Dalam tulisannya, Commentary on the Book of Job (Uraian tentang Kitab Ayub)- silakan klik, St. Thomas Aquinas menjelaskan tentang hal ini, yang telah kami ringkas, demikian:
Perlu diketahui bahwa para malaikat yang disebut di sini sebagai ‘anak-anak Allah’, melayani di hadirat Allah dengan dua cara: 1) di dalam seberapa jauh Tuhan dipandang/ dilihat oleh mereka, sebagaimana dikatakan oleh Nabi Daniel, “… seribu kali beribu-ribu melayani Dia, dan selaksa kali berlaksa-laksa berdiri di hadapan-Nya…” (Dan 7:10); dan 2) di dalam sejauh mana para malaikat itu sendiri dan tindakan mereka dilihat oleh Tuhan, sebab para malaikat yang ‘berdiri di hadapan-Nya’ adalah mereka yang melihat Allah dan dilihat oleh Allah. Oleh karena itu, cara pertama hanya berkaitan dengan para malaikat yang berdiri di hadapan-Nya, yang menikmati penglihatan ilahi,… yaitu para malaikat di derajat yang lebih tinggi (higher angels) yang menurut pandangan Dionysius tidak pergi diutus untuk melaksanakan pelayanan ke dunia. Untuk alasan ini, para malaikat yang berdiri di hadapan Allah dibedakan dengan para malaikat yang melayani Allah dalam teks kitab Nabi Daniel. Namun demikian, dengan cara pandang yang kedua, adalah layak bahwa tidak hanya para malaikat yang baik, namun juga malaikat yang jahat dan bahkan manusia berdiri di hadapan Allah, sebab apapun yang dilakukan oleh mereka ada di bawah pandangan dan penyelidikan ilahi. Karena itu, teks mengatakan, “… datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di antara mereka datang juga Iblis untuk menghadap TUHAN.” (Ayb 2:1)
Meskipun hal- hal yang menjadi perhatian malaikat-malaikat yang baik dan jahat selalu terus berada di dalam pandangan dan penyelidikan Allah, dan karena itu anak- anak Allah selalu ada di hadapan Allah dan Iblis-pun ada di antara mereka, namun demikian, teksnya mengatakan, “pada suatu hari…” menurut penggunaannya di dalam Kitab Suci, yang kadang menjelaskan hal- hal yang mengatasi waktu melalui hal- hal yang ada di dalam waktu. Contohnya, di awal Kitab Kejadian, Tuhan telah bersabda beberapa hal di hari pertama dan kedua, meskipun tindakan-Nya bersabda itu ada dalam kekekalan, namun apa yang disabdakan-Nya terjadi di dalam waktu. Maka, karena perbuatan yang tentangnya dicatat dalam kitab Ayub ini terjadi di dalam suatu waktu tertentu, maka mereka yang melakukannya dikatakan ‘berdiri di hadapan Allah pada suatu hari’, meskipun [sesungguhnya] mereka tidak pernah berhenti berdiri di hadapan Allah.
Perlu dipertimbangkan bahwa hal-hal yang dilakukan melalui malaikat yang baik berhubungan dengan penghakiman Tuhan dengan cara yang berbeda dengan hal-hal yang dilakukan oleh malaikat yang jahat (setan). Sebab para malaikat yang baik bermaksud bahwa segala yang mereka lakukan mengacu kepada Tuhan. Maka teks mengatakan bahwa anak- anak Allah ‘datang menghadap TUHAN,’ seolah dengan dorongan dan maksud mereka sendiri, mereka menyerahkan segalanya di bawah penghakiman ilahi. Tetapi, para malaikat yang jahat, tidak bermaksud agar apa yang mereka lakukan mengacu kepada Tuhan. Tetapi faktanya apapun yang mereka lakukan berada di bawah kuasa penghakiman ilahi…. Maka teks tidak mengatakan bahwa Iblis datang ke hadapan Allah, tetapi hanya, “Iblis ada di antara mereka.” Ia dikatakan “ada di antara mereka”, karena persamaan kodrat mereka dan juga untuk menyampaikan secara tidak langsung bahwa hal- hal yang jahat tidak terjadi/ berasal dari maksud utama Tuhan, tetapi terjadi pada orang-orang yang baik karena kebetulan.
Ada perbedaan antara hal-hal yang dilakukan malaikat-malaikat yang baik, dan yang dilakukan malaikat-malaikat yang jahat. Para malaikat yang baik melakukan hal-hal sesuai dengan perintah dan kehendak ilahi; sedangkan para malaikat yang jahat menentang Allah di dalam kehendak mereka sehingga apa yang mereka lakukan bertentangan dengan Tuhan, dalam hal maksudnya…. Maksud setan selalu jahat dan menentang Tuhan, sehingga Iblis ditanya, “Dari mana engkau?” (bukan “Apa yang sedang kaulakukan? atau Di mana engkau?), sebab maksud/ intensinya yang darinya keseluruhan tindakannya berasal- bertentangan dengan maksud Tuhan.
Berbicara dapat diartikan di dalam dua cara: 1) mengacu kepada konsep batin/ di dalam hati; 2) mengacu kepada konsep yang diungkapkan ke luar. Di dalam cara yang pertama tindakan Allah berbicara adalah kekal dan tidak ada yang lain selain melahirkan Putera-Nya yang adalah Firman-Nya sendiri. Di cara kedua, Tuhan berbicara di dalam waktu, namun dengan berbagai cara sesuai dengan apa yang berkaitan dengan mereka yang diajak-Nya berbicara. Sebab Tuhan kerap berbicara dengan manusia yang mempunyai indera jasmani dengan suara jasmani di dalam obyek ciptaan, seperti suara yang dikatakan di saat Pembaptisan dan Transfigurasi Kristus, “Inilah Anak yang Kukasihi.” (Mat 3:17; 17:5). Kadangkala Ia telah berkata melalui penglihatan imajiner sebagaimana kita baca di dalam kitab para Nabi. Kadangkala melalui pernyataan intelektual, dan Tuhan harus dipahami sebagai berbicara dengan cara sedemikian dengan Iblis, sejauh Tuhan membuat Iblis mengerti bahwa segala yang sesuatu yang dilakukannya dilihat oleh Tuhan.
Maka, seperti di dalam tindakan Tuhan berbicara kepada Iblis, Ia memberitahukan sesuatu kepada Iblis, maka Iblis yang menjawab Tuhan tentunya tidak memberitahukan Tuhan apapun; melainkan membuat Iblis paham bahwa segala sesuatu yang berkenaan dengannya ada di bawah penyelidikan Tuhan. Menurut cara bicaranya, teks berkata, “Iblis menjawab Tuhan, “Dari perjalanan mengelilingi dan menjelajahi bumi.”…. seolah memberi pertanggungjawaban kepada Tuhan…. Dengan berkeliling menjelajahi bumi, Iblis menunjukkan kelicikannya untuk mencari orang yang dapat ditelannya (lih. 1 Pet 5:8)….
Pikirkanlah bahwa Tuhan tidak hanya mengatur kehidupan orang-orang benar untuk kebaikan mereka sendiri, tetapi juga menampilkan kehidupan orang benar agar orang- orang lain dapat melihatnya…. Karena itu Tuhan menjawab Iblis, “Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub?”, seperti seolah Ia hendak berkata: Engkau berkeliling dan menjelajahi bumi, tapi dapatkah engkau memperhatikan hambaku Ayub dan kagum akan kebajikannya.
Orang-orang yang menyimpang, yang dipimpin oleh Iblis… umumnya secara tidak adil menuduh orang-orang yang kudus tidak bertindak dengan maksud yang benar, sebab mereka tidak dapat menemukan kesalahan di dalam kehidupan orang-orang kudus. [Demikianlah yang dimaksudkan oleh Iblis saat ia berkata, “Kulit ganti kulit! Orang akan memberikan segala yang dipunyainya ganti nyawanya”]…sepertinya Ayub melayani Tuhan karena ia telah menerima banyak berkat jasmani dari Tuhan dalam hidupnya. ….
Iblis menunjukkan bahwa Ayub mencapai kekayaan di dunia ini dengan dua cara. Pertama, karena ia dibebaskan Tuhan dari pertentangan/ kesulitan. Kedua karena kekayaannya dilipatgandakan oleh Tuhan. Maka Iblis menuduh bahwa perbuatan-perbuatan Ayub yang baik hanya dilakukannya dengan maksud agar memperoleh kebaikan/ berkat duniawi. Padahal, jelaslah bahwa perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan tidak mengacu kepada kemakmuran duniawi sebagai ganjarannya; jika tidak, bukanlah menjadi maksud yang menyimpang jika orang melayani Tuhan untuk maksud memperoleh kemakmuran duniawi. Namun keadaan kebalikannya juga benar: Kesulitan/ pencobaan duniawi bukanlah hukuman atas dosa-dosa. Hal ini menjadi topik yang dibahas di keseluruhan kitab Ayub.
Iblis ingin menunjukkan bahwa Ayub melayani Tuhan karena kemakmuran duniawi yang telah diperolehnya. Maka ia menambahkan, “Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah tulang dan dagingnya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu”… Maka Iblis menuduh bahwa Ayub hanya berpura-pura baik….
Tetapi, seperti telah saya katakan, Tuhan berkehendak agar kebajikan orang-orang kudus-Nya menjadi diketahui oleh semua orang, …adalah menyenangkan hati-Nya bahwa semua orang melihat perbuatan- perbuatan baik Ayub, dan bahwa maksud Ayub yang benar juga diketahui semua orang. Maka Tuhan berkehendak menarik Ayub dari kemakmuran dunia, agar ketika ia tetap berteguh dalam takut akan Tuhan, akan menjadi jelas bahwa ia takut akan Tuhan dengan maksud yang benar dan bukan karena berkat- berkat duniawi. Perhatikanlah bahwa Tuhan menghukum orang-orang jahat melalui para malaikat yang baik dan malaikat yang jahat, tetapi tidak pernah mengirimkan pencobaan/bencana pada orang- orang baik kecuali melalui malaikat yang jahat. Maka Tuhan tidak menghendaki bahwa pencobaan dibawa kepada Ayub kecuali melalui Iblis, dan karena ini teks mengatakan, “Maka firman Tuhan kepada Iblis: Nah, ia dalam kuasamu; hanya sayangkan nyawanya.” Dari teks ini kita dibuat mengerti bahwa Iblis tidak dapat mengganggu orang-orang benar sekehendak hatinya, tetapi hanya sejauh yang diizinkan Tuhan saja. Ketahuilah juga bahwa Tuhan tidak memerintahkan Iblis untuk menyerang Ayub, namun hanya memberikan dia kuasa untuk melakukan itu…
Jelaslah bahwa sebab dari bencana yang dialami oleh Ayub adalah bahwa kebajikannya harus dibuat menjadi jelas bagi semua orang. Maka Kitab Suci berkata, “…kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya….” (Yak 5:11). Hati-hatilah agar jangan percaya bahwa Tuhan telah dibujuk oleh perkataan Iblis untuk memperbolehkan Ayub dicobai, tetapi Allah memerintahkan hal ini dari kekekalan untuk membuat kebajikan Ayub menjadi jelas, melawan tuduhan- tuduhan yang salah dari mereka yang tidak saleh. Karena itu, tuduhan-tuduhan yang salah ditempatkan lebih dulu, baru kemudian diikuti oleh izin ilahi.
Dengan penjelasan St. Thomas Aquinas ini, kita memahami bahwa percakapan antara Allah dan Iblis terjadi sebagai pernyataan intelektual yang dinyatakan Allah kepada Iblis, agar Iblis mengetahui bahwa segala sesuatu yang dilakukannya berada di bawah penglihatan dan penyelidikan Allah. Percakapan ini dan keseluruhan implikasinya dimaksudkan Allah agar manusia mengetahui bahwa: 1) pencobaan/ bencana yang terjadi pada orang-orang benar bukan terjadi karena perintah Allah, namun terjadi atas izin Allah; 2) hal itu terjadi agar segala kebajikan orang-orang benar dan maksudnya yang benar, dapat dinyatakan kepada semua orang. Dengan prinsip ini pula kita ketahui bahwa Iblis bukanlah hamba yang melayani Allah, namun sebagai penentang Allah yang tak akan dapat melampaui Allah.
mungkin kata ‘bukanlah’ dalam kalimat diatas harusnya diganti menjadi ‘bukankah’?
coba baca:
– bukanlah menjadi maksud yang menyimpang jika orang melayani Tuhan untuk maksud memperoleh kemakmuran duniawi.
– bukankah menjadi maksud yang menyimpang jika orang melayani Tuhan untuk maksud memperoleh kemakmuran duniawi?
thx
Shalom Junior,
Terjemahannya sudah benar. Mari kita melihat ke teks aslinya, yang lebih lengkap, (silakan klik di sini untuk membaca keseluruhan penjelasan St. Thomas Aquinas tentang Kitab Ayub), demikian bunyinya:
“Because God makes all things by his speaking, the blessing of God gives goodness to things. Thus God blesses someone’s works when he brings them to good to attain a fitting end. Because some goods come to a man without his effort and intention, he adds, “and his possessions have increased on the earth.” So Satan unjustly deprecates the deeds of blessed Job as though he did them from the intention of earthly goodness. So it is clear that the good things which we do are not referred to earthly prosperity as a reward; otherwise, it would not be a perverse intention if someone were to serve God because of temporal prosperity. The contrary is likewise true. Temporal adversity is not the proper punishment of sins, and this question will be the theme dealt with in the entire book.”
(Di sana ditulis “it would not be”, dan bukan “would it not be….?”)
Maka, saya menyadurnya demikian:
Maka Iblis menuduh bahwa perbuatan-perbuatan Ayub yang baik hanya dilakukannya dengan maksud agar memperoleh kebaikan/ berkat duniawi. Padahal, jelaslah bahwa perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan tidak mengacu kepada kemakmuran sebagai ganjarannya; jika tidak, bukanlah menjadi maksud yang menyimpang jika orang melayani Tuhan untuk maksud memperoleh kemakmuran duniawi. Namun keadaan kebalikannya juga benar: Kesulitan/ pencobaan duniawi bukanlah hukuman atas dosa-dosa. Hal ini menjadi topik yang dibahas di keseluruhan kitab Ayub.
Jadi St. Thomas mengajarkan (bukan mempertanyakan), bahwa jika kita melayani Tuhan, motivasinya bukan agar kita memperoleh kemakmuran duniawi. Sebab jika melayani Tuhan dengan maksud mengejar kemakmuran duniawi, itu adalah maksud yang menyimpang.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam,
Menanggapi pertanyaan Junior, saya juga menangkap pengertian yang sama dengan Junior setelah membaca kalimat terjemahan tersebut :
“Padahal, jelaslah bahwa perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan tidak mengacu kepada kemakmuran sebagai ganjarannya; jika tidak, bukanlah menjadi maksud yang menyimpang jika orang melayani Tuhan untuk maksud memperoleh kemakmuran duniawi.”
Memang penjelasan St. Thomas Aquinas semestinya ingin menunjukkan bahwa mengejar kemakmuran duniawi merupakan motivasi yang salah dalam berbuat kebaikan. Akan tetapi, jika boleh kita menyusun ulang tanpa menghilangkan maksud per frasa, kalimat tersebut seolah berkata,
“Perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan tidak mengacu kepada kemakmuran sebagai ganjarannya. Jika perbuatan-perbuatan baik yang orang lakukan memiliki maksud memperoleh kemakmuran duniawi sebagai ganjaran, hal tersebut bukanlah maksud yang menyimpang.”
Hal ini yang menjadikan kalimat tersebut aneh dan terlihat kontradiktif. Mohon bantuan bu Inggrid untuk menjelaskan karena saya rasa pikiran saya kurang dapat menghubungkan antara maksud sebenarnya yang ingin dijelaskan St. Thomas Aquinas dengan arti yang pikiran saya tangkap dalam kalimat tersebut.
Pacem,
Ioannes
Shalom Ioannes,
Mungkin yang perlu dipahami adalah diletakkannya kata ‘jika tidak’, “…….. jika tidak, bukanlah menjadi menyimpang jika ……”
Saya coba mengambil contoh yang lain, misalnya demikian: Sudah jelas kita tidak boleh mencuri, jika tidak, bukanlah menjadi salah kalau kita mengambil milik orang lain yang bukan menjadi hak kita.
Perhatikanlah frasa kata yang diberi garis bawah: ‘mencuri’ dan ‘mengambil milik orang lain yang bukan hak kita’ adalah hal yang sama, dan itu adalah salah. Maka ‘jika tidak‘ di sini mau mengatakan demikian: Kita tidak boleh mencuri, sebab jika tidak demikian (artinya jika kita boleh mencuri) maka bukanlah menjadi salah kalau kita mengambil milik orang lain yang bukan menjadi hak kita. Di sini tentu St. Thomas tidak bermaksud memperbolehkan orang untuk mengambil milik orang lain yang bukan menjadi hak kita.
Sekarang kita terapkan pada pengajaran St. Thomas Aquinas tersebut:
“it is clear that the good things which we do are not referred to earthly prosperity as a reward; otherwise, it would not be a perverse intention if someone were to serve God because of temporal prosperity.” (lihat juga di sana kata yang digunakan adalah “otherwise, it would not be ….” bukan kalimat pertanyaan, would it not be….?
Terjemahannya:
“…. jelaslah bahwa perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan tidak mengacu kepada kemakmuran sebagai ganjarannya; jika tidak, bukanlah menjadi maksud yang menyimpang jika orang melayani Tuhan untuk maksud memperoleh kemakmuran duniawi.”
Lihat frasa yang digaris bawah yaitu: 1) Perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan tidak mengacu kepada kemakmuran sebagai ganjarannya, dan 2) orang melayani Tuhan untuk maksud memperoleh kemakmuran duniawi. Maka maksudnya: Perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan tidak boleh ditujukan untuk mengharapkan ganjaran kemakmuran, sebab jika tidak demikian (artinya bahwa jika kita dapat berbuat baik untuk mengharapkan kemakmuran) maka bukanlah salah kalau kita melayani untuk maksud memperoleh kemakmuran. Namun karena perbuatan baik itu memang tidak untuk ditujukan untuk mengharapkan kemakmuran, maka adalah menyimpang jika kita melayani untuk maksud memperoleh kemakmuran.
Semoga menjadi lebih jelas. Adalah menjadi ciri khas gaya penulisan St. Thomas Aquinas ini yang seringnya memang menjadikan para pembacanya berpikir keras untuk maksud yang hendak disampaikannya. Namun begitu prinsipnya kita tangkap, kita dapat lebih memahami akan apa yang hendak disampaikannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam,
Akhirnya saya mengerti apa yang ingin disampaikan oleh St. Thomas Aquinas. Terima kasih banyak atas penjelasan Ibu Inggrid. Memang membutuhkan renungan sesaat untuk bisa memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan.
Pacem,
Wirawan
Shalom, saya bingug dengan kalimat ini…Mohon penjelasannya…
“Padahal, jelaslah bahwa perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan tidak mengacu kepada kemakmuran sebagai ganjarannya; jika tidak, bukanlah menjadi maksud yang menyimpang jika orang melayani Tuhan untuk maksud memperoleh kemakmuran duniawi”.
Terima Kasih…
Monica
[Dari Katolisitas: Maksudnya adalah, St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa jika kita berbuat baik, kita tidak boleh melakukannya dengan mengharapkan bahwa Tuhan akan membalas kita dengan kemakmuran sebagai ganjarannya. Sebab, adalah menyimpang jika kita melayani Tuhan untuk maksud memperoleh kemakmuran duniawi]
Comments are closed.