Seandainya dunia mendengarkan seruan Familiaris Consortio …
Ibarat kapal yang diterjang badai di lautan, dunia saat ini diguncang badai kemerosotan nilai-nilai moral. Bahaya ini juga mengancam keluarga-keluarga, termasuk keluarga-keluarga Katolik. Sebenarnya 30 tahun yang lalu, Gereja Katolik, melalui Anjuran Apostolik – Familiaris Consortio (tentang Peranan keluarga Kristiani dalam dunia modern), telah memberikan arahan agar keluarga-keluarga Katolik dapat bertahan terhadap ancaman kemerosotan moral, dengan menjadikannya sarana untuk menguduskan para anggotanya. Dengan demikian keluarga dapat bertahan terhadap badai kehidupan dunia ini, yang cenderung merendahkan tujuan perkawinan dan keluarga. Namun, sayangnya seruan Familiaris Consortio kurang terdengar atau kurang didengarkan, sehingga banyak pasangan suami istri yang memasuki hidup perkawinan tanpa memahami makna perkawinan yang sesungguhnya. Inilah sebabnya ada banyak perkawinan Katolik yang gagal, atau kandas di tengah jalan. Sudah saatnya kita mendengarkan seruan Familiaris Consortio, sehingga keluarga dapat dibangun di atas dasar yang kuat, yaitu atas dasar cinta kasih seturut kehendak Tuhan.
Manusia diciptakan untuk cinta
Kita mungkin sudah terbiasa mendengar lirik lagu- lagu roman anak muda yang mengatakan, “Manusia diciptakan untuk cinta.” Tetapi menjadi luar biasa ketika kita mendengar pernyataan yang serupa, diajarkan oleh seorang Paus. Tahu apa Paus tentang cinta, wong dia sendiri tidak menikah?, demikian mungkin ada orang bertanya- tanya. Tetapi jika kita sudah membaca ajarannya dalam Familiaris Consortio, yang sebentar lagi kita peringati 30 tahun sejak diterbitkannya, maka kita akan tertunduk kagum dan mengakui kedalaman maksud pengajaran Bapa Paus itu. Sebab cinta yang dimaksudkannya di sini bukan cinta picisan yang sifatnya sementara, ataupun cinta roman yang dapat berubah- ubah sesuai perasaan hati. Cinta di sini maksudnya adalah cinta sejati, seperti yang dicontohkan oleh Allah sendiri, melalui Yesus Kristus Putera-Nya kepada kita manusia. Setiap dari kita dipanggil Allah untuk mengikuti teladan cinta Kristus itu, yaitu: memberikan diri kita kepada Tuhan dan sesama. Dan bentuk pemberian diri antara seorang pria dan seorang wanita itulah yang nyata terjadi di dalam perkawinan Kristiani. Hanya dengan hidup dalam cinta sejati seperti yang direncanakan Allah itulah, suami istri dapat mencapai kebahagiaan sejati yang mereka cita- citakan dalam hidup perkawinan mereka. Wow, betapa indahnya! Mungkin sudah saatnya kita menyimak pengajaran Bapa Paus ini, seperti anak- anak mendengarkan pengajaran dari sang ayah, tentang bagaimana sebenarnya agar kita dapat hidup berbahagia dalam cinta sejati seperti yang dikehendaki Allah…
Mengapa rencana Allah tentang perkawinan dan keluarga harus diwartakan?
Perkawinan dan keluarga tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Baik perkawinan maupun keluarga yang dibentuk olehnya mengandung nilai- nilai yang sangat berharga tentang manusia itu sendiri, karena di dalamnya manusia lahir, bertumbuh dan hidup di dalam cinta kasih. Oleh sebab itu, Gereja menyampaikan makna yang sesungguhnya tentang perkawinan dan keluarga, kepada mereka yang terpanggil untuk hidup berkeluarga, agar mereka dapat memahami keindahan dan keagungan panggilan hidup untuk mencintai dan untuk menghargai rahmat kehidupan ini. ((lihat Paus Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik, Familiaris Consortio, selanjutnya disebut FC 1)). Ini adalah Kabar Gembira yang harus diwartakan oleh Gereja, sebab jika rencana Tuhan akan perkawinan dan keluarga diwartakan maka kita manusia dapat berkembang seperti rencana Allah, dan semua umat Allah dapat diperbaharui. ((lih. FC 3))
Masalahnya sekarang, dunia sedang sakit. Walaupun kita melihat adanya tanda- tanda di mana manusia menanggapi rencana keselamatan Allah, tetapi di saat yang sama kita melihat adanya banyak orang yang menolak rencana Allah dan memilih jalannya sendiri. Ini kita lihat juga di dalam kehidupan perkawinan dan keluarga. Dewasa ini, ada banyak perceraian, atau kalaupun tidak bercerai, ada banyak pasangan suami istri tidak memahami bagaimana seharusnya menghargai satu sama lain, ada kesalahpahaman tentang konsep otoritas orang tua terhadap anak, ada masalah dalam pendidikan anak- anak, ada peningkatan jumlah aborsi, sterilisasi dan secara umum, mentalitas kontraseptif meningkat. Banyak orang di negara- negara berkembang seperti di Indonesia tidak mengetahui bahwa pemakaian alat kontrasepsi tidak sesuai dengan kehendak Allah, sebab kelihatannya diijinkan atau malah dianjurkan. Program KB yang digalakkan oleh pemerintah sepertinya sampai mematikan suara hati nurani, seolah pemakaian alat kontrasepsi adalah sesuatu yang wajar- wajar saja. Dalam kondisi ini, Paus Yohanes Paulus II mengajak agar sama- sama kita mendidik suara hati kita untuk menjadi semakin terbuka akan apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh Allah dalam hal ini. ((lih. FC 8))
Apakah yang diajarkan oleh Kristus tentang perkawinan dan keluarga?
Tuhan menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (Kej 1:26), artinya adalah Tuhan menciptakan manusia melalui kasih, dan Ia memanggil manusia untuk kasih, ((lih. FC 11)), karena Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8). Allah sendiri hidup di dalam persekutuan kasih, yaitu persekutuan Pribadi Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Oleh rencana Allah inilah, maka pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan dan tanggungjawab untuk mengasihi dan untuk hidup di dalam persekutuan kasih. Jadi panggilan untuk mengasihi adalah panggilan yang mendasar dan tertanam dalam setiap manusia. ((lih. FC 11))
Nah, untuk mengasihi, manusia tidak hanya melibatkan jiwa saja, tetapi juga tubuh, karena manusia diciptakan tidak saja terdiri dari jiwa, tetapi tubuh juga. Ini sesungguhnya mudah dipahami, sebab dalam keseharian kita, semua ungkapan kasih selalu melibatkan tubuh untuk menyampaikannya. Bukankah kalau kita mengatakan kata, “Aku mengasihimu” melibatkan mulut? Atau kalau kita membelai, kita melibatkan tangan? Bayangkan kalau tidak ada tubuh yang terlibat, alangkah seramnya! Jadi, kasih selalu melibatkan tubuh dan jiwa, atau lebih tepatnya, tubuh turut mengambil bagian dalam kasih yang rohani. Bahkan pada saat kita berdoa dan memuji Tuhan sekalipun, kita melibatkan tubuh kita. Dengan pengertian inilah kita semakin memahami makna panggilan untuk mengasihi, baik dalam kehidupan perkawinan, maupun kehidupan selibat, sebab pemberian diri kita tidak hanya melibatkan jiwa, tetapi juga tubuh kita. Demikian juga, makna kasih tidak terbatas hanya kepada sesuatu yang bersifat biologis, tetapi keseluruhan diri manusia. Pemberian diri ini, yang dinyatakan dalam kehidupan keluarga ataupun selibat, sifatnya menyeluruh dan menyangkut komitmen seumur hidup, sebab jika tidak, namanya bukan cinta yang total. ((lih. Ibid. 11))
Cinta yang total ini secara khusus dieskpresikan dalam hal hubungan suami istri. Cinta yang semacam ini mensyaratkan hubungan antara seorang pria dan seorang wanita saja, tidak ada yang lain, sebab jika tidak, maka kasih antara keduanya menjadi tidak total, melainkan terbagi. Di sini menjadi sangat relevan untuk membandingkan perkawinan dengan persekutuan kasih antara Tuhan dan umat pilihan-Nya ((lih. FC 12)), yang digenapi secara sempurna dalam persekutuan kasih antara Tuhan Yesus dengan Gereja-Nya ((lih. FC 13)), yang bersifat total, esklusif dan tak terceraikan. Allah selalu setia kepada umat pilihan-Nya, tak peduli berapa kali umat-Nya tidak setia kepada-Nya. Demikian pula Kristus terhadap Gereja-Nya. Kristus hanya mempunyai satu Mempelai, yaitu Gereja yang didirikan-Nya, dan kepada Gereja-Nya inilah Yesus menyerahkan nyawa-Nya untuk menguduskannya. Hai para suami, pandanglah salib Kristus dan temukanlah makna panggilan anda yang sesungguhnya: yaitu mengasihi istrimu sampai kepada tahap menyerahkan dirimu seutuhnya kepadanya. Sudahkah demikian? Atau juga para istri, sudahkah tunduk kepada suamimu di dalam Tuhan, sama seperti Gereja tunduk terhadap Kristus? Sebab jika Kristus yang menjadi fokus perhatian pasangan suami istri, maka berkuranglah kemungkinan keduanya saling menuntut, saling menyalahkan dan menyakiti, ataupun mau menangnya sendiri. Sebaliknya suami istri dapat lebih saling memahami dan menghormati satu sama lain, sebab mereka menyadari bahwa Tuhan Yesus hadir di dalam diri pasangan mereka. Mereka mempunyai motivasi yang kuat untuk mengasihi, demi Kristus yang telah terlebih dahulu menyerahkan diri bagi mereka di kayu salib.
Hubungan suami istri: sakral di mata Tuhan
Mungkin ada banyak pasangan menyangka bahwa Tuhan tak punya kepentingan apapun di tempat tidur, sehingga kurang lebih inilah yang ada di benak mereka, “Tuhan pimpinlah aku di manapun aku berada, kecuali di tempat tidurku, sebab itu adalah urusanku sendiri….” Tetapi ternyata, justru Tuhan mempunyai perhatian di dalam setiap jengkal kehidupan pasangan suami istri, dan ya, termasuk di tempat tidur. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa hubungan seksual suami istri bahkan merupakan puncak hubungan kasih di mana pasangan suami istri mengambil bagian dalam kasih Kristus yang menyerahkan Diri-Nya bagi Gereja-Nya di kayu salib. Sebab melalui pemberian diri Kristus itu, Gereja dibawa ke dalam persatuan yang tak terpisahkan dengan-Nya: keduanya menjadi satu daging, dan menjadi satu Roh. ((lih. FC 13)) Maka persatuan suami istri merupakan persatuan yang tidak sekedar persekutuan jasmani, tetapi juga perasaan dan kehendak, sehati dan sejiwa. Kesatuan semacam ini menuntut kasih yang total, tak terceraikan, setia, saling memberikan diri, dan terbuka terhadap kelahiran. ((lih. Paus Paulus VI, surat ensiklik Humanae Vitae, 9))
Maka pasangan suami istri yang telah dibaptis merupakan tanda yang tetap tentang pengorbanan Kristus di kayu salib. Karena itu, perkawinan suami istri adalah sakramen, artinya suami menjadi tanda kehadiran Kristus bagi istrinya, demikian pula istri kepada suaminya. Kalau dalam pembaptisan, kehadiran Kristus ditandai dengan air, dan pada Krisma, tandanya adalah minyak suci; maka di dalam sakramen Perkawinan, tanda kehadiran Kristus adalah pasangan suami istri itu sendiri. Sekarang pertanyaannya adalah: sudahkah hal ini diterapkan oleh pasangan suami istri, terutama jika salah satu di antaranya sedang sakit, bersedih, lelah, atau marah? Apakah dalam kondisi itu pasangan akan membawa ketenangan, dan karenanya menghadirkan Kristus, ataukah sebaliknya?
Di dalam perkawinan Kristiani, suami istri tidak saja dipanggil untuk menjadi saksi iman bagi pasangannya, tetapi juga bagi anak- anaknya, tentang karya keselamatan Kristus sebab mereka mengambil bagian di dalamnya. Untuk maksud inilah maka Allah sendiri memberikan rahmat-Nya kepada pasangan suami istri dalam sakramen perkawinan, agar mereka memperoleh kekuatan yang dari Tuhan sendiri untuk mengambil bagian dalam rencana keselamatan Allah. Paus mengajarkan bahwa sakramen perkawinan memberi rahmat dalam tiga hal: yaitu rahmat untuk mengenang karya Allah yang terbesar yang dinyatakan dengan pengorbanan Kristus, rahmat untuk mewujudkan kasih kepada pasangan dan anak- anak, dan rahmat untuk memberi kesaksian tentang pengharapan akan persekutuan sempurna dengan Kristus di surga kelak. ((lih. FC 13))
Rahmat sakramen ini menguduskan hubungan suami istri, dan menjadikannya sungguh bermakna. Penghormatan akan dalamnya makna hubungan suami istri akan membuat kita semakin memahami makna selibat bagi Kerajaan Allah. Sebab kalau yang dikorbankan adalah sesuatu yang tidak berharga, maka tidak adalah artinya pengorbanan itu. Tetapi jika yang dikorbankan adalah sesuatu yang sangat berharga, demi panggilan mewartakan Kerajaan Allah dengan lebih total, maka besarlah makna pengorbanan yang dilakukan oleh para imam, bruder dan suster. Mereka menggambarkan realita Kerajaan Allah di Surga di kehidupan kita di dunia ini, karena manusia memberikan diri-Nya sepenuhnya kepada Allah. ((lih. FC 16))
Anak adalah berkat
Menurut rencana Allah, selain untuk kebahagiaan suami istri, perkawinan ditujukan untuk perkembangbiakan manusia dan pendidikan anak- anak di mana mereka menemukan mahkotanya ((lih. Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes 50, FC 14)). Dalam kasih suami istri itulah pengenalan suami istri mencapai puncaknya sehingga mereka menjadi satu daging, dan layak menerima karunia yang terbesar, yaitu turut ambil bagian dalam karya penciptaan Allah, dengan memberikan kehidupan kepada seseorang manusia yang baru. Dengan kelahiran anak, maka pasangan suami istri dipanggil untuk menjadi orang tua bagi anaknya, dan untuk menjadi tanda yang kelihatan akan kasih Allah bagi anak- anak mereka. ((lih. FC 14)) Namun demikian, jika pasangan tidak dikaruniai anak, tidak berarti bahwa hubungan suami istri menjadi kehilangan makna, sebab kondisi tersebut dapat menjadi kesempatan untuk melayani kehidupan sesama, seperti melalui adopsi, kegiatan- kegiatan gerejawi, pelayanan bagi keluarga- keluarga lain ataupun kepada kaum miskin. ((Ibid.))
Makna dan peran Keluarga
Rencana Allah tidak saja menyingkapkan makna keluarga tetapi juga perannya, yaitu apa yang harus dilakukannya. Untuk mengatahui hal ini, kita melihat kembali ke masa Penciptaan, di mana manusia diciptakan karena kasih Allah, di dalam kasih Allah dan di dalam keserupaan dengan Allah. Oleh karena itu, keluarga adalah persekutuan kasih dan persekutuan kehidupan, yang tugasnya adalah menjaga, menyatakan dan menyampaikan kasih –baik kepada sesama anggota keluarga maupun kepada masyarakat sekitarnya– dan dengan demikian menjadi gambaran akan kasih Allah kepada umat manusia dan kasih Kristus kepada Gereja-Nya. ((lih. FC 17))
Berpijak pada makna ini maka Sinoda para Uskup pada tanggal 25-26 Oktober 1980 menyebutkan ada empat tugas keluarga secara umum, yaitu: membentuk persekutuan , melayani kehidupan, mengambil bagian dalam perkembangan masyarakat, dan mengambil bagian dalam kehidupan dan misi Gereja.
Keluarga sebagai persekutuan yang tak terceraikan
Keluarga adalah persekutuan orang- orang atas dasar cinta kasih. Tanpa cinta, keluarga tidak dapat hidup dan berkembang. Berikut ini adalah pernyataan tentang cinta dari Paus Yohanes Paulus II yang ditulisnya dalam surat ensikliknya yang pertama:
“Manusia tak dapat hidup tanpa cinta. Ia tetap menjadi sosok yang tidak dapat dipahami oleh dirinya sendiri, dan hidupnya tidak berarti, jika cinta tidak dinyatakan kepadanya, jika ia tidak mengenal cinta, jika ia tidak mengalaminya dan menjadikannya sebagai miliknya, jika ia tidak mengambil bagian di dalamnya.” ((Yohanes Paulus II, surat ensiklik Redemptor Hominis, 10))
Nah, dalam keluarga, cinta yang dimaksud adalah cinta antara suami dan istri, dan cinta antara setiap anggota keluarga, antara orang tua dan anak, antara kakak dan adik, dan cinta inilah yang menjadi jiwa bagi persekutuan itu. Cinta antara suami dan istri yang mengawali terbentuknya keluarga ini adalah cinta yang tak terpisahkan, sebab mereka dipanggil untuk “menjadi satu tubuh”. Artinya adalah, suami istri saling memberikan diri secara total, dan persatuan ini harus semakin diperkaya tiap- tiap hari. Persatuan yang dimaksud tidak saja bersifat badani, tetapi juga dalam hal karakter, hati, pikiran, kehendak dan jiwa. ((lih. FC 19)) Artinya, suami istri dapat saling melengkapi, saling menginginkan hal- hal yang menyenangkan hati pasangannya; tidak mempunyai ‘hobby‘ berselisih paham, melainkan selalu berusaha memahami kehendak pasangan. Alangkah indahnya jika setiap pasangan suami istri dapat mencapai kesatuan yang saling melengkapi sedemikian rupa!
Tuhan menghendaki agar kesatuan antara suami dan istri ini tidak terceraikan, karena perkawinan merupakan tanda kesetiaan Allah kepada manusia dan kesetiaan Kristus kepada Gereja-Nya. Atau dengan kata lain: menjadi tanda kesetiaan cinta Allah kepada setiap orang. ((lih. FC 20)) Menjadi saksi akan kesetiaan perkawinan yang tak terceraikan ini adalah salah satu tugas pasangan Kristiani yang paling genting saat ini, di saat dunia dikaburkan oleh banyak pandangan yang menurunkan derajat perkawinan, seolah hanya pelampiasan keinginan jasmani semata. Jika pasangan suami istri dan anak- anak hidup dalam kasih yang total, maka keluarga menjadi gambaran nyata sebuah Gereja, sehingga tepatlah jika keluarga itu disebut sebagai Gereja kecil atau ecclesia domestica. ((lih. FC 49)) Sebab dengan menerapkan kasih seperti teladan Kristus, keluarga turut mengambil bagian di dalam hidup dan misi Gereja dalam membangun Kerajaan Allah.
Untuk membangun ikatan persekutuan dalam keluarga, para orang tua mengambil bagian dalam otoritas Tuhan dalam hal mendidik anak- anak, sedangkan anak- anak mempersembahkan ketaatan kepada orang tua, atas dasar kasih. ((lih. FC 21)) Sedangkan untuk mempertahankan persekutuan keluarga diperlukan pengorbanan dari setiap anggota keluarga. Pengorbanan ini maksudnya adalah kesiapsediaan untuk saling memahami, saling menanggung beban, dan saling memafkan. Di dalam keluargalah anak- anak pertama kali belajar untuk meminta maaf dan memberi maaf, agar kedua hal itu tidak menjadi sesuatu yang sangat “mahal dan sulit” untuk dilakukan ketika mereka menjadi dewasa. Bukankah salah satu pemicu perpisahan suami dan istri dalam keluarga adalah karena mereka sulit untuk memaafkan satu sama lain?
Maka benarlah bahwa ada banyak kebajikan yang harus diajarkan kepada anak- anak sejak dini, agar menjadi karakter bagi mereka. Untuk meneruskan nilai- nilai kebajikan yang baik kepada anak- anak memang diperlukan komitmen kedua orang tua, baik bapak sebagai kepala keluarga maupun ibu. Kondisi kedua orang tua yang terpaksa bekerja untuk mencari nafkah tidak meniadakan tugas keduanya untuk memperhatikan dan mendidik anak- anak. Tugas mendidik anak- anak ini bukan sesuatu yang sepele, sehingga bisa dialihkan kepada orang lain, sebab orang tua tetaplah adalah pendidik yang utama dalam keluarga. ((lih. Katekismus Gereja Katolik 1653, FC 36 ))
Seorang bapak mempunyai tugas sebagai suami dan ayah dalam keluarga, artinya ia harus melindungi istri dan anak- anaknya, sejak mulainya terbentuk janin di dalam kandungan istrinya, memperhatikan dan berkomitmen untuk mendidik anak- anak, bekerja mencari nafkah tanpa harus menyebabkan terbaginya perhatian ataupun berkurangnya cinta kepada keluarga. Adalah juga tugas seorang ayah untuk memberikan teladan hidup yang mengajarkan anak- anak tentang pengalaman yang hidup akan Kristus dan Gereja-Nya ((lih. FC 25)). Demikian pula ibu, sangatlah dianjurkan, jika tidak terpaksa karena keadaan ekonomi, agar tidak bekerja di luar rumah, karena dalam perkembangannya anak- anak membutuhkan pendampingan seorang ibu, yang tidak hanya mengurus hal antar jemput sekolah, tetapi lebih dari itu, membentuk karakter anak sesuai dengan iman Kristiani. Relevan disebutkan di sini adalah bahwa perhatian dan cinta kasih secara istimewa layak diberikan kepada anggota keluarga yang paling lemah, yaitu anak sejak dalam kandungan ibu, anak yang terkecil, yang sakit ataupun cacat ((lih. FC 26)) dan orang tua (oma/ opa) yang hidup dalam keluarga tersebut ((lih. FC 27)).
Keluarga yang melayani kehidupan artinya: terbuka terhadap penyaluran kehidupan
Sebenarnya, peran keluarga untuk melayani kehidupan berakar dari penciptaan manusia menurut gambaran dan rupa Allah, sehingga “Allah memanggil mereka untuk turut serta di dalam kuasa dan kasih-Nya sebagai Pencipta dan Bapa, melalui kerjasama yang bebas dan bertanggung jawab dalam meneruskan karunia kehidupan manusia: Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu…” ((Kej 1:28, lih. FC 28)). Dengan demikian tugas yang mendasar dari sebuah keluarga adalah untuk melayani kehidupan. ((lih. FC 28)) Oleh karena itu, kesuburan merupakan buah dan tanda kasih suami istri, yang menjadi kesaksian hidup bahwa suami dan istri telah saling memberikan diri secara penuh. Dengan cara pemberian diri yang total dan yang menghasilkan ‘buah’ inilah, pasangan suami istri bekerjasama dengan Allah dalam karya penciptaan-Nya untuk meluaskan keluarga-Nya. Namun kerjasama ini tidak hanya berhenti dengan melahirkan saja, tetapi juga mendidik anak- anak baik secara moral maupun spiritual, sehingga nantinya anak- anak juga dapat meneruskannya kepada dunia sekitar mereka.
Justru karena kasih suami istri itu mengambil bagian dalam misteri kehidupan dan kasih Allah, maka Gereja mempunyai tugas untuk melindungi martabat perkawinan dan tanggungjawabnya yang besar untuk meneruskan kehidupan ((lih. FC 29)). Gereja selalu menjunjung tinggi kehidupan manusia, walaupun lemah dan menderita, sebab dalam keadaan sedemikian sekalipun, kehidupan tetaplah merupakan karunia Allah. Maka Gereja mengecam segala bentuk pelanggaran terhadap martabat manusia, yang ditujukan untuk membatasi kemerdekaan pasangan untuk memutuskan perihal jumlah anak mereka. Akibatnya, “Kekerasan apapun seperti kontrasepsi, sterilisasi, dan aborsi harus sepenuhnya dikecam, dan dengan keras ditolak,” ((FC 30)) demikian Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, menegaskan kembali apa yang pernah disampaikan oleh Paus Paulus VI dalam Humanae Vitae 14.
Di tengah dunia yang cenderung merendahkan makna seksualitas manusia, Gereja Katolik terpanggil untuk menegaskan bahwa seksualitas adalah sebuah nilai dan tugas dari tiap- tiap orang secara keseluruhan; baik sebagai laki- laki ataupun perempuan, sebab keduanya diciptakan sesuai dengan gambaran Allah. ((lih. FC 32)) Untuk itu, kasih suami istri tidak terpisahkan dari penerusan kehidupan yang dilakukan secara bertanggungjawab. Namun prosedurnya tidak hanya tergantung dari maksud yang tulus ataupun dari penilaian pribadi atas maksud- maksud lainnya, melainkan harus kembali kepada ‘apa sebenarnya yang direncanakan oleh Allah sejak semula’. Dalam hal ini, Gereja menegaskan bahwa hubungan seksual suami istri pada dasarnya mempunyai dua makna yang tak terpisahkan, yaitu pertama, makna yang menyatukan (unitive) dan kedua, yang menghasilkan penyaluran kehidupan/ kesuburan (procreative). ((lih. HV 12, FC 32)) Pemisahan dari kedua makna ini, seperti pada penggunaan alat- alat kontrasepsi, akan merendahkan seksualitas manusia, dan juga diri suami istri sendiri, dengan mengubah makna ‘pemberian diri yang total/ sepenuhnya’; karena faktanya yang diberikan bukanlah diri yang sepenuhnya. Sepertinya ini mau mengatakan, “Aku memberikan diriku, tetapi tidak kesuburanku.” Pada penggunaan alat- alat kontrasepsi, pasangan menerima makna yang pertama (unitive) tetapi menolak makna yang kedua (procreative) dari hubungan suami istri; dan dengan demikian melakukan ‘manipulasi’ hubungan suami istri sehingga tidak sesuai dengan makna aslinya seperti yang direncanakan Allah sejak awal mula. Jika hal ini terus dilakukan, sesungguhnya pasangan suami istri mengambil resiko yang sangat besar yang dapat mengakibatkan keharmonisan hubungan mereka sendiri. Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya Humanae Vitae pernah ‘bernubuat’, bahwa jika kedua tujuan hubungan suami istri dipisahkan dengan penggunaan alat kontrasepsi, maka akan terjadi “naiknya angka perceraian dan ketidaksetiaan dalam perkawinan, serta pemerosotan moral, karena pasangan tidak terlatih untuk mengendalikan diri. Sebab dengan mental kontraseptif, pada akhirnya suami akan kehilangan respek terhadap istrinya, dan tidak lagi peduli dengan kesehatan fisik dan mental istri. Suami dapat cenderung menjadikan istri sebagai objek untuk pemuasan diri daripada menghormatinya sebagai pasangan yang terkasih.” ((Paus Paulus VI, Surat ensiklik, Humanae Vitae 17)). Betapa nubuat ini sekarang telah terpenuhi, setelah satu generasi telah berlalu dari saat dikeluarkannya surat ensiklik tersebut.
Ceritanya berbeda, jika yang dilakukan adalah perencanaan keluarga secara alamiah (KBA), karena dengan melakukan cara ini, pasangan tetap menghormati kesatuan makna unitive dan procreative dalam hubungan suami istri. Pelaksanaan KBA yang didasari atas pengamatan siklus kesuburan istri, mendorong suami dan istri untuk berdialog dan bersama- sama menerapkan tanggung jawab dan pengendalian diri. ((lih. FC 32)) Kerjasama suami dan istri dalam hal ini menempatkan keduanya pada tingkat martabat yang sama. Suami menerima dan menghormati keseluruhan pribadi istri sebagai subyek, bukan sebagai obyek pemuasan keinginan semata. Dengan demikian, seksualitas dipahami dalam artinya yang agung, sebab maksud utama pengadaannya dipertahankan, yaitu untuk mempersatukan suami dan istri, dan untuk mengambil bagian dalam misteri kehidupan dan kasih Allah yang dapat membuahkan kehidupan yang baru.
Gereja tidak menutup mata terhadap banyaknya tantangan ataupun kesulitan untuk menerapkan perencanaan KBA ini, oleh karena itu Gereja mendorong semua pihak untuk turut menyelesaikan masalah ini, tetapi tanpa mengkompromikan kebenaran. Sebab Gereja meyakini bahwa tidak ada pertentangan antara hal ‘meneruskan kehidupan’ (procreation) dengan menumbuhkan cinta sejati yang ‘mempersatukan suami istri’ (union). ((lih. FC 33)) Untuk melaksanakan hal ini, pasangan perlu menerapkan ketelatenan, kesabaran, kerendahan hati, kekuatan, dan kepercayaan penuh kepada Tuhan dengan mengandalkan rahmat-Nya, yang dapat diterima melalui doa- doa dan sakramen, terutama sakramen Ekaristi dan sakramen Tobat. ((Ibid. 33)) Sebab bukannya tidak mungkin, karena ketidaktahuan ataupun karena kegagalan, pasangan menerapkan perencanaan jumlah anak dengan cara yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja. Jika demikian, mereka perlu memohon pengampunan dan belas kasihan Allah dalam sakramen Tobat, agar selanjutnya mereka menerima rahmat untuk dapat melaksanakan kehendak Tuhan.
Maka, pasangan perlu mengetahui cara yang akurat untuk mengamati siklus kesuburan istri ((salah satunya adalah Metoda Creighton, yang dapat diperoleh informasinya di link https://katolisitas.org/2009/12/31/metoda-creighton-kb-alamiah-yang-cukup-akurat/ )) dan selanjutnya menerapkan pengendalian diri untuk menindaklanjuti siklus tersebut. Artinya suami istri berpantang hubungan seksual secara berkala yaitu pada masa subur istri, jika yang diinginkan adalah pembatasan jumlah anak. Walaupun nampaknya sulit, namun hal ini dapat dilakukan, dan bahkan fakta menunjukkan bahwa KBA berdampak positif bagi hubungan suami dan istri. Dengan KBA, hubungan suami istri dimurnikan dan dipererat, dan karenanya menyampaikan makna yang lebih tinggi dari pemahaman dunia. Di Amerika diadakan survey untuk mengetahui apakah ada hubungan antara penggunaan metoda KBA dengan tingkat perceraian, dan hasilnya menunjukkan bahwa tingkat perceraian berkisar antara 42-50 % pada pasangan yang menggunakan kontrasepsi, sedangkan pada pasangan yang melaksanakan KBA, tingkat perceraian berkisar jauh di bawahnya, antara 0.2% -5% ((menurut artikel yang ditulis oleh Steve Pokorny, Feb 09, 2011, Natural Family Planning, di link http://catholiclane.com/natural-family-planning-a-gift-from-god/)). Fakta ini tidaklah mengherankan, karena pelaksanaan KBA melibatkan kasih yang menyeluruh dan saling menghormati antara suami dan istri, sehingga tidak ada kecenderungan untuk menjadikan salah satu pihak sebagai obyek semata. KBA menjadi cara yang baik untuk melatih suami istri untuk tidak semata memikirkan diri sendiri, saling menghormati, dan secara mendalam menerapkan tanggung jawab dalam hubungan suami istri.
Tuhan menginginkan agar kita sebagai pasangan suami istri bertumbuh di dalam kekudusan, yang artinya membuat kemajuan dalam kehidupan moral. Artinya suami istri dipanggil untuk semakin mencerminkan kasih Kristus. Kristus telah memberikan teladan-Nya bahwa mengasihi tidak terlepas dari pengorbanan, maka kitapun perlu belajar menjadikan pengorbanan sebagai jalan menuju kebahagiaan kita, seperti Kristus yang mencapai kebangkitan-Nya lewat sengsara dan salib-Nya. ((FC 34))
Keluarga yang mendidik anak- anak
Karena orang tua sudah diikutsertakan Tuhan dalam proses penciptaan anak- anak mereka, maka selanjutnya orang tua juga mempunyai tugas untuk mendidik mereka. Maka orang tua menjadi “pendidik pertama dan utama bagi anak- anak mereka” (KGK 1653, lih. FC 36), dan peran ini tidak dapat digantikan dan tidak dapat sepenuhnya didelegasikan kepada orang lain. ((lih. FC 36)) Orang tua bertugas menciptakan suasana rumah tangga yang penuh kasih dan menghormati Tuhan dan orang lain, dan keluargalah yang menjadi sekolah pertama bagi anak- anak untuk mengajarkan bagaimana caranya hidup menjadi orang yang baik. ((Ibid.)) Dasar utama seluruh kegiatan pendidikan di dalam keluarga adalah cinta kasih orang tua, dan tujuannya adalah agar anak bisa lebih ‘pandai’ mengasihi.
Pertanyaannya sekarang, anak- anak perlu dididik apa supaya lebih pandai mengasihi? Paus Yohanes Paulus II menyebutkan bahwa orang tua harus mengajarkan kepada anak- anak tentang nilai- nilai dasar kehidupan manusia. Pertama adalah agar anak- anak menghargai setiap orang bukan dari apa yang ia miliki, melainkan untuk menghargai orang itu sebagai pribadi. Anak- anak juga perlu diajari tentang nilai- nilai keadilan dan kasih. Dalam hal ini anak- anak harus dapat belajar dari orang tuanya bagaimana memberi dengan suka cita. Di Dalam keluarga harus dipupuk keinginan untuk rela berkorban demi kebahagiaan orang lain, sebab pemberian yang tulus sedemikian bahkan akan melipatgandakan sukacita dan kebahagiaan bersama. Maka hidup saling berbagi dalam persekutuan harus menjadi kebiasaan sehari- hari dalam keluarga. ((lih. FC 37))
Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa pendidikan ini tidak terbatas pada mengajarkan anak- anak untuk menjadi orang yang baik, tetapi di atas semua itu, agar anak- anak memperoleh pengetahuan tentang keselamatan kekal, supaya mereka menjadi semakin sadar akan karunia iman yang mereka miliki. Anak- anak juga perlu belajar bagaimana menyembah Allah dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:23), di dalam upacara liturgi. ((lih. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis, 2)). Orang tua perlu menjelaskan makna sakramen- sakramen terutama Ekaristi/ Misa Kudus, agar anak- anak memiliki kerinduan untuk mengambil bagian di dalamnya. Ini hanya mungkin jika orang tua memahami terlebih dahulu akan makna Misa Kudus. Sebab laksana gelas yang baru bisa menumpahkan isinya, jika gelas itu berisi; demikian pula orang tua harus mempunyai penghayatan akan Misa Kudus terlebih dahulu, sebelum ia dapat membagikan penghayatan itu kepada anak- anaknya.
Maka dalam mendidik anak- anak, orang tua adalah pewarta Injil yang pertama kepada anak- anaknya, pertama- tama melalui teladan hidup, melalui doa bersama sebagai satu keluarga, dengan pembacaan sabda Tuhan, dan dengan memperkenalkan anak- anak kepada Gereja. ((FC 39)) Dalam hal ini orang tua tidak bekerja sendirian, namun dibantu juga oleh pihak sekolah, ataupun juga kelompok Bina Iman di paroki. Namun keberadaan sekolah dan Bina Iman ini tidak menggantikan peran orang tua dalam mengajarkan tentang iman kepada anak- anak mereka.
Hal yang tak kalah penting diajarkan kepada anak- anak adalah hal pendidikan seksualitas, walaupun ini harus disampaikan dengan hati- hati sesuai dengan umur mereka, dan dengan bekerja sama dengan para pendidik di sekolah. Maksudnya adalah agar anak- anak dapat memperoleh pengajaran yang benar tentang seksualitas, agar tidak menerima begitu saja pandangan publik yang umumnya menilai seks sebagai hal yang biasa, tidak sakral, karena hanya berkaitan dengan tubuh saja. Orang tua harus dengan berani mengajarkan makna seksualitas sesungguhnya, bahwa seksualitas berkaitan dengan keseluruhan pribadi seseorang yang terdiri dari tubuh, perasaan dan jiwa. Dalam hal ini, pendidikan tentang kemurnian adalah keharusan. Orang tua harus mengajarkan kepada anak- anaknya pentingnya menjaga kemurnian tubuh, agar mereka dapat berkembang dalam kedewasaan yang sesungguhnya dan mempunyai penghargaan terhadap makna yang mendalam tentang hubungan suami istri. ((Ibid.))
Akhirnya, keluarga juga dipanggil untuk menjadi penyalur kehidupan buat keluarga- keluarga yang lain, artinya, untuk juga berbagi berkat kepada sesama. Keluarga yang mampu mungkin dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi anak- anak dari keluarga yang tidak mampu, ((lih. FC 40)) menjadi bapak dan ibu asuh, baik bagi anak- anak yatim piatu, anak- anak cacat, tetapi juga bagi para calon imam. Pendeknya keluarga yang dipenuhi semangat kasih Allah itu sifatnya menyalurkan kasih itu ke luar batas- batas ikatan keluarganya sendiri, untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Inilah salah satu buah Roh Kudus yang dihasilkan oleh hubungan kasih di dalam keluarga yang memancarkan kehidupan.
Keluarga mengambil bagian di dalam perkembangan masyarakat
Tak bisa dipungkiri bahwa “keluarga merupakan sel pertama dan terpenting dalam masyarakat.” ((Konsili Vatikan II, tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem, 11)) Oleh karena itu, keluarga merupakan tempat asal dan sarana untuk mewujudkan masyarakat yang semakin manusiawi, yang di dalamnya nilai- nilai kebajikan dipelihara, dilaksanakan dan diteruskan ke generasi berikutnya ((lih. Konsili Vatikan II, tentang Gereja di Dunia Modern, Gaudium et Spes, 52)). Oleh karena itu, pembinaan keluarga menjadi penting, sebab keluarga yang baik menghasilkan masyarakat yang baik, demikian pula sebaliknya. Dalam konteks keluarga sebagai persekutuan kasih yang rela berbagi inilah Paus menghimbau agar keluarga mempunyai perhatian kepada keluarga- keluarga yang lain, terutama yang miskin dan yang membutuhkan pertolongan. ((lih. FC 44, 47))
Hidup di lingkungan yang tak pernah jauh dari sesama yang membutuhkan, kita selalu mempunyai banyak kesempatan untuk berbagi, sesuai dengan tema APP di tahun 2011 ini. Kesempatan berbagi itu dapat dimulai di rumah kita sendiri, mulai dari kerabat kita yang membutuhkan pertolongan, namun juga termasuk pembantu rumah tangga kita, sopir, satpam, tukang parkir, dan seterusnya, sehingga uluran tangan kita dapat mereka salurkan kepada keluarga mereka juga. Bapa Paus juga mengundang kita agar menganggap mereka “bukan sebagai orang luar, tetapi sebagai sesama anggota keluarga Allah”. ((lih. FC 41)) Dengan berbagi kepada sesama atas dasar kasih ini, kita melaksanakan misi kita sebagai murid- murid Kristus, yaitu dengan menggunakan harta milik kita untuk meluaskan Kerajaan Allah. Dan dengan semangat kesatuan sebagai satu keluarga Allah ini, kita menjadi saksi yang hidup bagi Kerajaan-Nya.
Keluarga mengambil bagian dalam Kehidupan Menggereja
Sebagaimana keluarga adalah sel masyarakat yang terpenting, demikian pula keluarga merupakan Gereja kecil atau “ecclesia domestica” yang menjadi gambaran hidup tentang misteri Gereja. ((lih. FC 49)) Gerejalah yang melahirkan keluarga- keluarga Kristiani, yang menyalurkan kepada mereka rahmat Allah yang menyelamatkan melalui sakramen- sakramennya. Gereja mendorong dan membimbing keluarga untuk menghayati panggilannya untuk hidup dalam kasih, agar dapat meneladani kasih pengorbanan Kristus yang diberikan kepada manusia. ((Ibid.)) Karena keluarga adalah bagian dari Gereja, maka keluarga juga mengambil bagian dalam misi Gereja untuk menyampaikan kasih Kristus kepada umat manusia.
Sesuai dengan tugas kita setelah dibaptis untuk mengambil bagian dalam misi Yesus Kristus sebagai Nabi, Imam dan Raja ((lih. KGK 783-786; lih. Paus Yohanes Paulus II, surat ensiklik Christifideles Laici, 14)), maka setiap keluarga Kristiani dipanggil Allah untuk turut mengambil bagian di dalam ketiga misi ini; yaitu sebagai komunitas umat yang percaya dan mewarta, sebagai komunitas yang berdialog dengan Tuhan, dan sebagai komunitas yang melayani sesama ((lih. FC 50)).
Keluarga sebagai komunitas umat yang percaya dan mewarta
Keluarga mengambil bagian dalam misi kenabian dengan mewartakan sabda Tuhan, dan karena itu menjadi komunitas yang semakin percaya dan semakin merasul, dengan menjadikan Injil sebagai gaya hidup di dalamnya. Hanya dengan ketaatan iman, dan dalam terang iman, maka keluarga dapat mamahami dan mengagumi dengan rasa syukur yang mendalam, tentang martabat perkawinan dan keluarga yang begitu luhur, karena Allah berkenan menjadikannya sebagai gambaran akan tanda perjanjian antara Allah dan manusia, antara Kristus dengan Gereja-Nya. ((lih. FC 51))
Maka proses persiapan perkawinan harusnya mengarah ke sana, yaitu mempersiapkan pasangan menerima panggilan hidup mereka untuk melayani Kerajaan Allah dalam status mereka sebagai suami istri. Tuhan yang memanggil mereka untuk memasuki perkawinan adalah Allah yang terus memanggil mereka untuk tetap setia di dalam perkawinan, dan dengan demikian pasangan suami istri mengambil bagian dalam kasih Kristus kepada Gereja-Nya. ((Ibid.)) Jika pasangan ini telah menerima Injil dan hidup di dalamnya, maka keluarga tersebut akan menjadi komunitas yang mewartakan Injil, di mana pesan- pesal Injil diteruskan dan memancar ke luar. ((lih. FC 52)) Keluarga menjadi saksi hidup tentang perjanjian kekal antara Kristus dengan Gereja-Nya yang dipenuhi sukacita kasih dan pengharapan. Dengan demikian, keluarga Kristiani mewartakan dengan lantang tentang Kerajaan Allah di masa sekarang dan pengharapan akan kehidupan yang terberkati di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, peran orang tua dalam mewartakan Injil kepada anak- anak mereka menjadi tidak tergantikan. Hal ini disampaikan dengan kasih, kesederhanaan, kepraktisan dan teladan hidup sehari- hari. ((lih. Paus Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik, Catechesi Tradendae, 68, FC 53)) Orang tua harus membantu anak- anak untuk menemukan panggilan hidup mereka, dengan menanamkan nilai- nilai luhur untuk melayani sesama saudara dengan kasih, melakukan tugas keseharian dengan kesetiaan, dan menyadari tentang keikutsertaan mereka dalam misteri pengorbanan Kristus. Hal ini tidak hanya dilakukan ketika anak- anak masih kecil tetapi terlebih di usia remaja, saat jiwa anak- anak mulai berontak atau kadang bahkan sampai menolak iman Kristiani yang telah mereka terima semasa kecil. Menghadapi hal ini, orang tua harus tetap teguh dan tenang, sambil menimba kekuatan dari persekutuan yang erat dengan sesama keluarga di paroki yang juga mengalami pengalaman serupa. ((lih. FC 53))
Misi pewartaan juga dapat dijalankan di dalam keluarga itu sendiri, terutama jika ada salah satu anggota keluarga yang belum mengenal Kristus, atau anggota keluarga yang tidak konsisten dalam menjalankan kewajibannya sebagai seorang Katolik. Dalam hal ini anggota yang Katolik harus memberikan teladan iman yang hidup kepada mereka agar mereka terdorong untuk sepenuhnya menerima Kristus sebagai Penyelamat mereka ((FC 54)), dan hidup sesuai ajaran-Nya. Selanjutnya, tak kalah pentingnya adalah, keluarga harus memupuk panggilan misionaris untuk mewartakan Injil di antara anak-anaknya, “dengan mengajarkan kepada mereka sejak usia dini tentang kasih Allah kepada semua orang.” ((Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Kerasulan Awam, Apostolica Actuositatem, 30))
Keluarga Kristiani sebagai Komunitas yang berdialog dengan Tuhan
“Pernyataan Injil dan penerimaannya di dalam iman mencapai puncaknya di dalam perayaan sakramen- sakramen.” ((FC 55)) Bermula dari sakramen perkawinan, keluarga Kristiani terus menerima rahmat dari Tuhan sendiri; dan dipanggil untuk melakukan dialog dengan Allah melalui sakramen-sakramen, melalui persembahan hidup masing- masing anggotanya, dan melalui doa- doa. Dengan cara inilah keluarga menjalankan tugas/ misi imamat bersama yang diterima saat Pembaptisan. Dengan rahmat Tuhan yang telah mereka terima, keluarga dipanggil untuk hidup kudus dan menguduskan komunitas gerejawi dan dunia sekitar mereka. ((Ibid.)), dan dengan demikian mengambil bagian dalam misi Kristus sebagai Imam yang menguduskan umat manusia. Sumber awal bagi pengudusan perkawinan Kristiani adalah sakramen perkawinan. ((lih. FC 56)) Dalam sakramen perkawinan, pasangan suami istri mengambil bagian dalam misteri Wafat dan Kebangkitan Kristus, di mana kasih suami istri dimurnikan dan dijadikan kudus oleh Allah: yaitu dengan saling menampakkan kasih setia dan pemberian diri yang tulus, sebagaimana Kristus telah mengasihi Gereja-Nya dengan setia dan menyerahkan Diri-Nya baginya. Oleh rahmat sakramen perkawinan, suami istri menerima karunia dan tanggungjawab untuk menerjemahkan kekudusan di dalam kehidupan sehari- hari, namun juga untuk mengubah kehidupan mereka menjadi “kurban rohani” bagi Tuhan ((Ibid.)) Bukankah itu pengorbanan, jika pasangan suami istri menaati kehendak Allah dengan melaksanakan KBA? Bukankah itu pengorbanan jika orang tua, walaupun mempunyai banyak kesibukan lainnya, tetapi tetap berkomitmen menyediakan waktu untuk berdoa bersama anak- anak, dan membacakan kisah- kisah Kitab Suci kepada mereka setiap malam menjelang tidur? Bukankah itu pengorbanan jika keluarga mendampingi juga keluarga lain yang sedang menghadapi masalah? Semua pengorbanan ini adalah cara yang dipakai Allah untuk menguduskan keluarga.
Maka peran keluarga untuk saling menguduskan mempunyai akarnya dari Pembaptisan, dan mencapai puncaknya dalam perayaan Ekaristi. Mengapa? Sebab perayaan Ekaristi menghadirkan kembali perjanjian antara Kristus dengan Gereja-Nya, yang dimeteraikan dengan darah-Nya. ((lih. Yoh 19:34; FC 57)) Di dalam kurban Kristus ini pasangan suami istri memperoleh rahmat dari sumbernya, dari mana perjanjian perkawinan mereka berasal, didirikan, dan terus menerus diperbaharui. Ekaristi memberikan kepada keluarga, karunia cinta kasih yang menjadi dasar dan jiwa bagi persekutuan keluarga dan misi yang diembannya. Di samping Ekaristi, Sakramen Tobat juga mengambil peran yang penting bagi pengudusan keluarga. ((lih. FC 58)) Adalah suatu permenungan bagi setiap keluarga, sejauh mana mereka telah melaksanakan hal- hal ini? Adakah orang tua setia mengajak anak- anak untuk mengikuti perayaan Ekaristi, sedikitnya setiap hari Minggu? Adakah orang tua mengadakan waktu untuk membantu anak- anak memeriksa batin mereka sebelum mengaku dosa dalam Sakramen Tobat? Atau jangan- jangan hal ini tidak dilakukan karena kedua orang tua bahkan tidak pernah, atau jarang sekali mengaku dosa?
Di atas semua itu, doa bersama sebagai satu keluarga merupakan sesuatu yang sangat penting, sebab dengan melaksakannya, firman Allah dalam Mat 18:19-20 tergenapi atas mereka, “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” Tak heran, Bunda Teresa mengajarkan, “Keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersama.” ((Mother Teresa’s Address to the United Nations, October 26, 1985: “For family that prays together stays together”)). Di dalam doa, keluarga bersatu hati dalam suka maupun duka, pengharapan maupun kekecewaan, kelahiran, ulang tahun, ulang tahun perkawinan, perpisahan, kedatangan kembali, ujian sekolah dan seterusnya. Berbagai kesempatan tersebut merupakan saat- saat untuk mengucapkan syukur, memohon dan memasrahkan semua anggota keluarga kepada Tuhan. Orang tua mempunyai peran yang sangat penting untuk mengajarkan anak- anak berdoa. Sudahkah ini dilakukan oleh para ibu dan ayah? Paus Paulus VI pernah mengatakan, “Para ibu, apakah engkau mengajarkan anak- anak doa- doa Kristiani? Apakah engkau bersama dengan para imam, mempersiapkan anak- anak untuk … sakramen- sakramen Pengakuan dosa, Komuni, dan Penguatan? Apakah ketika mereka sakit engkau mendorong mereka untuk merenungkan penderitaan Kristus, untuk memohon pertolongan dari Bunda Maria dan para orang kudus? Apakah keluarga berdoa rosario bersama? Dan engkau, para bapa, apakah engkau berdoa bersama dengan anak- anakmu…? Teladan kejujuranmu dalam pikiran dan perbuatan, yang disertai dengan doa bersama, adalah pelajaran kehidupan, dan sebuah tindakan penyembahan yang bernilai tunggal. Dengan cara ini engkau membawa damai ke rumahmu… Ingatlah bahwa dengan cara ini kamu membangun Gereja.” ((Paus Paulus VI, Audiensi Umum, 11 Agustus 1976, seperti dikutip dalam FC 60))
Maksud dari doa bersama ini adalah untuk mempersiapkan anak terhadap doa- doa liturgis Gereja, terutama dalam perayaan Ekaristi. Keluarga dapat merayakan juga perayaan- perayaan liturgis di rumah, tak terbatas kepada Natal, Paskah, tetapi juga hari peringatan lainnya, seperti Pesta Keluarga Kudus, Kerahiman Ilahi, Pentakosta, dan seterusnya, sesuai dengan cara yang sesuai dengan kehendak bersama para anggota keluarga. Selain dari doa pagi dan malam, keluarga juga dianjurkan untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci, mempersiapkan perayaan sakramen terutama Ekaristi [misalnya Sabtu malam keluarga telah membaca dan merenungkan bersama, bacaan Injil untuk Misa hari Minggu esoknya], mendoakan devosi dan penyerahan kepada Hati Kudus Yesus, bermacam devosi kepada Bunda Maria, terutama doa rosario, mengucapkan doa sebelum dan sesudah makan, dan pelaksanaan doa- doa devosi lainnya. Tentang doa rosario, Paus Yohanes Paulus II mengacu kepada himbauan Paus Paulus VI, “Kami menghendaki, sebagai kelanjutan pemikiran para pendahulu kami, untuk dengan teguh merekomendasikan didoakannya rosario keluarga… Tidak usah diragukan lagi bahwa… rosario harus dianggap sebagai salah satu doa bersama yang sangat ampuh, dan keluarga diundang untuk mendoakannya….” ((Paus Paulus VI, Apostolic Exhortation Marialis Cultus, 52,54, FC 61))
Mengapa peran doa begitu penting? Karena doa merupakan sebuah bagian yang mendasar dalam kehidupan Kristiani, “ekspresi pertama kebenaran yang terdalam dari manusia” ((Paus Yohanes Paulus II, Khotbah di Mentorella Shrine, 29 Oktober 1978: Insegnamenti di Giovanni Paolo II, I (1978), 78-79)), bahwa manusia membutuhkan Tuhan. Doa merupakan modal yang terkuat bagi keluarga untuk melaksanakan tugas mereka. Jadi keterlibatan nyata sebuah keluarga Kristiani dalam kehidupan dan misi Gereja, berbanding lurus dengan kesetiaan dan intensitas doa yang didoakan oleh keluarga, yang melaluinya keluarga disatukan dengan Sang Pokok Anggur yaitu Kristus Tuhan. ((lih. FC 62))
Keluarga sebagai komunitas yang melayani sesama
Selanjutnya, selain dipanggil untuk mewartakan iman (tugas kenabian), dan untuk menyatakan iman lewat sakramen- sakramen (tugas imamat bersama), keluarga juga dipanggil untuk melayani sesama secara nyata dengan melaksanakan hukum kasih (tugas sebagai raja yang melayani). Dengan melayani sesama, keluarga turut mengambil bagian dalam misi Kristus sebagai Raja yang telah lebih dahulu melayani kita. Kristus menghendaki agar kita memiliki semangat penyangkalan diri dan hidup kudus untuk mengalahkan kuasa dosa di dalam diri kita. Selanjutnya, dengan melayani Kristus yang hadir dalam sesama itulah, keluarga dapat dengan rendah hati menghantarkan saudara dan saudarinya kepada Kristus. ((lih. FC 63)) Sebab kasih tidaklah mengenal batas, setiap orang adalah saudara dan saudari kita yang diciptakan menurut gambaran Allah. Terutama di dalam mereka yang lemah dan miskinlah kita melihat wajah Kristus, dan merekalah orang- orang yang harus kita kasihi dan layani, ((lih. FC 64)) sebab dengan demikian kita melayani Kristus. Pertanyaannya sekarang, siapakah orang- orang yang lemah, menderita dan miskin di sekitar keluarga kita? Sebab disitulah sebenarnya Kristus hadir dan menantikan uluran kasih kita.
Gereja mendampingi keluarga dalam perjalanan hidupnya
Melihat pentingnya peran keluarga, maka sangat pentinglah peran Gereja untuk senantiasa mendukung dan mendampinginya. Para generasi muda jaman sekarang ini, sungguh perlu memperoleh pendampingan agar mereka dapat memahami makna perkawinan Kristiani. Pendampingan Gereja dimulai dari masa persiapan untuk perkawinan, dan ini terbagi atas tiga tahap ((lih. FC 66)). Tahap pertama adalah tahap jauh yang dimulai sejah masa kanak- kanak. Katekese pada anak- anak harus menyampaikan kepada mereka bahwa panggilan hidup berkeluarga adalah panggilan dan misi yang sejati, tanpa mengecualikan kemungkinan untuk memberikan diri seutuhnya kepada Tuhan sebagai imam ataupun panggilan religius lainnya. Tahap kedua adalah tahap antara, yang adalah tahap persiapan penerimaan sakramen- sakramen, agar sakramen dapat diterima dengan sikap batin yang baik; dan juga persiapan untuk tugas kerasulan awam, keterlibatan dalam komunitas ataupun persekutuan yang diperuntukkan bagi kebaikan keluarga- keluarga. Tahap selanjutnya adalah tahap Persiapan Perkawinan, yang diadakan beberapa bulan sebelum perkawinan itu sendiri, yang umum dikenal dengan KPP (Kursus Persiapan Perkawinan). Di sini patut diusahakan oleh pihak Gereja setempat untuk memberikan pembekalan kepada calon pasangan suami istri tentang hal- hal seputar perkawinan Katolik, seperti ajaran Gereja, pendidikan anak, KBA, dst, yang relevan bagi mereka. ((Ibid.))
Setelah ketiga tahapan ini dilalui, maka tibalah saatnya mengadakan pemberkatan perkawinan, yang dilakukan di dalam liturgi, yang tak hanya harus sah tetapi juga berbuah. Dengan demikian diperlukan penyelidikan kanonik sebelumnya untuk menjamin tidak adanya halangan perkawinan, halangan dalam hal konsensus, maupun dalam forma kanonika. Perayaan liturgis perkawinan harus mencakup di dalamnya proklamasi Sabda Allah dan pernyataan iman dari umat, ((lih. FC 67)) dan pernyataan yang paling sempurna tentang makna sakramen Perkawinan adalah di dalam perayaan Ekaristi. Perayaan pemberkatan perkawinan ini mensyaratkan juga sikap moral, sikap batin dan iman dari pasangan yang akan menikah. Maka jika salah satu dari pasangan suami istri itu bukan Katolik, maka pihak pastor wajib memberitahukan syarat- syarat perkawinan Katolik. Jika pasangan tersebut menolak syarat- syarat tersebut secara eksplisit dan secara formal, maka pastor tidak dapat meresmikan perayaan perkawinan tersebut. Jika ini yang terjadi, bukan Gereja yang menghalangi perayaan tersebut, melainkan pihak pasangan itu sendiri. ((lih. FC 68)) Jelaslah, diperlukan evangelisasi dan katekese yang baik, sebelum dan sesudah perkawinan agar pasangan dapat diberkati perkawinannya secara sah, tetapi juga dapat membuahkan kebaikan bagi kehidupan perkawinan mereka sesudahnya.
Setelah perkawinan diberkati, komitmen seluruh komunitas Gereja lokal turut mengemban tugas membimbing pasangan yang baru menikah ini. Bimbingan ini sangat diperlukan oleh para pasangan muda yang menemukan tanggungjawab baru dan bahkan mungkin kesulitan- kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru sebagai suami istri, atau dengan kelahiran anak- anak. Dalam hal ini, keluarga- keluarga dalam paroki dapat saling membantu dalam suatu karya kerasulan keluarga. Saling membantu di antara keluarga yang satu dengan yang lain merupakan cara termudah dan paling efektif untuk meneruskan nilai- nilai Kristiani. Keluarga- keluarga dapat saling membangun, karena keluarga tidak terbatas hanya menerima, tetapi juga mempraktekkannya, dan keluarga yang mengarahkannya diperkaya dengan kesaksian hidup keluarga yang melakukannya ini. Dalam pendampingan pastoral keluarga muda, Gereja perlu memberikan perhatian khusus untuk membantu mereka hidup dalam kasih perkawinan yang bertanggung jawab terutama dalam melayani kehidupan, agar mereka dapat menerima dan mengasihi anak- anak mereka sebagai berkat dari Tuhan dan menerima dengan suka cita tugas melayani anak- anak dalam pertumbuhannya, baik secara jasmani maupun rohani. ((lih. FC 69))
Pembimbingan ini dapat dilakukan oleh para imam dan para religius lainnya, namun juga terutama oleh sesama keluarga, karena dengan diangkatnya perkawinan menjadi sakramen oleh Allah, Ia juga memberikan misi kepada keluarga untuk merasul kepada keluarga- keluarga lainnya. Karya kerasulan ini disampaikan melalui kesaksian hidup mereka menaati hukum ilahi, melalui pendidikan iman anak- anak mereka, melalui pendidikan tentang kemurnian, tentang melindungi anak-anak dari pengaruh buruk dalam hal moral dan keyakinan, melalui penggabungan mereka dalam komunitas gerejawi dan sipil, membantu mereka menemukan panggilan hidupnya, dan seterusnya. ((lih. FC 71)) Maka perlu di sini ditumbuhkembangkan perkumpulan keluarga di dalam Gereja yang tugasnya mendorong umat untuk melaksanakan tugas cinta kasih, yang membuat keluarga- keluarga menjadi terang dan ragi bagi keluarga- keluarga lainnya. ((lih. FC 72)) Namun demikian, untuk kebaikan bersama, keluarga- keluarga Kristiani juga perlu terlibat dalam perkumpulan- perkumpulan di luar gereja yang tujuannya untuk membangun masyarakat dalam kebersamaan dan solidaritas.
Di atas semua itu, para uskup adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pembinaan pastoral keluarga- keluarga di keuskupannya. ((lih. FC 73)) Tanggung jawab ini tidak terbatas pada tanggung jawab moral dan liturgis, tetapi juga secara personal, untuk membantu keluarga yang sedang dalam aneka kesulitan dan penderitaan, agar mereka dapat melihat kehidupan di dalam terang Kristus. Demikian juga para imam dan diakon, yang mendampingi keluarga- keluarga seperti layaknya seorang bapa. Oleh karena itu pengajaran dan saran mereka harus sesuai dengan pengajaran Magisterium yang asli, supaya dapat membantu keluarga- keluarga untuk memperoleh iman yang benar, dan menerapkannya di dalam kehidupan nyata. Kesetiaan kepada pengajaran Magisterium ini akan membantu para imam untuk menghindari memberi saran yang mengacaukan suara hati umatnya. ((Ibid.)) Hal ini menjadi penting, karena sering kita mendengar bahwa umat menjadi bingung perihal boleh atau tidaknya penggunaan alat kontrasepsi, justru karena diberi pengarahan oleh imam agar mengikuti suara hati, atau yang lebih parahnya, imam memperbolehkannya. Padahal jelas di sini tugas imam adalah membentuk suara hati umat, agar dapat menerima pengajaran Magisterium Gereja, dan bukan dengan memberikan kompromi sesuai pemahamannya sendiri. Dalam hal pengaturan kelahiran, pengajaran Magisterium jelas tertuang dalam Humanae Vitae, yang dengan tegas melarang penggunaan segala jenis alat kontrasepsi untuk alasan apapun ((lih. Paus Paulus VI, Humanae Vitae, 14: “Oleh karena itu, Kami mendasarkan perkataan Kami atas prinsip- prinsip pertama dari kemanusiaan dan ajaran Kristiani tentang perkawinan ketika Kami diharuskan sekali lagi untuk menyatakan bahwa pemutusan secara langsung dari proses pembuahan/ generatif yang sudah dimulai, dan di atas semua itu semua tindakan aborsi, bahkan untuk alasan- alasan terapi, sama sekali tidak termasuk sebagai cara- cara yang dapat dibenarkan untuk pengaturan jumlah anak- anak. Demikian juga untuk ditolak, seperti telah ditegaskan berkali- kali oleh Magisterium Gereja, adalah sterilisasi langsung, baik di pihak laki- laki maupun perempuan, baik bersifat permanen/ tetap selamanya atau sementara.
Juga tidak termasuk adalah segala perbuatan, baik sebelum, pada saat, ataupun sesudah hubungan seksual, yang secara khusus dimaksudkan untuk mencegah kelahiran/prokreasi, apakah sebagai tujuan ataukah sebagai cara.
Juga tidak perlu dipertanyakan, sebagai pembenaran bagi hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif, bahwa kejahatan yang lebih kecil adalah untuk dipilih jika dibandingkan dengan kejahatan yang lebih besar, atau bahwa suatu hubungan seksual adalah untuk digabungkan dengan tindakan prokreasi dari kejadian lampau ataupun yang akan datang sebagai satu kesatuan, dan untuk dinilai memenuhi syarat dengan kebaikan moral seperti ini. Walaupun benar, bahwa seringkali dibenarkan untuk mentolerir kejahatan moral yang lebih kecil untuk menghindari kejahatan yang lebih besar ataupun untuk mendorong kebaikan yang lebih besar, adalah tidak pernah dibenarkan, bahkan untuk alasan- alasan yang besar, untuk melakukan kejahatan agar kebaikan dapat dihasilkan darinya- dengan perkataan lain, untuk melakukan sesuatu secara langsung dengan sengaja, yang dengan sendirinya secara kodrati bertentangan dengan hukum moral, dan karena itu harus dinilai sebagai sesuatu yang tidak layak bagi manusia, meskipun maksudnya adalah untuk melindungi ataupun memajukan kesejahteraan individu, keluarga ataupun masyarakat secara umum. Akibatnya, adalah sebuah kesalahan serius untuk menganggap bahwa sebuah kehidupan berkeluarga yang tidak menjalani hubungan- hubungan normal dapat membenarkan hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif dan karena itu salah secara mendasar, lihat juga FC 30.)), karena prinsipnya alat kontrasepsi menolak tujuan penyaluran kehidupan melalui hubungan suami istri. Paus Pius XI dalam Casti Connubii, juga telah mengajarkan hal yang serupa: “Tindakan apapun dari perkawinan, yang dilakukan sebagai suatu tindakan yang disengaja menelantarkan kodrat dari kekuatan untuk memberikan kehidupan, adalah bertentangan dengan hukum Tuhan dan hukum kodrat, dan kepada yang melakukan perbuatan tersebut dicap dengan kesalahan dosa berat.” ((Paus Pius XI, surat ensiklik Casti Connubii, 56)) Selanjutnya, Paus Pius XI juga mengingatkan kepada para uskup dan imam agar “jangan membiarkan umat beriman menjadi keliru dalam hal hukum Tuhan yang sangat besar ini; terlebih lagi menganggap diri mereka kebal [tidak tersangkut paut] dari pandangan yang salah ini [yaitu tentang kontrasepsi], apalagi bekerja sama untuk memperbolehkannya. Jika ada imam atau gembala jiwa- jiwa – yang semoga tidak ada sebab tidak diijinkan Tuhan- yang memimpin umat beriman yang dipercayakan kepada mereka ke dalam kesalahan- kesalahan ini, atau sedikitnya meneguhkan mereka dengan persetujuan atau dengan sikap diam yang patut dipersalahkan, biarlah ia mengingat kenyataan bahwa ia harus mempertanggungjawabkan tentang hal ini di hadapan Tuhan, Hakim yang Tertinggi, karena pengkhianatan atas kepercayaan yang kudus yang diberikan oleh Tuhan kepadanya.” ((Paus Pius XI, surat ensiklik Casti Connubii, 57, HV 28-30)). Begitu serius sesungguhnya ajaran Magisterium Gereja Katolik tentang larangan penggunaan alat kontrasepsi ini. Dan sebenarnya, demi kebaikan perkawinan mereka, para pasangan suami istri berhak memperoleh pengetahuan tentang hal ini, dan bagaimana cara yang praktis untuk menerapkannya, dan bukannya segala hal dikembalikan kepada hati nurani di saat nurani mereka tidak dibentuk secara memadai oleh pemahaman akan ajaran Gereja yang otentik tentang hal ini.
Di samping itu, para biarawan dan biarawati dapat juga membantu dalam karya kerasulan keluarga. Kehidupan mereka menjadi saksi tentang kasih Allah yang universal. Dengan kaul kemurnian demi Kerajaan Allah, mereka mempersembahkan diri seutuhnya untuk melayani Tuhan dan karya kerasulan. Persembahan diri yang total inilah yang dapat memberikan kontribusi kepada karya kerasulan keluarga. ((lih. FC 74)) Kontribusi lainnya diperoleh dari kaum awam yang ahli di bidang yang berhubungan dengan keluarga (dokter, psikolog, pengacara, konsultan, dst) yang terlibat dalam usaha untuk mendukung, mencerahkan, memberi saran kepada karya kerasulan keluarga. ((lih. FC 75)) Selain itu, kontribusi juga diberikan oleh komunikasi sosial (mass media), jika sarana ini digunakan untuk meluaskan pengaruh yang baik bagi kehidupan keluarga dan pendidikan anak. ((lih. FC 76)) Pentinglah untuk diketahui oleh mereka semua yang berkecimpung dalam hal komunikasi massa agar menghormati nilai- nilai keluarga, agar jangan mereka menyebarluaskan segala bentuk erotisme dan kekerasan, perceraian dan tabiat generasi muda yang terpusat pada diri sendiri, yang merupakan serangan bagi keluarga dan bagi kebaikan manusia itu sendiri. ((Ibid.))
Di bagian akhir Familiaris Consortio, Paus menyebutkan tentang beberapa kondisi khusus dalam perkawinan. Contohnya, adalah keluarga para migran, yang sedapat mungkin memperoleh bimbingan para imam dari ritus, budaya dan bahasa mereka di negara perantauan tersebut. Problem lainnya adalah keluarga yang anggotanya berbeda- beda agamanya. Dalam hal ini, pihak yang Katolik harus diperkuat imannya oleh pelayanan pastoral Gereja. Pelayanan pastoral juga harus diberikan kepada kaum muda yang kadang berontak terhadap iman mereka, mereka yang menikah di usia muda, mereka yang disia- siakan pasangan hidupnya, mereka yang ditinggal mati oleh pasangannya, para kaum manula yang kesepian, dan seterusnya. Kepada mereka semua, Gereja mengarahkan agar mereka menimba kekuatan dari Salib Kristus dan kebangkitan-Nya. ((lih FC. 77)) Kondisi khusus lainnya adalah pada pasangan kawin campur, yang jumlahnya terus meningkat dewasa ini. Perhatian harus diberikan kepada kewajiban pihak Katolik untuk dapat dengan bebas melaksanakan imannya dan sedapat mungkin membaptis anak- anak dan mendidik mereka secara Katolik. ((lih. FC 78)) Melalui komunitas Gereja setempat, pihak yang Katolik ini harus dikuatkan imannya, agar sampai kepada pemahaman iman Katolik yang benar dan melaksanakannya, sehingga dapat menjadi saksi yang hidup bagi suami dan anak- anaknya.
Selanjutnya, karena Gereja Katolik sangat menghargai makna luhur perkawinan, maka Gereja tidak dapat menerima kondisi- kondisi yang mulai umum dilakukan pasangan- pasangan muda dewasa ini, yaitu perkawinan percobaan (trial marriages) yang dapat ‘bubar’ sewaktu- waktu, dan ‘kumpul kebo’- hidup bersama tanpa ikatan perkawinan (de facto free union). Gereja Katolik tidak dapat menyetujui ‘perkawinan’ model ini, pertama- tama karena mereka merendahkan makna religius perkawinan, dengan tidak menganggapnya sebagai tanda perjanjian Tuhan kepada umat-Nya. Alasan kedua, karena secara sosial itu merusak konsep keluarga, merendahkan nilai kesetiaan, memungkinkan masalah psikologis pada anak-anak, dan semakin memupuk egoisme. ((lih. FC 80,81))
Kondisi berikutnya adalah kondisi perkawinan umat Katolik yang hanya terdaftar secara sipil saja, tetapi tidak diberkati di gereja. Ini juga tidak dapat diterima oleh Gereja Katolik, sebab biar bagaimanapun kemungkinan perceraian sipil sering tetap ada dalam benak mereka yang menikah hanya di catatan sipil ((lih. FC 82)), dan ini tidak sesuai dengan pengajaran Gereja Katolik, yang mensyaratkan kesetiaan dan tak terceraikan seumur hidup.
Kondisi khusus selanjutnya adalah pasangan yang terpaksa berpisah. Perpisahan [bukan perceraian] ini sesungguhnya harus dianggap sebagai langkah terakhir, jika segala cara untuk berdamai terbukti tidak berhasil. Keadaan kesepian maupun kesulitan lainnya mungkin sekali dihadapi oleh pihak yang tidak bersalah. Dalam hal ini pelayanan pastoral harus membantu mereka untuk tetap memelihara kesetiaan, walaupun sulit, dan untuk menumbuhkan kesadaran untuk mengampuni, dan jika mungkin, untuk rujuk dengan pasangannya. Jika sampai terjadi perceraian [secara sipil], tidak diperkenankan bagi masing- masing untuk menikah lagi, namun mengkhususkan diri untuk melaksanakan tugas- tugas keluarga dan tanggung jawabnya sebagai seorang Katolik. ((lih. FC 83)) Namun adakalanya orang- orang yang mengajukan cerai sipil ini bermaksud untuk menikah lagi, walau tidak di Gereja Katolik. Dalam kondisi ini, Gereja kembali menegaskan ketentuan yang berdasarkan Kitab Suci bahwa mereka yang telah menikah secara sah, namun bercerai dan kemudian menikah lagi tidak diperkenankan untuk menerima Komuni kudus. ((lih. FC 84)) Mereka dilarang untuk menerima Komuni karena status dan kondisi hidupnya bertentangan dengan kesatuan kasih antara Kristus dengan Gereja-Nya -yang total dan setia seumur hidup- yang ditandai dengan Ekaristi. Jika mereka diperbolehkan menerima Komuni, maka umat akan dibawa kepada kebingungan tentang ajaran Gereja tentang perkawinan yang tak terceraikan. Jika sampai mereka sungguh menyesal dan bertobat dari perbuatan mereka ini, mereka dapat mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa, yang dapat membuka jalan kepada Ekaristi, asalkan mereka siap melaksanakan konsekuensinya, yaitu untuk tidak hidup sebagai suami istri dengan pasangan yang sekarang (live in perfect continence), artinya pantang melakukan tindakan- tindakan yang layak hanya bagi suami istri. ((lih. FC 84)) Penghormatan yang tinggi akan makna perkawinan Katolik inilah yang melarang para imam untuk melakukan upacara perayaan apapun untuk mereka yang bercerai namun kemudian menikah lagi, sebab upacara itu menimbulkan kesan adanya perkawinan sah yang berikutnya, dan ini akan menimbulkan kebingungan pada umat. ((Ibid.))
Akhirnya, Gereja juga memberi perhatian kepada mereka yang hidup tanpa keluarga, terutama mereka yang miskin dan terbuang, yang hidup sendiri, dan yang tak punya tempat tinggal. Gereja harus melakukan langkah- langkah konkrit untuk menerima mereka di keuskupan dan paroki, di komunitas gerejawi dam gerakan kerasulan. Sebab, “Tidak ada seorangpun yang tidak memiliki keluarga di dunia ini: Gereja adalah sebuah tempat tinggal dan keluarga bagi setiap orang, terutama mereka yang ‘letih lesu dan berbeban berat’.” ((FC 85))
Kesimpulan: Pandanglah salib Kristus, dan timbalah kekuatan daripadanya!
Sebagai kesimpulan, Paus kemudian menekankan pentingnya pemahaman tentang makna panggilan hidup berkeluarga, karena masa depan umat manusia ditempuh melalui keluarga. Maka penting di sini agar nilai- nilai dan persyaratan sebuah keluarga Kristiani dapat dipertahankan dan diperkuat. Di sinilah terdapat peran tiap- tiap keluarga dan Gereja. Keluarga harus kembali memahami kehendak Allah sejak awal mula pada saat membentuk keluarga, yang dinyatakan dengan sempurna melalui pengorbanan Kristus di kayu salib sebelum kebangkitan-Nya. Kita semua diundang untuk memandang salib Kristus, dan menimba kekuatan daripadanya. Sebab kita sebagai anggota Tubuh-Nya, mengambil bagian juga di dalam salib itu, sebelum kita mengambil bagian juga di dalam kemuliaan-Nya. Semua keluarga Kristiani, ya, kita semua, harus berani berkorban agar kita mencapai pemenuhan indahnya makna cinta kasih dalam keluarga dan disempurnakan di dalamnya. ((lih. FC 86))
Demikianlah sekilas tentang pengajaran Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio. Sungguh luas dan dalam pesan yang ingin disampaikan oleh Bapa Paus kepada kita semua. Namun memang intinya tidak jauh dari hukum cinta kasih, yaitu Tuhan menghendaki agar kita hidup dalam kasih, dan belajar mengasihi. Jika itu menghantar kita kepada kehidupan berkeluarga, marilah kita laksanakan sesuai dengan rencana dan kehendak Allah. Sebab hanya dengan demikianlah, kita menemukan kebahagiaan kita yang sejati, yang menghantar kita sekeluarga ke dalam kebahagiaan kekal di surga. Tidak ada kata terlambat untuk menerapkan pesan Familiaris Consortio, yang tahun ini genap berusia 30 tahun. Pesan ini, justru sangat relevan di zaman ini, di mana keluarga menghadapi tantangan dunia yang cenderung merendahkan maknanya. Mari, kita semua – baik klerus maupun awam – bahu membahu untuk membangun keluarga agar sesuai dengan rencana Allah sejak semula, yaitu menjadikannya sebagai gambaran Gereja kecil, di mana kasih Allah menjadi dasarnya dan bersinar di dalamnya.
“Keluarga Kudus di Nazaret, Yesus, Bunda Maria dan St. Yusuf, doakanlah kami….”
[Artikel ini pernah dimuat di Buletin Keluarga, Komisi Keluarga KWI, edisi II/ Mei- Agustus 2011]
shalom katolisitas.
saya ingin bertanya tentang ajaran gereja dalam keluarga dan halangan serta cabaran keluarga katolik masa kini dan bagaimana cara mengatasinya.
Shalom Armidale, Silakan Anda membaca sekilas ajaran Gereja untuk kehidupan keluarga, yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Ekshortasi Apostolik, Familiaris Consortio, yang kami ulas di artikel di atas, silakan klik. Keluarga adalah unit Gereja terkecil, sehingga nilai-nilai Kristiani menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam kehidupan keluarga, sebagaimana nilai-nilai Kristiani tak terpisahkan dalam kehidupan Gereja. Silakan juga Anda membaca beberapa artikel berikut tentang keluarga: Perkawinan Katolik vs Perkawinan duniaKeluarga Kristiani sebagai Ecclesia domestica (Keluarga= Gereja rumah tangga/ Gereja kecil)Keluarga sebagai pendidik nilai-nilai kemanusiaan dan iman Peran orang tua dalam pembinaan iman anakKeluarga Kudus teladan bagi keluarga kita Salam kasih… Read more »
Bolehkah menerima Komuni ? Kasus 1 . Sepasang suami istri menikah . Keduanya hanya mempunyai orang tua tunggal ibu saja. Setelah menikah , terjadi pertengkaran dengan mertua . Mertua dengan mertua juga bertengkar tanpa henti. Dan dengan paksaan kedua anak tersebut di ceraikan di pengadilan (catatan sipil). Terjadilah perceraian sesuai dengan hukum catatan sipil. Setiap 1 minggu sekali pasangan tersebut ke 1 kota dan bertemu , tetap layaknya sebagai suami istri. Dan si istri berkata kepada saya , jika nanti salah satu ibu mereka meninggal akan membuat akte perkawinan lagi…. Siasat kedua orang untuk meredam pertengkaran. Pertanyaannya adalah : Jika… Read more »
Tomy Yth, Jawaban pertanyaan pertama perihal komuni. Syarat utama orang beriman komuni adalah apakah dirinya pantas menerima Tuhan dalam Sakramen Mahakudus hosti kudus dalam Ekaristi. Adakah dosa yang menghalangi dia menerima komuni? Adakah sangsi Gereja yang sedang diterimanya sehingga menjadi halangan menerima komuni kudus? Jika orang dalam hatinya merasa layak dan pantas silakan komuni. Kasus anda tentu ibu itu berdosa karena telah menceraikan anaknya, karena telah bertengkar bagi saya umat beriman tidak boleh membawa pertengkaran dan paksaaan. Orang yang menikah harus diberi kebebasan dalam memilih hidup. Jika hidup perkawinan tidak sah tentu menjadi halangan untuk komuni kudus. Hati yang damai… Read more »
Romo yang saya tanyakan bukan dari segi pantas dan tidak pantas dan juga pertimbangan pribadi per orangan . Tetapi dari segi Hukum Kanonik. Contoh : Dari segi hukum Gereja , pasangan Katolik tidak boleh bercerai. Kalau jawaban Romo seperti itu , jawaban yang gak pasti dan memakai tolok ukur pribadi masing . Artinya semua orang gak boleh terima Komuni kalau ke Gereja sebelum masuk ruang pengakuan dosa sebab kita semua adalah manusia berdosa. Menurut Hukum Kanonik / Gereja : Kasus 1 : Jawaban : Pasangan suami istri itu boleh terima Komuni sebab cerai Sipilnya bukan kemauan sendiri dan mereka masih… Read more »
Tommy Yth, Hukum kanonik sangat erat dengan teologi moral (pantas dan layak tidakkah orang menerima Komuni Kudus). Pertimbangan hukum selalu didasarkan pada kepastian moral (teologi dan hati nurani). Hukum ada untuk menjaga agar disiplin Gereja terjamin dan kehidupan beriman tertib. Maka dalam soal kasus boleh tidaknya orang yang kawin cerai dari sisi hukum gereja harus dilihat lebih dahulu peristiwa duduk perkara dan status perkawinannya apakah kanonik atau tidak, apakah sah kanonik atau tidak? Jika orang Katolik menikah secara tidak kanonik dan hidup bersama dengan orang lain, tentu tidak bisa menerima Komuni Kudus. Hanya orang yang perkawinannya sah kanonik dan tidak… Read more »
Terima Kasih Romo .
Artinya kasus pertama boleh terima Komuni 2-2 nya baik suami maupun istri. Kasus pertama menikah secara Katolik dan sah.
Kasus 2 ini yang sulit sebab saat menikah istri bukan Katolik.
Setelah menjadi Katolik meninggalkan suaminya . Dan suaminya menikah lagi dan sekarang sudah mempunyai anak.
Dan karena tidak menikah lagi (istri) , secara Hukum Kanonik boleh menerima Komuni sejauh dia tidak menikah lagi.
Apakah demikian ?
Di Paroki kami sudah menjadi pengertian jika seseorang bercerai tidak boleh menerima Komuni.
Shalom Tomy, 1. Pasangan yang telah menikah secara sah di Gereja Katolik, artinya tak terceraikan. Maka ikatan ini tak terpisahkan oleh perceraian sipil yang ternyata juga tidak diinginkan oleh pasangan suami istri itu sendiri. Maka dalam keadaan ini, keduanya tetap boleh menerima Komuni, asalkan mereka tetap menjaga kemurnian ikatan perkawinan mereka, dan tidak dalam keadaan berdosa berat (lih. KGK 1385). 2. Gereja mengakui adanya ikatan kodrati antara kedua orang non- Katolik yang menikah secara agama lain (non- Katolik). Jika salah satunya menjadi Katolik (dalam hal ini, istrinya), maka memang seharusnya diadakan konvalidasi perkawinan, untuk mensahkan ikatan perkawinannya. Namun jika ini… Read more »
Salam damai kristus,
saya mau nanya kpd bpk & ibu, ayah dan ibu saya katolik, tapi sepertinya hubungan rumah tangga mereka sudah hampir hancur dan sempat bbrapa kali berniat utk cerai. Dan saya jg mau bertanya, jika orang tua memberikan contoh yang tdk baik utk anaknya, seperti malas ke gereja. Apakah anak atau orang tua yang salah? Karena adik saya yg masi berumur 7 thn tdk pernah diajak ke gereja oleh orang tua saya. Mohon jawabannya. terima kasih.
Shalom Icha, Kami turut prihatin dengan keadaan kedua orang tua Anda. Walaupun mungkin keadaannya sulit, namun sebagai anak, Anda tetap dapat mengambil peran untuk berjuang mempersatukan ayah dan ibu Anda agar keluarga Anda tetap utuh. Anda dapat pula mengusulkan kepada ayah dan ibu Anda untuk mengikuti retret pasangan suami istri, seperti retret Tulang Rusuk yang dipimpin oleh Rm. Yusuf Halim SVD, atau Week-end Marriage Encounter. Silakan menanyakannya kepada seksi kerasulan keluarga di paroki Anda. Sebagaimana diajarkan dalam Katekismus Gereja Katolik (lih. KGK 1656, 1660, 1666), orang tua yang Katolik memang bertugas untuk mendidik anak-anak mereka secara Katolik, entah dalam pendidikan… Read more »
Tlg kirim ke e-mail sy teks Indonesia lengkap surat apostolik paus yg berjudul Familiaris Consortio….
[dari katolisitas: silakan membaca artikel di atas – silakan klik. Kalau dokumen aslinya, silakan membelinya di Toko Buku Obor.]
Yth. Para Pengasuh Katolisitas yang dikasihi Tuhan. Shalom Mohon pertimbangan dan nasehatnya Bagaimanakah seorang suami yang Katolik bisa tetap mencintai istrinya yang beragama Protestan di mana istrinya sudah menipu si suami dengan berjanji akan menjadi Katolik jika sudah menikah tetapi ternyata tidak menepati janjinya untuk menjadi seorang Katolik ? Si suami menyesal telah kawin dengan istrinya yang beda agama dan terutama sikap istrinya yang sudah lama tidak menghormati suaminya sebagai kepala keluarga. Bagaimanakah suami tsb. dapat tetap mencintai istrinya yang membawa anak2 mereka yg sudah dipermandikan secara Katolik, menjadi menjauhi gereja Katolik ( pindah agama ke Protestan ) ? Sehingga… Read more »
Dharma Yth, Perlu kita bersama sadari bahwa perkawinan adalah sebuah perjalanan panjang hidup bersama dalam persekutuan cinta antara suami dan istri yang dikuduskan dan diteguhkan oleh lembaga keagamaan diakui sah oleh publik maupun agama. Oleh karena itu, keputusan yang diambil sebelum menikah adalah penting. Ideal perkawinan adalah Katolik dengan Katolik. Perkawinan campur entah agama maupun gereja seperti anda ceritakan adalah rentan retak dan hancur. Perkawinan yang hancur dan tidak bisa dibangun kembali adalah suatu peristiwa yang menyakitkan dan melukai semua pihak suami istri dan anak anak. Maka pengalaman ini menjadi pelajaran bagi semua orang muda sebelum menikah. Langkah pertama, adalah… Read more »
Yth. Romo Wanta, Pr yang dikasihi Tuhan.
Terima kasih atas nasehat dan saran Romo.
Hormat kami
Dharma
Sdr. Dharma yang terkasih, Menambahkan sedikit dari jawaban yang telah diberikan oleh Romo Wanta, Gereja Katolik tidak pernah memaksa seseorang (non-Katolik) untuk menjadi Katolik karena menikah dengan orang Katolik. Kalau dia mempunyai keinginan untuk dibaptis dan menjadi Katolik dari lubuk hatinya yang paling dalam, dan… kebetulan dia juga akan menikah dengan orang Katolik, tentu Gereja akan membantu dan memenuhi keinginan tersebut. Kalau istri pernah berjanji akan menjadi Katolik, tetapi mengingkarinya di kemudian hari…. bisa jadi bahwa janjinya waktu itu tidak dengan sungguh hati atau hanya sekedar “menyenangkan hati” calon suaminya saat itu. Kita boleh meragukan apakah dia benar-benar ingin jadi… Read more »
Salam kasih Romo Agung dan saudara Dharma, Sungguh lega hati saya membaca tanggapan tambahan dari Romo Agung. Terus terang saya sempat niat untuk memberi tanggapan sebelumnya, yang pada intinya adalah sama seperti Romo Agung sampaikan di atas, namun saya urungkan dan akhirnya saya bawakan saja hal itu dalam doa misa paginya. Bukan hanya bagi saudara Dharma namun juga bagi saudara-saudara lainnya yang sedang menghadapi tantangan yang sama agar diberikan kejernihan pikiran dan ketenangan hati hingga mendapat pemahaman yang benar dalam usaha yang baik untuk terus dengan tulus mencintai ‘satu’ pasangannya. Menurut hemat saya artikel yang ditulis Romo Wanta tertanggal 27/05/2009… Read more »
Shalom Pak Stef dan Ibu Ingrid,
Ajaran Gereja Katolik memang sangat indah dan relevan.
Terima kasih banyak untuk artikel ini, yang ulasannya sangat membantu saya memahami anjuran apostolik ini.
Tanya: apa perbedaan anjuran apostolik dan ensiklik?
Salam,
Lukas Cung
Shalom Lukas Cung, Ensiklik, menurut definisinya, adalah surat yang ditujukan pertama- tama kepada para uskup Gereja Universal dan melalui mereka sebagai para pengajar iman, kepada semua umat beriman. Surat ensiklik dapat membahas topik-topik tentang iman dan moral, kejadian atau peringatan akan suatu kejadian atau surat ensiklik terdahulu, atau bahkan keadaan dari suatu kelompok atau negara. Anjuran Apostolik, adalah tulisan Bapa Paus yang merupakan anjuran. Artinya adalah tulisan ini ditujukan kepada audiens yang khusus, dan merupakan penekanan akan sesuatu kebaikan yang khusus pula. Contoh yang sempurna untuk ini adalah Familiaris Consortio, yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II. Tulisan ini ditujukan… Read more »
Shalom Ibu Ingrid,
Terima kasih atas penjelasannya.
Berarti tidak sama antara ensiklik dan anjuran apostolik. Karna saya sempat bingung juga, di beberapa wesite, Familiaris Consortio ini ditulis sebagai ensiklik.
Ya, Ibu Ingrid, salah satu yang dengan keras sedang kami usahakan setiap hari sebagai keluarga, adalah berdoa bersama – yang dengan lantang diserukan oleh anjuran apostolik ini. Dan menyangkut doa bersama dalam keluarga ini, sangat inspiratif dan mudah dipahami, pidato Bunda Teresa di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 26 Oktober 1985: “Keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersama.”
Salam,
Lukas Cung