Pertanyaan:

Mengenai menghakimi.
Seperti tertulis di dalam Matius 7:1-5
Yesus mengajarkan agar kita tidak menghakimi sesama kita.
Namun di lain sisi, kita bisa menemukan Rasul Paulus justru berkali-kali menghakimi di beberapa suratnya.
Lalu bagaimana kita harus bersikap?
Mengikuti Paulus atau mengikuti Yesus?
Mohon pencerahannya.

-Novenna-

Jawaban:

Shalom Novenna,

Terima kasih atas pertanyaannya tentang bolehkah kita menghakimi. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengerti definisi dari menghakimi dan kondisi untuk menghakimi. Kita melihat bahwa di Mt 7:1-2

“1 Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. 2  Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” (Mt 7:1-2)

Namun, di sisi yang lain, ada begitu banyak ayat yang memperlihatkan bahwa para Rasul menghakimi, seperti yang dilakukan oleh rasul Petrus kepada Ananias dan Safira, dan juga rasul Paulus kepada umat di Korintus, dll. Jadi bagaimana, perintah Yesus untuk tidak menghakimi sesama, seperti yang dituliskan di Mt 7:1-2; Lk 6:37 dapat diterapkan?

1) Mt 7:1-2 dipakai oleh St. Thomas Aquinas dalam Summa Theologi, II-II, q.60, a.2. dimana St. Thomas memberikan pertanyaan (keberatan) bahwa adalah tidak seharusnya seseorang menghakimi. Dan kemudian, keberatan ini dijawab dengan mengambil ayat “Hakim-hakim dan petugas-petugas haruslah kauangkat di segala tempat yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu, menurut suku-sukumu; mereka harus menghakimi bangsa itu dengan pengadilan yang adil.” (Ul 16:18). Dengan demikian, St. Thomas memberikan bukti, bahwa Allah tidaklah melarang bahwa seseorang menghakimi orang lain. Dan hal ini juga dibuktikan oleh begitu banyak hakim-hakim, nabi-nabi di Perjanjian Lama yang menghakimi, kita juga melihat bahwa para rasul yang menghakimi orang lain. Dengan demikian, ayat di Mt 7:1-2 bukanlah mengatakan bahwa penghakiman tidak boleh dilakukan sama sekali, namun justru bagaimana seharusnya penghakiman dilakukan dengan baik. St. Thomas kemudian memberikan beberapa persyaratan agar penghakiman ini dapat dilakukan:

a) Penghakiman dapat dilakukan sejauh tindakan tersebut adalah merupakan suatu tindakan keadilan.

b) Suatu tindakan keadilan harus mempunyai tiga aspek, yaitu: (1) Harus bersumber pada dorongan keadilan, (2) dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas, (3) dipertimbangkan dan dinyatakan secara bijaksana.

St. Thomas menegaskan bahwa kalau tiga hal tersebut tidak dipenuhi, maka tindakan tersebut tidak dapat disebut adil. Kalau syarat pertama tidak dipenuhi – yaitu bersumber pada dorongan keadilan – maka hal itu disebut tindakan yang tidak adil. Pemerintah yang melarang warga negara untuk mempunyai kebebasan berbicara, karena alasan takut digulingkan pemerintahannya, tidak dapat disebut adil, karena hal tersebut bersumber pada ketakutan bukan pada keadilan. Guru yang melarang muridnya mencontek pada saat ujian adalah adil,  karena memang bersumber pada dorongan keadilan – yaitu memberi nilai sesuai dengan kemampuan siswa yang bersangkutan.

Sedangkan kalau yang kedua tidak terpenuhi – yaitu dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas – maka disebut perebutan atau perampasan kekuasaan (usurpation). Kalau beberapa orang menghakimi seseorang dan kemudian memukulnya beramai-ramai, itu adalah tindakan yang tidak adil, karena beberapa orang tersebut bukanlah orang yang mempunyai otoritas untuk menghakimi.

Kalau yang ketiga tidak terpenuhi, karena keputusan tidak dilakukan dengan pertimbangan yang matang, maka tindakan tersebut bukanlah tindakan keadilan, namun keputusan yang terburu-buru. Dalam hal ini, kebijaksanaan (prudence) memegang peranan yang sangat penting.

c) Dari sini kita melihat, bahwa Yesus tidak melarang suatu pengadilan atau penghakiman kalau memang dilakukan dengan prinsip-prinsip di atas, yang merupakan suatu tindakan keadilan yang dimotifasi oleh suatu keadilan dan dilakukan oleh orang yang berwenang dan dengan dipertimbangkan secara matang. Kalau Yesus melarang penghakiman secara keseluruhan, maka seluruh negara dan seluruh tantanan keadilan di semua negara adalah salah.

2) Yang harus kita perhatikan adalah kita tidak boleh menghakimi berdasarkan suatu kecurigaan dan harus memenuhi persayaratan di atas. Tentu saja kalau kita tidak dalam posisi menghakimi, maka kita tidak perlu menghakimi. Kita dapat menilai suatu pendapat atau tindakan seseorang dan dapat memberikan argumentasi. Namun, kita tidak dapat menghakimi motivasi orang tersebut, karena kita tidak tahu secara persis apa motivasi atau intensi yang mendasari tulisan orang tersebut. Kita dapat menilai bahwa suatu berbuatan adalah tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral, karena memang perbuatan tersebut adalah tidak baik, namun kita tidak dapat menilai secara persis apa yang mendasari perbuatan tersebut. Sebagai contoh, seorang ayah yang mencuri. Perbuatan mencuri tersebut adalah salah, namun kita tidak dapat menghakimi intensi ayah tersebut, karena mungkin saja tindakannya dilakukan karena keluarganya tidak makan selama seminggu, sehingga mereka hampir mati kelaparan.

Akhirnya, kita juga harus menerapkan ayat ini pada diri kita masing-masing. Kalau kita menerima bahwa Gereja Katolik adalah didirikan oleh Kristus, yang diberikan kuasa untuk mengantar umat Allah kepada Kerajaan Sorga, maka kita harus menerima seluruh pengajaran dan keadilan yang diberikan oleh Gereja Katolik. Kita mengingat apa yang dikatakan di kitab Wahyu “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” (Why 3:19). Mari, kita merelakan hati kita ditegor dan dihakimi oleh Kristus yang memberikan kuasa-Nya kepada Gereja-Nya, dimana Dia mengatakan “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh 20-:23).

Semoga uraian di atas dapat menjawab pertanyaan Novenna.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org

8 COMMENTS

  1. Selamat pagi Ibu Ingrid dan Bapak Stef…
    Maaf dini hari baru nulis pesannya. :D
    Saya mau minta pendapatnya tentang topik menghakimi nich.
    Begini saya sedang proses perceraian dgn suami, kami sama2 bukan Katolik. Saya baru mendalami Katolik dan sedang Katekumen. Saya dipukul, diselingkuhin dari awal pernikahan dan baru2 ini saya grebek suami di hotel bersama simpanannya. Mengenai simpanan baru saya ketahui setelah keputusan utk bercerai, saya laporkan ke polisi dan grebek di hotel karena suami memperlambat proses perceraian dan gono gini, sidang di ulur2 olehnya, maka dgn bukti2 zinah semoga bs mempercepat proses. Di saat di kantor polisi, pengacara bertemu dgn seorg wartawan, pengacara saya menceritakan permasalahan saya dan esok hari menerbitkan di kolom kriminal, tetapi di sana tdk secara jelas menjelaskan siapa, alamat jelas hanya initial saja.
    Teman2 semua menilai saya jahat, tidak guna mengikuti Yesus karena tindakan saya sama sekali tidak mencerminkan kasih Kristus dan ayat2 di atas maupun 1 Korintus 13. Mereka menghujat saya “Apa sich yg kamu dpt dr Gereja? Kamu tidurkah di Gereja? Denger Sabda gak kalo di Gereja? Baca Alkitab gak? Kl org uda bertobat dan ikut Yesus bkn menghakimi orang seperti ini.” Kira2 seperti itulah banyak org berkata tentang saya.
    Yang ingin saya tanyakan apakah salah tindakan saya melaporkan masalah KDRT dan perzinahan, semata2 untuk mempercepat proses perceraian dan gono gini karena suami menolak 2x somasi perdamaian saya.
    Yang ingin saya tanyakan jg, apa salah saya menuntut gono gini, saya tidak menuntut setengah hartanya, saya seperempat dari asset, karena selama ini kami membangun usaha bersama dari nol. Dan selama itu juga saya tidak memiliki simpanan sedikit pun. Romo yg mengkonseling saya di paroki saya pun menasehati saya ketika saya tdk kuat dgn hujatan org, beliau menjelaskan dgn Matius 22:21. Maka dari itu saya tetap menjalankan pengampunan atas semua tindakan suami yg menyakitkan, tetapi di samping itu saya pun memperjuangkan hak saya, salahkah?
    Trims tanggapannya. Salam Kasih dalam Yesus Kristus.
    GBU

    • Anna Yth

      Setelah membaca sepenggal dari pengalaman anda dalam hidup berkeluarga, terlihat bahwa perkawinan anda tidak bisa disatukan kembali, atau dirujukkan kembali. Oleh karena itu, hak anda untuk mengguggat cerai di pengadilan sipil. Memang dalam UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat ditemukan bahwa siapapun termasuk anggota keluarga yang melakukan tindakan kekerasan: pemukulan bahkan ancaman nyawa seseorang dapat dikenakan tindak pidana hukum. Lepas dari persoalan nasihat Injil yang anda katakan bahwa apa yang anda lakukan benar tidak salah. Persoalan nasihat Injil akan dapat dilakukan jika pihak suami anda sungguh mau bertobat dan tidak mengulangi lagi perbuatan kekerasan maupun melakukan tindakan yang membuat hubungan suami istri menjadi putus. Oleh karena itu, secara hukum apa yang anda lakukan dari sisi hukum sipil diperkenankan demi melindungi nyawa dan diri anda.

      salam
      Rm Wanta

  2. pak Stef
    saya memahami penjelasan bapak (topik: menghakimi sesama) kepada novenna.

    tapi saya ingin penjelasan yg lebih sempit, yang bisa dipakai sebagai pedoman dalam pergaulan dalam masyarakat “kecil”, misalnya di dlm keluarga, antar teman, atau sedikit lebih luas (misalnya lingkungan).

    karena di dlm forum diskusi.. tentang moral, teologi, dll.. kalimat ” jangan menghakimi dong..” seringkali terlontar.

    terimakasih n salam kasih

    • Shalom Boy,

      Terima kasih atas pertanyaannya tentang menghakimi sesama. Secara prinsip, kalau kita tidak dalam posisi untuk memberikan keputusan (hakim, otoritas, dll), maka kita memang tidak dapat menghakimi sesama kita dalam pengertian menghakimi intensi dari orang tersebut, karena penilaian kita dapat salah akan maksud hati seseorang. Jadi, kalau kita sering mendengar “jangan menghakimi” dalam diskusi, maka bukan berarti kita tidak dapat berdiskusi tentang topik tersebut atau argumentasi orang tersebut. Walaupun kita tidak dapat menghakimi motif seseorang, namun kita dapat mendiskusikan pendapat atau argumentasinya. Sebagai contoh, kalau seseorang masuk ke website ini marah-marah dan mengatakan bahwa Gereja Katolik adalah sesat, maka yang pertama kita harus lakukan adalah berfikir bahwa semua orang mempunyai maksud baik, hanya cara mengungkapkannya saja yang berbeda-beda. Kemudian, kita dapat berdiskusi tentang argumentasi dari orang tersebut. Namun, kita tidak dapat menghakimi intensi dari orang tersebut, karena kita tahu secara persis apa yang mendasari perbuatannya. Contoh yang lain lagi adalah kalau orang berbuat salah, maka kita dapat menyatakan perbuatannya adalah salah. Jadi yang dihakimi adalah perbuatannya dan bukan orangnya atau motifnya. Semoga dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

      • shalom pak stef..

        Contoh yang lain lagi adalah kalau orang berbuat salah, maka kita dapat menyatakan perbuatannya adalah salah. Jadi yang dihakimi adalah perbuatannya dan bukan orangnya atau motifnya. Semoga dapat membantu. [ ini jawaban dari bapak ]

        Saya sependapat dengan bapak. yang dihakimi adalah perbuatannya dan bukan orangnya atau motifnya
        Trims pak Stef.. GBU

  3. selamat malam Ibu Inggrit dan Bapak Stef…
    Berkah Dalem…

    Saya ingin bertanya…

    Apakah yang dimaksud dengan menghakimi dalam Matius 7: 1-2??

    Apakah kalau kita menggosipkan yang tidak benar itu termasuk menghakimi??
    Apakah profesi sebagai hakim termasuk menghakimi??
    Dan apakah menfitnah seseorang termasuk menghakimi??

    Terima kasih

    JBU

    • Shalom Zepe,

      Terima kasih atas pertanyaannya tentang bolehkah kita menghakimi. Saya telah menjawab pertanyaan ini di artikel di atas (silakan klik). Secara prinsip menghakimi harus berdasarkan keadilan, yang mempunyai kondisi: (1) Harus bersumber pada dorongan keadilan, (2) dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas, (3) dipertimbangkan dan dinyatakan secara bijaksana. Dari prisip ini, maka menggosip yang tidak benar dan memfitnah bukanlah suatu tindakan yang adil. Sedangkan seorang hakim dapat mengadili, karena memenuhi ketiga syarat yang disebutkan di atas. Semoga dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – http://www.katolisitas.org

  4. mengenai menghakimi.
    Seperti tertulis di dalam Matius 7:1-5
    Yesus mengajarkan agar kita tidak menghakimi sesama kita.
    Namun di lain sisi, kita bisa menemukan Rasul Paulus justru berkali-kali menghakimi di beberapa suratnya.
    Lalu bagaimana kita harus bersikap?
    Mengikuti Paulus atau mengikuti Yesus?
    Mohon pencerahannya

    [dari katolisitas: silakan melihat jawaban di atas – silakan klik]
    -Novenna-

Comments are closed.