Pertanyaan:
Syalom Bu Ingrid , Pak Stef dan semua kontributor katolisitas, Tuhan Yesus Memberkati
Saya sudah mencari di web katolisitas mengenai masalah “bunga uang” yang ternyata memang sepertinya belum pernah ada/dibahas, untuk itu saya mohon penjelasan mengenai konsep “bunga / riba” yang lebih banyak dibicarakan di kitab perjanjian lama seperti :
Exo 22:25 Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia: janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya.
Lev 25:36 Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup di antaramu.
Pro 28:8 Orang yang memperbanyak hartanya dengan riba dan bunga uang, mengumpulkan itu untuk orang-orang yang mempunyai belas kasihan kepada orang-orang lemah.
Eze 18:8 tidak memungut bunga uang atau mengambil riba, menjauhkan diri dari kecurangan, melakukan hukum yang benar di antara manusia dengan manusia,
Eze 18:17 menjauhkan diri dari kecurangan, tidak mengambil bunga uang atau riba, melakukan peraturan-Ku dan hidup menurut ketetapan-Ku–orang yang demikian tidak akan mati karena kesalahan ayahnya, ia pasti hidup.
dan menurut saya hal tersebut , agak sedikit bertolak belakang dengan kisah dari perjanjian baru ini :
Mat 25:16 Segera pergilah hamba yang menerima lima talenta itu. Ia menjalankan uang itu lalu beroleh laba lima talenta.
Mat 25:27 Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.
Luk 19:23 Jika demikian, mengapa uangku itu tidak kauberikan kepada orang yang menjalankan uang? Maka sekembaliku aku dapat mengambilnya serta dengan bunganya.
Saya ingin memperolah pencerahan mengenai masalah “bunga” ini, karena berhubungan erat dengan pengalaman hidup yang akan saya sharingkan dibawah ini.
Saya, baru – baru ini mengalami sedikit perselisihan dalam keluarga mengenai masalah “bunga”. Ada perbedaan sudut pandang antara istri dan mama saya, saya yang berusaha menjadi penengahnya merasa gagal untuk mendapatkan jalan tengah yang terbaik dari kedua pihak.
menurut mama saya, adalah suatu hal yang wajar meminjamkan uang dengan memperoleh bunga, apalagi jika ratenya masih berada dibawah peraturan yang berlaku umum dimasyarakat, misalnya umumnya 10% / bulan, jika kita beri 5-6% / bulan saja sudah dianggap “baik”. Mengingat rate kartu kredit juga mencapai 2-4% / bulan.
menurut istri saya, memberikan pinjaman dengan menarik bunga berapapun kecilnya merupakan hal yang berdosa dan tidak baik, TITIK. Tidak melihat kondisi ataupun pertimbangan lain.
menurut hati kecil saya, memang kalau mau menolong ya harus dengan tulus tanpa mengharapkan bunga, tetapi ga ada salahnya juga kalo misalnya si peminjam bukanlah orang miskin dan uang tersebut dipakai bukan untuk kepentingan kemanusiaan misalnya sakit, dsb. akan tetapi dipakai untuk kepentingan usaha.
Hukum investasi umum juga mengatakan “High Risk High Return” . resiko kehilangan uang karena peminjam ingkar janji juga relatif lebih tinggi, karena hanya berdasarkan kepercayaan , tidak ada jaminan berupa apapun. Jadi menurut saya jika masih dibawah rata2 yang berlaku umum, dan kita tidak memaksa peminjam membayar bunga, hal tersebut adalah wajar.
Saya ingin menjadi penengah dengan tidak mengganggu keuangan keluarga, tetapi juga ingin membantu “mengabulkan” permintaan mama. Salah satu caranya adalah pinjam dari kantor, dengan fasilitas pinjaman tanpa bunga dan boleh dicicil.
Istri saya menganggap “jalan tengah” yang ingin saya ambil merupakan bentuk “dukungan” terhadap mama saya yang ingin memberi pinjaman dengan menarik bunga.
Saya sudah berusaha memberi pengertian bahwa saya tidak mau bunga, silakan pinjam tanpa bunga juga, karena ada fasilitas seperti itu di kantor. Kalo peminjam memberi bunga, ya itu terserah mama, hak mama.
Karena situasi saya dengan istri semakin memanas, akhirnya saya membatalkan memberi pinjaman untuk mama saya, padahal saya sudah mengiyakan mama saya sebelumnya. Tentu saja mama saya menjadi kecewa.
Dalam kasus seperti ini, saya merasa serba salah dan ternyata memang rasanya sulit juga untuk mengakomodasi kepentingan dari kedua belah pihak.
Untuk itu, walaupun masalah telah berlalu, saya ingin mensharingkan pengalaman saya dan mohon saran2/pendapat dari pak stef / bu ingrid mengenai : bagaimana seharusnya saya memposisikan diri??
Karena saya telah berusaha menjadi penengah, dan hasilnya malahan jadi ngga enak sama mama dan istri.
Atas kesediaan tim katolisitas dalam menanggapi dan memberi masukan ,
saya ucapkan banyak terima kasih.
Tuhan Yesus Memberkati
Regards,
Hendra
Jawaban:
Shalom Hendra,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang bunga dalam meminjamkan uang. Beberapa prinsip di bawah ini mungkin dapat membantu:
1) Memang di dalam Perjanjian Lama, kita melihat bagaimana dituliskan bahwa kita tidak boleh mendapatkan laba dari meminjamkan sesuatu (lih. Kel 22:25; Ul 15:1-6; Ul 23:19-20; Ul 24:10-12; Ul 28:44). Memang meminjamkan uang/sesuatu terjadi pada Perjanjian Lama, sehingga terlihat juga ada aturan untuk membebaskan utang pada tahun ke-tujuh (lih. Ul 15:1-6). Dan kalau saudara yang meminjam miskin maka peraturan Im 25:35-38 berlaku. Kita juga melihat bahwa bangsa Israel dapat mengambil bunga kalau meminjamkan pada orang asing, yang mengatakan “Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga–supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.” (lih. Ul 23:20), karena memang ada resiko untuk meminjamkan sesuatu kepada orang asing.
2) Di dalam Perjanjian Baru, hal ini diperbaharui oleh Yesus dengan menekankan pada kasih dan keadilan. Dikatakan “Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.” (Mt 5:42). Dan Rasul Paulus juga menegaskan inti dalam memberi, yaitu “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2 Kor 9:7). Namun, Yesus sendiri tidak melarang untuk menarik laba dari pinjaman uang, seperti yang terlihat dari perumpamaan talenta, di mana dikatakan “Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.” (Mt 27:27, Lih. juga Lk 19:23).
3) Mungkin dua hal di atas terlihat bertentangan. Namun, kalau kita harus mengingat bahwa pada jaman dulu, uang tidaklah memberikan suatu hasil kalau tidak dijalankan. Namun, pada jaman sekarang, uang dapat memberikan hasil, karena uang dapat dibungakan atau diinvestasikan. Dengan demikian, meminjamkan uang dengan “bunga yang pantas” bukanlah tindakan yang tidak adil. Namun, kalau kita memberikan pinjaman dengan bunga yang terlalu tinggi, maka kita telah berdosa melawan keadilan. Pembahasan mendetail tentang hal ini dapat dilihat di sini (interest – silakan klik) dan juga ini (usury – silakan klik)
4) Namun, kita juga harus menerapkan prinsip-prinsip ini dengan bijaksana. Kalau kita mempunyai uang banyak (misal 1 milyar) dan seseorang meminjamkan kepada kita 1 juta rupiah, maka janganlah kita menarik bunga, apalagi kalau orang yang meminjam benar-benar miskin. Bahkan kalau perlu, kita harus memberikannya dengan rela. Kalau kita berada dalam situasi bisnis, maka adalah pantas, kalau kita menarik bunga dari pinjaman yang kita berikan.
5) Masuk ke kasus anda, yang harus dilakukan pertama adalah berbicara dari hati ke hati dengan istri anda, apakah secara prinsip, 1) mau meminjamkan uang kepada mama anda, 2) mau meminjamkan uang, sampai pada titik kalaupun tidak dikembalikan tidak apa-apa. Dan semuanya ini sebenarnya tergantung dari penggunaan uang tersebut. Kalau secara prinsip istri anda setuju untuk meminjamkan uang, maka pertanyaannya adalah apakah perlu menarik bunga? Kalau pinjaman tersebut digunakan untuk memperluas bisnis mama anda, maka anda dapat mengharapkan bunga – terutama kalau hal tersebut menyangkut uang yang banyak (banyak adalah relatif). Namun, kalau uang tersebut digunakan untuk berobat, maka memang sudah seharusnya kita meminjamkan tanpa ada bunga, bahkan seharusnya kita juga dapat merelakan kalau sampai uang tersebut tidak dapat kembali.
Jadi kalau mama anda bersikeras untuk membayar bunga dan istri anda bersikeras tidak mau menerima bunga, maka sebenarnya ini adalah kasus yang tidak terlalu sulit. Akan menjadi sulit, kalau situasinya terbalik. Anda dapat berbicara kepada mama anda secara terbuka, bahwa anda ingin meminjamkan uang tanpa bunga, karena istri anda dan anda mengasihi mama anda. Memang mendapatkan bunga yang pantas adalah adil, namun kasih dapat bertindak melebihi keadilan. Kalau mama anda tetap bersikeras, maka anda dapat menerima bunga tersebut, dan kemudian katakan pada istri anda, bunga ini nanti akan dibelikan sesuatu untuk mama, sehingga anda tidak mengambil bunga uang dari mama. Semoga cara ini dapat membantu kasus anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org
Syalom Bu Ingrid,Pak Stef dan semua kontributor katolisitas, Tuhan Yesus Memberkati
Saya membuka usaha kredit barang hp,elektronik,dll dan dikenakan bunga 3%,sebelumnya saya membuka kredit barang dengan membeli barang itu sendiri ke toko dan diberikan kepada seseorang,tetapi karena ada barang yang rusak setidaknya saya yang harus complain ke tokonya,tapi sekarang ini saya alihkan kreditnya dengan memberikan uang yang diperlukan kepada seseorang tersebut dengan belanja sendiri ke tokonya langsung tapi dengan catatan saya minta kwitansi pembelian,dan saya kenakan bunga 3% teergantung berapa bulan angsuran,yang mau saya tanyakan,apakah saya melakukan hal berdosa,dan jalanin uang yang tidak halal,mohon bantuannya?
Salam Kasih dalam Kristus Tuhan
Shalom Fanny,
Sebenarnya prinsip dari usaha adalah keadilan, yaitu memberikan apa yang menjadi hak orang lain. Dari prinsip ini, silakan Anda menimbang, apakah Anda telah adil terhadap diri sendiri dan adil terhadap orang lain. Di satu sisi, memang dengan model usaha seperti itu, Anda memang mengambil resiko, sehingga perlu diperhitungkan risk factor. Namun, tentang besar bunganya berapa yang wajar, maka silakan mempelajarinya lebih lanjut. Pada akhirnya, kalau terlalu tinggi, sebenarnya pasar juga akan mementukan. Dengan kata lain, kalau bunga yang diberikan terlalu tinggi, maka tidak akan dapat bersaing di pasar, yang banyak menawarkan cicilan tanpa bunga, kredit murah, dll.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
syalom bu inggrit dan pak Stef
saya ingin bertanya, ayah saya sering meminjamkan uang kepada teman-teman gurunya biasanya besarnya pinjaman kira-kira Rp.100.000 – Rp.500.000 dan besarnya bunga pinjaman yang saya ketahui 10% dengan tempo 1 bulan, saya masih bingung apakah yang dilakukan ayah saya ini benar atau tidak? saya ingin mengtakan kepada ayah untuk tidak menarik bunga namun saya masih takut. mohon bantuannya bu
Tuhan Yesus Memberkati
Shalom Felix,
Seperti telah disebutkan di atas, menarik bunga dari peminjaman uang, jika jumlahnya masuk akal, dapat dibenarkan secara moral. Catatan berikutnya adalah bahwa kita boleh meminjamkan uang dengan adil, namun kepada orang atau saudara kita yang miskin, kita tidak boleh mengambil bunga. Maka yang perlu dilihat kembali di sini adalah, apakah bunga yang ditentukan itu masuk akal/ adil atau tidak; dan apakah yang minta pinjaman itu miskin atau tidak.
Nah, saya tidak bekerja di bank, sehingga saya tidak mengetahui bunga yang umum dikenakan untuk pinjaman uang di bank. Namun kalau sekitar 10% setahun, maka sebulan itu kurang dari 1% (sekitar 0.83%). Memang untuk meminjam di bank ada banyak syarat dan mungkin terlalu rumit untuk sejumlah orang, maka mereka memilih untuk meminjam kepada rentenir atau pawn shop, yang umumnya tidak memberlakukan persyaratan yang terlalu ketat. Namun biasanya memang bunganya lebih tinggi dari bank. Namun silakan ditimbang, apakah 10% sebulan itu (berarti 10x lebih besar dari bunga bank) itu wajar atau tidak?
Di samping itu, silakan dilihat apakah alasan peminjaman? Jika seseorang meminjam untuk biaya pengobatan atau apapun lainnya yang genting, dan yang meminjam adalah teman/saudara yang miskin, maka seharusnya tidak dikenakan bunga. Sebab sabda Allah mengatakan:
“Apabila saudaramu jatuh miskin, sehingga tidak sanggup bertahan di antaramu, maka engkau harus menyokong dia sebagai orang asing dan pendatang, supaya ia dapat hidup di antaramu. Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kauberikan dengan meminta riba. Akulah TUHAN, Allahmu, …” (Im 25:35-38)
Silakan direnungkan kembali, dan silakan juga untuk melihat kemungkinan lain untuk mencari tambahan penghasilan, jika itu dibutuhkan, namun selayaknya tidak mengambil keuntungan dari menarik laba dari sesama yang miskin. Keadaannya dapat saja berbeda, seandainya yang meminjam bukan orang yang susah/ miskin, jumlah bunganya masuk akal, dan orang yang diberi pinjaman juga tidak berkeberatan dengan jumlah bunga tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
shalom, saya akan menanggapi dengan bahasa yangsederhana dan mudah saja ya.
1. Pada zaman dulu, Orang berhutang biasanya untuk makan.
Pada zaman sekarang, Orang berhutang ada 2 alasan:
a. untuk makan.
b. untuk usaha.
Nah, Mana yang ingin anda lakukan? Kalau untuk makan, jangan diberikan bunga. Tapi kalau untuk usaha, silahkan kenakan bunga yang wajar.
Matius 22 dan Lukas 19, sama-sama tentang memberikan uang / talenta dan mengambil bunga.
Tapi…. Mohon perhatikan di ayat sebelumnya.
Lukas 19:15 “…. hasil dagang..”
Di sana dikatakan bahwa uang yang diberikan itu untuk berdagang. untuk usaha. bukan untuk makan.
Tentunya untuk makan, para hamba itu sudah diberikan jatah makan oleh tuannya. jadi Talenta/uang yang diberikan itu bukan untuk makan, tapi untuk usaha.
Demikian semoga bisa menjadi berkat dan hikmat untuk saudara Hendra dan kita semua. Amin.
[Dari Katolisitas: Pada akhirnya, tetap yang penting adalah melakukan segala sesuatunya dengan kebijaksanaan. Sebab sulit bagi kita untuk memeriksa apakah seseorang berhutang untuk makan atau untuk sesuatu yang lain. Namun jika kita mempunyai kebijaksanaan dan kasih, maka semoga kita dapat melakukan hal yang benar sesuai dengan kehendak Tuhan.]
Ijin berbagi…
Saya dapat menangkap penjelasan dari admin. Terimakasih telah menjelaskan dengan rinci.
Penjelasan Admin sangat sesuai dengan apa yang di lakukan (pekerjaan) orang tua saya.
Memberikan pinjaman dengan berharap kembali beserta bunga.
Tujuan meminjamkan adalah untuk keperluan usaha / menambah modal orang tersebut, tanpa jaminan apapun.(kepercayaan)
Namun malah orang2 yang meminjam malah sering terlambat membayar namun tidak di kenakan bunga tambahan atau pemaksaan, jika orang tersebut meninggal maka hutang di anggap lunas, tidak diwariskan pada keluarganya.
Saya sempat untuk tidak melanjutkan pekerjaan ini, namun dengan penjelasan admin saya kembali ingin untuk melanjutkan dan mungkin lebih adil dalam menjalankannya.
Untuk SIMON MT, malah ke bank yang tanpa jaminan itu sangat berbahaya, jika terlambat membayar maka denda berlaku, jika tidak sanggup membayar maka ada penyitaan terhadap harta kita.
[dari katolisitas: Kami tidak dapat memberikan komentar lebih lanjut, karena tidak mengetahui secara persis bisnis ini. Namun intinya, semua bisnis harus memenuhi asas keadilan. Keuntungan bagi penjual dan pembeli adalah adil: penjual memperoleh keuntungan finansial atau lainnya; dan pembeli memperoleh keuntungan mendapatkan barang yang sesuai dengan apa yang diharapkan. Jadi, penipuan tidaklah sesuai dengan prinsip keadilan.]
Ibu Inggrid/Pak Stef, saya ingin menanyakan tentang berhutang, apakah menurut ajaran gereja Katolik berhutang diperbolehkan? Jika diperbolehkan apakah ada persyaratan dalam berhutang.
Trimakasih dan mohon jawabannya.
[Dari Katolisitas: Silakan membaca jawaban ini, silakan klik]
Yth Team Pengasuh katolisitas.org
Suatu saat saya diingatkan keponakan bahwa saya, terutama sebagai pengusaha agar berhenti …….”berhutang dalam bentuk apa pun, kepada siapa pun”….. (Roma 13:9 )dengan alasan: berhutang adalah perbuatan yang ‘mengurangi iman’, intinya kita “tidak dapat menerima status kita saat itu”, menganggap Tuhan lambat memberikan “sarana hidup”, hingga kita manusia mengambil langkah mendesak “berhutang”. Awalnya saya kaget, tapi setelah direnungkan…ya juga, namun berhutang sudah sangat lazim di dunia ini, baik untuk usaha maupun keperluan pribadi. Jika benar,bagaimana menyikapinya, dan bila tidak mengapa ada tertulis di Roma,13.9. Mohon pendapat.TQ. Thomas Soeharto
Shalom Thomas Soeharto,
Roma 13:8 menuliskan “Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat.” Konteks dari ayat tersebut adalah agar kita dapat bertindak adil, termasuk kepada pemerintah, yang diperkuat dari ayat sebelumnya. Keadilan adalah memberikan apa yang memang menjadi hak orang lain. Kalau seseorang berhutang untuk membeli sesuatu atau melakukan usaha, maka kita tidak dapat serta merta mencap bahwa tindakan tersebut adalah berdosa. Diperlukan kebijaksanaan untuk menyikapi hal ini. Sebagai contoh: seseorang yang berhutang hanya untuk membeli kebutuhan barang mewah dengan mengorbankan kebutuhan utama yang lain dan membuat dia tidak dapat memberikan kontribusi kepada gereja dan fakir miskin, maka tindakan ini secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan. Namun, kalau seseorang telah memperhitungkan dengan baik dan sesuai dengan kemampuannya dan kemudian membeli rumah dengan cicilan (notabene: berhutang kepada bank), maka ini bukanlah tindakan dosa. Kalau seseorang harus menunggu untuk membeli rumah secara tunai, maka sungguh hal ini menjadi kesulitan besar bagi kebanyakan orang. Dengan demikian, prinsip yang harus digunakan dalam menyikapi hal ini adalah kebijaksanaan (prudence) dan keadilan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom,
Saya Arie. Saya jadi ingin tanya.
Apakah meminjamkan uang dengan uang pinjaman itu diperbolehkan?
Seingat saya ada di kitab Pengkotbah atau Amsal (saya lupa tepatnya) anjuran untuk “tidak menjaminkan pinjaman pada orang lain”.
Jadi mungkin kalau mau meminjamkan (bahkan untuk menolong), sebaiknya dengan uang yang sudah dimiliki, bukan dengan pinjaman.
Mohon koreksi jika saya keliru.
Tuhan Yesus memberkati.
Terimakasih
Arie
[dari katolisitas: silakan membaca artikel di atas – silakan klik]
terima kasih atas penjelasannya
Syalom Bu Ingrid, Pak Stefanus dan semua kontributor Katolisitas, Tuhan Yesus Memberkati
Saya ingin bertanya , Ibu saya merupakan orang yang melakukan bisnis meminjamkan uang dengan bunga, dan ini sudah dilakukan sejak saya kecil hingga sekarang saya sudah menginjak usia 24 tahun. Dalam meminjamkan uang ibu saya meratakan semuanya baik yang ingin meminjam untuk keperluan modal usaha, biaya sekolah, keperluan hidup maupun lainnya, namun lebih banyak yang merupakan untuk pembiayaan keperluan hidup, karena saya perhatikan pelanggan peminjaman uang ibu saya merupakan golongan menengah dan golongan bawah. Dari penghasilan meminjamkan uang inilah ibu saya membiayai hidup saya sejak kecil dan satu kakak laki -laki saya. Mulai menyekolahkan dan lain lain, sementara itu ayah saya seorang dosen yang penghasilannya tidaklah banyak. Bila dibandingkan, penghasilan ibu saya lebih banyak daripada ayah saya. Hingga saat ini saya cukup banyak harta yang bisa dikumpulkan ibu saya dari hasil meminjamkan uang ini. Ada beberapa rumah, tanah, dan bahkan bisa membeli sebuah mobil. Dari dulu saya ingin menyuruh ibu saya harus menghentikan kegiatan meminjamkan uang itu namun tidak pernah saya lakukan juga. Karena saya juga terlena dengan harta yang ada. Menurut saya ini memang salah karena tidak sesuai dengan prinsip belas kasih, yang meminjamkan uang dengan bunga kepada orang yang membutuhkan. Dan saya ingin menghentikan semua ini. Saya ingin menanyakan bagaimanakah cara saya untuk memberitahukan ibu saya bahwa cara mencari uang ini tidak benar? Dan apabila ibu saya ingin berhenti dan bertobat, apakah yang harus dilakukan dengan harta-harta yang sudah dikumpulkan ibu saya, karena memang menurut saya harta-harta yang dikumpulkan ibu saya merupakan haram. Dan juga menurut saya apa yang sudah saya makan semenjak kecil hingga sekarang merupakan haram. Saya merasa sangat berdosa. Saya minta tolong bagaimanakah menyelesaikan permasalahan dalam keluarga saya ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan
Shalom Deni,
Nampaknya di sini harus dibedakan antara meminjamkan dengan bunga yang wajar, ataukah meminjamkan dengan bunga yang tidak wajar, apalagi kemudian dilengkapi dengan tim ‘debt collector‘ untuk memaksa dengan kekerasan orang yang berhutang untuk membayar hutangnya.
Sebab seperti telah disebutkan di atas, meminjamkan uang dengan bunga yang wajar itu tidak melawan keadilan, sebab bahkan Kristus juga mengajarkan hal itu dalam perumpamaan (Mt 27:27, Lih. juga Lk 19:23). Yang menjadi masalah di sini adalah, umumnya bisnis meminjamkan uang, dapat menarik bunga di atas batas kewajaran, dan seringkali tidak terpisahkan dengan adanya petugas untuk memastikan orang membayar hutangnya, seringkali dengan kekerasan. Jika ini yang terjadi, maka memang inilah yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan, karena dapat sampai kepada mengancam keselamatan nyawa peminjam, dan dengan demikian ini sudah melanggar hak asasi/ martabatnya sebagai manusia.
Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, misalnya yang dilakukan adalah memberi pinjaman dengan bunga yang wajar; dan jika orang belum dapat membayar, ibu anda malah dengan murahan hati memberi kelonggaran waktu, bahkan tanpa dikenai bunga tambahan, maka sesungguhnya malah ibu anda, dengan caranya sendiri telah memberi bantuan kepada orang itu. Seperti telah dipaparkan di atas, bahwa jika meminjamkan untuk keperluan usaha, memang layak diberi bunga, namun jika meminjamkan untuk keperluan mendesak seperti untuk ongkos berobat karena sakit, biaya mengurus kematian, dst, maka ketentuan bunga menjadi relatif, karena jika keluarga anda mampu menolong, tentu dapat didiskusikan bagaimana caranya menolong orang yang sedang kesusahan itu, entah dengan memberikan bantuan secara cuma- cuma, atau meminjamkan tanpa bunga.
Maka silakan anda merenungkan hal ini, dan melihat hal ini dengan sudut pandang yang netral. Mohon bimbingan Roh Kudus untuk menyatakan, seandainya ada kesalahan yang dilakukan di masa lalu. Jika ada, dan hati nurani anda mengusiknya, silakan anda mengaku dosa terlebih dahulu dalam Sakramen Pengakuan Dosa, dan dengarkanlah nasihat pastor. Carilah kesempatan yang baik untuk membicarakannya dengan ibu anda, jika memang demikian nasihat pastor kepada anda. Ingatlah akan kisah Zakeus, yang setelah pertobatanya mengembalikan harta miliknya kepada orang -orang miskin (lih. Luk 19:1-10), demikian pula dengan prinsip yang sama keluarga anda dapat melakukannya, walau mungkin tidak dengan cara yang sama. Mulai sekarang carilah terlebih dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya (Mat 6:33), dan mulailah untuk hidup yang baru bersama Kristus dan di dalam Kristus, agar dengan pimpinan-Nya, anda dapat memutuskan langkah- langkah yang harus anda ambil untuk melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kehendak-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Berikan saja bunganya pada mereka yang membutuhkan…
apapun alasannya sebaiknya riba dihindari, dr konotasi kata riba aja sdh tdk ebak didengara,identik dgn RENTINIER, mau pijaman dgb bunga sebaiknya ke baank aja. apalagi lagi pinjaman max seratus juta tnpa jaminan————jd hatl dan pikiran tdk merasa eberdosa…….. amankan?????
Syalom Bu Ingrid , Pak Stef dan semua kontributor katolisitas, Tuhan Yesus Memberkati
Saya sudah mencari di web katolisitas mengenai masalah “bunga uang” yang ternyata memang sepertinya belum pernah ada/dibahas, untuk itu saya mohon penjelasan mengenai konsep “bunga / riba” yang lebih banyak dibicarakan di kitab perjanjian lama seperti :
Exo 22:25 Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia: janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya.
Lev 25:36 Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup di antaramu.
……
Tuhan Yesus Memberkati
Regards,
Hendra
[dari katolisitas: silakan melihat jawaban di atas – silakan klik]
Comments are closed.