Pertanyaan:

Salam ibu, saya mau menyambung pertanyaan yang berkenaan dengan moral, saya membaca di berita, para uskup di Filipina menolak RH bill. Sebagai seorang Katolik, posisi presiden sangat dilematis, di satu sisi dia seorang Katolik yang dalam ajaran Katolik harus pro life, tetapi di sisi lain, dia seorang negarawan yang juga harus memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Tidak jarang, kita juga dalam posisi-posisi dilematis antara ajaran moral dengan realitas kehidupan. Mohon pencerahannya, terima kasih.

-feliz-

Jawaban:

Jawaban dari Caecilia Triastuti:

Shalom Feliz,

Terima kasih atas pertanyaannya. Dilema antara ajaran moral yang berhadapan dengan realitas hidup memang berat, dan cukup sering kita lihat dan alami sendiri dalam kehidupan sehari-hari, walau dalam bentuk dan intensitas yang berbeda-beda. RH Bill (Reproductive Health Bill, atau undang-undang kesehatan reproduksi) memang menjadi perdebatan serius di Filipina. Sebenarnya, dalam terang iman dan kejujuran hati, kita dapat melihat bahwa justru  dilema antara moral dan kenyataan hidup  merupakan kesempatan kita untuk menyatakan iman, kasih, dan kesetiaan manusia kepada Tuhan, karena kita mencintai jalan-jalan-Nya dan mempercayai sepenuhnya penyelenggaraan-Nya dalam hidup ini. Betapapun sulitnya itu di mata manusiawi kita. Gereja Katolik sepanjang jaman dengan jelas dan konsisten menyatakan keberpihakannya kepada kehidupan, dari sejak konsepsi hingga kematiannya secara alami. Kehidupan adalah otoritas Allah sepenuhnya dan merupakan anugerah Allah dalam menyelenggarakan alam semesta ini, di mana manusia yang diciptakan secitra denganNya, diberiNya mandat untuk menjadi mitra-Nya dalam mengelola alam ciptaan.

KGK 2270 Kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara absolut sejak saat pembuahannya. Sudah sejak saat pertama keberadaannya, satu makhluk manusia harus dihargai karena ia mempunyai hak-hak pribadi, di antaranya hak atas kehidupan dari mahkluk yang tidak bersalah yang tidak dapat diganggu gugat.

KGK 2271 Sejak abad pertama Gereja telah menyatakan abortus sebagai kejahatan moral. Ajaran itu belum berubah dan tidak akan berubah. Abortus langsung, artinya abortus yang dikehendaki baik sebagai tujuan maupun sebagai saran, merupakan pelanggaran berat melawan hukum moral.

“Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat. Pengguguran dan pembunuhan anak merupakan tindakan kejahatan yang durhaka (Gaudium et Spes 51,3)

Hukum-hukum Ilahi tidak mungkin menyalahi kelangsungan penyelenggaraan hidup yang dirancangNya mulia sejak awal. Melanggar hukum-hukum-Nya dengan kesadaran penuh dan kesengajaan adalah penyangkalan yang mendasar terhadap kemampuan Allah memegang kendali atas hidup ini dengan segala tantangan dan suka dukanya. Maka dihadapkan kepada dilema antara mematuhi ajaran moral Gereja dan realitas hidup yang nyata, sikap hati kita sebagai orang beriman seharusnya senantiasa diarahkan pertama-tama kepada keputusan untuk tetap mengikuti kehendak Allah. Jika kita menilai dengan jujur, realitas kehidupan yang mengikuti itu sebenarnya seringkali terjadi akibat ulah manusia sendiri, yang seringkali gegabah dalam menggunakan kehendak bebas yang diperolehnya sebagai karunia Allah. Penyelesaiannya bukan dengan cara mengingkari ajaran moral, tetapi dengan menelusuri akar dari permasalahan yang terjadi dan mengatasinya secara menyeluruh dengan segala upaya yang mungkin. Beriman kepada Allah adalah berarti memilih untuk mengedepankan hidup dan kehendak Allah, walaupun seringkali pilihan itu merupakan pilihan yang sulit dan memerlukan perjuangan. Namun perjuangan hidup adalah partisipasi kita dalam penderitaan salib Kristus yang membawa keselamatan kepada dunia.

Misalnya, dihadapkan pada realita hidup berupa ledakan jumlah penduduk yang mengakibatkan kemiskinan dan pengangguran, seharusnya para pemimpin negara menyadari bahwa penyelesaiannya bukan dengan membatasi kelahiran dengan segala cara, yang mudah dan murah tetapi melanggar ajaran moral serta memicu terjadinya pelanggaran moral yang lebih serius lagi dalam berbagai bidang kehidupan. Penyebab kemiskinan akibat ledakan penduduk seringkali adalah sistem pemerintahan yang korup, dan pengelolaan ekonomi yang kurang berpihak pada rakyat, sehingga pengangguran meluas. Solusi yang dilakukan seharusnya lebih dari sekedar solusi sesaat yang cepat dan praktis tetapi tidak menyentuh persoalan dasarnya. Melainkan dengan pembenahan mendasar di berbagai sektor, yang tentu saja merupakan perjuangan yang penuh pengorbanan. Tetapi itu adalah pilihan yang membawa kepada perbaikan yang lebih permanen tanpa harus mengorbankan nilai moral yang berkaitan dengan pembatasan kelahiran dan aborsi. Manusia selalu punya pilihan untuk mengatasi persoalan-persoalan hidupnya. Dan Gereja tidak diam saja melihat semua beban yang ada dalam masyarakat. Gereja banyak terjun dalam masalah-masalah real untuk membantu memberikan solusi secara nyata.  Kita sebagai anggota Gereja juga dipanggil untuk turut menjadi pelaku-pelaku pemberi solusi dengan tindakan kasih yang nyata.

Belum lagi kalau penerapan undang-undang yang mengijinkan aborsi dan KB non-alamiah itu misalnya ternyata dilatarbelakangi desakan para pemilik modal raksasa, yang mendapat keuntungan raksasa pula dari maraknya industri alat-alat KB atau pendirian klinik-klinik aborsi. Keputusan mengikuti Allah sering sekali bukan merupakan keputusan populer di dalam dunia, yang memang adalah suatu tempat tinggal yang asing bagi pengikut-pengikut sejati dari Kerajaan Surga. Tetapi saat kita mengikuti Allah, sesungguhnya kita adalah orang yang lepas bebas, memiliki kebebasan yang sejati yang dunia ini tidak dapat memberi, kebebasan yang dialami baik sekarang saat sedang dalam dunia, maupun nanti ketika kita sudah berada dalam kekekalan.

Tambahan jawaban dari Ingrid Listiati:

Shalom Feliz,

Ijinkan saya menambahkan jawaban Triastuti, dengan menyampaikan kutipan surat ensiklik Paus Benediktus XVI, Caritas in Veritate (Kasih dan kebenaran), yang sekilas juga membahas tentang permasalahan yang anda tanyakan. Untuk membaca keseluruhan surat ensiklik tersebut, silakan klik di sini:

“28. Salah satu yang aspek yang paling menonjol dari perkembangan pada saat ini adalah persoalan penting tentang penghormatan terhadap kehidupan, yang tidak dapat dilepaskan sama sekali dari persoalan tentang perkembangan bangsa-bangsa. Hal ini adalah sebuah aspek yang telah memperoleh keutamaan secara meningkat belakangan ini, yang mengharuskan kita untuk memperluas konsep kita tentang kemiskinan [66] dan kurangnya perkembangan, untuk melibatkan persoalan-persoalan yang terkait dengan penerimaan kehidupan, terutama di dalam kasus-kasus di mana kehidupan dihalangi dengan berbagai cara.

Tak hanya keadaan kemiskinan yang masih mempengaruhi tingkat kematian bayi di banyak kawasan, tetapi beberapa bagian dunia masih mengalami praktek-praktek untuk mengendalikan kependudukan, di pihak pemerintah-pemerintah yang sering mendorong kontrasepsi dan bahkan sampai sejauh menentukan aborsi. Di negara-negara yang telah berkembang secara ekonomi, peraturan yang bertentangan dengan kehidupan sangat tersebar luas, dan hal itu telah membentuk sikap-sikap moral dan praktek, yang menyumbangkan penyebaran mental anti-kelahiran; seringkali usaha-usaha dibuat untuk meng-ekspor mentalitas ini ke Negara-negara lain seperti seolah-olah hal itu adalah sebuah bentuk kemajuan budaya.

Beberapa Organisasi non-pemerintah bekerja aktif untuk menyebarkan aborsi, seringnya mendukung praktek- praktek sterilisasi di negara-negara miskin, di beberapa kasus bahkan tidak memberitahukan para wanita yang terlibat. Lagipula, terdapat alasan untuk menduga bahwa bantuan perkembangan seringkali dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan khusus pemeliharaan kesehatan (health- care) yang secara de facto melibatkan penekanan pengukuran pengontrolan kelahiran dengan kuatnya. Hal-hal selanjutnya yang memprihatinkan adalah hukum-hukum yang memperbolehkan euthanasia, dan juga tekanan dari kelompok-kelompok lobby, secara nasional maupun internasional, yang condong kepada pengakuan euthanasia secara yuridis.

Keterbukaan terhadap kehidupan terletak di pusat perkembangan sejati. Ketika masyarakat bergerak menuju penolakan atau penekanan terhadap kehidupan, ia akan berakhir dengan tidak lagi menemukan motivasi dan energi yang diperlukan untuk mengusahakan kebaikan sejati bagi manusia. Jika sensitivitas pribadi dan sosial menuju penerimaan sebuah kehidupan hilang, maka bentuk-bentuk lainnya tentang penerimaan yang berharga bagi masyarakat juga layu. [67] Penerimaan terhadap kehidupan memperkuat jaringan moral dan membuat orang-orang dapat saling membantu. Dengan mengusahakan keterbukaan terhadap kehidupan, bangsa-bangsa yang kaya dapat memahami kebutuhan bangsa-bangsa yang miskin dengan lebih baik, mereka dapat menghindari penggunaan sumber-sumber daya intelektual dan ekonomi secara besar-besaran untuk memuaskan keinginan-keinginan yang egois dari para warga mereka sendiri, dan sebaliknya mereka dapat memajukan kegiatan-kegiatan kebajikan dalam perspektif produksi yang baik secara moral dan ditandai dengan solidaritas, yang menghormati hak fundamental untuk hidup dari setiap bangsa dan setiap pribadi.” (Paus Benediktus XVI, Caritas in Veritate (Kasih dan kebenaran), 28)

Sesungguhnya melalui surat ensiklik tersebut, Paus Benediktus XVI hendak menghimbau para pemimpin negara untuk berpikir lebih luas daripada sekedar mencari solusi yang kelihatannya mudah, namun sesungguhnya tidak menyelesaikan masalah. Reproductive Heath bill tidak menjadi solusi problema kependudukan, karena kebijakan untuk menolak kehidupan (seperti yang umumnya menjadi akibat penerapan RH bill), sesungguhnya akan menimbulkan masalah lain yang tak kalah besar dan pelik dalam masyarakat, di mana akhirnya masyarakat akan kehilangan motivasi dan energi yang diperlukan untuk mengusahakan kebaikan sejati bagi masyarakat itu sendiri. Efek jangka pendek yang dapat langsung terlihat adalah penurunan moral generasi muda, dan kurangnya penghargaan terhadap nilai- nilai luhur perkawinan dan keluarga. Dan jika keluarga sebagai kelompok inti dari masyarakat sudah lemah fondasinya, maka tak mengherankan jika keseluruhan masyarakat juga akan menerima akibat negatifnya. Demikian pula efek jangka panjang juga perlu diperhitungkan, seperti yang terjadi di negara- negara Eropa sekarang ini, yang dengan mendukung kontrasepsi dan aborsi (sejak tahun 60/70-an), kini sudah terlanjur mempunyai angka kelahiran yang sangat minim, yang mengakibatkan pertumbuhan jumlah penduduk negatif, sehingga kontribusi dari golongan usia produktif sudah nyaris tidak dapat lagi mendukung golongan usia lanjut. Di sini terlihat bahwa solusi kontrasepsi dan aborsi sebenarnya mewariskan problema yang tidak sederhana, bagi generasi bangsa selanjutnya. Melihat fakta-fakta ini, maka selayaknya kita sebagai umat Katolik tidak ikut latah berpikir bahwa menjadi ‘pro-life‘ artinya tidak memikirkan kesejahteraan rakyat. Justru sebaliknya, jika kita memihak kehidupan, maka kita semakin terdorong untuk memperjuangkan kesejahteraan dan masa depan yang baik, demi kasih kita kepada anak- anak kita. Dan sebagai kesatuan umat manusia, kita dipanggil untuk saling membantu untuk mencapai tujuan ini, untuk bersama mengoptimalkan sumber daya yang ada.

Agaknya para pemimpin negara perlu mempertimbangkan masukan dari Paus Benediktus XVI dalam Caritas in Veritate ini, untuk mengusahakan pertumbuhan masyarakat yang lebih menyeluruh demi kebaikan semua bangsa di setiap generasi.

Demikianlah tanggapan kami atas pertanyaan anda, semoga berguna.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Caecilia Triastuti dan Ingrid Listiati- katolisitas.org

9 COMMENTS

  1. Apakah seorang istri yang sudah menopause boleh menolak berhubungan suami isteri? Kl membaca keterangan di atas tampak bahwa hubungan suami istri hanya untuk tujuan prokreasi saja. Terimakasih untuk jawaban ibu Inggrid

    • Shalom Maria,

      Pembahasan di atas adalah mengenai RH bill, dan bukan tentang perkawinan itu sendiri. Untuk hubungan kasih suami istri dalam perkawinan kita mengacu kepada apa yang diajarkan dalam Katekismus Gereja Katolik, yaitu:

      KGK 1643    “Cinta kasih suami isteri mencakup suatu keseluruhan. Di situ termasuk semua unsur pribadi: tubuh beserta naluri-nalurinya, daya kekuatan perasaan dan afektivitas, aspirasi roh maupun kehendak. Yang menjadi tujuan yakni: kesatuan yang bersifat pribadi sekali; kesatuan yang melampaui persatuan badani dan mengantar menuju pembentukan satu hati dan satu jiwa; kesatuan itu memerlukan sifat tidak terceraikan dan kesetiaan dalam penyerahan diri secara timbal balik yang definitif, dan kesatuan itu terbuka bagi kesuburan. Pendek kata: itulah ciri-ciri normal setiap cinta kasih kodrati antara suami dan isteri, tetapi dengan makna baru, yang tidak hanya menjernihkan serta meneguhkan, tetapi juga mengangkat cinta itu, sehingga menjadi pengungkapan nilai-nilai yang khas Kristen” (Familiaris Consortio 13).

      Maka, tidak benar bahwa hubungan kasih suami istri itu hanya menyangkut hubungan seksual untuk tujuan prokreasi saja. Dengan demikian, meskipun dalam keadaan tidak lagi terbuka pada kemungkinan kelahiran -misalnya karena istri sudah lama menopause- namun hubungan seksual suami istri tetap mengandung maksud untuk menyatukan suami istri (tidak hanya secara badani tetapi juga sehati sejiwa) dan merupakan bentuk penyerahan diri secara timbal balik. Namun demikian, kesatuan suami istri tidak hanya dapat dicapai dengan hubungan seksual. Ada banyak cara lain untuk menyatakan kasih dan kesetiaan suami istri, yang dapat dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana. Mengucapkan terima kasih untuk kebaikan pasangan, memberi pujian untuk hal-hal baik yang dilakukannya, merapikan rumah dan membantu tugas pasangan tanpa diminta dan dengan senang hati, menyambut pasangan dengan senyuman setiap pulang dari kantor, menyiapkan apa yang menjadi kesukaannya, berdoa bersama sebagai pasangan dst. Semoga perhatian dan kasih Anda, suami Anda dapat semakin mengalami kasih Tuhan melalui Anda, dan hubungan kasih Anda berdua semakin dimurnikan, dan tidak terarah kepada keinginan sendiri.

      Di atas semua itu mohonlah dukungan doa dari Bunda Maria, agar melalui doa-doanya, Anda dan suami selalu mengalami hubungan kasih yang manis dalam kehidupan perkawinan Anda; hubungan yang mungkin cenderung tawar, diubah menjadi manis kembali oleh Tuhan Yesus.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas. org

      PS: Selanjutnya untuk membaca tentang Indah dan dalamnya makna sakramen Perkawinan Katolik, silakan klik di sini.

      • Salam dalam nama Yesus,

        Bu Inggrid, tulisan ibu sangat membantu saya untuk lebih mendalami iman katolik saya, saya mohon nasehat ibu atau rekan katolik yang lain karena saya kesulitan menjelaskan karena memang saya bukan seorang katekis, ketika ada umat katolik, rajin ke gereja katolik, yang lahir di keluarga besar katolik, bahkan adiknya seorang romo, yang mendebat saya bahwa agama tidaklah penting, agama seperti hal nya pakaian sehingga tidak perlu memperdebatkan agama, mau Katholik atau non Katolik, yang penting kepercayaan kepada Allah ( bukan Yesus Kristus putraNya, yang diciptakan Allah ) dan Allah orang katolik dan Allah yang non katolik adalah sama saja, hanya cara saja yang berbeda, tujuan sama, justru pengertian itu merupakan kebesaran iman menurut dia. Saya pribadi, dimana iman saya yang kecil ini mengatakan itu tidak benar, tapi saya tidak bisa menjelaskannya dengan dasar teologi katolik yang benar dan memberi informasi mengenai kebenaran yang ada. Mohon Ibu Inggrid bisa memberikan nasehat bagaimana saya harus menjelaskannya ? Terimakasih. GBU…..

        [Dari Katolisitas: Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa semua agama sama saja. Silakan membaca terlebih dahulu deklarasi Dominus Iesus, silakan klik. Dan penjelasannya, silakan klik.]

  2. Salam dalam nama Yesus,
    Kalau kita melihat perstiwa2 sepanjang sejarah umat manusia, di antaranya tampak banyak yg bertentangan dengan kebijakan Tuhan ( mis: perang antar bangsa, kejahatan2 dan tidak adanya damai). Seolah-olah (beberapa manusia tidak mampu menyelaraskan kebijakan berpikirnya dengan apa yg di pesankan Tuhan). Dari luar, kita melihat orang2 demikian dengan sengaja melanggar hukum Tuhan, adakah kemungkinan lain, maksud saya, adakah kepribadian lain / roh selain Roh Tuhan yg demikian kuat pengaruhnya yg turut berpartisipasi mengendalikan pikiran sebagian umat manusia supaya berbuat melanggar hukum Tuhan, tanpa bisa disadari oleh manusia itu sendiri. Mungkinkah ada roh2 selain Tuhan itu demikian kuat hingga manusia tertutup hatinya terhadap bisikan Roh Kudus. Dengan demikian manusia tidak bisa disalahkan 100 % jika berbuat dosa. Sebagai contoh konkrit lain, kalau saya (secara halus) menceritakan Yesus dan ajaran2 Nya kepada teman2 kerja saya (yaitu ajaran Yesus yg menentang ilmu sihir, kebal badan, perdukunan dsb (karena hal2 demikian membahayakan jiwa manusia dan pelakunya), ajaran agama teman2 saya (non Krist) sebenarnya melarang hal2 mistik juga (tapi saya tahu mereka (80%) pergi ke orang2 pintar/spiritualist) Mereka menanggapi cerita saya, tapi dari cara mata dan wajah mereka menanggapi, saya tahu pikiran2 mereka seolah-olah kosong/ gak nyambung. Yang jadi pertanyaan saya, adakah kuasa gelap yang mungkin sangat kuat menutup pikiran teman2 saya itu, sehingga belum bisa memahami apa yang saya sampaikan (mengenai ajaran2 Yesus). Trima kasih, maaf pertanyaannya panjang. GBU

    • Salam Sugeng Pratiknyo,

      Kata kunci jawaban atas pertanyaan tersebut ialah kebebasan manusia. Dengan kebebasan ini, manusia bertanggungjawab atas keputusannya. Diketahui bahwa ada kekuatan di luar diri manusia di luar kekuatan cinta Allah. Namun semua hal luar itu diserahkan sepenuhnya pada manusia dengan seluruh kebebasannya: apakah manusia mau menolak setan itu 100%, atau menolak hanya 20%; Apakah mau menerima Allah 100% atau hanya 50%, tetaplah tergantung kepada keputusan bebas manusia itu sendiri. Namun mesti diingat, bahwa kebebasan mengandung tanggungjawab sepenuhnya. Kita juga tahu bahwa setan pun makhluk rohani yang punya kebebasan penuh untuk menolak Allah dan kebebasan setan memang telah sepenuhnya diarahkan untuk menolak Allah dan mempengaruhi manusia agar menolak Allah pula. Maka, kombinasi atau “kerjasama” dua kebebasan antara manusia dan setan, akan memperkuat usaha untuk menolak Allah. Menurut psikologi sosial, melakukan kejahatan secara “rombongan” akan makin memperkuat semangat untuk melakukannya. Benar bahwa pikiran bisa tertutup (mata gelap) manakala orang sudah lama mengarahkan kebebasannya untuk kejahatan, apalagi bisa mendapat teman manusia jahat lainnya dan setan-setan. Karena itu, Gereja (umat Allah) dengan segala perlindungan dari surga, harus kompak untuk mengalahkan kuasa kegelapan yang juga berkelompok.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  3. Terima kasih atas jawabannya. Saya senang dengan konsistensi terhadap ajaran Gereja. Saya pernah tahu seorang imam SVD (seorang Jerman) yang benar-benar mempunyai perhatian dengan KBA. Saya tidak punya kuasa untuk menyampaikan kepada yang berkuasa di wilayah NTT. Saya hanya mensharekan apa yang saya lihat, saya baca dan saya alami, semoga mereka yang mempunyai akses yang bisa mengingatkan para pejabat Gereja. Karena sama seperti negara, rakyat kecil tidak mungkin bersuara tanpa dukungan LSM atau lembaga Gereja atau lembaga-lembaga yang lain yang bisa menyuarakan. Maka saya juga hanya bisa sampai di tanya jawab ini.

  4. Terima kasih atas jawaban yang sangat bagus tetapi itu untuk konsumsi intern, sementara kalau kita berbicara tentang negara, kita harus juga melihat keyakinan agama lain, dan tidak semua yang diyakini oleh Katolik bisa diterima oleh yang lain. Sebagai pemimpin negara, presiden tidak memutuskan sebuah perkara sebagai pribadi, tetapi bersama dengan yang lain.

    Di Indonesia pun gereja Katolik tidak melawan gerakan KB yang dari pemerintah, bahkan di daerah mayoritas Katolik pun di NTT, gereja sepertinya tenang-tenang saja ketika para perawat dan dokter mengajarkan dan melakukan KB yang dari pemerintah. Apakah ini sebuah tanda perubahan?

    • Shalom Feliz,

      Terima kasih atas pertanyaannya lebih lanjut. RH Bill menjadi polemik serius di Filipina justru karena sebagian besar bangsa Filipina, yaitu sekitar 81 %  (sumber dari Wikipedia), beragama Katolik, termasuk presidennya yang menjabat saat ini. Seputar pengajuan dan pengesahan undang-undang ini menjadi perhatian dunia,  karena pemerintah dan kongres Filipina berhadapan dengan keresahan dan protes banyak kalangan akan adanya pertentangan moral yang serius dalam undang-undang ini. Kalangan yang keberatan itu pertama-tama adalah sebagian rakyat Filipina sendiri, Gereja Katolik Filipina, serta para pemerhati moral baik di Filipina sendiri maupun di dunia internasional. Memang sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, keputusan seorang presiden mau tak mau selalu tersangkut dengan berbagai kepentingan politik, misalnya kenyataan ledakan penduduk, masalah kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan, yang pada gilirannya memerlukan penyelesaian secara politik pula. Namun tentu saja beliau tak dapat menutup mata terhadap kegelisahan pertentangan moral yang dialami sebagian besar masyarakat bangsanya lebih–lebih karena beliau sendiri adalah seorang Katolik. Pendapat umum yang cukup populer mengatakan bahwa ajaran religius adalah satu hal, dan kehidupan sosial serta politik adalah hal yang lain, yang tidak harus saling mengait satu sama lain. Dengan kata lain, menurut pandangan ini, boleh-boleh saja Gereja memberikan wacana mengenai ajaran moral, tetapi berhadapan dengan keadaan nyata di lapangan, orang boleh memiliki keputusan sendiri menurut apa yang dianggapnya memberikan solusi yang paling baik. Pandangan ini secara umum dikenal sebagai paham relativisme, dan pandangan ini sesungguhnya ditentang oleh Magiterium Gereja Katolik, seperti yang kita ketahui melalui pernyataan Paus Yohanes Paulus II (dalam surat ensikliknya, Evangelium Vitae) dan Paus Benediktus XVI, dalam homilinya sebelum konklaf yang memilihnya sebagai Paus pada bulan April 2005. Demikian kata Paus Benediktus XVI (waktu itu Kardinal Joseph Ratzinger):

      "How many winds of doctrine we have known in recent decades, how many ideological currents, how many ways of thinking. The small boat of thought of many Christians has often been tossed about by these waves ¬ thrown from one extreme to the other: from Marxism to liberalism, even to libertinism; from collectivism to radical individualism; from atheism to a vague religious mysticism; from agnosticism to syncretism, and so forth. Every day new sects are created and what Saint Paul says about human trickery comes true, with cunning which tries to draw those into error (cf Ephesians 4, 14). Having a clear Faith, based on the Creed of the Church, is often labeled today as a fundamentalism. Whereas, relativism, which is letting oneself be tossed and "swept along by every wind of teaching", looks like the only attitude acceptable to today’s standards. We are moving towards a dictatorship of relativism which does not recognize anything as certain and which has as its highest goal one’s own ego and one’s own desires. However, we have a different goal: the Son of God, true man. He is the measure of true humanism. Being an "Adult" means having a faith which does not follow the waves of today’s fashions or the latest novelties. A faith which is deeply rooted in friendship with Christ is adult and mature. It is this friendship which opens us up to all that is good and gives us the knowledge to judge true from false, and deceit from truth."

      Gereja Katolik dan institusi moral manapun di dunia memang akan selalu berhadapan dengan sikap-sikap relativism semacam ini, yang seringkali sesungguhnya merupakan kelanjutan dari sikap menjustifikasi keputusan yang hanya mencari keuntungan pribadi tanpa mengindahkan tanggungjawab martabat manusia secara utuh. Terhadap sikap seperti ini, Paus mengingatkan kita umat Katolik, agar kita jangan terbawa arus yang seolah hanya mengikuti opini publik; tetapi harus mengarahkan pandangan kepada ajaran Kristus, yang sungguh- sungguh mengacu kepada kebaikan bagi kemanusiaan yang sejati, sebab tahu membedakan mana yang sungguh baik dan mana yang buruk bagi perkembangan manusia seutuhnya. Allahlah yang menciptakan kehidupan, maka sudah sewajarnya jika manusia sebagai ciptaan pun tunduk kepada hukum-hukum Dia yang menciptakan kehidupan ini dengan segala dinamikanya.

      Demikian walaupun Gereja menyadari bahwa keputusan tetap di tangan masing-masing individu, dengan segala konsekuensinya, Gereja tetap konsisten menyuarakan ajaran Kristus dan Kitab Suci. Sebagai umat beriman, selayaknya kita pun mendukung keteguhan sikap Gereja sambil melatih diri kita sendiri untuk beriman tangguh di dalam tantangan kehidupan ini, terus berakar kepada Kristus, yang dengan segenap cintaNya kepada manusia yang melampaui segala akal, tidak akan pernah meninggalkan kita. Mengenai sikap Gereja Katolik di Indonesia, khususnya di NTT, jika anda merasa bahwa sikap Gereja Katolik kurang tegas tentang hal ini, silakan anda menyampaikannya kepada pihak otoritas Gereja di sana. Sebab kita mengetahui bahwa ajaran Gereja Katolik -yang menolak pemakaian kontrasepsi dan menolak pelaksanaan aborsi- tetap tidak berubah sampai saat ini. Ajaran ini sudah berkali- kali disampaikan Magisterium Gereja, yaitu oleh Paus Pius XI (1930) dalam Casti Conubii, Paus Paulus VI (1968) dalam Humanae Vitae, Paus Yohanes Paulus II (1995) dalam Familiaris Consortio dan Evangelium Vitae, dan Paus Benediktus XVI (2009) dalam Caritas in Veritate. Katekismus Gereja Katolik bahkan menyebutkannya dengan jelas tentang aborsi dan kontrasepsi sebagai berikut:

      KGK 2272      Keterlibatan aktif dalam suatu aborsi adalah suatu pelanggaran berat. Gereja menghukum pelanggaran melawan kehidupan manusia ini dengan hukuman Gereja ialah ekskomunikasi. "Barang siapa yang melakukan pengguguran kandungan dan berhasil terkena ekskomunikasi" (KHK, kan. 1398), "(ekskomunikasi itu) terjadi dengan sendirinya, kalau pelanggaran dilaksanakan" (KHK, kan. 1314) menurut syarat-syarat yang ditentukan di dalam hukum Bdk. KHK, kann. 1323-1324.. Dengan itu, Gereja tidak bermaksud membatasi belas kasihan; tetapi ia menunjukkan dengan tegas bobot kejahatan yang dilakukan, dan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi, yang terjadi bagi anak yang dibunuh tanpa kesalahan, bagi orang-tuanya dan seluruh masyarakat.

      KGK 2370     Pantang berkala, demikian juga metode-metode pengaturan kehamilan yang berdasarkan pengamatan diri dan pilihan periode tidak subur pada wanita itu (Bdk. HV 16) sesuai dengan kriteria obyektif moral. Metode-metode ini menghormati tubuh suami isteri, membesarkan hati mereka untuk kemesraan dan mendukung pendidikan ke arah kebebasan yang sejati. Sebaliknya tiap tindakan harus ditolak, yang sebelum sanggama atau dalam pelaksanaannya, atau sesudahnya pada konsekuensi-konsekuensi alamiahnya, bermaksud mencegah terjadinya pembiakan, entah sebagai tujuan entah sebagai upaya" (HV 14)."Sementara persatuan seksual menurut kodratnya mengungkapkan penyerahan diri secara timbal balik seutuhnya antara suami dan isteri, dengan alat kontrasepsi ia menjadi isyarat yang secara obyektif ambivalen, artinya tidak menyerahkan diri sepenuhnya. Tindakan itu tidak hanya membawa kepada penolakan positif untuk terbuka bagi kehidupan, tetapi juga kepada pemalsuan kebenaran inti cinta kasih suami isteri, yang diarahkan kepada penyerahan diri seutuhnya". Perbedaan antropologis dan moral antara kontrasepsi dan pemanfaatan irama siklus, "menyangkut dua paham pribadi manusia dan seksualitas manusiawi yang tidak dapai diselaraskan" (FC 32).

      KGK 2399     Pengaturan kehamilan merupakan salah satu aspek dari sifat orang-tua yang bertanggung jawab. Juga apabila maksud dari suami isteri itu baik, mereka tidak dibenarkan, memakai sarana-sarana yang tidak diizinkan secara moral (umpamanya sterilisasi langsung atau alat kontrasepsi).
      Dengan demikian, jika terdapat masalah di lapangan, seharusnya yang diupayakan oleh para pemimpin Katolik adalah melihat bagaimana mencari solusinya untuk mendukung program Pemerintah namun dengan cara yang masih dapat diterima secara moral. Kongregasi Mother Teresa dapat melakukannya -yaitu dengan sosialisasi KB Alamiah- di komunitas yang sangat kumuh di Kalkuta, lalu mengapa di NTT tidak bisa? Ini harusnya yang dicari solusinya. Mungkin yang perlu dipelajari adalah bagaimana menyampaikan metoda KBA dengan baik kepada masyarakat, dan bukan dengan serta merta mencari jalan pintas. Tentang metoda KBA yang terbukti sudah cukup akurat adalah Metoda ovulasi Billings, atau Metoda Creighton, dengan cara pengamatannya seperti pernah diulas di sini, silakan klik. Selanjutnya, perlu dipahami bersama juga, bahwa KBA ini sesungguhnya baik untuk diterapkan bukan semata karena merupakan ajaran Gereja Katolik, tetapi karena sesuai dengan martabat manusia, yaitu bahwa pasangan suami istri dilatih untuk menghargai satu sama lain, dan tidak menjadikan pihak istri sebagai obyek semata. Diperlukan kejujuran dan keterbukaan hati untuk menerima ajaran ini; tetapi jika sudah dapat dipahami, ajaran ini sungguh dimaksudkan untuk mengembalikan makna luhur perkawinan sesuai dengan yang direncanakan oleh Tuhan. Maka hal solusi yang ditawarkan oleh Gereja Katolik bukanlah untuk konsumsi intern saja, tetapi untuk semua orang yang berkehendak baik ("all men/ people of good will") , dan ini jelas disebutkan di judul dokumen- dokumen Gereja Katolik tentang hal ini (seperti di Humanae Vitae, Evangelium Vitae, Caritas in Veritate). Sebab kebenaran sejati sesungguhnya bersifat obyektif untuk semua orang, dan bukan hanya untuk umat Katolik saja.
       
      Demikian Feliz, tanggapan kami atas komentar anda. Kami di Katolisitas mempunyai komitmen untuk menyampaikan hal- hal yang sesuai dengan pengajaran Magisterium Gereja Katolik; dan karena itu kami tidak dapat setuju dengan cara penyelesaian masalah yang tidak mengacu kepada ajaran Magisterium tersebut. Semoga dapat dipahami.
       
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Caecilia Triastuti dan Ingrid Listiati- katolisitas.org
  5. Salam ibu, saya mau menyambung pertanyaan yang berkenaan dengan moral, saya membaca di berita, para uskup di Filipina menolak RH bill. Sebagai seorang Katolik, posisi presiden sangat dilematis, di satu sisi dia seorang Katolik yang dalam ajaran Katolik harus pro life, tetapi di sisi lain, dia seorang negarawan yang juga harus memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Tidak jarang, kita juga dalam posisi-posisi dilematis antara ajaran moral dengan realitas kehidupan. Mohon pencerahannya, terima kasih

    [Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]

Comments are closed.