Terbiasa menulis buku harian (diary) sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, kegiatan itu akhirnya terbawa hingga saya dewasa. Setelah berpacaran dan menikah, saya juga mempunyai sebuah diary khusus untuk menuliskan berbagai peristiwa penting dan kejadian-kejadian indah yang saya alami bersama pasangan hidup saya. Diary itu kami tulis berdua, bergantian, dan menjadi suatu sarana yang cukup membantu ketika relasi kami sedang tegang dan saya hanya bisa menumpahkan kekesalan atau uneg-uneg saya kepada suami di dalam diary berdua itu. Ketika suasana mulai membaik, apa yang saling kami tuliskan di sana menjadi bahan refleksi dan evaluasi berdua agar argumentasi atau kemarahan yang terjadi di antara kami tidak terulang kembali di masa datang. Itu adalah satu dari banyak kebaikan mempunyai sebuah diary berdua yang diisi bersama, baik secara sendiri-sendiri atau sambil duduk santai berdua melewatkan waktu luang di malam yang tenang. Demikian juga kenangan manis dari cuplikan ragam peristiwa, ribuan kata, dan serbaneka perbuatan, yang telah membuat hari-hari kami berdua sungguh berwarna, dapat sewaktu-waktu kami baca kembali. Efek menghangatkan hati dari peristiwa itu lantas dapat kami alami lagi kapan pun kami membaca kembali tulisan kami di sana, sekalipun peristiwanya sudah lama berlalu. Sebaliknya, peristiwa pahit dan kesalahpahaman menjadi pelajaran berharga. Diary cinta kami itu menjadi sebuah pengingat yang manis, betapa berharganya karunia Tuhan kepada manusia dalam sebuah kehidupan berbagi, yang disebut dengan pernikahan.
Ternyata sangat membangun dan mengasyikkan untuk juga mempunyai sebuah buku harian / jurnal yang mencatat hubungan kasihku sehari-hari dengan Tuhan, yang telah menciptakan aku karena kasih, dan dengan kasih yang besar memeliharaku setiap hari di dunia ini. Kalaupun kita bukan orang yang gemar menulis buku harian (atau mungkin bahkan tidak gemar menulis apa-apa sama sekali), kisah kasih sehari-hari yang dialami karena kasih Tuhan dan di dalam kasihNya, sungguh layak dan berharga untuk dicatat dalam hati, dikenang, diapresiasi, dan dievaluasi. Sesungguhnya Bunda Maria adalah pribadi yang menginspirasi kita untuk melakukan hal ini, karena beliau menyimpan (atau sebetulnya dengan kata lain, mencatat) dan merenungkan di dalam hatinya semua peristiwa mencengangkan yang dialaminya bersama Yesus dan karena Yesus, sejak Dia hadir dalam rahimnya oleh kuasa Roh Kudus (bdk. Luk 2:19). Semua peristiwa bersama Tuhan dan di dalam Tuhan adalah peristiwa iman. Peristiwa iman adalah cerminan kepercayaan kita kepada Allah Yang Maha Bisa, yang Maha Hadir, dan Maha Peduli, di dalam kehidupan manusia dan dunia ini.
Ketika banyak dari manusia jaman ini mempertanyakan apakah Tuhan ada dan di mana Dia, (terutama saat manusia sedang menghadapi kesukaran dan penderitaan), maka bagi saya sebuah diary bersama Tuhan menuliskan bagaimana Ia memelihara kita, menceritakan pada kita bahwa Ia adalah Allah yang hidup dan aktif, Allah yang sangat baik, yang sangat mengasihi kita, selalu memperhatikan dan mencukupkan segala sesuatu yang kita perlukan, dari hal yang terkecil. Mencatat dinamika perjalanan iman dan naik turunnya kehidupan doa kita menjadi bagian dari relasi kita dengan Tuhan. Di dalam mencatat segala peristiwa yang saya imani dan rasakan sebagai bukti penyertaan Tuhan, saya belajar untuk peka dan menghargai apa yang sudah Tuhan karuniakan pada saya karena kasihNya, yang biasanya saya anggap sebagai sebuah rutinitas saja (sudah seharusnya). Misalnya menulis tentang hangatnya matahari pagi, bahwa saya masih bisa bangun setiap pagi untuk menjalani kehidupan, bahwa saya dikelilingi orang-orang terkasih yang selalu mendampingi saya.
Membuka kembali catatan harian tentang penyertaan dan keterlibatan Allah dalam hidup, membuat kita dapat berseru dalam hati kita seperti murid yang dikasihi saat mengenali Tuhan dalam karyaNya yang ajaib, ketika jala mereka hampir koyak karena penuhnya ikan, “Itu Tuhan !” (lih.Yoh 21:7)
Catatan saya memperlihatkan, ketika saya berseru padaNya dengan penuh keprihatinan terhadap sebuah masalah, lewat cara yang unik Tuhan memberikan saya penghiburan lewat suatu peristiwa kecil. Di lain waktu, saya terluka oleh perbuatan seseorang, saya mengeluh kepada Tuhan bahwa saya merasa berat untuk bisa mengampuni perbuatan itu. Tetapi lantas saya mengalami beberapa rangkaian kejadian yang memampukan saya mengampuni kesalahan itu, bahkan disadarkan bahwa sebenarnya saya juga bersalah. Saya mencatat bahwa kadang jawabanNya datang sesederhana saat membaca sebuah email, atau saat melihat potongan suatu acara di TV. Kadang juga bertahap dan lewat sebuah proses. Sangat sering terjadi ketika sedang membaca Kitab Suci. Saat membaca Kitab Suci, ternyata pergumulan pada hari itu saya temukan jawabannya secara langsung dari bacaan Kitab Suci yang saya baca pada hari yang sama. Dalam mengimani penyertaan Tuhan, kita meyakini bahwa bagi orang beriman, tidak ada hal yang kebetulan. Karena kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Rm 8:28)
Ada lagi yang menarik ketika ada catatan peristiwa yang cukup lama menjadi pergumulan saya. Suatu hari pada saat saya menulis lagi, saya baru menyadari bahwa hal yang saya gumulkan itu saat itu sudah menjadi jauh lebih baik. Itu adalah ketika saya baru menyadari bahwa Tuhan ternyata sudah menjawab doa saya. Memang jawaban doa itu kadang tidak datang dalam bentuk seperti yang saya bayangkan, cara yang tidak saya duga sama sekali, tetapi yang jelas bahwa pergumulan itu akhirnya beres. Hal itu membuat saya makin mengagumi kebijaksanaan dan kuasaNya.
Catatan harian saya menunjukkan bahwa Tuhan selalu bekerja untuk kebaikan kita, selalu menolong dan menumbuhkan, kadang dengan cara yang sangat halus dan kompleks, sampai saya tidak menyadarinya. Diary bersamaNya membuat saya terkagum-kagum atas prosesNya yang unik dan kreatif, namun sangat berhasil guna dan membuka kemungkinan baru yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Misalnya tercantum catatan ketika rasanya doa saya belum juga dijawab, ternyata jawaban itu hanya sedang ditundaNya, supaya Dia bisa memberi yang lebih baik dan lebih mendewasakan saya. Ia juga bekerja dalam diri orang-orang di sekitar saya, baik dalam diri orang-orang yang sulit, maupun orang-orang yang selalu menunjukkan kasih. Dia membentuk kami semua lewat pergumulan hidup bersama. Saya melihat perubahan indah dari sesama saya yang disentuhNya. Dan saya melihat perubahan diri saya sendiri juga. Lewat konflik dengan sesama, Tuhan mengingatkan saya, menegur saya. Lewat jawaban doa yang ditundaNya, Dia membentuk saya. Demikianlah catatan itu memungkinkan saya mengikuti proses pekerjaanNya yang penuh kerahiman dan cinta.
Saya merenungkan, dengan pengetahuan dan kebijaksanaan saya yang begitu terbatas dan sempit, saya menyampaikan doa dan mengadukan keluhan saya padaNya. Namun karena Tuhan begitu Maha Tahu dan kebijaksanaanNya begitu luas, Ia menjawab doa saya dengan kekayaan kearifan yang tak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Sampai hari ini saya masih berproses dalam belajar mengenali jalan-jalanNya yang kaya dan bijaksana. Buku harian itu membuka mata saya sekali lagi akan kebesaran Tuhan, dan bagi saya, petualangan bersamaNya selalu seru, indah, mendatangkan sukacita, walau kadang penuh kejutan.
Satu ketika ada rasa malu dan sesal juga, ketika doa-doa yang sudah dijawab dengan indah oleh Tuhan, ternyata lupa tidak saya apresiasi dengan khusus sebagaimana seharusnya, karena saat doa itu dijawabNya, saya sudah tidak lagi memprioritaskan masalah itu lagi, atau karena saya terlalu sibuk dengan urusan-urusan saya sendiri. Demikian catatan harian itu mengingatkan saya agar tidak menjadi seperti sembilan orang kusta yang tidak lagi datang untuk berterima kasih kepada Tuhan Yesus setelah mengalami hadiah kesembuhan yang ajaib dariNya.
Memang bagi saya yang tergolong mudah lupa, jika berbagai peristiwa iman yang umumnya halus itu dibiarkan berlalu tanpa apresiasi, besar kemungkinan kesan itu akan tergerus kesibukan sehari-hari dan kemudian terlupakan. Saya merasakan bahwa iman yang bertumbuh dan akhirnya berbuah adalah iman yang terus dipupuk, di mana semua pengalaman jatuh bangun kita dalam beriman kepada Tuhan dikenali, ditandai, diingat, dievaluasi, dan dipelajari. Semua itu melahirkan rasa syukur atas belas kasih Allah yang multi dimensional dan pemeliharaanNya yang tiada henti. Rasa syukur yang dalam itu memungkinkan kita berbuah bagi Tuhan dan semakin terpacu untuk meninggalkan kedosaan kita, supaya kita senantiasa berada dalam perkenanan Tuhan dan selalu bersama-sama dengan Dia dalam segala sesuatu.
Lain waktu saya menemukan catatan mengenai betapa gembiranya hati saya saat sedang berada di tengah saudara seiman, untuk memuji namaNya yang kudus dan merenungkan karya-karyaNya yang agung. Saya menyadari kemudian bahwa rasa damai dan gembira itu sebenarnya adalah karunia Tuhan sendiri, yang merespon puji-pujian yang menyukakan hatiNya dengan melimpahkan sukacita dan damai sejahtera dalam hati saya dan teman-teman seiman.
Lagi yang membuat saya merasa kagum dan terharu, betapa Tuhan selalu menyediakan apa yang saya perlukan, bahkan sebelum saya sempat memintanya secara khusus, dan lebih jauh lagi, bahkan sebelum saya menyadari bahwa saya memerlukan hal itu. Ternyata Dia sudah menyediakan, yang amat baik, yang terbaik untuk saya. Sebaliknya, saya belajar bahwa kerinduan yang tidak atau mungkin belum dikabulkanNya, karena itu adalah kerinduan yang didorong oleh keinginan duniawi saya, dan bukan yang benar-benar saya perlukan untuk bertumbuh dalam iman dan kasih. Di situ saya belajar menyelaraskan permohonan doa saya dengan apa yang saya imani sebagai yang menyukakan hati Tuhan, yang sesuai dengan kehendakNya, dan bukan hanya keinginan saya. Ini adalah proses panjang yang tidak ringan, di mana kita memerlukan banyak doa dan bimbingan Sabda Tuhan untuk membentuk kita sedemikian sehingga keinginan-keinginan kita menjadi selaras dengan keinginan Tuhan sendiri. Doa bersama Bunda Maria yang selalu mendahulukan kehendak Allah sangat membantu dalam perjuangan ini.
Mencatat (atau khusus mengingat) pengalaman hidup di mana kita merasakan Tuhan hadir dan berkarya, membuat Tuhan bagaikan seorang sahabat yang nyata, yang selalu hadir menyertai kita, bukan lagi sosok yang jauh dan serba misteri. Ia adalah Tuhan yang hidup dan dekat, Ia bergembira bersama kita, bersedih bersama duka lara kita. Di akhir hari, saat saya mencatat pengalaman saya di hari itu bersamaNya, teringat oleh saya ayat dari Roma 12:2 ini, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Diary saya bersama Tuhan menolong saya mengalami karya-karyaNya yang nyata, menemani saya mengintrospeksi diri, terus belajar melakukan apa yang baik dan berkenan kepadaNya sebagai tanda cinta saya kepadaNya, dan mengalami cintaNya lebih dalam lagi. (Triastuti)
Meskipun sudah terasa sejak membaca awal tulisan ini, namun baru setelah selesai membaca seluruh tulisan dan melihat nama penulisnya, baru “ngeh” saya bahwa sudah seharusnya saya tahu sekali siapa dia. Terima kasih.
Saya ingin berbagi secuil pengalaman bahwa sampai beberapa tahun yang lalu, saya dan istri, pernah melakukan hal serupa, saling menulis apa yang dikenal sebagai “surat cinta”. Dapat ditebak itu memang kami peroleh dari acara akhir pekan (weekend) yang diselenggarakan oleh ME (Marriage Encounter) yang kami ikuti lebih dari 30 tahun yang lalu. Dari judulnya dapat diduga bahwa, berbeda dari yang disharingkan di atas, surat cinta model ME itu dijadikan pola komunikasi suami-istri sebagai salah satu usaha untuk mengungkapkan segala sesuatu yang dirasa berguna untuk memelihara dan memupuk komunikasi yang sehat. Dengan ditulis dimaksudkan agar segala sesuatu yang akan dikomunikasikan dapat dituangkan secara lebih bebas dan tuntas, tidak diganggu dengan tanggapan sesaat dari pasangan yang dapat dengan mudah menyulut reaksi yang dapat menjurus ke saling tanggap. Tanggapan apapun dari pasangan yang menerima ungkapan tertulis, diharapkan menuliskan pula tanggapannya. Baru bila sudah keduanya saling mengungkapkan dan masing-masing telah selesai membaca, dilakukan dialog berdua untuk memahami dan menyikapi masalah yang saling dikomunikasikan.
Kini setelah sekian lama berlalu, kebiasaan itu sudah kami tinggalkan. Namun praktek yang kami peroleh dari weekend ME itu rasanya sudah berlanjut dengan dialog langsung, di sana-sini dengan “kepandaian” untuk saling mendengarkan dan mengungkapkan secara langusng. Tidak mudah namun rasanya banyak membantu. Apalagi memang sudah sama-sama berumur. Bagaimanapun faktor usia juga menentukan mulus tidaknya bagaimana suami istri berkomunikasi sehari-hari,
Terima kasih untuk tulisan yang ternyata sudah megingatkan betapa pentingnya komunikasi suami istri, berapapun usia perkawinan kita.
Syalom.
Wur & Nardi
Artikel yg menyentuh hati, patut ditiru kebiasaan menulis diary.
Mba Uti..
Artikel yang bagus..
Kucoba ya.. setiap hari nulis diary bareng ma Om Je..
Ya lumayan pelan pelan isa tetap membuat bisa bersyukur, atas penyelenggaraanNya hari ini. Ditengah duka lara yang kita hadapi, Dia setia dan hadir selalu didalam hidup kita.
Thanks idenya. Cerdas dan sangat bermanfaat..
Syaloom
-widihandoyo-
Comments are closed.