Tuhan dan sesama, itulah perintah dari Tuhan sendiri, yang menuntun manusia untuk dapat memperoleh kebahagiaan di dunia ini dan dapat mengantar manusia ke dalam Kerajaan Sorga.
II. Bacaan Matius 22:34-40
34. Ketika orang-orang Farisi mendengar, bahwa Yesus telah membuat orang-orang Saduki itu bungkam, berkumpullah mereka
35. dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia:
36. “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?”
37. Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
38. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.
39. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
40. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
III. Telaah Matius 22:34-40
Dari perikop Mat 22:34-40, kita dapat melihat secara gamblang bahwa inti bacaan tersebut adalah jawaban Yesus bahwa hukum yang terutama dalam hukum Taurat adalah mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Di perikop sebelumnya – Mat 22:23-33 – kita melihat bahwa Yesus telah memberikan jawaban yang tepat, sehingga orang-orang Saduki yang bertanya tentang kebangkitan badan tidak dapat berkutik lagi. Walaupun orang-orang Farisi senang (lih. Mrk 12:38; Luk 20:39) bahwa orang-orang Saduki, yang berseberangan dengan mereka akhirnya bungkam karena jawaban Yesus, namun mungkin mereka juga kecewa karena keinginan mereka untuk menjebak Yesus ternyata tidak berhasil. Dan kemudian di ayat 24-25, kita tahu bahwa mereka berkumpul merancang pertanyaan untuk menjebak Yesus. Mungkin, jebakan kaum Farisi telah dirancang dengan sangat hati-hati, karena jebakan pertanyaan mereka tentang membayar pajak kepada kaisar (lih. Mat 22:15-22) telah gagal.
Kali ini, mereka bertanya tentang sesuatu yang dipandang sungguh sulit, yaitu “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” (ay. 36) Yesus kemudian menjawab bahwa hukum yang terutama dan pertama adalah mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi (ay.37-38) dan hukum yang kedua adalah mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri (ay.39). Dengan jawaban ini, maka Yesus telah merangkum semua hukum Taurat, yang disebutkan dalam Ul 6:5 dan Im 19:18.
1. Perintah ganda untuk mengasihi adalah merupakan hukum kodrat
Kalau kita meneliti sepuluh perintah Allah (Kel 20:1-17), maka kita dapat melihat bahwa hukum-hukum di dalam 10 perintah Allah adalah merupakan penjabaran dari hukum kodrat yang sempurna. Hukum kodrat ini adalah hukum atau peraturan yang terpatri di dalam setiap hati manusia. Dalam sepuluh perintah Allah, kita dapat melihat adanya perintah kasih dalam dua kelompok, yaitu hukum 1-3 adalah perintah untuk mengasihi Tuhan dan hukum 4-10 adalah perintah untuk mengasihi sesama. Urutan ke-10 perintah Allah tidak diberikan atas dasar kebetulan, tetapi menurut St. Thomas Aquinas, memang ada alasannya tergantung dari tingkatan prioritasnya. ((St. Thomas Aquinas, The Aquinas Catechism : A Simple Explanation of the Catholic Faith by the Church’s Greatest Theologian (Manchester N.H.: Sophia Institute Press, 2000), p.249-250)) Untuk mengasihi Allah, kita harus melakukan tiga hal, yaitu: (1) Tidak boleh mempunyai Allah lain, yang dituliskan: Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepadaKu saja, dan cintailah Aku lebih dari segala Sesuatu; (2) Harus memberikan kepada Allah penghormatan, yang dituliskan: Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat; (3) Kita harus beristirahat di dalam Tuhan, yang dituliskan: Kuduskanlah hari Tuhan. Dan untuk membuktikan kasih kita kepada Allah, maka kita harus mengasihi sesama seperti yang dijabarkan dalam perintah 4-10, yaitu: (1) Kita harus mengasihi orang tua kita, yang dituliskan: Hormatilah ibu-bapamu; (2) Kita tidak boleh melukai sesama kita dengan perbuatan – baik dengan melukai seseorang, yang dituliskan: jangan membunuh; atau merusak perkawinan seseorang, yang dituliskan: Jangan berzinah; atau mengambil barang atau harta milik sesama, yang dituliskan: Jangan mencuri; (3) Kita tidak boleh melukai sesama kita dengan perkataan dan pikiran – melukai dengan perkataan, yang dituliskan: Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu; melukai sesama dengan pikiran, yang dituliskan: Jangan mengingini istri sesamamu dan Jangan mengingini milik sesamamu secara tidak adil.
Penjelasan yang lain dari 10 perintah Allah adalah, dalam mengasihi Allah, maka kita harus mempunyai (1) kesetiaan, (2) penghormatan, dan (3) pelayanan; dalam mengasihi sesama, kita harus (4) menjalankan tugas untuk wakil Tuhan di dunia ini dan menjalankan tugas untuk diri sendiri dan sesama dalam (5) melindungi kehidupan, (6) kemurnian, (7) harta milik, (8) kehormatan, (9 dan 10) melindungi kehidupan keluarga.
Sepuluh perintah Allah diberikan secara khusus dan ditulis di atas dua loh batu kepada bangsa Israel. Namun, perintah ini sesungguhnya bukan hanya dituliskan di atas dua loh batu, namun juga dituliskan oleh Tuhan di dalam setiap hati manusia, baik bangsa Israel maupun bangsa lain. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, rasul Paulus menegaskannya demikian “14 Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. 15 Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.” (Rom 2:14-15) Ayat ini menunjukkan bahwa semua orang, baik orang Yahudi maupun non-Yahudi sebenarnya terikat oleh hukum taurat, yang intinya adalah mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Dan memang itulah kodrat manusia.
2. Mengapa harus mengasihi?
Kalau manusia diciptakan dengan kodrat untuk dapat mengasihi Allah dan mengasihi sesama, maka pertanyaannya adalah mengapa Allah menciptakan manusia dengan kodrat seperti ini? Jawabnya adalah karena kita menemukan kebahagiaan kita di dalam kasih kepada Tuhan, dan tidak di dalam hal-hal lain, seperti: uang, kehormatan, kekuasaan, kesenangan, bahkan juga kebajikan. Pembahasan tentang hal ini, sudah pernah ditulis di artikel: Kebahagiaan kita hanya ada dalam Tuhan, silakan klik. Maka kalau kita ingin mendapat penghiburan dan kekuatan di dalam hidup ini kita harus kembali kepada Tuhan, kita harus mengasihi Tuhan.
Cobalah kita cari orang yang terlihat sebagai orang yang paling berbahagia di dunia: tiliklah, apakah dia mengasihi Tuhan? Sebab jika ia tidak mengasihi Tuhan, ia sebenarnya tidak sungguh-sungguh berbahagia. Itulah sebabnya banyak di antara orang-orang yang demikian kemudian dapat melakukan hal-hal yang tragis dalam hidup mereka. Sedangkan sebaliknya, jika kita menemukan orang kelihatannya paling tidak bahagia di mata dunia, namun kalau ia mengasihi Tuhan, maka ternyata ia adalah orang yang paling bahagia, dalam arti yang sesungguhnya, dalam segala sesuatu. Maka sudah selayaknya kita berdoa memohon agar Tuhan membuka mata hati kita agar dapat mencari kebahagiaan di mana kita dapat sungguh menemukannya, yaitu di dalam Tuhan sendiri.
Alasan lain, mengapa Tuhan menciptakan manusia dengan kodrat untuk mengasihi adalah karena tanpa kasih, manusia tidak dapat mencapai Sorga. Begitu pentingnya kasih, sehingga rasul Yohanes mengatakan “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut.” (1Yoh 3:14b) Dari ayat ini, kita dapat melihat bahwa untuk mendapatkan keselamatan, maka tidak ada cara lain, kecuali mengasihi. St. Agustinus menegaskan bahwa sama seperti manusia mempunyai dua kaki untuk berjalan, maka kita harus mengasihi Tuhan dan sesama untuk dapat mencapai Sorga. Sama seperti burung mempunyai dua sayap untuk terbang, maka kita harus mengasihi Tuhan dan sesama untuk dapat terbang ke Sorga. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa sama seperti orang-orang kudus di Sorga mengasihi Allah dan mengasihi sesamanya, maka kita juga harus melakukan hal yang sama di dunia ini untuk mendapatkan kebahagiaan. Dari sini, kita dapat melihat bahwa mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama sesungguhnya tidak terpisahkan. Rasul Yohanes menegaskan hal ini secara gamblang “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1Yoh 4:20)
3. Tuhan memampukan kita untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi
Perintah untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi adalah mengasihi Tuhan dengan keseluruhan diri kita, menempatkan Tuhan lebih utama dalam segala sesuatu, di mana saja, setiap saat dan dalam segala kondisi. Dan kalau bukti kasih kita kepada Tuhan dan tanda kita berdiam di dalam Allah adalah dengan menuruti segala perintah Tuhan (lih. 1John 2:3; 1Yoh 3:24), maka kita akan melihat bahwa sesungguhnya perintah ini sangat berat bagi manusia. Namun, Tuhan tidak akan memberikan perintah yang mustahil, karena Dia menegaskan bahwa kuk yang dipasang-Nya adalah enak dan ringan. (lih. Mat 11:29)
Kunci dari kemampuan kita untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi serta mengasihi sesama adalah karena Allah telah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Kita yang telah dibaptis telah menerima rahmat Allah yang begitu besar, seperti: menjadi putera/i Allah di dalam Kristus, disatukan dalam Tubuh Mistik Kristus, dibebaskan dari dosa asal, menerima rahmat pengudusan, tiga kebajikan ilahi dan tujuh karunia Roh Kudus. Rahmat dari Allah kemudian diperkuat dengan rahmat yang mengalir dari sakramen-sakramen yang lain, terutama Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi. Dengan bekal rahmat Allah yang begitu luar biasa ini, maka sesungguhnya umat Allah telah dimampukan untuk dapat mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi, sehingga pada akhirnya dapat mengasihi sesama dengan lebih baik lagi.
4. Tiga tingkatan kasih
Apakah setiap orang dapat mengasihi Tuhan dengan derajat yang sama? Sama seperti adanya tingkatan dalam segala hal, maka setiap orang dapat mengasihi Allah dengan derajat yang berbeda-beda. Namun, menjadi tujuan dari umat Allah, agar kita semua dapat mengasihi Tuhan dalam derajat yang sempurna. Dari buku Christian Perfection and Comtemplation: According to St. Thomas Aquinas anda St. John of the Cross karangan Reginald Garrigou Lagrance dan dari tulisan St. Thomas Aquinas pada Summa Theology, II-II, q.34, a.9., maka kita dapat melihat tingkatan kasih:
a. Tingkatan pemula (beginners atau purgative). Pada tingkatan ini, seseorang berusaha agar dia tidak jatuh ke dalam dosa berat, dan juga berusaha untuk melawan kelemahan dan kecenderungan berbuat dosa (concupiscences). Dalam tahap ini, seseorang masih berfokus pada bagaimana caranya untuk menghindari dosa-dosa yang dulunya sering dia lakukan. Sebagai contoh kalau seseorang mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa melawan kemurnian, maka dia berjuang setengah mati agar dia tidak terjerumus ke dalam dosa yang sama. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti: menghindari teman-teman yang dapat menjerumuskannya ke dalam dosa yang sama, menghindari tempat-tempat yang dapat membangkitkan keinginan untuk berbuat cabul, menghindari kesempatan-kesempatan untuk dapat melakukan dosa tersebut. Orang ini menyadari bahwa kalau dia jatuh ke dalam dosa berat yang sama, maka dosa berat tersebut akan menghancurkan kasih. Dengan kata lain, orang-orang dalam tingkatan ini senantiasa berusaha menghindari dosa berat.
b. Tahap kedua (Illuminative Way). Pada tahap ini, seseorang bukan lagi berfokus pada menghindari dosa, melainkan pada bagaimana bertumbuh dalam kebaikan. Mereka membuat kemajuan spiritualitas dalam terang iman dan kontemplasi. Seseorang pada tahap ini mulai berfikir apa yang dapat dilakukannya untuk dapat semakin memberikan kemuliaan bagi nama Tuhan. Dia tidak lagi memikirkan untuk menghindari dosa pornografi sebab pornografi tidak menjadi godaan yang dapat menarik hatinya. Namun dia mulai berfikir, bagaimana dia dapat memberikan kebaikan kepada sesama, sehingga dia dapat membantu orang-orang yang mempunyai ketergantungan terhadap pornografi (dan dosa- dosa berat lainnya). Orang yang dalam tahap ini, bukan hanya berfikir untuk menghindari dosa berat, namun juga dia mencoba mengarahkan hidupnya dan hidup sesamanya kepada Tuhan. Dia mencoba untuk menghilangkan kecenderungan-kecenderungan di dalam dirinya yang menghalanginya untuk bersatu dengan Tuhan. Dia bertumbuh dalam kasih dengan cara berbuat kasih.
c. Tahap sempurna (Univitive Way / Heroic Love). Dalam tahap ini, seseorang secara sadar tidak mau dan dengan segala kekuatannya berusaha untuk menghindari dosa-dosa yang kecil (venial sins) sekalipun. Walaupun kadang dia masih melakukan dosa kecil, namun dosa-dosa kecil ini terjadi dengan tidak disengaja. Secara aktif dia mencoba menghilangkan apa yang tidak sempurna dalam dirinya, sehingga seluruh akal budi, perbuatan dan perkataannya ditujukan untuk menyenangkan hati Tuhan. Dia setia terhadap inspirasi dari Roh Kudus, dan menjalankan semua hal, termasuk hal-hal kecil dengan kasih yang besar. Dia sekaligus lemah lembut namun juga kokoh dalam imannya. Dia memandang rendah hal-hal dunia ini, dan secara aktif dan terus-menerus mempunyai kontemplasi terhadap hal-hal ilahi. Dia mempunyai hati yang besar (magnanimity), sehingga membuatnya dapat menyingkirkan hal-hal dunia agar dia dapat semakin bersatu dengan Tuhan. Bahkan, dia menginginkan persatuan abadi dengan Kristus melebihi apapun di dunia ini. Dalam tahap ini, seseorang juga mempunyai derajat kerendahan hati yang sempurna. Walaupun kehidupan spiritualitasnya berkembang dengan sempurna, namun dia justru melihat dirinya yang paling rendah dari manusia lain. Karena hidupnya senantiasa dipenuhi dengan sinar ilahi, maka dia dapat melihat apa-apa yang tidak sempurna dalam dirinya secara jelas dan pada saat yang bersamaan dia melihat Allah yang adalah segalanya. Dalam kondisi seperti inilah, maka orang dalam derajat kasih yang tertinggi juga akan mempunyai derajat kerendahan hati yang tertinggi.
Yang mungkin tidak kalah pentingnya adalah tiga tingkat kesempurnaan kasih di atas juga berhubungan dengan kasih terhadap sesama. Dalam tingkat awal, seseorang akan mengasihi orang -orang yang ia kenal tanpa mengabaikan orang-orang lain. Di tingkat kedua, seseorang dapat mengasihi orang-orang asing yang tidak dikenalnya. Dan di tingkat kesempurnaan, ia dapat mengasihi musuh-musuhnya. Yang perlu juga menjadi catatan adalah seseorang dapat bertumbuh dari tingkat awal ke tingkat yang lebih tinggi, namun orang juga dapat jatuh dari tingkat yang lebih tinggi ke tingkat yang paling awal. Hanya rahmat Allah dan kesediaan untuk terus bekerjasama dengan rahmat Allah, dan juga tujuh karunia Roh Kudus, yang memungkinkan seseorang untuk mencapai kesempurnaan kasih.
IV. Ajakan untuk mengasihi adalah panggilan untuk hidup kudus
Mengasihi Allah dan sesama merupakan hukum yang terutama bagi umat beriman, dan merupakan panggilan yang diserukan oleh Gereja kepada semua orang yang berkehendak baik. Ini jelas disebutkan di dalam Konsili Vatikan II, tentang Gereja, di bab V, mengenai Panggilan Umum untuk Kesucian dalam Gereja:
“Tuhan Yesuslah Guru dan Teladan ilahi segala kesempurnaan. Dengan kesucian hidup, yang dikerjakan dan dipenuhi-Nya sendiri, Ia mewartakan kepada semua dan masing-masing murid-Nya, bagaimanapun juga corak hidup mereka: “Kamu harus sempurna, seperti Bapamu yang di sorga sempurna adanya” (Mat 5:48). Sebab kepada semua diutus-Nya Roh Kudus, untuk menggerakkan mereka dari dalam, supaya mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap tenaga mereka (lih. Mrk 12:30), dan saling mencintai seperti Kristus telah mencintai mereka (lih. Yoh 13:34; 15:12). Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan mereka, melainkan berdasarkan rencana dan rahmat-Nya. Mereka dibenarkan dalam tuhan Yesus, dan dalam baptis iman sungguh-sungguh dijadikan anak-anak Allah dan ikut serta dalam kodrat ilahi, maka sungguh menjadi suci. Maka dengan bantuan Allah mereka wajib mempertahankan dan mengembangkan dalam hidup mereka kesucian yang telah mereka terima. Oleh rasul mereka dinasehati, supaya hidup “sebagaimana layak bagi orang-orang kudus” (Ef 5:3); supaya “sebagai kaum pilihan Allah, sebagai orang-orang Kudus yang tercinta, mengenakan sikap belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran” (Kol 3:12); dan supaya menghasilkan buah-buah Roh yang membawa kepada kesucian (lih. Gal 5:22; Rom 6:22). Akan tetapi karena dalam banyak hal kita semua bersalah (lih. Yak 3:2), kita terus-menerus membutuhkan belaskasihan Allah dan wajib berdoa setiap hari: “Dan ampunilah kesalahan kami” (Mat 6:12).
Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang Kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. Dengan kesucian sedemikian ini sebuah kehidupan yang lebih manusiawi dapat dimajukan di dalam kehidupan masyarakat di dunia ini. Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus, supaya dengan mengikuti jejak-Nya dan merupai citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segalanya, mereka dengan segenap jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama. Begitulah kesucian Umat Allah akan bertumbuh dan menghasilkan buah berlimpah, seperti dalam sejarah Gereja telah terbukti dengan cemerlang melalui hidup sekian banyak orang kudus.” (Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 40)
Selanjutnya silakan membaca artikel seri tentang Kesucian/ Kekudusan: Apa itu Kesucian/Kekudusan?; Semua Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus; Refleksi Praktis tentang Kekudusan; Kerendahan Hati: Dasar dan Jalan Menuju Kekudusan
V. Mari mengasihi
Dari pembahasan di atas, maka sudah seharusnya kita berjuang untuk melaksanakan perintah Kristus yang utama, yaitu untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan akal budi serta mengasihi sesama seperti diri sendiri. Ini adalah kekudusan yang kepadanya kita semua dipanggil, seturut dengan kehendak Allah (lih. 1Tes 4:3). Hanya dengan mengasihi, manusia dapat memperoleh arti hidup, yaitu kebahagiaan di dunia ini dan pada saatnya nanti, akan kebahagiaan abadi di Sorga. Mari, mulailah dan bertumbuhlah dalam kasih, sebab kita semua diciptakan untuk mengasihi.
Dear Pak Stef/bu Ingrid,
Saya hendak bertanya mengenai maksud dari ayat ini, Roma 12:16:
… janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!
Apakah nasihat ini bisa berlaku untuk seseorang yang misalnya mempunyai kecerdasan/IQ yang biasa2 saja, tetapi berusaha meningkatkan pengetahuan/keilmuan dengan banyak2 belajar berbagai disiplin ilmu; atau memperdalam suatu ilmu hingga S2/S3 yang akibatnya seringkali pikiran terlalu capek?
Saya tanyakan ini karena sepertinya cukup banyak dari kalangan pelajar/mahasiswa yang berusaha melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi (S2/S3) yang kadang sebenarnya berada diluar batas kemampuan mereka atau mereka tidak memiliki konsep yang cukup kuat di ilmu dasar sehingga seperti memaksakan diri. Namun kadang jika kita tidak “memaksakan diri”, kita mungkin tidak pernah tahu batas kemampuan terbaik dari diri kita. Mungkin dengan “memaksakan diri”, banyak orang akan gagal, namun sebagian kecil akan bisa berhasil dan mendapat pencapaian yang sangat baik.
Terima kasih sebelumnya untuk bantuan/penjelasannya.
Shalom Budi,
Perikop Rom 12:16, hendaknya dipahami dalam konteks topik yang sedang dibicarakan, sebagaimana disebut dalam judulnya, yaitu: Nasihat untuk hidup dalam kasih.
Maka perkataan Rasul Paulus, yang mengatakan bahwa kita “jangan memikirkan perkara-perkara yang tinggi namun dalam perkara sederhana” itu dilihat dalam konteks mengasihi ini. Sebab betapapun kita punya idealisme untuk mengasihi sesama sampai setinggi-tingginya, tetapi kita punya keterbatasan sumberdaya, tugas kewajiban sehubungan dengan status/ panggilan hidup kita masing-masing, ataupun keterbatasan lain yang tidak dapat kita abaikan. Jadi misalnya, jika seseorang sudah hidup berkeluarga, dan dipercayakan tanggungjawab untuk mengurus anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepadanya, maka tidak bijaksanalah jika ia berkehendak untuk melakukan karya misi di Afrika, yang walaupun mungkin maksudnya baik, dan bahkan terlihat sangat tinggi/ mulia, yaitu untuk membaktikan hidup bagi orang miskin, namun itu tidaklah sesuai baginya. Sebab dengan demikian, berarti ia mengabaikan tugas utamanya, yang mungkin terlihat lebih sederhana, yaitu bertanggungjawab mengasihi dan menopang keluarganya yang menjadi tugas utamanya di hadapan Tuhan.
Nah dengan memahami konteks dari ayat ini, maka ayat ini tidak untuk dihubungkan dengan apakah orang boleh atau tidak boleh menuntut ilmu sampai ke S2/ S3. Tentang hal ini, silakan diputuskan menurut kebijaksanaan orang yang bersangkutan. Untuk menuntut ilmu memang diperlukan minat, kerja keras, usaha dan juga dana. Jika hal ini ada, atau setidaknya dapat diusahakan, maka tidak ada salahnya menuntut ilmu, terutama jika maksud utamanya adalah untuk kebaikan bersama, baik diri sendiri maupun orang lain, yang kelak dapat memperoleh keuntungan dari penerapan ilmunya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih banyak bu Ingrid atas penjelasannya, saya baru tahu sekarang bahwa ayat tersebut konteksnya mengasihi, karena saat saya memikirkan tentang proses belajar akademik, ayat itu yang tampaknya ‘relevan’, namun ternyata saya memakai ayat sepotong2, tanpa melihat keseluruhan konteksnya.
Mengapa harus mengasihi?
Menurut saya adalah karena kita kurang tahu. Setiap orang adalah baik, sesuai dengan definisi kebaikannya masing-masing. Karena kita tidak tahu definisi kebaikan dari orang lain, maka kita sering bermasalah dengannya. Kalau kita tahu arti kebaikan yang dimaksudkan oleh seseorang tersebut, maka kita akan mudah dalam memahami dan mengasihinya dan tidak akan terjadi masalah besar.
http://donnyambarita.wordpress.com/2014/03/04/mengapa-kita-harus-selalu-mengasihi/
Thanks
Tambahan atas tanggapan saya diatas.
Menurut saya, penjelasan saya didukung oleh Doa Yesus, ketika dia akan disalibkan yaitu yang tertulis dalam Lukas 23:34. Tapi berdasarkan buku Tafsir Injil Lukas yang saya baca ini dituliskan bahwa ayat tersebut tidak tercantum dalam sejumlah naskah kuno. Stefan Leks penulis buku ini menuliskan, ” Entah asli entah tidak, dalam ucapan ini menonjol tema “ketidaktahuan” bangsa Yahudi yang ditekankan Lukas dalam Kis 3:17.”
Pertanyaan saya, jika tidak dapat dipastikan bahwa ayat tersebut dituliskan oleh Penginjil Lukas, siapa yang sebenarnya menulis/menambahkan ayat tersebut?
Padahal menurut saya, ayat ini sangat berarti baik, yang mana mengajarkan kita untuk dapat mengasihi, seperti saya jelaskan diatas.
Terima kasih.
Mohon penjelasannya.
Semoga kita tetap bisa mengasihi.
Shalom Donny,
1.Tentang Luk 23:34
Memang sejumlah buku Bible Commentary mengatakan bahwa teks Luk 23:34 tidak ada dalam manuskrip kuno seperti Codex Vaticanus dan Codex Bezae. Namun demikian, itu bukan alasan untuk menganggap bahwa ayat tersebut tidak otentik atau baru ditambahkan kemudian. Sebab ayat tersebut ada dalam Codices kuno lainnya, seperti Codex Sinaiticus, Codex Alexandrinus dan manuskrip-manuskrip lainnya.
Anggapan bahwa ayat tersebut tidak otentik berasal dari Lukas, adalah pandangan sejumlah ahli Kitab Suci di abad-abad terakhir ini (secara khusus mereka yang tergabung dalam UBS: United Bible Societies), namun bukan dari para Bapa Gereja abad- abad pertama. Di abad ke-2, (lebih kuno dari Codex Vaticanus yang berasal dari abad ke-4), ayat Luk 23:34 tersebut sudah dikutip oleh St. Irenaeus, juga dalam Diatessaron, penggabungan keempat Injil yang dilakukan oleh Tatian, juga dalam Apostolic Constitution, Clementines Homilies, Hippolytus, Origen (abad ke-3); Acta Apost. (Syrian Acts of the Apostles), Acta Philippi, Acta Pilati, Ambrosius, Athanasius, Augustinus, Basil, Yohanes Krisostomus, Dionysius Areopagus, Ephraem Syrus, Ephraim, Eusebius, Gregory Nyssa, Hilarius, Hieronimus, Theodorus (Abad ke-4); Sirilus dari Alexandria, Eutherius, Theodoret (abad ke-5); Anastasius Sinaita, Hesychius (abad ke-6); Andreas Cretensis, Antiochus sang pertapa, Maximus (abad ke-7); Yohanes Damaskinus (abad ke-8).
St. Irenaeus (abad ke-2)
“Dan dari kenyataan ini, bahwa Ia menyerukan dari salib-Nya, “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,” penderitaan Kristus yang panjang, kesabaran, belas kasihan, dan kebaikan-Nya ditunjukkan, sebab selain Ia telah menderita, namun juga Ia melepaskan dari kesalahan, mereka yang telah memperlakukan-Nya dengan kejam.” (Against Heresies, Book III., ch. 18)
Diatessaron yang disusun oleh Tatian (abad ke-3)
Diatessaron memuat ketujuh perkataan Yesus yang terakhir sebelum wafat-Nya: 1) Luk 23:34; 2) Yoh 19:26-27; 3) Mrk 15:34/ Mat 27:46; 4) Yoh 19:28; 5) Yoh 19:30; 6) Luk 23:43a; 7) Luk 23:46a.
St. Hieronimus (abad ke-4)
“Setelah dihina, Ia tidak membalas menghina. Setelah dipukuli, disalibkan, didera, dihujat, pada akhirnya Ia berdoa kepada mereka yang menyalibkan Dia, dengan mengatakan, “Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Aku, juga memaafkan kesalahan seorang saudara.” (“Letter 50: To Domnio,” Nicene and Post-Nicene Fathers, series 2, Vol. 6.)
Lagipula, kalau kita melihat dari Kitab Suci sendiri, ayat Luk 23:34 itu sepertinya juga dikutip kembali dalam Kis 7:60, sebagai perkataan Stefanus sebelum ia dibunuh sebagai martir yang pertama. Sama seperti perkataan Stefanus yang menyerahkan nyawanya (ay.59) juga menyerupai perkataan Yesus sesaat sebelum wafat-Nya dalam Luk 23:46; demikian pula, permohonan Stefanus agar Allah mengampuni kesalahan mereka yang menghukumnya, juga mengacu kepada perkataan Yesus, dalam Luk 23:34.
Dengan demikian, nampaknya kita tidak perlu meragukan otentisitas Luk 23:34.
2. Hal “ketidaktahuan” bangsa Yahudi Kis 3:17
Ayat ini menggenapi nubuat-nubuat tentang Sang Mesias yang menderita. Namun demikian, kemungkinan orang-orang yang menyalibkan Yesus itu tidak mengetahui akan apa yang ditulis dalam Yes 53, Mzm 22, atau seperti yang dikatakan sendiri oleh Tuhan Yesus dalam Luk 24:26-27. Atau sekalipun mereka (para ahli Taurat itu) mengetahui adanya ayat-ayat tersebut, mereka kemungkinan tidak menyangka bahwa Yesus merupakan penggenapannya, sehingga merekapun tidak menyadari bahwa dengan tindakan mereka menyalibkan Yesus, mereka menggenapi nubuat tersebut. Ketidaktahuan ini juga disebut dalam 1 Kor 2:8; Luk 23:34; Kis 13:27. Nah perihal bagaimana Tuhan melihat keadaan ini, biarlah Tuhan yang menilainya. Sebab kenyataannya nubuat para nabi itu memang sudah ada, dan sesungguhnya para ahli Taurat dan kaum Farisi itu telah mengetahuinya, namun fakta bahwa mereka tidak mengindahkannya, atau mereka dengan kekerasan hati menolak bahwa nubuat itu mengarah kepada Yesus, ini juga suatu fakta. Itulah sebabnya tidak dapat dikatakan bahwa mereka yang menyalibkan Yesus itu hanya ‘boneka’ saja yang menjalankan rencana Tuhan, sebab kenyataannya, kejadian penyaliban Tuhan Yesus melibatkan kehendak bebas orang-orang yang menolak Yesus itu. Sehingga Yesus mengatakan, “Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.” (Mat 26:24)
Perihal ketidaktahuan ini, memang merupakan suatu misteri, sebab kita manusia tidak mengetahui secara persis isi hati setiap orang untuk menilai apakah seseorang itu telah benar-benar mengetahui tentang Kristus, atau tidak. Itulah sebabnya kita tidak dapat menghakimi sesama kita. Sebab ketidaktahuan ini ada dua macam, yaitu ketidaktahuan yang tidak terhindarkan (invincible ignorance) tetapi juga ada yang disebabkan karena kesalahan sendiri (culpable ignorance). Tentang invincible ignorance, klik di sini.
Namun yang jelas, dewasa ini informasi tentang siapakah Kristus itu sesungguhnya telah tersebar begitu luas, sehingga sesungguhnya sulit untuk mengatakan bahwa seseorang di zaman sekarang ini tidak pernah mendengar tentang Kristus (kekecualian mungkin adalah mereka yang hidup di pedalaman, di daerah yang terisolasi yang tak pernah tersentuh misionaris, dan tidak ada koneksi internet/ media masa lainnya). Hanya saja, memang dapat terjadi, pengetahuan tentang Kristus dalam diri tiap-tiap orang berbeda, sehingga masih banyak orang dewasa ini, yang belum dapat mengimani Dia. Adalah tugas dan tanggung jawab kita sebagai umat Kristiani untuk menyampaikan gambaran Kristus yang sesungguhnya, melalui perkataan dan perbuatan kita, kepada orang-orang di sekitar kita. Selanjutnya, adalah bagian dari mereka sendiri, bagaimana mereka akan menyikapinya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Donny,
Sebagai umat Kristiani, alasan kita mengasihi adalah karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita; sehingga kita membalasnya dengan mengasihi Allah dan mengasihi sesama kita, demi kasih kita kepada Allah. Sebab mengasihi Allah dan sesama adalah perintah-Nya, dan kalau kita mengasihi Allah maka kita harus melakukan perintah-perintah-Nya itu (lih. 2Yoh 1:6, 1Yoh 5:2-3).
Maka kita mengasihi bukan karena kita kurang tahu.
Bahwa masalahnya ada orang-orang tertentu yang karena ketidaktahuannya membenci kita, misalnya, tidak menjadi alasan bagi kita untuk membalas membenci mereka. Sebab Kristus mengajarkan kepada kita untuk tetap mengasihi orang-orang yang memusuhi kita dan mendoakan mereka (lih. Mat 5:44). Memang ini sulit dan bahkan tidak mungkin dilakukan jika kita hanya mengandalkan kemampuan manusia. Namun jika kita mengandalkan rahmat Tuhan, maka hal ini menjadi mungkin dilakukan, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Paus Yohanes Paulus II, ketika mengampuni Mehmet Ali Agca, seorang yang hampir saja berhasil membunuhnya, silakan klik.
Apa yang Anda tulis di blog Anda hampir berkesan bahwa Anda menyetujui bahwa kebenaran adalah sesuatu yang relatif, dan ini tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik. Gereja Katolik tidak mengatakan bahwa kebenaran itu sifatnya tergantung dari pandangan orang itu sendiri. Sehubungan dengan kasih perdamaian dengan sesama, Gereja mengajak semua orang yang berkehendak baik untuk mengakui bahwa tidak mungkin Allah yang maha Kasih menghendaki manusia untuk, atas nama Tuhan, membunuh ataupun menyakiti sesamanya manusia, yang sama-sama diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Dengan demikian, hukum kasih yang diberikan Kristus sesungguhnya bermakna universal, sebab memang manusia diciptakan di dalam kasih Allah, dan untuk maksud kasih, baik kepada Allah maupun kepada sesamanya. Paus Fransiskus dalam homilinya untuk Misa Perdamaian mengatakan bahwa, menjadi manusia berarti menjadi pengasuh satu sama lain. Untuk membaca selanjutnya, klik di sini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terimakasih Bu Ingrid atas tanggapannya.
Tapi saya tidak bermaksud untuk menjelaskan bahwa kebenaran Yesus adalh bersifat relatif. Istilah yang saya pakai disana adalah “kebaikan”. Kebaikan belum tentu benar, karena tergantung pemahaman tiap orang. Setiap orang yakin bahwa dia hidup dengan baik sehingga dia bisa percaya diri dalam menjalani hidup ini. Kebenaran menurut saya adalah kebaikan yang sesunguhnya. Tiap orang merasa hidup dengan baik, tapi Yesus menjelaskan “Akulah Jalan Kebenaran dan Hidup”, Yesuslah kebenaran, kebaikan yang sesungguh-sungguhnya.
Menurut saya, setiap orang tentunya ingin mengetahui kebenaran/kebaikan yang sesungguhnya tersebut. Tapi karena “ketidak tahuan” maka pemahamannya berbeda dan kadang saling bertentangan.
Saya juga tidak menyebutkan untuk membenci, saya menyebutkan untuk selalu mengasihi semua orang, karena semua orang sesungguhnya ingin baik, ingin mengetahui kebenaran, ingin melakukan yang terbaik. Tapi masalahnya adalah mereka tidak tahu.
Intinya menurut saya, kita harus mengasihi semua orang, karena mereka semua baik, hanya saja definisi kebaikan yang berbeda.
Orang yang menyalibkan Yesus juga merasa bahwa mereka telah melakukan kebaikan. Menurut saya, itulah sebab mengapa Yesus bisa mengasihi mereka(yang menyalibkanNya), karena Yesus tahu bahwa orang yang membunuhnya hanya tidak tahu tentang kebaikan yang sesungguh-sungguhnya(kebenaran).
Shalom Donny,
Saya hanya menyampaikan kesan saya, karena Anda memintanya. Namun kalau kesan saya keliru, ya mohon maaf. Syukurlah kalau Anda tidak bermaksud mengatakan bahwa kebenaran Kristus sifatnya relatif. Sebab kebenaran atau kebaikan yang menghantar kepada keselamatan itu sifatnya mutlak, sebab Yesus sendiri mengatakannya dalam Yoh 14:6.
Saya juga tidak mengatakan bahwa Anda mengatakan agar kita boleh membenci. Namun jika penilaian/ tolok ukur akan hal baik dan buruk itu ditentukan semata hanya oleh pribadi setiap orang, dan tidak atas kebenaran hukum kasih yang lebih tinggi, maka orang dapat sampai kepada pemahaman bahwa adalah sesuatu yang baik dan adil, bahwa jika orang berbuat jahat kepada kita, maka kitapun boleh berbuat yang serupa kepadanya. Nah ini tentu saja tidak sesuai dengan ajaran Kristiani.
Selanjutnya benar, pernyataan Anda bahwa kita harus mengasihi semua orang, meskipun mereka melakukan kesalahan. Prinsip yang diajarkan dalam ajaran Kristiani adalah “hate the sin, but love the sinner.” Kita harus dengan jujur menerima bahwa tidak semua perbuatan orang adalah perbuatan baik. Kita tak perlu mengatakan hal itu baik jika memang yang dilakukan itu salah secara moral. Namun meskipun demikian, kita harus tetap mengasihi orang-orang tersebut. Demikianlah yang dicontohkan oleh Tuhan Yesus saat Ia mengampuni orang-orang yang menyalibkan Dia (Luk 23:34). Yesus tidak mengatakan perbuatan mereka sebagai kebaikan, tetapi Ia tetap mengampuni mereka; dan mengharapkan pertobatan mereka. Sungguh sikap Yesus sedemikian, yang menerima hukuman salib dengan penyerahan diri yang total tanpa mengeluh dan mengumpat sebagaimana konon banyak dilakukan oleh para terhukum lainnya, mengusik kepala pasukan yang menyalibkan Dia. Sehingga, setelah melihat Yesus menyerahkan nyawa-Nya dan kegelapan memenuhi tempat itu, kepala pasukan itu berkata, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” (Mrk 15:39).
Semoga kita diberi kebijaksanaan oleh Tuhan, sehingga kita dapat mengenali perbuatan yang baik dan dan yang buruk/ jahat, sehingga kita dapat melakukan perbuatan yang baik dan menolak perbuatan yang jahat. Dan tidak atas nama dialog, setuju untuk mengatakan perbuatan yang buruk/ jahat sebagai perbuatan yang baik. Sebab Tuhan sesungguhnya telah memberikan akal budi (reason) kepada semua orang untuk dapat memilah manakah perbuatan yang baik dan tidak. Dan dialog yang sejati dan membangun, harusnya sama-sama menuju ke arah ini, dan bukan hanya berhenti kepada apa yang baik menurut saya dan menurut Anda, dan berakhir mengambang seolah semua benar, walaupun bertentangan satu sama lain.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
selama ini ada beberapa pemikiran yang cukup mengganggu saya, berikut akan saya ceritakan.
Dahulu saya tiap hari berdoa,tapi sekarang sudah amat sangat jarang dan kemudian saya terus berfikir dan merasakan dari beberapa sisi kehidupan lahiriah maupun rohani yang cukup mengganggu saya adalah :
1. jika memang tumbuhan tumbuh karena unsur2 dalam tanah, dan jika manusia hidup karena pola makan dan pola kehidupan, dan semutpun dapat hidup karena lingkungan sekitar ( siklus kehidupan ), maka di manakah peran Tuhan dalam hal tersebut? karena semua memang sudah berjalan seperti adanya.
2. saya mempercayai bahwa setiap kejadian atau sesuatu terjadi karena berlakunya hukum sebab dan akibat,jadi yang menjadi pertanyaan adalah jika hukum itu yang dipakai, di manakah Tuhan akan berperan?
3. umat nasrani memang dianjurkan untuk setiap hari ke gereja, yang menjadi keprihatinan adalah apakah ke gereja hanya untuk sebatas formalitas ataukah memang niat, bukankah lebih baik jika melakukan pelayanan kepada Tuhan tidak hanya di gereja melainkan lebih banyak membantu secara nyata dalam kehidupan. Berangkat dari pemikiran itu, perlukah kita ke gereja?
Terima Kasih. Maaf jika sedikit mengganggu.
NB : silahkan dibroadcast jika diperlukan dan saya menunggu balasan via email saja. Terima kasih sebelumnya.
Shalom Adhi,
1&2 Siklus kehidupan ataupun hukum alam itu ada yang menciptakan, atau ada yang menyebabkannya. Nah Sang Pencipta dan Sang Penyebab segala sesuatu itu adalah Tuhan. Selanjutnya, silakan membaca artikel, bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada, silakan klik.
3. Hal yang seharusnya terjadi tentu bukanlah pergi ke gereja hanya untuk formalitas. Sebab hal menguduskan hari Tuhan, ataupun mengikuti perayaan Ekaristi pada hari Minggu atau bahkan setiap hari itu adalah salah satu perbuatan untuk mewujudkan kasih kita kepada Tuhan. Kita ketahui bahwa perintah Tuhan yang utama adalah 1) mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan dan 2) mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri. Nah perintah yang kedua ini hanya dapat dilakukan atas dasar perintah yang pertama. Sebab kita baru dapat mengasihi sesama dengan tulus dan sungguh, jika dasarnya adalah kasih kepada Tuhan. Dengan demikian, kita tidak dapat meniadakan hukum yang pertama, dan hanya melaksanakan hukum yang kedua, karena tanpa kesatuan dengan Tuhan, kita tidak dapat menyatu dengan sesama sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan. Orang yang melakukan perbuatan kasih tanpa dasar kasih kepada Tuhan akan melakukan karya sosial semata, namun tidak melakukan kasih dengan dimensi ilahi, yaitu untuk mengasihi sesama demi kasihnya kepada Tuhan, sebagai tanda bukti iman yang hidup. Sebab kesatuan antara iman dan perbuatan kasih sebagai iman yang hidup ini, adalah yang menyelamatkan seseorang. Sedangkan perbuatan semata tanpa iman, tidak menyelamatkan seseorang.
Itulah sebabnya jika kita mengatakan bahwa kita percaya kepada Tuhan dan mengasihi Tuhan, maka kita harus mewujudkannya dengan beribadah kepada Tuhan dan mengasihi sesama kita, terutama sesama yang membutuhkan pertolongan, sebagai bukti ibadah yang sejati.
Selanjutnya tentang mengasihi Tuhan dan sesama, silakan membaca artikel di atas, klik di sini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Buat saudara Saragih.
Kasih tanpa kebenaran itu ngawur. Seorang pria mengatakan mencintai wanita, ingin hidup semati dst, ternyata setelah waktu berjalan baru diketahui bahwa ia mencintai wanita itu bukan karena cinta sejati melainkan karena ada maunya. Saat maunya ada ia mengatakan cinta, saat tidak ada ia tidak lagi mencintai. Itulah gunanya perlu adanya pencerahan dari otoritas yang benar (Gereja)kepada umatnya agar hidup dalam kasih yang benar.
Demikian untuk bentuk hidup yang lainnya, kita membutuhkan pencerahan (pengajaran) yang benar yang disampaikan oleh otoritas yang benar pula. Coba kita bayangkan apa jadinya bila seorang murid diajarkan oleh seorang guru yang tidak berkompeten, pastilah ngawur. Atau seorang sesat mengajarkan ajarannya yang sesat itu kepada orang lain, pastilah yang diajarnya ikut sesat.
Ajaran iman Katolik itu banyak dan luas, tidak hanya sebatas hukum kasih itu. Hukum kasih itu membutuhkan penjabaran dan penjelasan yang benar dan tepat sesuai kehendak Kristus, Allah, yang punya kasih itu. Kristus telah mendirikan lembaga khusus untuk itu, yakni Gereja-Nya, Gereja Katolik, yang bertugas menyampaikan kebenaran Kristus kepada umat-Nya. Bahwa Yesus mengajarkan tentang kasih, ya, bahkan kasih itu ditempatkan sebagai hukum utama dan pertama. Tetapi bukan hanya itu. Yesus pun datang memberi harapan kepada orang yang putus asa, Yesus juga membalikkan cara pikir dan cara hidup yang telah mapan, dan juga Yesus menekankan betapa penting dan perlunya iman, Yesus juga mengadakan perjamuan,dst. Jadi, jangan direduksi, seolah-olah ajaran Kristus hanya tentang kasih.
Kita patut bersyukur kepada Tuhan atas kehadiran Tim Katolisitas ini di dunia maya, yang telah dan senantiasa memberikan kita pencerahan iman, tentang apa dan bagaimana ajaran resmi Gereja atas hal-hal yang bagi kita belum jelas atau sering dipertanyakan orang. Dengan demikian kita dapat belajar, mengetahui dan memperdalam iman kita secara benar karena apa yang disampaikan oleh Tim Katolisitas sesuai dengan ajaran resmi Gereja, dan karenanya kita tidak mungkin sesat.
Bagi Tim Katolisitas Selamat berkarya, jangan kenal lelah. Doa umat Allah menyertai.
Pro-Jack Bu’ulo,
Kesan saya agaknya saudara Saragih memang type suka berdebat ^_^.
Salut buat katolisitas yang masih saja mau melayani komentar2 beliau yang hanya ‘mbulet'(berputar-putar) di satu bahasan saja.
Yang dilakukan katolisitas inilah refleksi dari kasih itu,setidaknya saya menangkap begitu.
Maaf jika ada salah kata.
Berkah Dalem
[Dari Katolisitas: Sejujurnya, oleh karena masih banyaknya pertanyaan yang harus ditanggapi, dan keterbatasan energi kami, maka kamipun tidak dapat melayani suatu pertanyaan terus menerus, apalagi jika topiknya sebenarnya sama, dan kami sudah menyampaikan apa yang perlu disampaikan menurut ajaran Gereja Katolik. Kasih memang adalah inti ajaran iman kita, namun kasih ini tidak untuk mengaburkan kepenuhan kebenaran yang diajarkan dalam iman Katolik. Mari bersama berjuang untuk melaksanakan kasih dalam hidup kita, dan semoga Tuhan menguatkan kita dalam perjuangan ini.]
Dear Katolisitas dan Para Romo Pengasuh Situs ini,
Sejauh mengikuti diskusi di situs ini, ada hal mendasar yang sy pertanyakan dan ingin memperoleh tanggapan bahwa : Dalam uraian/jawaban/diskusi yang disampaikan, Hukum Kasih sepertinya tidak ditempatkan sebagai sebagai hukum tertinggi, padahal itulah koreksi / penegasan Kristus kepada kaum Parisi yang menuduhNya hendak mengubah-ubah hukum Taurat dan Kitab para Nabi itu, bahwa: tak satu iota pun dari hukum Taurat ditiadakan sampai akhir zaman, tetapi semua hukum harus digantungkan pada hukum utama : kasih kepada Tuhan dengan segenap akal budi dan jiwa, dan kasih kepada sesama seperti diri sendiri.
Bukankah kita harus konsisten menerapkan perintah itu jika hendak diselamatkan? Bukankah itu koreksi Kristus atas kaum Parisi itu, pesan kedatangan, sengsara dan wafat Kristus itu, supaya manusia tidak tersesat dan celaka karena kedegilannya itu yakni supaya semua hukum ditujukan/digantungkan/dibunyikan demi kasih /kemuliaan Tuhan dan kasih kepada sesama / keselamatan sesama seperti diri sendiri? Bukankah itu yang tidak dipahami kaum Parisi itu hingga malah menghukum Yesus katanya melanggar hukum dan hendak mengubah-ubah hukum, ketika Yesus justru mengajarkan inti segala hukum, inti iman itu?
Bukankah dengan mengabaikan hukum tertinggi itu, kita masuk lubang yang sama seperti kaum Parisi itu : seakan keselamatan dan kasih Tuhan hanya sebatas golongan kita Katolik Roma, seakan keselamatan digantungkan pada paham/tradisi/praktek iman Katolik Roma, seakan kematian Yesus itu sebagai “tiket gratis” masuk surga, sebagai penebusan dan penghapusan segala dosa umat Katolik Roma yang bahkanbelum lahir ketika itu, termasuk saya, dan bukan pada sejauh mana seseorang mengasihi/memuliakan Tuhan dengan segenap akal budi dan jiwa yang dikaruniakanNya itu dan sejauh mana ia mengasihi sesamanya seperti dirinya?
Kasih/relasi seseorang dengan Tuhan menyangkut penghayatan, religiositas, spiritual intelligence individu yang jauh lebih mendalam dari segi-segi formal agama. Pemahaman individu atau golongan yang berbeda atas Tuhan adalah selaras dengan keanekaan karunia Tuhan kepada manusia ciptaanNya.Itulah kebesaran dan kemurahan Tuhan dan keterbatasan manusia. Dalam kenekaannya itu, manusia dipertemukan dalam Hukum tertinggi, inti iman itulah, bukan dipersatukan/ diseragamkan dalam bentuk paham, tradisi dan praktek iman komunal Gereja Katolik Roma.
Kristus-lah Hakim bagi semua bangsa di hari penghakimanNya itu. Hakim yang adil tentunya tidak akan mengadili semua bangsa berdasar hukum yang tidak jelas atau hukum/aturan unik komunal tertentu. Apalagi Hakim Maha Adil? Sepemahaman sy begitu. Mohon tanggapannya. Terima kasih sebelum dan sesudahnya. GBU
Irwan Saragih
[posting di bawah ini digabungkan karena memuat pesan yang sama]
Submitted on 2013/06/25 at 9:00 pm
Dear All,
Tuhan mengatakan hukum tertinggi adalah hukum kasih. Keabsahan atau sah-tidaknya suatu ketentuan atau praktek iman apa pun, diuji ke hukum tertinggi. Itulah logika hukum kasih sebagai hukum tertinggi. Kita yang suka lupa ajaran Kristus itu, lupa menempatkan hukum kasih itu pada kedudukannya sebagai hukum tertinggi, hukum utama, inti segala hukum, inti iman yaitu : mengasihi Tuhan dengan segenap akal budi dan jiwa (demi kemuliaan Tuhan) dan mengasihi sesama seperti diri sendiri (demi keselamatan sesama.
Lupa menempatkan hukum kasih sebagai huikum tertinggi, sama saja kita mengulangi kesalahan kaum Parisi itu. Kristus mengkritik kaum Parisi yang berdoa di jalan-jalan dan di pasar serta berpuasa dengan muka dikeruh-keruhkan dan berderma supaya dipuji orang, bukan demi kasih / kemuliaan Tuhan dan kasih / keselamatan sesama. Demikian itu tidak sah berdasar hukum utama, tidak memperoleh upah dari BapaNya itu. Kristus mengajarkan demikian itu : semua hukum dan praktek iman harus ditujukan / digantungkan pada hukum utama, inti segala hukum, inti iman itulah, jika hendak memperoleh upah dari BapaNya.
Kristus dituduh hendak mengubah-ubah hukum, padahal Kristus sudah menegaskan : tak satu iota pun dari hukum Taurat ditiadakan sampai akhir zaman, tetapi semua hukum harus digantungkan pada hukum utama : kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama.Kaum Parisi itu tak paham itu. Tetap saja mereka menganggap Yesus bersalah hendak mengubah hukum lalu mereka mencari siasat untuk membenarkan anggapan mereka dan menghukum mati Yesus itu. Kesalahan kaum Parisi itulah yang harus dibayar Yesus dengan darahNya. Mosok kita hendak mengulangi itu : lupa menempatkan hukum kasih itu sebagai hukum tertinggi? GBU
Salam Irwan Saragih,
Saya setuju dengan Anda. Tolok ukur hukum tertinggi ialah kasih kepada Allah dan serentak dengan itu kasih terhadap sesama seperti mengasihi diri sendiri. Dasarnya ialah karena Allah Bapa sudah lebih dahulu mengasihi kita melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Silahkan dilakukan dan meningkatkannya. Bagaimana Anda yang menikah mengasihi isteri Anda dan anak-anak Anda? Kepada masyarakat dan negara, bagaimana Anda mengasihi masyarakat sekitar di RT/RW serta bangsa negara Anda menurut hukum tertinggi? Kepada pemuka agama Anda dan agama lain yang berhubungan dengan Anda, bagaimana cara mengasihi mereka? Semua pertanyaan itu mesti bisa Anda tanggapi secara bertanggungjawab di hadapan hukum kasih. Cinta kasih tampak dalam cara melakukannya, yang bisa dinilai secara objektif oleh sesama di manapun juga dan pada abad apapun, karena cinta kasih ialah hukum tertinggi dan kekal dari Allah. Jika kita menyapa seorang atasan, ketua RT atau Bapak Presiden atau Ibu Presiden dengan tidak sopan, tentu saja pertanggungjawabannya terletak pada ukuran objekf itu. Orang lain-lah yang menilai perilaku kita. Bagaimana pula cara mengasihi diri sendiri agar selamat sekarang sampai kekal? Silahkan melaksanakannya dengan tolok ukur hukum kasih.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Shalom Irwan,
Kami di situs ini tidak pernah mengatakan “…keselamatan dan kasih Tuhan hanya sebatas golongan kita Katolik Roma, seakan keselamatan digantungkan pada paham/tradisi/praktek iman Katolik Roma, seakan kematian Yesus itu sebagai “tiket gratis” masuk surga….” seperti yang Anda katakan itu. Silakan Anda cut and paste, di mana Anda menemukan pernyataan kami di situs ini yang mengatakan demikian. Anda dapat membaca kembali artikel Apakah yang diselamatkan hanya umat Katolik, dan yang lain masuk neraka?, silakan klik; dan Anda akan mengetahui, bahwa di sana kami menyampaikan apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik tentang keselamatan, yang tidak menyatakan bahwa hanya asal menjadi Katolik saja, pasti selamat.
Sejauh ini sudah cukup banyak diskusi kami di situs ini dengan Anda. Kami menangkap niat baik Anda untuk menekankan hukum kasih, itupun kami setuju. Yang tidak kami setuju dengan Anda adalah, Anda menginginkan kami menyampaikan bahwa hukum kasih ini artinya (mohon koreksi jika apa yang saya tangkap dari pandangan Anda ini keliru) adalah semua agama sama saja, keselamatan dapat diperoleh di luar Kristus dan Gereja-Nya, asalkan melakukan perbuatan kasih. Nah ini yang tidak dapat kami setujui, karena ini bukan ajaran Gereja Katolik.
Silakan membaca Katekismus KGK 846,847,848, Konsili Vatikan II Lumen Gentium 14 da 16, dan Dominus Iesus, silakan klik, atau ringkasannya, klik di sini, untuk mengetahui bahwa Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama sama saja.
Maka mari kita memaknai hukum kasih sebagaimana yang ditulis dalam keseluruhan Kitab Suci, yaitu bahwa kasih yang dimaksud di sini adalah kasih yang tak terpisah dari iman akan Kristus yang telah diutus Allah untuk pendamaian dosa-dosa kita.
“Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. (1 Yoh 4:9-10)
“Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintah-Nya. Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya… (1 Yoh 5:2-3)
“Dan inilah perintah-Nya itu: supaya kita percaya akan nama Yesus Kristus, Anak-Nya, dan supaya kita saling mengasihi sesuai dengan perintah yang diberikan Kristus kepada kita. (1 Yoh 3:23)
Nah, maka jika kita berpegang pada Sabda Tuhan dalam Kitab Suci, selayaknya kita menerima bahwa hukum kasih yang diajarkan Tuhan adalah, kasih yang tidak terpisahkan dari iman akan Kristus. Sebab kasih itu ditunjukkan oleh Allah kepada kita oleh Kristus dan di dalam Kristus. Dan selanjutnya, kalau kita mengatakan bahwa kita mengasihi Allah, artinya kita harus melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan perintah ini adalah agar kita percaya akan Kristus, dan agar kita saling mengasihi.
Maka Gereja Katolik juga mengajarkan demikian. Kalau Anda mau menekankan perbuatan kasih saja tanpa acuan kepada Kristus, maka Anda perlu menjelaskan bagaimana Anda mengartikan ayat-ayat di atas.
Kalau bukan karena kesalahan sendiri seseorang tidak sampai kepada pengertian akan hukum kasih yang sesungguhnya, yang mengacu kepada kasih Allah di dalam Kristus, tentu Allah tidak akan menanggungkan kesalahan itu kepadanya. Namun Gereja tetap mempunyai tugas untuk mewartakan Injil dan perintah kasih, yang mencapai kegenapan maknanya di dalam Kristus. Ini adalah perintah Kristus sendiri, sebagaimana ditulis dalam Mat 28:19-20.
Maka ajaran kasih yang mengacu pada Kristus tidak dapat disamakan dengan ajaran kaum Farisi. Kaum Farisi saat itu berpegang pada ajaran-ajaran adat Yahudi yang tidak tertulis dalam Kitab Taurat Musa, seperti larangan berjalan melebihi sekian langkah pada hari Sabat, tidak boleh bekerja/ melakukan apapun pada hari Sabat. Beberapa prinsip ketentuan ini bahkan masih dilakukan sampai sekarang, sampai memencet tombol lift-pun dilarang pada hari Sabat. Maka di Holy Land, beberapa bangunan tertentu bahkan mempunyai lift khusus yang diprogram agar terbuka pada setiap lantai secara otomatis pada hari Sabat (Jumat malam sampai Sabtu malam), sehingga mereka tidak perlu memencet tombol lift. Nah, prinsip aturan-aturan ketat macam begini inilah yang perlu dikritisi, apakah sesuai dengan hukum kasih. Tetapi kalau Sabda Tuhan sendiri yang sudah jelas tertulis dalam Kitab Suci tentang kasih dan iman akan Kristus, itu selayaknya tidak dikurangi atau bahkan diabaikan.
Akhirnya, Irwan, kalau Anda tidak setuju dengan kami, itu adalah hak Anda. Tetapi adalah hak kami di Katolisitas untuk menyampaikan apa yang secara resmi diajarkan oleh Gereja Katolik tentang kasih, iman, dan keselamatan, atas dasar Kitab Suci dan Tradisi Suci.
Sebagai umat Katolik, kita memang selayaknya menjunjung hukum kasih sebagai hukum tertinggi, namun mari juga kita mengartikan hukum kasih itu, sebagaimana Gereja mengartikannya, atas dasar Sabda Allah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Senantiasa berjuang untuk menjadi lebih rendah hati lagi di hadapan Tuhan,sembari berbenah memperbaiki “cacat-cacat” diri jauh lebih baik daripada hanya fokus memperdebatkan/membahas hal (misalnya”KASIH”) yang justru menguras tenaga dan pikiran kita yang sebenarnya tidak lebih penting daripada ‘lebih baik mengamalkan dan menjalankannya’.
Berkah Dalem
[Dari Katolisitas: Ya, mari kita berjuang untuk mengamalkan kasih daripada hanya membicarakan tentang kasih. Tetapi karena salah satu fokus di situs ini adalah menyampaikan informasi tentang ajaran Gereja Katolik, maka kami tidak mempunyai pilihan lain, selain pertama-tama menyampaikan kepada pembaca, apakah ajaran Gereja Katolik itu, dan bagaimana mengartikan hukum kasih itu, sebagaimana diajarkan oleh Sabda Allah.]
Saya terkesan dg ayat Matius 5:48.. apakah itu berarti manusia bisa suci dan tdk berdosa 100% seperti Yesus??
[dari Katolisitas: silakan Anda membaca kembali uraian kami di artikel di atas ini, “Dua perintah utama mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama”, yaitu di pembahasan bagian IV, di mana ayat dari Mat 5:48 tersebut dibahas dengan lebih dalam. Semoga pertanyaan Anda terjawab, tapi kalau belum silakan bertanya lebih lanjut, terima kasih]
Shalom kakak pembimbing,
saya mau bertanya tapi tidak tahu harus mengepost di mana. Bagaimana kita harus memahami perikop Lukas 7:47 dan kaitannya dengan 1 petrus 4:8 dan yakobus 5:20. Apakah kita boleh mengartikan bahwa dengan berbuat kasih maka dosa kita akan diampuni?
Terima kasih mohon bimbingannya. Tuhan memberkati
Shalom Arliando,
Berikut ini adalah keterangan tentang ayat-ayat tersebut menurut The Navarre Bible:
“Kasih menutupi banyak dosa” adalah kutipan dari kitab Perjanjian Lama (Ams 10:12, lih. Yak 5:20), mengacu kepada dosa-dosa sesama maupun dosa sendiri. Kasih menutupi dosa sesama, sebab kasih itu memahami dan memaafkan/ mengampuni dosa sesama. Kasih juga menutupi dosa sendiri, sebab dengan mengampuni sesama, kita memperoleh pengampunan dari Allah. Inilah yang diajarkan dalam doa Bapa Kami (lih. Mat 6:12,14). Juga dalam perikop wanita yang berdosa, Yesus mengatakan, bahwa dosanya yang banyak itu diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih (lih. Luk 7:47).
Gereja mengajarkan bahwa kasih yang sempurna kepada Tuhan menghasilkan pengampunan atas dosa-dosa, namun Gereja menekankan bahwa kasih itu juga termasuk kehendak yang kuat untuk menerima sakramen Tobat. Sebab seseorang tak dapat mengasihi Tuhan tanpa melakukan perintah-perintah Tuhan. Dengan kata lain tak dapat seseorang mengasihi Tuhan, kalau ia tidak bertobat dari dosa-dosanya yang melanggar perintah Tuhan. Konsili Trente mengajarkan: “Konsili suci mengajarkan juga bahwa bahkan jika kadang terjadi bahwa seseorang memiliki pertobatan yang disempurnakan oleh kasih dan telah berdamai dengan Tuhan sebelum menerima sakramen, maka berdamainya ia dengan Tuhan tidak menjadi bagian dari pertobatannya, tetapi kehendak yang kuat akan sakramen inilah yang termasuk dalam pertobatannya.” (Konsili Trente, De Sacramento paenintentiae, ch.4).
Sebab kasih kepada Tuhan selayaknya mendorong kita untuk mengakui segala dosa-dosa kita di hadapan imam-Nya yang telah diberi kuasa oleh Tuhan Yesus untuk melepaskan kita dari ikatan dosa, sebagaimana dikehendaki oleh Kristus (lih. Yoh 20:21-23).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear katolisitas,
Mungkin pertanyaan saya tidak ada kaitan dengan topik di atas. Di mana saya bisa mendapat Kitab Suci yang dapat saya buka di laptop? Itu hari saya punya, tapi Kitab Suci Protestan. Dan setelah diinstal, program itu hilang.
Terima kasih atas bantuannya.
[Dari Katolisitas: Silakan mengunjungi situs Iman Katolik, silakan klik, atau Ekaristi.org, silakan klik].
Dear Katolisitas,
Sy tidak begitu puas dengan penjelasan hal HUKUM KASIH ini. Ketika berbicara hukum-hukum Tuhan, hukum-hukum gereja, seharusnya senantiasa dalam konteks : semua hukum, semua ketentuan dan praktek iman itu adalah BERGANTUNG pada hukum kasih sebagai hukum tertinggi. Dalam bahasa hukum: semua hukum, semua ajaran, semua magisterium, semua tafsir,semua praktek iman diuji keabsahannya ke hukum tertinggi.
Dalam analog sederhana: hukum kasih itu UUD bagi sebuah negara. Maka semua UU, semua aturan dan praktek hukum sebagai turunan dari UUD, tidak boleh bertentangan dengan UUD. Apabila bertentangan dengan UUD harus digugurkan demi hukum.UUD menjadi batu uji keabsahan semua hukum, aturan dan praktek hukum.
Dalam pengalaman sehari-hari, sepertinya kedudukan hukum kasih ini sebagai hukum tertinggi lebih cenderung “terlupakan”…bahkan cenderung terbalik : tafsir otoritas GK, ketentuan-ketentuan oleh GK seakan menjadi hukum tertinggi: seakan batu uji atas semua hukum dan praktek iman, seakan yg tidak sama, yg tidak sesuai dengan tafsir dan praktek GK adalah tidak sah,sesat, berdosa di hadapan Tuhan yang rasanya tidak sejalan dengan hukum tertinggi itu sendiri yaitu: demi kasih / kemuliaan Tuhan dan demi kasih / keselamatan sesama.. Mohon penjelasan.Tks
Irwan Saragih, paroki Leo Agung, Jakarta
[dari katolisitas: Mungkin kita mulai dari satu pertanyaan sederhana: Apakah definisi kasih dan apakah buktinya bahwa kita mengasihi Allah?]
dear katolisitas.org
saya charles, masih katekumen. saya mau bertanya inti tugas orang katolik itu
mentaati 10 perintah Allah
mengasihi Tuhan Allah sengenap hati pikiran dan kekuatan
kasihilah sesamamu seperti kamu mengasihi dirimu sendiri
itu sajakah?
mohono dikoreksi bila ternyata ada kesalahan
Shalom Charles,
Yang memberikan dua perintah utama, yaitu mengasihi Allah dan mengasihi sesama (Mat 22:34-40) adalah Kristus sendiri. Kristus mengatakan bahwa di atas kedua hukum yang utama inilah tergantung seluruh hukum taurat dan kitab para nabi. Maka intinya memang hukum kasih ini, yang terdengar sangat sederhana dan mudah, namun kenyataannya cukup sulit untuk dilakukan secara sempurna. Sebab teladan yang sempurna bagi pelaksanaan hukum kasih itu adalah teladan Kristus sendiri, yaitu yang mau menyerahkan nyawa-Nya demi kasih-Nya kepada Allah Bapa dan kita manusia.
Silakan membaca penjelasan lebih lanjut tentang mengasihi Allah dan sesama di artikel di atas, silakan klik, dan juga klik di sini.
Sedangkan penjelasan bahwa kesepuluh perintah Allah itu disusun berdasarkan kedua hukum kasih, sudah pernah ditulis di sini, silakan klik. Dan perwujudan perbuatan kasih itu kepada sesama ada 14 macam, yaitu 7 bersifat jasmani, dan 7 lainnya bersifat rohani, sebagaimana pernah dituliskan di jawaban ini, silakan klik.
Jadi walaupun nampaknya sederhana, namun perintah untuk mengasihi ini sangat luas dan dalam maknanya, dan tidak jarang, membutuhkan pengorbanan dari pihak kita untuk melaksanakannya. Di sinilah kita turut mengambil bagian, walaupun kecil dan sederhana, dalam pengorbanan Kristus, untuk menyelamatkan dunia. Dan dengan melaksanakan hukum kasih ini, kita dibentuk oleh Allah sendiri untuk bertumbuh semakin menyerupai Kristus. Semoga demikian.
Selamat mempersiapkan Baptisan, dan selamat bergabung dalam keluarga besar Gereja Katolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati
katolisitas Ytk,
di manakah kira kira letak jebakan kaum farisi dalam mat 22:34-40 itu?
pada perikup bayar pajak sangat jelas ada jebakannya.
pada hukum utama dalam taurat, kira kira apa yang diharapkan orang farisi (yang dapat membungkam Yesus)? terima kasih
Shalom Yusuf,
Tentang jebakan orang Farisi dalam perikop membayar pajak dapat dilihat di sini – silakan klik. Dikatakan setelah Yesus membungkam kaum Saduki ketika mereka bertanya tentang kebangkitan, maka kini seorang ahli taurat bertanya kepada Yesus. Di katakan di dalam Mat 22:35, ahli taurat tersebut bertanya untuk mencobai Yesus. Kita dapat mengartikan hal ini sebagai berikut: (1) Pertanyaan diajukan dengan tulus. Dalam ayat yang lain di Injil Markus, yang merujuk pada hal yang sama di Mrk 12:28 dituliskan sebagai berikut “Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: “Hukum manakah yang paling utama?” Mungkin pernyataan “mencobai” adalah karena pertanyaan tersebut diajukan dengan nada yang kurang bersahabat pada awalnya dan setelah kemudian akhirnya ahli taurat tersebut melembut dan kemudian membenarkan jawaban Yesus, terlihat bahwa sebenarnya dia juga secara tulus ingin bertanya. Hal ini diperkuat oleh ayat yang menuliskan “Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu” (lih. Mrk 12:34). (2) Pertanyaan untuk mencobai. Kita dapat juga mengartikan bahwa orang tersebut mencobai Yesus. Ahli taurat mengelompokkan hukum-hukum yang ringan dan hukum-hukum yang berat yang memberikan konsekuensi hukuman mati. Dan kemudian membagi-bagi lagi menjadi kecil dan besar. Mungkin mereka ingin melihat sampai seberapa jauh pengetahuan Yesus akan Kitab Suci dan Hukum Taurat. Dua hal tersebut tidak mempunyai pertentangan apapun, karena Yesus menjawab dengan benar dan ahli taurat tersebut juga mengakui bahwa jawaban Yesus adalah sungguh tepat.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Pak Stef,
banyak terima kasih. bisa dipahami bahwa org farisi hanya ingin mengetes “kepandaian dan kebijaksanaan” Yesus, bukan mau menjebak seperti dlm perikop bayar pajak
shalom katolisitas…
saya mau bertanya kalo di kitab suci ada ga sih ayat yang membahas tentang cinta pada sesama (pacar)..??
thanx
Shalom Anonim,
Menurut pengetahuan saya, tidak ada ayat dalam Kitab suci yang membahas tentang cinta kepada pacar. Secara umum hal itu tercakup dalam cinta kepada sesama, yang memang dibahas di banyak ayat dalam Kitab Suci. Namun cinta antara laki-laki dan perempuan yang diikat dalam perkawinan yaitu suami dan istri, itu dibahas dalam Kitab Suci, sebab hubungan kasih antara suami dan istri dikehendaki Allah sebagai gambaran dari kasih Allah kepada umat-Nya, dan kasih Kristus kepada Gereja-Nya. Hal ini sudah pernah dibahas di beberapa artikel berikut:
Indah dan dalamnya Makna Perkawinan Katolik
Kemurnian dalam Perkawinan
Atas pemahaman keluhuran makna perkawinan ini, maka mereka yang belum menikah harus menjaga kemurniannya, agar dapat menjunjung tinggi kesakralan makna perkawinan, silakan membaca di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar
Posted by parokiyakobus on June 19, 2012 in Renungan harian, uncategorized
”Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna.”
Renungan
Mencintai orang yang mencintai kita tidaklah sulit. Tetapi, kalau harus mencintai orang yang membenci kita, memaafkan orang yang sudah menyakiti, mengecewakan, menghina dan mencela kita, tentu tidak mudah. Itu juga dilakukan oleh siapa pun, termasuk orang yang tidak beriman, dapat melakukan kebaikan terhadap orang yang baik kepadanya.
Keistimewaan anak-anak Allah adalah mempunyai sifat yang sama dengan Allah, yakni baik dan murah hati tanpa memandang muka. Allah menciptakan kebaikan untuk semua orang, termasuk orang-orang yang hidupnya tidak benar. Maka terhadap para murid, Yesus menyampaikan ajaran-Nya dan mengajak mereka agar mempunyai hati seperti Bapa di surga, yakni hati yang memiliki cinta kasih sempurna. Yesus mengharapkan kita menjadi sempurna, seperti Bapa di surga adalah sempurna. Salah satu yang harus kita usahakan untuk menjadi sempurna seperti Bapa adalah memberikan pengampunan kepada orang yang sudah berbuat salah kepada kita. Dengan kata lain, kita tidak diperkenankan untuk balas dendam atau membiarkan diri digerogoti terus oleh perasaan sakit hati, marah, dengki, cemburu, irihati, dst.
Ya Bapa, aku bersyukur kepada-Mu karena Engkau sungguh Allah yang penuh belas kasih. Saat ini aku belajar dari sikap-Mu untuk memaafkan dan memberikan pengampunan nyata kepada orang yang bersalah kepadaku, dengan mengasihinya. Amin.
Sumber :
← Renungan harian 18Juni 2012-Kebaikan adalah senjata utama untuk melawan kejahatan. Berbuat baik terhadap yang pernah menyakiti atau mengecewakan hati kita bukan memperlihatkan bahwa kita lemah atau takut, tetapi justru memperlihatkan bahwa sebagai anak-anak Allah, yang adalah garam dan terang dunia, kebaikan kita tidak terkalahkan oleh kejahatan
renungan harian 20 Juni 2012-Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, ….. apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang…… Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi →
mohon penjelasan mengenai bacaan hari ini Mat9:14-15 apa maksud Yesus: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka berpuasa.”
Dalam perenungan saya bahwa murid-murid Yesus belum saatnya berpuasa hingga Yesus harus disalib, bangkit, dan naik ke surga. Sehingga makna puasa bagi murid-muridnya dan kita sekarang lebih mendalam. Terima kasih. Tuhan Yesus Memberkati.
Shalom Ferdy,
Dalam Mat 9:14-15, Kristus mengajarkan kepada para murid-Nya bahwa maksud berpuasa bagi kita semua yang mengimani Dia adalah bukan semata kepada tindakan berpuasa itu sendiri, tetapi lebih kepada permenungan akan kisah sengsara Kristus, di mana Kristus ‘diambil dari mereka’ dengan wafat disalibkan demi menghapus dosa- dosa umat manusia. Permenungan ini yang dilakukan dengan sikap tobat, doa, mati raga dan derma, merupakan persiapan batin yang baik untuk menyambut kebangkitan Kristus secara baru di dalam hati kita; dan menumbuhkan kasih kita yang lebih besar kepada Tuhan dan kepada sesama.
Silakan membaca selanjutnya di sini, Mengapa kita berpuasa dan berpantang?, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Yth para Romo / Katolisitas.org
Sy ingin meminta bimbingan rohani dari Romo…
Sblmnya sy mohon maaf bila ada statement2 sy di forum ini yg lari dari maksud situs yaitu “Knowing and loving our Catholic faith”.
Belakangan ini sy depresi, sy sangat sulit berbicara/bergaul dgn orang lain dikarenakan pikiran sy trus menerus fokus ke kebutuhan ekonomi keluarga / orang tua sy, apalagi di situ ada seorang adik remaja perempuan (Beda halnya kalau sy sendiri yg hidup berkekurangan, itu tidak akan mjd masalah).
Sy selalu kuatir dgn mereka. Sy selalu berusaha utk berkomunikasi dgn orang lain, tp itu terlalu sulit,
bila sy tertawa maka sy terpikir seakan2 sy sedang bersenang2 sendirian dgn kawan2 sy tanpa mengingat keluarga yg sedang tertekan.
Akibatnya rekan2 kerja sy berpikir sy sombong, pdhl sbnrnya sy pun sering berbicara dgn mereka, tapi mmg tidak lama2 dan tidak ada canda tawa disitu.
Mereka menganggap bahwa semua orang sama dgn mereka yg sudah settle kehidupannya ( siapa sbnrnya yg bukan seorang dewasa? ).
Ada yg bilang “kalau masalah d rumah jangan dibawa ke pekerjaan !”
Tetapi faktanya; soal pekerjaan semuanya beres koq… Yg bermasalah itu pergaulannya.
Akhirnya kelemahan sy tsb dijadikan alat bagi rekan2 kerja yg bersaing dalam karir untuk menjatuhkan posisi sy.
Romo, bagaimana cara/ tips agar kita bisa sesaat melupakan beban keluarga/ orang tua tanpa rasa bersalah/ sesaat saja tidak kuatir kpd mereka, agar kita bisa hidup bersosialisasi dgn baik ditengah2 kehidupan sosial yg keras (contohny pergaulan di tempat kerja) ? Jujur, sy masih sangat mengasihi kawan2 saya s.d saat ini sekalipun mereka semua membenci sy …..
Tetapi belakangan ini, sy akhirnya melihat bahwa di balik semua cobaan itu telah ada rencana besar Tuhan Yesus dalam hidup sy, yaitu jika saja sejak semula sy merasa kondusif dan ‘pewe’ dgn posisi yg ada skrg, boleh jadi karir sy begitu2 saja. Bahwa dgn adanya kondisi seperti ini, saya rupanya telah berusaha secara otodidak utk menjadi seorang yg lebih capable dalam beberapa keahlian yg bisa menghantar sy ke pekerjaan yg lebih baik. Apakah anggapan sy itu bisa diterima ?
Mohon bantuannya. Terima kasih atas kebaikan Romo / Katolisitas.org.
Syalom,
The Believer
Shalom The Believer,
Ijinkan saya dengan segenap keterbatasan, turut membantu memberikan pendapat yang semoga dapat berguna bagi Anda. Ketika membaca cerita Anda, saya teringat kepada kalimat bijak ini, “Kekhawatiran tidak membantu Anda memecahkan kesukaran / persoalan Anda di hari esok, namun yang jelas ia merenggut kebahagiaan Anda hari ini”. Saya tidak melihat bahwa dengan merasa murung memikirkan kesulitan ayah ibu dan adik itu akan memberikan solusi bagi persoalan mereka. Bahkan lebih jauh, kemurungan dan kesedihan itu merampas performa kerja Anda di kantor, yang selayaknya diperjuangkan sebaik-baiknya untuk kelak memungkinkan Anda bisa ikut memikul beban keluarga. Dan lebih disayangkan lagi, merampas sukacita dan kehangatan pribadi Anda sehingga mengganggu keharmonisan relasi Anda dengan teman-teman sekantor, teman-teman yang sebetulnya justru dapat menjadi salah satu kekuatan dan penghiburan menghadapi persoalan hidup, karena sehari-harinya Anda menghabiskan waktu cukup banyak dengan mereka.
Syukurlah kemudian Anda dapat melihat dengan lebih positif, mencoba melihat kebaikan rencana Tuhan di balik kekuatiran Anda, sehingga memicu Anda mengasah kemampuan menjadi keahlian yang mengantar Anda pada pekerjaan yang lebih baik. Saya berharap Anda terus melanjutkan sikap yang kondusif tersebut, tidak tenggelam dalam kemurungan yang tidak melahirkan solusi apa-apa, tetapi berangkat dari apa yang sudah Tuhan karuniakan kepada Anda, untuk mengolahnya dengan sebaik-baiknya dengan segenap kreativitas dan semangat baja, sehingga terus menerus berpotensi membawa Anda dan keluarga yang Anda kasihi kepada kehidupan yang lebih baik. Tuhan sedang terus mengerjakan kebaikan dalam hidup Anda, oleh karena itu andalkan Dia dalam segala jalan yang Anda pilih, dan sambil bekerja keras, tetaplah setia kepada hikmat pengajaranNya, maka semuanya akan baik-baik saja bagi Anda dan keluarga. Jangan lupa bersukacita dan tertawalah bersama teman-teman Anda bila saatnya memang sedang saat untuk tertawa. Tetap bersyukur dan tetap bersukacita dalam segala suka-duka hidup ini adalah bukti otentik iman kita kepada Tuhan, bahwa segala sesuatu dapat kita tanggung bersama Dia yang Maha Baik dan bahwa kuasa kasihNya tidak pernah meninggalkan kita. Tuhan sendiri yang mengatakannya kepada kita, renungkanlah janji Tuhan yang indah itu di kala perasaan kuatir sedang dominan, yaitu dalam Lukas 12: 22- 31 mengenai kekuatiran, dan renungkanlah juga sambil senantiasa berdoa di Filipi 4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Tuhan telah, sedang, dan akan selalu memelihara kita semua dengan kasih-Nya yang melampaui segala pengertian, kita hanya perlu terus percaya kepada penyelenggaraan-Nya dan berusaha sekuat tenaga sesuai dengan berbagai talenta yang telah dikaruniakanNya kepada kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan
Triastuti – katolisitas.org
Ysh Ibu Caecilia,
Terima kasih atas tanggapan baik Ibu.
Saya merasa dikuatkan kembali…
Iya y, sebuah kekhawatiran ga’ akan memecahkan persoalan, malah sbnrnya merenggut kebahagiaan. Aduh kenapa ga dari dulu sj y, sy minta pendapat Ibu. Eh tapi kalau dari dulu, pasti akan lain ceritanya skrg. Mungkinkah ini adalah rencana Tuhan ? Semoga…
Akan saya pegang semua Petunjuk Tuhan itu.
Sekali lg Terima kasih. Semoga Ibu sekeluarga selalu diberkati Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
TB
Luar biasa. Membaca dan merenungkan artikel ini membuat saya ditelanjangi, diterangi sekaligus disemangati.
Seakan sedang menjalani retret pribadi, mata hati saya dibukakan; betapa saya yang merasa mengasihi Allah ternyata masih sangat jauh dari sempurna. begitu rapuh menghadapi segala jerat dan tipu daya si jahat. Yang baru bagi saya terutama mengenai beristirahat dalam Tuhan dan bahwa melukai sesama meski dengan pikiran sekali pun, mencederai kesempurnaan kasih. Namun saya berbahagia karena sesungguhnya Tuhan telah menyediakan daya yang memampukan untuk mencapai kesempurnaan kasih. Satu hal yang selama ini entah mengapa tidak saya pergunakan secara semestinya.
Sungguh artikel ini menunjukkan di mana saya saat ini dan ke mana saya harus bertumbuh serta bagaimana saya harus mencapainya, di jalan kesempurnaan kasih, dengan rahmat Tuhan.
Terimakasih Tuhan. Terimakasih Pak Stef dan Ibu Ingrid. Tuhan memberkati.
Shalom Pak Soenardi.
Wah analogi bapak tentang salib itu bagus sekali, brilliant pak. Sederhana, mudah dimengerti namun cukup dalam maknanya.
Untuk bu Inggrid, uraian tentang tiga tingkatan kasih itu tepat sekali bagi perkembangan iman umat. Karena sering orang kurang dapat memahami bagaimana mengimplementasikan hukum kasih yang pertama itu (ayat 37).
Kadang untuk mempermudah menjawab pertanyaan tentang kasih kepada Tuhan ini saya mengaitkannya dengan bacaan Mat 25:35-45. Bagaimana menurut ibu, apakah itu relevan?
Terima kasih.
Salam dalam kasih Kristus dan Bunda-Nya.
Shalom Vinsensius,
Ya, hal kasih kepada sesama atas dasar kasih kepada Tuhan, dapat dijelaskan dengan mengkaitkannya dengan Mat 25:35-45. Selanjutnya, Anda dapat mengacu kepada Katekismus Gereja Katolik tentang 14 perbuatan kasih (karitatif) secara jasmani maupun rohani, yang pernah dituliskan di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syalom bu Inggrid
Dalam Alkitab,di ayat mana saya bisa lihat firman tentang “kasih sesama dan kasih Tuhan”kepada kita
Terimakasih,Tuhan Berkati
[Dari Katolisitas: Silakan Anda membaca artikel di atas. silakan klik]
Dapatkah ayat
(37)”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”, yang dikatakan sebagai ayat yang:
(38)” Itulah hukum yang terutama dan yang pertama” –karena memang yang terpenting,– dimengerti sebagai tidak bisa tidak harus dikaitkan dan dilengkapi dengan;
(39) “Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” sebagai satu kesatuan?
Bukankah ayat-ayat itu dimaksudkan untuk mengatakan bahwa kasih kepada Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kasih kepada sesama? Bahwa barang siapa MENGATAKAN atau MENGANGGAP bahwa dia mengasihi Tuhan SEHARUSNYA atau TIDAK BISA TIDAK juga mengasihi sesama?
Dengan demikian dapatkah disimpulkan bahwa ayat 37 yang digambarkan sebagai ayat yang TERUTAMA dan PERTAMA (ayat 38) mempersyaratkan dilakukannya ayat 39?
Dapatkah saya pahami bahwa sebenarnya kita tidak dapat meng-klaim bahwa kita mengasihi Allah (37) begitu saja tanpa dikaitkan dengan perbuatan yang mengindikasikan kasih kepada manusia lain? Jadi tidak ada ceritanya seseorang mengatakan mencintai Allah tanpa ada kaitan dengan manusia lain yang dicintai.
Bagi saya pemahaman itu serupa dengan apa yang dilambangkan oleh salib SELALU terdiri dari dua bagian: yang vertikal dan yang horizontal. Tanpa salah satunya masing-masing bagian itu hanya berupa sebatang kayu, dan tidak membentuk satu salib. Bila kayu yang vertikal diandaikan kasih kepada Allah (ayat 37), sedangkan yang horisontal melambangkan kasih kepada sesama,(ayat 39), maka analogi serupa dapat pula dibunyikan: tanpa kasih kepada sesama (kayu horisontal) tidaklah ada kasih kepada Allah (kayu vertikal) dan memang tidak ada salib. Yang ada hanya dua batang kayu yang keberadaannya terpisah sendiri-sendiri, tanpa membentuk suatu salib.
Apakah analogi dan interpretasi perikop ini, khususnya ayat 37-39/40 semacam itu dapat diiyakan?
Terima kasih. Syalom.
Soenardi. . .
Shalom P. Soenardi,
Ya, nampaknya pemahaman Bapak sungguh tepat. Sebab perintah untuk mengasihi Tuhan memang tidak dapat dilepaskan dari perintah untuk mengasihi sesama. Analogi kasih Allah sebagai tiang vertikal dan kasih kepada sesama sebagai balok horisontal pada salib, juga merupakan analogi yang baik. St. Agustinus juga memberikan analogi yang serupa yang menggambarkan bahwa kedua perintah ini tidak terpisahkan. Yaitu perintah ini seumpama kedua kaki pada kita manusia, atau kedua sayap pada burung; sebab dengan kedua perintah ini kita dapat terbang sampai ke Surga.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.